Bulan Terkapar di
Trotoar
Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada
wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk
bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu,
memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua
telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah.
"Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya.
Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin
tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat
ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba
lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus
kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya,
lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana.
"Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.
Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah
larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda.
Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih
hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada
keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah
mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan
mahasiswa.
Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu
masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut
nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di
trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak
akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta
kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak
tertolong lagi.
Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya,
bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru
nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.
Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi.
Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya
sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah
pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya.
Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau
diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua
ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?
"Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu
ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI
dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka,
dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai
begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada
yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah
kegelapan malam?"
***
Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan
memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda
berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin
menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan
sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada
kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab,
"belum!"
Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan
rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat
kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan
spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan
berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.
Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada
seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada
yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang
pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari
tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu
gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang,
dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara.
"Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di
sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja
tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"
Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki
kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan
diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah
tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah
semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok
begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan
untuk dilemparkan ke truk sampah?"
Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin
menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka
dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini
keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung
pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata
ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang
tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang
dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa
aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas
melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih
bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap
gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan
berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk
itu.
Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air.
Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan
rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada
negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu
mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka
agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun
melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka
sebut sebagai gerakan reformasi.
Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama
30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas
air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru
beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan
untuk memperkeruh keadaan.
Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan
--untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja,
ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk.
Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun
matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib
sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia
terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa
benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum
berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.
Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh
menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri
lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam
bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam
pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali
menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan
tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang
keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada
minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu
menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju
neraka?" pikirnya.
Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung
lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk
meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun
menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan
yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa
itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke
gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar
dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.
***
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil
hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar
terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah.
Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya.
Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih
berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.
Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan
menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui
Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya.
Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat
ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak
yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan,"
gumamnya.
Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti
unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan
ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier
sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar
sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum
siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita
itu," doa Bulan dalam hati.
Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan.
Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki
yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar
terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti
sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat
adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada
dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan
masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi
segera dilarikan ke rumah sakit.
Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama
menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang,
kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti
melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya
dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya
ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan
sampai ke mana.***
Jakarta, 1999/2004
Trotoar
Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada
wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk
bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu,
memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua
telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah.
"Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya.
Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin
tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat
ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba
lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus
kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya,
lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana.
"Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.
Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah
larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda.
Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih
hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada
keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah
mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan
mahasiswa.
Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu
masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut
nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di
trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak
akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta
kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak
tertolong lagi.
Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya,
bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru
nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.
Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi.
Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya
sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah
pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya.
Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau
diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua
ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?
"Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu
ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI
dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka,
dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai
begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada
yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah
kegelapan malam?"
***
Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan
memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda
berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin
menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan
sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada
kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab,
"belum!"
Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan
rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat
kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan
spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan
berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.
Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada
seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada
yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang
pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari
tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu
gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang,
dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara.
"Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di
sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja
tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"
Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki
kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan
diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah
tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah
semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok
begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan
untuk dilemparkan ke truk sampah?"
Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin
menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka
dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini
keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung
pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata
ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang
tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang
dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa
aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas
melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih
bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap
gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan
berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk
itu.
Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air.
Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan
rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada
negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu
mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka
agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun
melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka
sebut sebagai gerakan reformasi.
Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama
30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas
air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru
beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan
untuk memperkeruh keadaan.
Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan
--untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja,
ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk.
Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun
matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib
sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia
terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa
benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum
berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.
Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh
menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri
lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam
bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam
pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali
menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan
tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang
keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada
minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu
menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju
neraka?" pikirnya.
Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung
lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk
meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun
menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan
yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa
itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke
gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar
dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.
***
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil
hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar
terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah.
Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya.
Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih
berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.
Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan
menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui
Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya.
Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat
ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak
yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan,"
gumamnya.
Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti
unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan
ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier
sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar
sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum
siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita
itu," doa Bulan dalam hati.
Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan.
Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki
yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar
terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti
sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat
adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada
dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan
masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi
segera dilarikan ke rumah sakit.
Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama
menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang,
kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti
melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya
dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya
ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan
sampai ke mana.***
Jakarta, 1999/2004
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as