Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    pemakaian bahasa indonesia

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    pemakaian bahasa indonesia Empty pemakaian bahasa indonesia

    Post by admin Sun Feb 06, 2011 9:46 pm

    Beberapa Curahan Hati tentang Pemakaian Bahasa Indonesia
    Oleh IKRAMULLAH, S.I.P.
    SEBAGAI peminat bahasa dan pembaca setia Pikiran Rakyat, saya tertarik membaca tulisan Bapak Tendy K. Somantri pada tanggal 26 Oktober 2002 yang berjudul "Inilah Bahasa Indonesia yang tidak Seragam". Saya merasa tertarik untuk menanggapi tulisan tersebut, tidak dengan berpretensi sebagai ahli bahasa apalagi kritikus bahasa, tetapi sebagai orang awam yang kebetulan berminat pada bahasa Indonesia. Jadi, mohon maaf jika dalam tulisan saya ini terdapat kesalahan. Lagi pula tulisan ini pada dasarnya lebih merupakan curahan hati tentang pemakaian bahasa Indonesia yang kadang-kadang saya perhatikan, setelah mendapat pengetahuan dari berbagai tulisan tentang bahasa Indonesia yang pernah saya baca sebelumnya.
    Dilihat dari pertimbangan yang disampaikan Bapak Tendy K. Somantri dalam tulisan tersebut, kata telefon tampaknya memang lebih memenuhi kaidah kebahasaan daripada telepon. Akan tetapi, tampaknya dalam pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat, baik bahasa formal atau bahasa sehari-hari, lisan atau tulisan, selera "pasar" juga berlaku, terlepas dari baku atau tidaknya. Penulisan kata telepon sepanjang yang saya tahu masih lebih populer dibandingkan telefon. Bahkan, pada "subjudul" iklan mini (maaf, saya tidak tahu istilah yang benar untuk subjudul di sini) pada harian Pikiran Rakyat, masih tercantum kata telepon bukan telefon. Contoh lain adalah penggunaan kata selebriti yang lebih umum daripada selebritas. Padahal, bentuk yang terakhir mungkin lebih baku jika kita mengambil analogi pada kata capacity dari bahasa Inggris yang menjadi kata kapasitas, kata university yang menjadi kata universitas, dan kata puberty yang menjadi pubertas.
    Lebih lanjut, suatu media massa cetak besar terbitan Jakarta seingat penulis menerapkan kebiasaan penggunaan kata standardisasi bukannya standarisasi, konsumtivisme bukan konsumtifisme, sementara menurut saya yang bentuk baku sekaligus lebih populer adalah standarisasi atau konsumtifisme. Akan tetapi, itu bukan masalah benar bagi saya yang masih bisa menikmati masing-masing bentuk penulisan kata tersebut, dan tidak mengganggu apa yang saya sebut sebagai logika berbahasa.
    Yang mengganjal di hati saya adalah pelanggaran kaidah DM (Diterangkan Menerangkan) dalam kata jamak yang digunakan oleh sebagian dari kita. Seperti yang kita tahu, Bahasa Indonesia menggunakan kaidah Diterangkan Menerangkan seperti dalam kata kucing hitam dan orang baik, sementara Bahasa Inggris menggunakan kaidah Menerangkan Diterangkan seperti dalam kata black cat dan good man. Kadang-kadang penulis memperhatikan pemakaian kata jamak dalam bahasa Indonesia tetapi menggunakan kaidah bahasa Inggris misalnya video klip, seharus video clip atau klip video atau lebih baik lagi kita mencari padanan untuk kata klip. Dalam suatu tangga nada lagu-lagu populer yang disponsori produk sampo pada sebuah tabloid, kita bisa menemukan kata Indonesia klasik. Tentu yang dimaksud di sini bukannya Indonesia klasik sebagai lawan dari Indonesia modern misalnya, tetapi yang dimaksud adalah Indonesia classic atau klasik Indonesia dalam hal ini lagu klasik Indonesia.
    Terlihat jelas dalam contoh ini kata yang dipergunakan berbahasa Indonesia tetapi kaidah yang digunakan adalah kaidah bahasa Inggris. Cukup janggal bukan?
    Contoh lain yang lebih jelas adalah Bandung Stock Import (diubah dari nama suatu factory outlet di Bandung). Stock import adalah dua kata berbahasa Inggris tetapi digabungkan dengan kaidah bahasa Indonesia (MD). Yang lebih parah lagi Bandung dan Stock Import digabungkan dengan kaidah bahasa Inggris (MD). Seharusnya jika mau konsisten dengan bahasa Inggris atau Indonesia,lebih baik kita menggunakan frase Bandung Import Stock atau Bursa Impor Bandung. Bukan begitu?
    Saya pikir calon sarjana bahasa Indonesia tidak ada salahnya untuk mencoba meneliti gejala pelanggaran kaidah yang terkesan kacau ini. Kekacauan penggunaan kaidah yang serupa juga terlihat pada suatu nama bank swasta yang termasuk paling besar di Indonesia yang singkatan namanya terdiri dari tiga huruf. Akan tetapi, masyarakat pada umumnya mungkin tidak menyadari adanya kejanggalan tersebut.
    Kejanggalan lain yang menurut penulis lebih layak diperbaiki terlihat dalam kalimat berikut ini yang cukup sering ditemui. "Bagi para pemenang TTS akan mendapatkan hadiah masing-masing Rp 50.000,00. Alangkah baiknya jika kata bagi dihapus sehingga kalimat tersebut akan berbunyi "Para pemenang TTS akan mendapatkan hadiah Rp 50.000,00" atau "Bagi para pemenang TTS hadiah masing-masing Rp 50.000,00". Lebih singkat dan logis bukan?
    Hal lain yang bisa diperbaiki adalah penggunaan kata meskipun dan namun secara sekaligus misalnya dalam kalimat "Biarpun polisi sudah berusaha keras, namun demikian penjahat tersebut juga belum tertangkap." Sebaiknya salah satu kata, meskipun atau namun, dihilangkan sehingga kalimat tersebut akan berbunyi "Biarpun polisi sudah berusaha keras, penjahat tersebut belum juga tertangkap." Lebih lanjut, namun mempunyai arti biarpun demikian sehingga kata namun demikian merupakan pemborosan yang tersendiri pula.
    Satu hal lagi yang terasa janggal bagi penulis adalah penggunaan kata sebagai dalam kalimat seperti "Saya sebagai pengusaha" atau "Bapak X sebagai direktur" tanpa anak kalimat yang memperjelas. Di sini tampaknya kata sebagai menggantikan kata adalah. Apakah penggunaan kata sebagai dalam kalimat tersebut baku? Saya pikir tidak. Menurut saya kalimat yang benar adalah "Saya adalah pengusaha" atau "Saya pengusaha", atau disertai dengan anak kalimat sehingga menjadi "Saya sebagai pengusaha tidak lupa untuk memperhatikan kepentingan konsumennya."
    Singkatnya, menurut penulis sebagai orang awam, pemakaian-pemakaian kata atau frase dalam bentuk-bentuk yang terkesan janggal seperti yang tersebut dalam contoh di atas lebih perlu untuk diperbaiki. Akan tetapi, pada akhirnya kita mungkin "terpaksa" berprinsip bahwa sepanjang penggunaan kata atau kalimat bisa dimengerti oleh masyarakat pada umumnya dan tidak menimbulkan permasalahan hukum, kesalahan yang ada bukan masalah besar. Buktinya, bank yang saya sebut tetap maju biarpun singkatan namanya melanggar penggunaan kaidah bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus. Asal saja jangan terjadi masalah seperti berikut. Seorang warga Bandung memesan secara tertulis 10 ekor gajah kepada seorang penduduk Lampung dengan biaya 100 juta rupiah dibayar di muka. Ternyata beberapa hari kemudian warga Lampung tersebut benar-benar mengirimkan 10 ekornya saja, tidak disertai dengan gajahnya. Anda bisa membayangkan keributan yang akan timbul akibat kesalahpahaman ini, padahal kata-kata yang digunakan dalam pesanan tertulis sang warga Bandung tersebut sudah baku.***
    Penulis adalah penerjemah lepas ( Hak Cipta ? 2002 - Pikiran Rakyat Cyber Media )

    Hak Cipta ? 2002 - Pikiran Rakyat Cyber Media
    Tanggapan atas Yusuf Burhanudin
    Pelanduk tak Perlu Ikut Bertarung
    Oleh BAMBANG Q-ANEES
    Perbedaan antara orang Muslim, Zoroaster, dan Yahudi, wahai alim, Berasal dari pandangan mereka yang berbeda.
    (Jalaludin Rumi, "Matsnawi" buku 3, sajak 1258)
    AJAKAN saudara Yusuf Burhanudin ("PR", 17/10/2002) untuk meninggalkan pemberian adjektif pada Islam menarik untuk dibicarakan. Terutama ketika Yusuf di akhir tulisannya menyerukan agar semua kita bersatu pada Islam Murni: rahmatan lil Alamain sembari menutup dengan kalimat, "Inilah satu-satunya adjektiva Islam yang absah dan muttafaq alaih. Berislamlah dengan Islam yang ini agar kita selanjutnya tidak terjebak oleh Islam ada-ada saja". Tulisan tersebut bagi saya perlu untuk dipertimbangkan secara lebih kritis, di samping telah menutup jalan bagi pemberian kata sifat di samping Islam juga menyatakan--dengan meminjam tangan Jalaludin Rahmat-- bahwa yang asal nyeleneh, asal kontra, dan asal bunyi bukanlah Islam yang menenteramkan, melainkan Islam kriminal--.
    Tanggapan ini akan terbagi ke dalam dua hal. Pertama meninjau pernyataan "Islam bebas adjektif", dan bagian kedua mengenai Islam "Santai".
    Islam dan amsal air
    Islam --sebagai Islam-- barangkali bisa diamsalkan sebagai air. Tak ada satu pun dari kita dapat melihat bentuk murninya. Selalu saja kita menemukannya dalam wadah-wadah tertentu. Lalu kita menyebut air berdasar pada wadah-wadah itu, seperti air danau, air sungai, air laut, air liur, air mata, air gelas, dan seterusnya. Penyertaan wadah dalam penyebutan air begitu penting agar kita bisa mengenali air sebagai sesuatu yang ada. Dari amsal itu dapat dikemukakan bahwa penilaian perihal keberadaan sesuatu tergantung pada apa yang mewadahinya, air sebagai air tak bisa dikenali jika ia tidak kawin dengan form tertentu. Oleh karena itu, tak bisa dibayangkan jika suatu ketika kita menyebut air laut, air sungai, air danau dan sejenisnya dengan sebutan air saja. Yang terjadi, barangkali, kita akan kehilangan realitas. Air sebagai sesuatu bahkan menjadi tidak ada.
    Amsal air tersebut bisa juga berlaku --dalam beberapa hal-- untuk membaca realitas Islam. Tanpa wadah, Islam tak bisa dikenali. Ia selalu saja muncul di hadapan pemaham sebagai sesuatu yang disifati oleh adjektif tertentu. Ada Islam Sunni atau Islam Syiah, misalnya. Semuanya bisa disebut sebagai satu Islam, namun dalam wadah pemahaman yang berbeda. Keberbedaan itu bukan hasil dari rahim primordialisme, namun suatu hal yang alamiah dilakukan oleh manusia, siapa pun dia. Setiap manusia, atau puak, memiliki estetika penerimaan tertentu, demikian ujar Mohammed Arkoun. Estetika penerimaan inilah yang mewadahi apapun yang masuk dalam pemahaman seseorang agar sesuai dengan tingkat pemahamannya. Pada titik ini manusia tidak dianggap sebagai ruang kosong yang begitu dimasuki suatu hal akan mengeluarkan suatu hal itu secara sama dan persis. Ada tingkat kecerdasan, pengaruh budaya dan bahasa, situasi psikologis atau sosial politik yang melingkupinya yang memengaruhi keluaran dari diri manusia sebagai sesuatu yang berbeda dari apa yang diterima manusia. Keluaran itu ketika dikomunikasikan akan mengambil bentuk adjektif tertentu.
    Seruan saudara Yusuf, untuk hanya berislam dengan satu Islam rahmatan lil alamin sembari menafikan pemahaman yang berbeda terhadap Islam, mungkin lahir dari "penghargaan" berlebih terhadap kemanusiaan, yaitu bahwa manusia sedemikian cerdas dan suci sehingga langsung bisa menerima Islam murni tanpa adanya proses pewadahan dalam paham tertentu atau juga berasal dari keyakinan bahwa hal yang universal tak boleh dikotori oleh pemahaman manusia. Jika alasan kedua yang benar ada satu pernyataan penting yang bisa diajukan: bagaimana yang universal itu bisa dipahami, diimani untuk kemudian diamini?
    Dalam hal ini, Abdul Karim Souroush (salah seorang pemikir Iran saat ini) menuliskan "tunduk sama sekali pada perubahan dan pembaruan akan menghilangkan kebakaan dan, karenanya, tidak patut lagi dinamakan agama; sedangkan bersikeras pada kebakaan, dan menolak keras perubahan membuat agama tidak mungkin hidup di dunia yang temporer ini". Oleh karena itu, bagi Sourush, mendamaikan antara kebakaxan dan kefanaan, ukhrawi dan duniawi, membedakan yang konstan dan yang varian, bentuk dan substansi, mengubah kulit-luar sembari memelihara ruh agama, mengenalkan Islam dengan perkembangan kontemporer, membangun teologi baru merupakan tugas utama ummat beragama saat ini. Untuk bisa mengemban tugas mendamaikan antara kebakaan dan kefanaan, membedakan yang konstan dan yang varian, Souroush menyatakan bahwa pemahaman yang bersifat temporer sangat penting dilakukan. Karena ketentuan atas unsur-unsur yang konstan dan yang varian tidak akan diperoleh sebelum pemahaman agama, melainkan setelahnya.
    Pengadjektifan dalam taraf ini adalah sebuah tafsir yang bisa berasal dari kesadaran akan kadhaifan diri, yaitu bahwa apa yang telah dipahami belum sampai pada yang murni, yang absah atau muttafaq alaih. Sehingga tak ada hak bagi dirinya untuk mengklaim bahwa: inilah Islam sebenar-benarnya. Dalam masyarakat awam kesadaran akan kedaifan pemahaman banyak ditemukan. Misalnya, ada seorang kawan yang bagi saya sudah mencapai kekhusyukan salat jauh di atas rata-rata selalu mengakhiri kegiatan shalatnya dengan ungkapan: punten, tiasana ngan sakieu. Atau ada juga suatu jamaah yang sedemikian takutnya mencederai syariah mengurungkan niatannya untuk berhaji, alasannya (bagi Yusuf mungkin begitu mengada-ada dan nyeleneh) mereka tak mau mengotori pertemuan dengan Tuhan di Masjidilharam dengan perbuatan duniawi pascaberhaji. Apakah cara-cara pemahaman seperti itu harus dinafikan karena tidak absah dan muttafaq alaih?
    Pemberian adjektif, simpulnya, begitu sulit dihilangkan dari cara manusia menilai suatu hal, apalagi sesuatu yang universal. Ajakan untuk membebaskan Islam dari pensifatan sama dengan membungkus Islam sebagai sesuatu yang tak bisa dipahami atau bahkan membuat Islam menjadi suatu hal yang jauh di langit yang asing. Padahal, agama diturunkan untuk manusia agar bisa merasakan kebahagiaan di dalamnya.
    Islam "santai" tidak sekadar wacana
    Islam "santai" dalam tulisan Yusuf secara tidak langsung dianggap sebagai salah satu Islam dengan adjektif yang "dicurigai" akan "menyirnakan universalisme yang dikandung subjek adjektivenya", dan adjektif yang sekadar wacana serta ada-ada saja. Pada bagian ini hendak saya kemukakan bahwa saya bukan pencetus gagasan Islam "santai". Saya hanya mewacanakan apa yang telah digagas dan ditransformasikan ke tingkat praksis oleh santri-penyair Acep Zamzam Noor dan kawan-kawan di Tasikmalaya.
    Islam "santai" muncul dari kekesalan Acep Zamzam Noor menemukan situasi kemunafikan ummat. Umat di era reformsi, tiba-tiba "kerasukan" mengemukakan sejumlah dalil untuk menolak atau menerima syariat Islam sembari melupakan hal-hal konkret dalam kehidupan keseharian. Sekelompok orang menghunus senjata di jalan-jalan dan "menghukumi" yang berbeda sebagai "menyimpang"; sekelompok yang lain lewat media menjuduli aksi hunus senjata itu sebagai yang bertafsir sempit, terjebak pada glorifikasi sejarah dan ujung-ujungnya melahirkan sebuah nama fundamentalisme. Perseteruan itu menyita banyak perhatian, perdebatan. dan energi umat.
    Umat lalu terpancing untuk menghabiskan waktunya bersitegang untuk memilih wacana mana yang muttafaq alaih atau absah. Padahal, di Tasikmalaya, tempat tinggal Acep Zamzam Noor, juga di pelbagai kabupaten lain di negeri ini ummat Islam telah terpecah karena perbedaan partai dan kerasukan syahwat kekuasaan. Reformasi melahirkan situasi tersebut dan sayangnya energi ummat telah terpancing untuk berwacana dan memimpikan syariat Islam atau sebaliknya. Wacana dan mimpi itu tentu saja tidak salah, namun dalam beberapa hal membuat apa yang seharusnya diselesaikan tak juga rampung sampai saat ini. KKN salah satu contohnya.
    Adjektif "santai" adalah tanggapan Acep Zamzam Noor terhadap perebutan wacana antara Islam liberal dan fundamental serta syahwat politik. Kedua wacana tersebut, kita sama tahu, dengan sangat fasih memainkan ayat-ayat Alquran. Tak bisa tertolak tentu saja, sekaligus juga tak bisa diterima begitu saja. Di tengah pertarungan dua gajah itu, pelanduk tak harus ikut bertarung di tengah arena; satu-satunya yang harus dilakukan adalah bersantai. "Santai" bukan dalam arti membuang waktu percuma, tapi mencermati pertarungan itu dengan seksama untuk kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang bisa dipraksiskan di tingkat lokal dengan cara sederhana.
    Misalnya, ketika Tasikmalaya diguncang wacana mendasarkan diri pada syariat Islam ada tanggapan yang berbeda dari kedua gajah itu. Pelanduk melakukan tindakan lain yang sederhana tapi mengena. Untuk menanggapi penerapan syariat Islam, kelompok (sejenis) Islam liberal menggelar sejumlah diskusi dan riset untuk menghambat keinginan itu. Hasil riset dan diskusi lalu dibicarakan di depan dewan rakyat dan pemerintahan. Di pihak lain kelompok fundamentalis meneriakkan seruan jihad, dan sweeping tempat pelacuran dan perjudian tanpa ditingkahi solusi yang menyelesaikan. Pada saat itu, Islam "santai" memasang sejumlah spanduk dan selebaran di/ke segenap penjuru kota. Spanduk-spanduk itu berbunyi: Tasikmalaya kota puisi bersihkan dari omong kosong dan provokasi, Sebaik-baiknya jihad adalah menolak sogokan calon bupati, Kenaikan gaji anggota DPR hukumnya haram, Tasikmalaya kota budaya jangan ada bom di antara kita, Memberantas kemaksiatan mulailah dari diri sendiri, Sebaik-baiknya cita-cita adalah menjadi penguasa, Dengan visi religius/Islami kita masyarakatkan poligami, dan sejenisnya.
    Spanduk-spanduk itu tidak satupun yang menghujat kelompok lain. Juga tak ada kekerasan wacana apalagi pedang. Yang ada hanya kalimat-kalimat sederhana yang ditawarkan ke wilayah publik untuk dimengerti bersama dan menjadi sikap bersama. Kalimat spanduk: Sebaik-baiknya jihad adalah menolak sogokan calon bupati, dan Kenaikan gaji anggota DPR hukumnya haram, misalnya bisa lebih langsung dimengerti ummat dan menohok subjek untuk segera mengurungkan tindakannya. Jika Islib (Islam Liberal) sedang mengandaikan bahwa demokrasi membuat kehidupan berbangsa menjadi manusiawi dan Isfun (Islam Fundamentalis) meyakini Syariat Islam akan membuat baldatun thayyibatun warabbun ghafur, Islam "santai" menawarkan spanduk yang menggugat kedua pengandaian tersebut. Islam "santai" tak hendak menolak demokrasi atau Syariat Islam. Akan tetapi, sogokan calon bupati diberikan di sebuah lembaga yang sedang menjalankan demokrasi dan diisi oleh sejumlah orang yang mengusulkan pemberlakuan Syariat Islam.
    Pada titik ini, Islam "santai" lewat ungkapan ringan seperti Jangan ada bom di antara kita; atau plesetan hadis Nabi, Sebaik-baiknya cita-cita adalah menjadi penguasa, Muslimin tampil sebagai umat yang santai dan jenaka dalam beramar maruf nahy munkar. Melalui spanduk Memberantas kemaksiatan mulailah dari diri sendiri, Islam "santai" memberi kepercayaan bahwa beragama lebih banyak berada di wilayah privat, seperti juga surga dan neraka akan dialami secara pribadi.
    Sebagai sebuah pemahaman yang daif, Islam "santai" tentu memiliki kecacatan yang tak terhindarkan. Karena akal, begitu ungkap Soroush, tak bisa membantu menyempurnakan agama; akal berusaha keras memperbaiki pemahamannya sendiri terhadap agama. Islam "santai" tak hendak menyempurnakan Islam, ke-"santai"-an hanya hendak menawarkan cara penerimaan terhadap perseteruan wacana Islib dan Isfun serta soal-soal keumatan melalui pemahaman-tindakan tanpa ketegangan klaim.
    Prinsip dasarnya barangkali adalah bahwa kita tidak bisa mengutamakan yang satu dengan mengorbankan yang lain. Burung yang terbang dengan bertumpu pada satu sayap harus dianugerahi dengan dua sayap untuk dapat mencapai sarang kebahagiaan. Saya akhiri tanggapan saya dan semoga Anda selalu dalam asuhan-Nya.***
    Penulis adalah staf pengajar IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 5:17 am