PEDAGOGY vs
ANDRAGOGY
Pedagogy ini konsep yang biasanya dipakai di dalam pendidikan yakni bahwa
Pendidikan itu menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan,
mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di set up oleh sistem pendidikan, di set up oleh gurunya/pengajarnya
apa-apa saja yang harus dipelajari, materi-materi apa saja yang akan diterima,
yang akan disampaikan, metode panyampaiannya,dll, itu semua tergantung kepada
pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Dari konsep ini kemudian muncullah konsep pendidikan fundamentalis, intelektual
dan konservatif.
O'neil
menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut :
"...pada dasarnya anti-intelektual
dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis
dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada
penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau
konsensus sosial yang sudah mapan."
Kebenaran yang diajarkan di dalam pendidikan adalah kebenaran yang condong
dikatakan mutlak benar, bersifat wahyu, relatif tanpa kritik. Pendidikan
yang seperti ini banyak di pakai di abad pertengahan oleh pihak agamawan,
maupun sampai sekarang juga dipakai oleh pihak agamawan, tanpa memberi
kesempatan kadang untuk siswa berpikir yang berbeda, atau meminimkan
perkembangan intelektual dari siswanya. Perbedaan bukan dianggap sebagai hal
yang biasa, melainkan sudah dianggap sebagai perselisihan yang kadang dianggap
sebagai sebuah perlawanan atau pemberontakan. Bisa kita pahami, mengapa ketika
Galileo berbeda dari pihak gereja tentang pusat tatasurya, maka yang ada adalah
anggapan pemberontakan yang berakhir di ujung kematiannya.
O'neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :
"...pada
dasarnya otoritarian, demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi."
Di dalam konsep intelektualisme pendidikan ini, tetap saja sifat murid sebagai
obyek itu yang dipakai sebagai landasan, sistem dan guru tetap bersifat
otoriter, intelektual dipakai dengan tidak bertentangan kepada nilai-nilai
kebenaran yang sudah ada, yang sudah mapan. Kita bisa memaklumi jika sekarang ini
di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia, buku-buku teknik yang
dipakai adalah buku keluaran tahun 1950. Bisa kita bayangkan, teknologi 1950,
meski dengan alasan sebagai pondasi keilmuan, itulah yang diajarkan kepada
siswanya. Intelektualisme pendidikan dilakukan, tetapi kebenaran masa lalu,
nilai-nilai masa lalu itu yang diajarkan. Kalau sekarang sudah teknologi tahun
2006, sedangkan yang kita pelajari baru referensi tahun 1950, lalu bagaimana
cara kita bisa mengejar ketinggalan kita yang 56 tahun itu?
O'neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
"Konservatisme
pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga
dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan
mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan,
sebagai landasn perubahan sosial yang konstruktif"
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah
pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Saya tidak mengatakan bahwa sistem konservatif ini jelek, harus dirubah atau
mesti diganti tidak, tapi marilah kita melihat kenyataan bahwa sistem yang
menggunana Pedagogy ini mengandung beberapa kelemahan meski juga mengandung
beberapa kelebihan. Kelemahannya adalah, bahwa dengan penerapan sistem
pedagogy ini, manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki ke unikan
sendiri, yang memiliki talenta sendiri, memiliki minat sendiri, memiliki
kelebihan sendiri, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplor
dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang
memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah
ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika
ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan.
Tetapi Pedagogy memiliki kelebihan tersendiri, yakni didalam menjaga rantai
keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan
benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi
mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa
yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh
generasi mendatang.
Seperti sisi mata uang yang berbeda dari satu keping, kalau di satu sisi adalah
Pedagogy, maka di sisi yang lain adalah Andragogy, yakni konsep pendidikan yang
meletakkan siswa sebagai subyek dari pendidikan. Bukan lagi sebagai obyek,
tetapi sebagai subyek dari pendidikan. Inilah yang sekarang ini mau diterapkan
di Indonesia dengan istilah konsep pendidikan yang berdasarkan pada
"kompetensi". Siswa yang mesti lebih aktif dari gurunya, kadang ada
yang berkata, keaktifan siswa adalah 70% di dalam proses belajar mengajar sementara
guru keaktifannya cukup 30 % saja. Sebelum ini sebenarnya sudah dikenal CBSA,
cara belajar siswa aktif, atau di tahun 70 an ada sebuah proyek yang disebut
dengan PPSP (Proyek perintis Sekolah Pembangunan) dimana pada waktu itu, siswa
dibebaskan menentukan seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya.
Sudah disiapkan Lembaran Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang
teori-teori materi yang dipelajari, kalau siswa beranggapan sudah menguasai,
maka diberi tersendiri lembar latihan dari LKS tadi dan kalau sudah merasa
siap, maka siswa bisa mengambil sendiri Lembar Test Formatif yang sudah siap.
Fungsi Guru pada waktu itu cuman menjelaskan apabila bertanya dan menilai hasil
test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1 SMP (waktu itu disebut kelas
6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP (kelas 7) maupun menempuh
kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup banyak yang mampu menempuh
level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP mencanangkan program SD cuman 5
tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan SMA juga bisa ditempuh 2 tahun juga,
tergantung kepada kemampuan dari siswa. Sayang banget, di Indonesia sudah
sama-sama kita ketahui, ganti mentri ganti sistem pendidikan, jadilah Proyek
yang sudah dijalankan tidak dilihat hasilnya bagaimana yang penting langsung
diganti saja..
Dari konsep pendidikan Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy
Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy
inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberal, Liberasionis dan Anarkis.
William F. O'Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O'Neil dibagi
menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan
Anarkisme pendidikan.
O'Neil
menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
"...tujuan jangka panjang
pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada
dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif."
O'Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan sebagai berikut :
"Liberasionisme adalah sebuah
sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan
berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang,
sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan
perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin"
Sebagai contoh, Tahun 1950 atas ide dari Robert Mayard Hutchins, sistem
absesnsi buat siswa sudah ditiadakan di sebagian Amerika dan juga sistem SKS
sudah ditiadakan juga. Murid/siswa dibebaskan atas apa yang ingin mereka
pelajari, sesuai minat dan bakat mereka masing-masing.
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan
sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif
secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami
kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara
intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan
dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah
berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif
dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan
yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan
fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang
prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari
"yang obyektif" , melalui pengamatan atas kenyataan.
O'neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
" ...seperti pendidik liberal
dan liberasionis, pada umumnya (anarkisme pendidikan) menerima sistem
penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui
penalaran ilmiah)."
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan
beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme
pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian.
Sekali lagi..sistem Andragogy pun memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.
Beberapa kelebihan memang memberikan sarana, wadah dan sistem bagi talenta
masing-masing orang untuk berkembang sesuai minat dan bakat masing-masing.
Coba kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapakah dulu kita memilih
jurusan tertentu ketika kuliah ?
Maka kalau kita jujur, sebagian besar dari kita tidaklah memahami alasan yang
ada pada diri sendiri, mengapa kita memilih jurusan tersebut?
Kita tidak mengetahui sebelumnya dan menjadi sebuah ironi setelah kita selesai
lulus katakanlah selama 5 tahun, barulah kita menyadari bahwa jurusan itu tidak
kita sukai. Tetapi sistem di kita belum memungkinkan adanya pindah jurusan
seperti itu, yang disesuaikan dengan bakat dan minat dari siswanya. Tetapi
sistem Andragogy ini memiliki kelemahan pula. Salah satunya adalah bahwa
bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya
ilmu kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy
hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk
tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan?
Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada?
jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu
tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada
persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau belajar
ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata pelaharan
Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah, kurang
bagi, dll.
Lalu bagaimanakah sebenarnya yang mesti kita terapkan kepada sistem pendidikan
kita di Indonesia ini? Pedagogy kah? Andragogy kah? gabungan keduanyakah? atau
ada alternatif lain?
Kira-kira..bisakah kita membayangkan sekarang? Setelah melihat bahwa Pendidikan
bukan soalan yang mudah dan tidak sesederhana itu, Bagaimanakah menurut anda ? Jika di
lingkungan Instansi pendidikan tidak diisi dengan orang-orang yang kompeten
dengan pendidikan???!!!
Mau dibawa
kemana pendidikan kita ini?
salam renungan
huttaqi
E-mail : UnICoM@...
Original Message
:-
From:
"UnICoM" <UnICoM@...>
To: <hidayahnet@yahoogroups.com>;
<myquran@yahoogroups.com>;
<ploso@yahoogroups.com>;
<remaja-islam@yahoogroups.com>;
<sufi-islam@yahoogroups.com>;
<surau@yahoogroups.com>;
<tentang-pernikahan@yahoogroups.com>;
<muhammadiyah2002@yahoogroups.com>
ANDRAGOGY
Pedagogy ini konsep yang biasanya dipakai di dalam pendidikan yakni bahwa
Pendidikan itu menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan,
mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di set up oleh sistem pendidikan, di set up oleh gurunya/pengajarnya
apa-apa saja yang harus dipelajari, materi-materi apa saja yang akan diterima,
yang akan disampaikan, metode panyampaiannya,dll, itu semua tergantung kepada
pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Dari konsep ini kemudian muncullah konsep pendidikan fundamentalis, intelektual
dan konservatif.
O'neil
menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut :
"...pada dasarnya anti-intelektual
dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis
dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada
penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau
konsensus sosial yang sudah mapan."
Kebenaran yang diajarkan di dalam pendidikan adalah kebenaran yang condong
dikatakan mutlak benar, bersifat wahyu, relatif tanpa kritik. Pendidikan
yang seperti ini banyak di pakai di abad pertengahan oleh pihak agamawan,
maupun sampai sekarang juga dipakai oleh pihak agamawan, tanpa memberi
kesempatan kadang untuk siswa berpikir yang berbeda, atau meminimkan
perkembangan intelektual dari siswanya. Perbedaan bukan dianggap sebagai hal
yang biasa, melainkan sudah dianggap sebagai perselisihan yang kadang dianggap
sebagai sebuah perlawanan atau pemberontakan. Bisa kita pahami, mengapa ketika
Galileo berbeda dari pihak gereja tentang pusat tatasurya, maka yang ada adalah
anggapan pemberontakan yang berakhir di ujung kematiannya.
O'neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :
"...pada
dasarnya otoritarian, demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi."
Di dalam konsep intelektualisme pendidikan ini, tetap saja sifat murid sebagai
obyek itu yang dipakai sebagai landasan, sistem dan guru tetap bersifat
otoriter, intelektual dipakai dengan tidak bertentangan kepada nilai-nilai
kebenaran yang sudah ada, yang sudah mapan. Kita bisa memaklumi jika sekarang ini
di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia, buku-buku teknik yang
dipakai adalah buku keluaran tahun 1950. Bisa kita bayangkan, teknologi 1950,
meski dengan alasan sebagai pondasi keilmuan, itulah yang diajarkan kepada
siswanya. Intelektualisme pendidikan dilakukan, tetapi kebenaran masa lalu,
nilai-nilai masa lalu itu yang diajarkan. Kalau sekarang sudah teknologi tahun
2006, sedangkan yang kita pelajari baru referensi tahun 1950, lalu bagaimana
cara kita bisa mengejar ketinggalan kita yang 56 tahun itu?
O'neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
"Konservatisme
pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga
dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan
mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan,
sebagai landasn perubahan sosial yang konstruktif"
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah
pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Saya tidak mengatakan bahwa sistem konservatif ini jelek, harus dirubah atau
mesti diganti tidak, tapi marilah kita melihat kenyataan bahwa sistem yang
menggunana Pedagogy ini mengandung beberapa kelemahan meski juga mengandung
beberapa kelebihan. Kelemahannya adalah, bahwa dengan penerapan sistem
pedagogy ini, manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki ke unikan
sendiri, yang memiliki talenta sendiri, memiliki minat sendiri, memiliki
kelebihan sendiri, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplor
dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang
memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah
ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika
ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan.
Tetapi Pedagogy memiliki kelebihan tersendiri, yakni didalam menjaga rantai
keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan
benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi
mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa
yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh
generasi mendatang.
Seperti sisi mata uang yang berbeda dari satu keping, kalau di satu sisi adalah
Pedagogy, maka di sisi yang lain adalah Andragogy, yakni konsep pendidikan yang
meletakkan siswa sebagai subyek dari pendidikan. Bukan lagi sebagai obyek,
tetapi sebagai subyek dari pendidikan. Inilah yang sekarang ini mau diterapkan
di Indonesia dengan istilah konsep pendidikan yang berdasarkan pada
"kompetensi". Siswa yang mesti lebih aktif dari gurunya, kadang ada
yang berkata, keaktifan siswa adalah 70% di dalam proses belajar mengajar sementara
guru keaktifannya cukup 30 % saja. Sebelum ini sebenarnya sudah dikenal CBSA,
cara belajar siswa aktif, atau di tahun 70 an ada sebuah proyek yang disebut
dengan PPSP (Proyek perintis Sekolah Pembangunan) dimana pada waktu itu, siswa
dibebaskan menentukan seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya.
Sudah disiapkan Lembaran Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang
teori-teori materi yang dipelajari, kalau siswa beranggapan sudah menguasai,
maka diberi tersendiri lembar latihan dari LKS tadi dan kalau sudah merasa
siap, maka siswa bisa mengambil sendiri Lembar Test Formatif yang sudah siap.
Fungsi Guru pada waktu itu cuman menjelaskan apabila bertanya dan menilai hasil
test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1 SMP (waktu itu disebut kelas
6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP (kelas 7) maupun menempuh
kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup banyak yang mampu menempuh
level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP mencanangkan program SD cuman 5
tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan SMA juga bisa ditempuh 2 tahun juga,
tergantung kepada kemampuan dari siswa. Sayang banget, di Indonesia sudah
sama-sama kita ketahui, ganti mentri ganti sistem pendidikan, jadilah Proyek
yang sudah dijalankan tidak dilihat hasilnya bagaimana yang penting langsung
diganti saja..
Dari konsep pendidikan Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy
Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy
inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberal, Liberasionis dan Anarkis.
William F. O'Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O'Neil dibagi
menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan
Anarkisme pendidikan.
O'Neil
menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
"...tujuan jangka panjang
pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada
dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif."
O'Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan sebagai berikut :
"Liberasionisme adalah sebuah
sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan
berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang,
sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan
perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin"
Sebagai contoh, Tahun 1950 atas ide dari Robert Mayard Hutchins, sistem
absesnsi buat siswa sudah ditiadakan di sebagian Amerika dan juga sistem SKS
sudah ditiadakan juga. Murid/siswa dibebaskan atas apa yang ingin mereka
pelajari, sesuai minat dan bakat mereka masing-masing.
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan
sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif
secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami
kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara
intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan
dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah
berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif
dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan
yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan
fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang
prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari
"yang obyektif" , melalui pengamatan atas kenyataan.
O'neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
" ...seperti pendidik liberal
dan liberasionis, pada umumnya (anarkisme pendidikan) menerima sistem
penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui
penalaran ilmiah)."
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan
beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme
pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian.
Sekali lagi..sistem Andragogy pun memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.
Beberapa kelebihan memang memberikan sarana, wadah dan sistem bagi talenta
masing-masing orang untuk berkembang sesuai minat dan bakat masing-masing.
Coba kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapakah dulu kita memilih
jurusan tertentu ketika kuliah ?
Maka kalau kita jujur, sebagian besar dari kita tidaklah memahami alasan yang
ada pada diri sendiri, mengapa kita memilih jurusan tersebut?
Kita tidak mengetahui sebelumnya dan menjadi sebuah ironi setelah kita selesai
lulus katakanlah selama 5 tahun, barulah kita menyadari bahwa jurusan itu tidak
kita sukai. Tetapi sistem di kita belum memungkinkan adanya pindah jurusan
seperti itu, yang disesuaikan dengan bakat dan minat dari siswanya. Tetapi
sistem Andragogy ini memiliki kelemahan pula. Salah satunya adalah bahwa
bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya
ilmu kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy
hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk
tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan?
Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada?
jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu
tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada
persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau belajar
ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata pelaharan
Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah, kurang
bagi, dll.
Lalu bagaimanakah sebenarnya yang mesti kita terapkan kepada sistem pendidikan
kita di Indonesia ini? Pedagogy kah? Andragogy kah? gabungan keduanyakah? atau
ada alternatif lain?
Kira-kira..bisakah kita membayangkan sekarang? Setelah melihat bahwa Pendidikan
bukan soalan yang mudah dan tidak sesederhana itu, Bagaimanakah menurut anda ? Jika di
lingkungan Instansi pendidikan tidak diisi dengan orang-orang yang kompeten
dengan pendidikan???!!!
Mau dibawa
kemana pendidikan kita ini?
salam renungan
huttaqi
E-mail : UnICoM@...
Original Message
:-
From:
"UnICoM" <UnICoM@...>
To: <hidayahnet@yahoogroups.com>;
<myquran@yahoogroups.com>;
<ploso@yahoogroups.com>;
<remaja-islam@yahoogroups.com>;
<sufi-islam@yahoogroups.com>;
<surau@yahoogroups.com>;
<tentang-pernikahan@yahoogroups.com>;
<muhammadiyah2002@yahoogroups.com>
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as