Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    bulan terkapar di trotoar

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    bulan terkapar di trotoar Empty bulan terkapar di trotoar

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:31 am

    Bulan Terkapar di
    Trotoar








    Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

    Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada
    wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk
    bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu,
    memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua
    telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah.
    "Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya.

    Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin
    tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat
    ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba
    lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus
    kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya,
    lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana.
    "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.

    Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah
    larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda.
    Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih
    hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada
    keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah
    mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan
    mahasiswa.

    Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu
    masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut
    nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di
    trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak
    akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta
    kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak
    tertolong lagi.

    Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya,
    bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru
    nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.

    Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi.
    Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya
    sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah
    pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya.
    Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau
    diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua
    ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?

    "Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu
    ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI
    dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka,
    dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai
    begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada
    yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah
    kegelapan malam?"
    ***
    Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan
    memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda
    berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin
    menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan
    sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada
    kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab,
    "belum!"

    Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan
    rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat
    kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan
    spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan
    berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.

    Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada
    seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada
    yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang
    pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari
    tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu
    gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang,
    dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara.
    "Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di
    sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja
    tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"

    Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki
    kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan
    diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah
    tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah
    semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok
    begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan
    untuk dilemparkan ke truk sampah?"

    Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin
    menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka
    dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini
    keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung
    pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata
    ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
    ***
    Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang
    tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang
    dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa
    aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas
    melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih
    bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap
    gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan
    berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk
    itu.

    Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air.
    Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan
    rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada
    negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu
    mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka
    agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun
    melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka
    sebut sebagai gerakan reformasi.

    Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama
    30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas
    air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru
    beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan
    untuk memperkeruh keadaan.

    Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan
    --untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja,
    ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk.
    Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun
    matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib
    sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia
    terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa
    benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum
    berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.

    Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh
    menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri
    lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam
    bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam
    pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali
    menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan
    tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang
    keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada
    minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu
    menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju
    neraka?" pikirnya.

    Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung
    lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk
    meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun
    menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan
    yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa
    itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke
    gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar
    dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.
    ***
    Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil
    hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar
    terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah.
    Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya.
    Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih
    berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.

    Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan
    menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui
    Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya.
    Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat
    ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak
    yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan,"
    gumamnya.

    Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti
    unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan
    ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier
    sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar
    sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum
    siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita
    itu," doa Bulan dalam hati.

    Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan.
    Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki
    yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar
    terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti
    sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat
    adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada
    dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan
    masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi
    segera dilarikan ke rumah sakit.

    Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama
    menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang,
    kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti
    melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya
    dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya
    ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan
    sampai ke mana.***
    Jakarta, 1999/2004

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 6:03 am