Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    kaedah kuliah

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    kaedah kuliah Empty kaedah kuliah

    Post by admin Sun Feb 06, 2011 9:26 pm

    KAEDAH KAEDAH KULIAH

    Setelah usai pembicaraan tentang dalil dalil syara' yang ditetapkan dengan hujjah yang qath'I dan tentang dalil-dalil yang diragukan maka selanjutnya harus membicarakan tentang istidlal berdasarkan kaedah-kaedah kulliah untuk menjelaskan bahwa kaedah-kaedah kuliah tersebut bukanlah dalil dalil syara', tapi kaedah-kaedah syara' tersebut merupakan hukum syara' yang diistimbathkan dari dalil-dalil sebagaimana hukum-hukum yang lain. Meski ada banyak bukti bahwa banyak hukum yang orang berdalil dalam hukum tersebut dengan kaedah kuliah, atau dengan definisi syara', atau bahkan dengan hukum syara'. Maka orang yang mendengarkan mengira bahwa kaedah kuliah itu adalah dalil syara' untuk suatu hukum, atau menyangka bahwa definisi syara' itu adalah dalil syara' untuk suatu hukum, atau orang tersebut menyangka bahwa hukum yang merupakan hasil istidlal adalah dalil atas suatu hukum. Bahkan barangkali terjadi kekaburan bahwa kaedah-kaedah kulliah tersebut adalah dalil-dalil syara' padahal faktanya tidak demikian. Jadi kaedah-kaedah kuliah, definisi-definisi syara' atau hukum-hukum syara' secara keseluruhan adalah hukum syara' meski berbeda sebuatannya. Adapun istidlal untuk suatu hukum dengan kaedah kulliah atau dengan definisi syara' atau dengan hukum syara' adalah dari aspek pencabangan atas suatu hukum dan bukan dari sisi istidlal dengan dalil. Memang terdapat perbedaan antara istidlal untuk suatu hukum dengan kaedah kulliah dan definisi syara' dengan istidlal untuk suatu hukum dengan hukum syara'(yang lain). Istidlah untuk suatu hukum dengan kaedah kulliah atau definisi itu mengambil bentuk istidlal dengan dalil dari sisi implementasinya atas suatu hukum serta implementasi hukum terhadap fakta yang keberadaan hukum tersebut diperuntuk untuk fakta tersebut. Maka perlakuan terhadap kaedah-kaedah kulliah itu adalah layaknya perlakuan terhadap nash. Kaedah-kaedah kulliah tersebut juga merupakan suatu pemikiran yang merupakan landasan solusi, meski bukan solusinya sendiri secara langsung. Ini berbeda dengan isitidlal atas suatu hukum berdasarkan hukum syara'. Istidlal tersebut tidak mengambil bentuk istidlal (sebagaimana) dengan dalil tapi bentuk implemantasi. Jadi yang diperhatikan adalah implemantasi hukum tersebut atas fakta, apakah fakta tersebut merupakan fakta yang hukum datang untuknya atau tidak. Jadi hukum itu bukanlah pemikiran yang menjadi landasan solusi tapi ia adalah hukum,yakni hukum tersebut adalah solusi yang bersifat langsung. Selain itu maka sesungguhnya kaedah kulliah, definisi syara' dan hukum syara' secara keseluruhan adalah satu hal yang satu yang diistimbathkan dalil syara'. Maka kaedah kulliah dan definisi syara' itu adalah hukum kulli, sedangkan hukum syara' adalah hukum juz'I. Jadi kaedah kulliah dan devinisi syara' itu bukan merupakan salah satu dalil syara', tapi merupakan hukum syara' yang diistimbathkan dari dalil syara'. Dan untuk mengetahui kulliah atau juz'iyyah dalam hukum syara' harus memfokuskan pandangan pada bahwa sebutan ini adalah secara majaz dan bukanlah (makna) hakiki. Kulliah dan juz'iyyah itu adalah bagian dari dalalah mufrad dan bukan dari dalalah murakkab maka tidak ada ruang di dalamnya dalalah tarkib. Sementara hukum syara' itu adalah jumlah yang tersusun dan bukan isim mufrad baik hukum, kaedah atau definisi. Maka pernyataan anda bahwa daging bangkai itu haram adalah jumlah yang tersusun, dan pernyataan anda bahwa ijarah adalah akad juga merupakan jumlah yang tersusun. Maka (kata) kulliah dan juz'iyyah tidak masuk di dalamnya, karena keduanya bagian dari dalalah isim, yakni bagian dari dalalah mufrad. Kecuali jika kulli dalam isim itu adalah apa yang banyak dapat bersama-sama dalam pemahamannya seperti kata al-hayawaan, al-insaan, dan al kaatib, sedangkan definisi adalah apa yang kebanyakan dapat bersama-sama di dalamnya, karena definisi ijarah itu berlaku untuk ijarah atas ajiir al-khaash dan juga untuk ajiir al-musytarak serta ijarah rumah, mobil, tanah dll. Maka sebuatan atas definisi tersebut sebagai hukum kulli adalah dari sisi majaz. Maka demikian pula dengan kaeadah kulliah. Ketika juz'I dalam isim adalah hal-hal yang kebanyakan tidak bisa bersama-sama di dalamnya seperti Zaid sebagai isim alam untuk seorang laki-laki, Fathimah adalah isim alam untuk seorang wanita. Begitupula dhamir-dhamir seperti huwa dan hiya. Maka hukum syara' yang termasuk bagian dari yang kebanyakan tidak bisa bersama-sama di dalamnya seperti daging bangkai itu haram, meminum khamr itu haram dan yang semacam itu, adalah tidak tepat kecuali untuk bangkai, dan untuk khamr maka sebutan sebagai hukum juz'I tersebut adalah dari sisi majaz. Sebutan tersebut dari sisi dalalahnya atas individu-individu atau bukan terhadap individu individu tersebut sehingga dikatakan sebagai kulli dan juz'I itu secara majaz. Namun dari sisi fakta baik kullia maupun juz'I itu adalah hukum syara' yang diistimbathkan dari dalil syara'. Tidak ada perbedaan antara kaedah, definisi dan hukum.
    Kaedah kulliah adalah hukum kulli (yang menyeluruh) yang implementatif pada unit-unitnya. Kaedah kulliah merupakan hukum karena memang diistimbathkan dari seruan pembuat syara'. hukum kulli tersebut adalah yang ditunjuk oleh seruan pembuat syara'. Sedangkan keberadaannya sebagai (hukum) kulli karena bukan merupakan nisbat hukum pada salah satu lafadz yang sifatnya umum sehingga hukum kulli tersebut disebut sebagai hukum umum seperti firman-Nya Ta'ala:
     •     
    "…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengha-ramkan riba."(TQS Al Baqarah(2):275)
    Yang implementatif untuk semua jenis jual-beli. Itu adalah hukum umum. Sedangkan firman-Nya Ta'ala:

      
    "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,"(TQS Al Maidah(5):3)
    Diimplemantasikan pada setiap bangkai. Itu adalah hukum umum. Sedangkan hukum kulli yang menjadi kaedah kulliah adalah penisbatan hukum pada salah satu lafadz kulli, oleh karena itu dikatakan sebagai kulli. Karena itu maka setiap hukum yang termasuk pada yang dimaksud lafadz adalah salah satu unit dari hukum kulli dan bukan merupakan salah satu dari individunya. Misalnya kaedah :



    "bahwa yang merupakan wasilah pada yang haram adalah diharamkan"
    Dan kaedah:


    "perkara yang suatu kwajiban tidak sempurna kecuali dengan perkara tersebut maka (keberadaan) perkara tersebut adalah wajib"
    dst. Pada kaedah-kaedah ini hukum syara' tersebut, yaitu haram, tidak dinisbahkan pada lafadz umum sebagaimana jual beli itu mubah,tapi dinisbatkan pada lafadz kulli yaitu wasilah (sarana). Sedangkan hukum syara', yakni lafadz wajib, tidak dinisbahkan pada lafadz umum seperti "bangkai itu haram," tapi dinisbatkan pada lafadz kulli yaitu "apa yang suatu kwajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu tersebut". Dengan begitu maka hukum syara' tersebut bersifat kulli.
    Sedangkan definisi adalah sifat dari fakta suatu hukum, definisi itu juga merupakan hukum kulli. Oleh karena itu definisi adalah sebagaimana kaedah kulliah, yakni definisi adalah hukum kulli yang menunjuk pada unit- unitnya. Misalnya definisi hukum syara' adalah seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba, dan definisi akad adalah keterkaitan antara ijab dan kabul dalam bentuk yang disyariatkan yang kemudian akad tersebut menetapkan pengaruhnya pada obyek akad tersebut. Maka masing-masing keduanya adalah hukum kulli. Karena pada definisi hukum syara' telah memberitakan tentang sesuatu yang telah diketahui dengan lafadz kulli yaitu kata seruan pembuat syara' dan pada kata seruan pembuat syara' tersebut kebanyakan dapat bersama-sama dalam pemahamannya. Maka kata seruan pembuat syara' tersebut cocok untuk tuntutan atas perbuatan, juga cocok untuk tuntutan untuk meninggalkan, serta pilihan. Oleh karena itu maka definisi tersebut merupakan definisi yang sifatnya kulli, dan pada definisi akad telah memberitahukan tentang sesuatu yang diketahui dengan lafadz kulli yaitu kata keterkaitan antara ijab dengan Kabul. Maka pada kata tersebut cocok untuk bersama-samanya kebanyakan dalam pemahamannya. Kata tersebut cocok untuk jual beli, pernikahan, ijarah dan syirkah. Maka definisi tersebut merupakan definisi yang sifatnya kulli.
    Namun kadang-kadang memang kaedah itu bersifat umum tapi kebanyakan bersifat kulli, demikian pula dengan definisi. Kadang-kadang definisi itu datang dalam bentuk umum, tapi kebanyakan dalam bantuk kulli. Maka apabila hukum itu dinisbatkan pada lafadz yang kulli maka kaedah tersebut juga merupakan kaedah kulliah. Tapi jika dinisbatkan pada lafadz umum, maka jadilah kaedah umum. Demikian pula jika menginformasikan apa yang diketahui dengan lafadz kulli maka definisi tersebut menjadi kulli, tapi apabila menginformasikan dari definisi tersebut dengan lafadz umum maka definisi tersebut bersifat umum, dan pengaruhnya akan tampak ketika difrensiasi. Definisi yang sifatnya kulli difrensiasi yang berlangsung di dalamnya adalah pada unit-unitnya, bukan pada person-personnya. Demikian pula pada kaedah kulliah. Adapun definisi yang sifatnya umum defrensiasi yang terjadi di dalamnya adalah pada person-personnya dan bukan pada unit-unitnya, demikian pula dengan kaedah kulliah. Juga alangkah baiknya memperhatikan perbedaan antara kaedah kulliah dan kaedah umum, antara hukum kulli dengan hukum umum. Kalimat 'aam dan umum artinya adalah lafadz-lafadz yang telah ditetapkan secara bahasa untuk dalalah dengan bentuk atau makna yang berlaku pada individu yang banyak, tanpa batas, dengan jalan pengambilan (pada semuanya). Seperti al mukminuun dan al qaum dsb, sedangkan kata kulliah yang diperhatikan adalah hal-hal yang banyak, dimana hukum dinisbahkan padanya, dapat bersama-sama dalam pemahaman terhadap kalimat tersebut. Maka kata kulli disini menunjuk pada suatu hukum yang maknanya kulli. Maka firman-Nya Ta'ala:
       
    "Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara."(TQS Al Hujuraat(49):10)

    Adalah kaedah umum dan hukumnya adalah hukum umum, bukan kaedah kulliah juga bukan hukum kulli karena firman Allah tersebut merupakan hukum atas orang mukmin bahwa mereka adalah bersaudara, dan ini adalah hukum umum dengan sifat tertentu dan bukan suatu hukum atas yang kulli dengan sifat tertentu. Berbeda dengan sabda beliau SAW:


    "bahwa binatang ternak itu yang luka karena binatang ternak tersebut itu tanpa balasan". Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari.
    Sabda beliau tersebut adalah kaedah kulliah karena itu merupakan hukum sanksi pada binatang ternak bahwa diat tidak diambil dari binatang ternak tersebut. dan kata jinazaatul-'ujama' adalah lafadz kulli. Jadi kulliah itu terjadi pada lafadz, bukan pada susunan kata (kalimat). Karena itu tidak bisa dikatakan bahwa nash ini adalah nash yang bersifat kulli karena yang kulli tidak masuk di dalam susunan kata. Maka tidak dikatakan pada nash-nash tersebut dengan nash-nash yang kulli tapi dikatakan bahwa hukum ini adalah kulli karena hukum tersebut diistimbathkan dari penisbatan hukum pada lafadz yang bersifat kulli.
    Kaedah-kaedah kulliah itu diistimbathkan dari nash syara' persis sebagaimana istimbath pada hukum-hukum syara' yang lain, baik dari satu dalil atau beberapa dalil. Kecuali bahwa dalil yang ada di dalamnya mengandung makna layaknya illat, atau (bahkan) mengandung illat. Inilah yang menjadikan kaedah-kaedah kulliah tersebut implementatif atas semua bagian-bagiannya. Misalnya kaedah:


    "bahwa wasilah pada yang haram itu haram"
    Dan kaedah:


    "apa yang tidak sempurna suatu kwajiban kecuali dengan sesuatu tersebut maka adanya sesuatu itu adalah wajib"
    serta kaedah:


    "setiap hal yang diperlukan oleh jama'ah adalah kepemilikan umum"
    kaedah-kaedah tersebut masing-masing merupakan kaedah kulliah. Maka apabila mencermati dalil-dalilnya menjadi jelas bahwa hukum tersebut dalilnya menunjuk pada hukum tersebut juga pada sesuatu yang lain sebagai defrensiasi atas hukum tersebut atau hasil dari hukum tersebut. Maka tampak jelas bahwa hukum tersebut memang layaknya illat. Misalnya firman-Nya Ta'ala:
                  •  •          
    "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan" (TQS Al An'aam(6):108).

    Maka fa' pada:
     (maka mereka akan mencela), memberikan faedah bahwa celaan kamu pada berhala-berhala mereka akan mengakibatkan celaan pada Allah,dan ini adalah haram, memberikan hukum bahwa celaan kalian pada berhala-berhala mereka pada keadaan seperti ini adalah haram, maka itu seakan-akan adalah illat. Jadi larangan mencela orang-orang kafir adalah dalil hukum yang disamping penunjukannya pada hukum tersebut juga pada sesuatu yang lain yang merupakan derivat dari hukum tersebut ketika Allah berfirman:

      
    "…Karena mereka nanti akan memaki Allah…"(TQS Al An'aam(6):108)

    Maka diistimbathkan, dari ayat ini, kaedah:


    "bahwa sarana yang mengantarkan pada yang haram itu haram pula"
    Begitu pula firman-Nya Ta'ala:
        
    "…Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,"(TQS Al Maidah(5):6)
         
    "…Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,"(TQS Al Baqarah(2):187)

    Maka ilat pada firman-Nya:
     
    "sampai dengan siku,"(TQS Al Maidah(5):6)

    Dan pada firman-Nya:
     
    "…sampai (datang) malam,"(TQS Al Baqarah(2):187)
    Memberikan faedah bahwa selama tidak membasuh bagian dari siku maka tidak akan sempurna membasuh tangan sampai siku. Maka adalah merupakan keharusan untuk merealisasikan tercapainya tujuan, bukan malah memasukkan tujuan pada yang dituju. Begitu pula selama tidak masuk pada bagian dari malam meski hanya satu detik maka kesempurnaan puasa tidak terealisir. Maka membasuh bagian dari siku, meski sedikit, dan puasa bagian dari malam, meski sedikit, adalah wajib berdasarkan dalalah dari dua ayat tersebut karena tidak sempurna apa yang diwajibkan-yaitu membasuh dua tangan dan puasa pada waktu siang-kecuali dengan melaksanakannya. Jadi tujuan tersebut memberikan faedah menjadikan apa yang menyempurnakan membasuh tangan, dan puasa (pada waktu) siang, dan itu adalah wajib, sebagai kwajiban, sehingga hal tersebut seakan-akan merupakan illat. Maka ayat tersebut menunjuk pada suatu hukum dan sekaligus menunjuk pada sesuatu yang lain yang menyempurnakan hukum tersebut; yaitu ketika ayat tersebut menyatakan:
     
    "…sampai (datang) malam,"(TQS Al Baqarah(2):187)
    Maka diistimbathkan dari dua ayat ini kaedah:

    "bahwa sesuatu yang kwajiban tidak sempurna karena sesuatu tersebut maka sesuatu itu adalah wajib"
    Begitu pula ketika Rasul SAW bersabda:


    "bahwa kaum Muslim itu bersama-sama dalam tiga hal, air, padang rumput dan api". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.
    Dan juga telah menjadi ketetapan dari beliau SAW bahwa beliau menyetujui penduduk Thaif dan Madinah untuk memiliki air secara pribadi. Maka difahami bahwa air yang ditolelir untuk pemilikian individu tersebut adalah ketika air tersebut tidak diperlukan oleh komunitas (jama'ah). Maka illat keberadaan manusia bersama-sama dalam tiga hal tersebut karena dibutuhkan oleh komunitas (jama'ah). Maka dalil tersebut menunjuk pada suatu hukum sekaligus menunjuk pada illat. Artinya bahwa hukum tersebut disamping menunjuk pada suatu hukum juga menunjuk pada sesuatu yang lain yang merupakan sebab pensyariatan suatu hukum. Maka diistim-bathkanlah kaedah:


    "setiap hal yang termasuk dibutuhkan oleh jama'ah,menjadi milik umum"
    Maka begitulah untuk semua kaedah kulliah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kaedah kulliah itu menjadikan hukum layaknya illat bagi hukum kulli karena merupakan sebab bagi hukum tersebut atau karena hukum tersebut merupakan hasil atau derivat dari hukum tersebut, atau menjadikannya sebagai illat yang sebenarnya bagi hukum kulli. Jadi kaedah kulliah itu merupakan hukum kulli yang implementatif pada bagian-bagian hukum tersebut. Oleh karena itu implementasi pada setiap hukum yang memang implementatif atasnya adalah layaknya implementasi dalil atas suatu hukum yang datang di dalam hukum tersebut, dan tidak (dilakukan) qiyas padanya, tapi mengalir pada bagian-bagian yang di bawahnya. Atau dengan kata lain masuk dibawah mafhum atau mathuqnya persis sebagaimana masuknya dibawah dalalah dari suatu dalil. Jadi istidlal dengan kaedah kulliah itu layaknya istidlal dengan dalil. Maka kaedah kulliah itu diperlakukan layaknya qiyas, dan setiap hal yang kaedah tersebut implemenatif padanya maka hukumnyapun diambil, kecuali jika ada nash syara' yang berbeda dengan apa yang ada dalam kaedah, maka beramal dengan nash dan mengeliminir kaedah tersebut seperti yang terjadi pada qiyas ketika terdapat nash syara' yang diperoleh dari nash, dan mengeliminir qiyas. Tapi kaedah-kaedah kulliah tersebut tidak seperti qiyas yang merupakan dalil syara',juga bukan salah satu pokok dari pokok-pokok syara'. Kaedah-kaedah syara' adalah hukum syara' yang diistimbathkan sebagaimana hukum-hukum syara' yang lain. Maka kaedah-kaedah kulliah itu bukan dalil. Karena itu maka apa-apa yang kaedah kulliah tersebut diimplementasikan padanya dipandang sebagai cabang dari kaedah kulliah atau layaknya cabang. Hal yang sama seperti kaeadah kulliah tersebut adalah definisi kulli. Maka setiap hal yang definisi tersebut implementatif padanya, hukumpun diambil kecuali ada nash syara'. Jika terdapat nash syara' maka diambil yang berdasarkan nash.
    Adapun kaedah umum seperti:


    "bahwa perjanjian damai itu boleh diantara kaum Muslim kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram dan menyharamkan yang halal"
    Dan seperti:


    "tidak ada bahaya dan tidak membahayakan"
    Kaedah yang umum tersebut implementatif pada individu-individunya saja maka cakupan kaedah tersebut pada individu-individunya adalah layaknya suatu yang umum pada semua individu-individunya. Kecuali jika ada nash syara', maka diambil nash serta mengeliminir kaedah tersebut. maka begitu pula definisi yang sifatnya umum. Pada berbagai keadaan kaedah yang sifatnya umum tersebut merupakan nash syara' itu sendiri seperti dua kaedah diatas. Dua kaedah tersebut dipandang sebagai dalil syara',sebab memang merupakan nash. Jika bukan merupakan nash maka tidak dipandang sebagai dalil tapi dipandang sebagai hukum syara' dan diperlakukan sebagai cabang dari kaedah tersebut, dan yang seperti kaedah umum adalah definisi umum.
    Kaedah-kaedah yang diperhitungkan (mu'tabarah) adalah kaedah-kaedah yang diistimbathkan dari dalil syara' dengan istimbath secara syar'I, sedangkan kaedah-kaedah yang tidak diistimbathkan dari dalil syara', atau yang diistimbathkan dengan proses istimbath yang tidak syar'I, itu tidak diperhitungkan dan sama sekali tidak bernilai. Karena itu perkataan mereka: "bahwa hukum pada akad itu diambil berdasarkan tujuan dan pengertian dan bukan berdasarkan lafadz dan apa yang dibangun" tidak termasuk bagian dari kaedah-kaedah syara' sebab perkataan ini tidak diistimbathkan dari dalil syara', tapi itu diambil dari undang-undang sipil Perancis yang lama. Sebab makna kaedah ini adalah bahwa niat itu diperhatikan dalam akad, atau menjadikan realitas kondisi itu diperhatikan pada akad, dan inilah yang mereka katakan sebagai ruh dari nash. Maka anda akan mendapatkan bahwa mereka yang menyatakan tentang nash dan ruh dan yang mereka maksudkan dengan nash adalah pembicaraan yang tertulis dan apa yang ditunjukkan oleh nash baik secara manthuq maupun mafhum, dan yang dimaksud dengan ruh dari nash adalah apa yang ditunjukkan oleh kondisi dan keadaan yang terkait dengan obyek meski pembicaraan tidak menunjukkan hal tersebut. inilah yang oleh para pakar hukum barat disebut dengan pergolakan batin yaitu lawan dari pergolakan fisik yang terikat dengan dalalah dari nash baik secara manthuq maupun mafhum tanpa memperhatikan kondisi dan keadaan.Maka kaedah "hukum dalam akad itu…dst" ini hampir-hampir merupakan terjemahan harfiah dari undang-undang sipil Perancis yang lama, oleh karena itu kaedah tersebut dan serupa dengan itu tidak dikategorikan bagian dari syara' dan juga bukan merupakan kaedah syara' karena kaedah tersebut bukan merupakan hukum syara' maka juga bukan hukum kulliah terlebih lagi bahwa kaedah tersebut diambil dari aturan kufur. Adapun apa yang mereka upayakan beristidlal untuk kaedah tersebut dengan sabda beliau Alaihis-salam:


    " sesungguhnya perbuatan itu berdasarkan niat". Hadits dikeluarkan oleh al Bukhari
    hadits tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan kaedah tersebut. karena beliau bersabda:


    "sesungguhnya perbuatan itu"
    beliau tidak bersabda: sesunguhnya akad-akad itu dan sesungguhnya hal-hal tehnis itu. Sementara syara' juga menjadikan untuk akad-akad yang diperhatikan adalah bentuknya bukan dengan niat kedua orang yang melakukan akad atau situasi akad. Adapun untuk hal-hal tehnis itu berdasarkan syarat-syarat syar'iyyah dan bukan dengan niat orang yang mengelola dan kondisinya. Dan yang dimaksud dengan aktifitas itu bukanlah perkataan. Karena itu dikatakan akad-akad, yakni perkataan-perkataan dan kadang-kadang dinyatakan sebagai pengelolaan yang sifatnya perkataan. Dan batasan tersebut berlaku pada pengelolaan yang berdasarkan perkataan dan akad, tidak terjadi pada perbuatan-perbuatan sama sekali. Maka di sana terdapat disparitas yang sangat lebar antara aktifitas dengan akad serta pengelolaan. Shalat, haji dan zakat adalah aktifitas yang niat didalamnya diperhatikan sedangkan jual beli, wakaf, wasiat dan pengelolaan niat sama sekali tidak berarti apa-apa di dalamnya. Berdasarkan hal itu menjadi jelas adanya pertentangan kaedah ini dengan Islam dan jauhnya dengan hukum syara'. Begitu pula untuk kaedah-kaedah yang lain yang diistimbathkan dari (nash-nash) syara'.
    Sungguh sebagian fuqaha' telah menjadikan kaedah- kaedah tersebut layaknya dalil-dalil syara'. Sebagaian kaedah tersebut ada diistimbathkan dari syara', dan sebagian yang lain tidak diistimbathkan dari syara'. Yang diistimbathkan dari syara' antara lain kaedah istishhab, kaedah dharar yang dikategorikan sebagai bagian dari kaeadah-kaedah syara' kerena terdapat dalil-dalil syara' bagi kedua kaedah tersebut. Adapun yang tidak diistimbathkan dari syara' misalnya kaedah uruf serta kaedah ma'aalatul-af'al, maka kaedah-kaedah tersebut tidak dikategorikan sebagai bagian dari kaedah syara' karena memang tidak terdapat dalil syara' untuk kaedah tersebut. meski sebagian mujtahid tidak saja menjadikan uruf tersebut sebagai kaedah syara' bahkan menjadikan uruf tersebut sebagai salah satu pokok syariat dan salah satu dalil syara' padahal sebenarnya bukanlah salah satu pokok (syariat) hatta kaedah syara'pun juga bukan.

    KAEDAH ISTISHAB

    Yang dimaksud dengan kaedah istishab adalah istishab al-hal. Para ulama' ushul mendefinisikan istishab adalah ungkapan tentang hukum melalui penetapan pada waktu yang kedua didasarkan pada penetapan pada waktu yang pertama. Artinya istishab adalah penetapan suatu perkara pada masa kini berdasarkan penetapan perkara pada masa yang lalu. Maka setiap hal yang ditetapkan adanya lalu disematkan keraguan terhadap adanya hal tersebut maka yang pokok adalah tetapnya. Dan hal yang telah diketahui tidak adanya lalu disodorkan keraguan atas adanya maka yang pokok adalah kelanjutan hal tersebut dalam keadaan tidak ada. Seperti penetapannya pada waktu yang lalu adalah layknya illat pada penetapannya pada masa kini. Maka siapa saja menikahi seorang wanita muda dalam keadaan gadis kemudian ada klaim setelah menjalin rumah tangga dengan dia ternyata diketahui bahwa dia adalah janda maka itu tidak diterima kecuali dengan bukti,karena pada dasarnya adalah adanya kegadisan karena itu telah ditetapkan ketika dia lahir dan tumbuh. Maka keberadaan dia sebagai gadis adalah istishab lalu menghukumi bahwa dia adalah gadis pada saat ini. Maka barang siapa membeli anjing karena dia trampil dalam berburu, tapi setelah itu ada klaim bahwa anjing tersebut tidak terlatih maka klaim itulah yang benar, karena pada dasarnya anjing memang tidak terlatih untuk berburu ketika dia tumbuh sampai anjing tersebut mendapat latihan. Jadi menurut istishab tetap tidak ada, begitulah seterusnya, yaitu istihab al-ashl sampai ada bukti yang berbeda.
    Istishhab itu bukanlah dalil syara', karena penetapannya tidak berdasarkan hujjah yang qath'i. Istishhab memang tidak dibangun berdasarkan hujjah yang qath'I. Tapi sesugguhnya istishhab itu merupakan kaedah syar'iyyah, yakni hukum syara', dengan begitu istishhab tersebut cukup dengan dalil yang daznni. Dalil bahwa istishhab itu adalah kaedah syara' ada tiga hal:
    Pertama: sabda Rasulullah SAW yang dikeluarkan oleh Al Bukhari:




    "sesungguhnya aku adalah manusia, dan sesungguhnya kalian menyampaikan yang kalian perselisihkan padaku, maka barangkali sebagian dari kalian lebih fasih dalam berargumen dibanding yang lain maka aku memutuskan sesuai dengan yang aku dengar"
    artinya sesungguhnya Rasul SAW memutuskan sesuai dengan apa yang tampak pada beliau, dan ini artinya menetapkan hukum berdasarkan apa yang tampak. Suatu yang tampak adalah hukum yang telah ditetapkan untuk sesuatu pada masa yang lalu, baik ada atau tidaknya, baik halal atau haram. Maka inilah yang dzahir dari sesuatu dan keduanya termasuk hal yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Maka hukum itu wajib hendaknya didasarkan yang dzahir ini. Maka apabila ada klaim yang berbeda dengan yang dzahir, harus ada dalil yang menunjuk pada klaim tersebut, apabila tidak maka tetap pada apa yang ada pada sesuatu tersebut pada masa yang lalu sebagai obyek hukum, atau dengan kata lain tetap pada yang tampak sebagai obyek hukum sebagai implementasi dari hadits tersebut.
    Kedua: sesungguhnya ijma' telah menetapkan bahwa manusia itu kalau seandainya sejak awal diragukan adanya kesucian pada dirinya maka dia tidak boleh shalat. Tapi kalau diragukan adanya kesucian tersebut maka dia boleh shalat. Inilah istishhab. Sebab yang diperhatikan adalah adanya kesucian yang sejak awal yang ditetapkan secara qath'I. maka dipastikan keadaan ragu ini dengan ada atau tidak adanya kesucian tersebut,maka yang diperhatikan adalah kedaan suci yang telah ditetapkan secara qath'I. maka keadaan ragu dihilangkan dengan hilangnya kesucian tersebut atau tidaknya kesucian tersebut, dan ini berarti istishaab al-hal. Maka diistimbathkan dari hal itu, bahwa apa yang ditetapkan secara qath'I ditetapkan ketetapannya sampai ada bukti yang berbeda dengan hukum tersebut. Karena hukum yang telah terjadi ijma' atasnya menunjukkan atas hal itu.
    Ketiga: bahwa apa yang telah ditetapkan pada waktu yang pertama atas adanya suatu hal atau tidaknya dan tidak tampak hilangnya baik secara qath'I maupun secara dzanni. Itu mengharuskan secara otomatis untuk adanya dugaan pada tetapnya sebagaimana adanya, dan beramal dengan yang dzanni adalah wajib. Jadi apa yang terealisasikan ada atau tidaknya pada salah satu keadaan, itu mengharuskan adanya dugaan tetapnya, dan yang dzanni itu adalah hujjah yang diikuti dalam syariat, sebab hukum-hukum syara' didasarkan pada dugaan yang kuat. Jadi kaedah ini adalah hukum syara' maka pada kaedah tersebut dicukupkan dengan ghalabatu adz-dzan(adanya dugaan yang kuat).
    Tiga hal inilah yang merupakan dalil bahwa kaedah istishhab itu merupakan kaedah syara' yang beramal dengan kaedah tersebut,yakni dibolehkan untuk berlangsung pencabangan atas kaedah tersebut layaknya kaedah syara', layaknya hukum syara'. Atas dasar hal tersebut maka apa yang telah ditetapkan dan tidak tampak jelas lenyapnya hal tersebut maka dugaan (tetap) pada tetapnya hal tersebut, lalu diberikanlah hukum yang sama karena memang itulah yang tampak jelas. Sebab kalau seandainya apa yang ditetapkan pada masa yang pertama dalam bentuk yang disebutkan bukan merupakan yang diduga tetapnya pada masa yang kedua, konsekwensinya adalah tidak tetapnya hukum hukum yang telah ditetapkan pada masa Nabi SAW jika dikaitkan pada kita, karena bolehnya nasakh. Maka jika tidak dihasilkan dugaan berdasarkan istishhab maka adanya adalah sama karena kebolehan menasakhnya dan ketika itu maka tidak mungkin dipastikan penetapannya, dan apabila tidak berarti mengharuskan adanya tarjih tanpa ada yang dilemahkan. Maka penetapan hukum yang telah ditetapkan pada masa Nabi SAW dan tidak ada nasakh itu dihasilkan dengan istishhab. Jadi pada dasarnya tidak ada nasakh, dan klaim nasakh itu harus ada dalil yang menunjukkan nasakh. Dan lagi kalau seandainya apa yang telah ditetapkan pada waktu yang pertama seperti yang telah disebutkan tersebut bukan merupakan suatu yang diduga adanya pada masa yang ke dua maka konskwensinya adalah adanya keraguan dalam thalaq sebagaimana keraguan pada pernikahan, karena kesamaan pada keduanya pada tidak didapatkannya dugaan untuk hal-hal yang telah lalu. Konsekwensinya adalah bolehnya hubungan seksual pada dua waktu tersebut atau haram berhubungan seksual pada dua waktu tersebut, dan ini disepakati batilnya, bahkan malah dibolehkan adanya keraguan pada thalaq tapi tidak pada nikah. Karena pada dasarnya tidak ada pernikahan maka berlaku istisbah pada yang pokok ini dan dihukumi dengan tidak adanya pernikahan maka tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai didapatkan bukti adanya pernikahan. Adapun untuk wanita yang telah dinikahi pada dasrnya adalah adanya pernikahan. Maka istishhab untuk yang pokok ini adalah hukum ditetapkan adanya pernikahan dan tiadanya thalaq. Maka boleh bagi suami untuk melakukan hubungan seksual meski adanya keraguan adanya thalaq sampai ada bukti terjadinya thalaq. Maka ini semua menunjukkan bahwa istishhab al-hal adalah termasuk suatu yang syara' datang di dalamnya untuk semua hukum syara' juga pada dalil-dalil syara'. Jadi istshhab itu adalah kaedah syara'.
    Berdasarkan hal itu maka semua perkara tetap pada istishhab al-ashl sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya hal yang berbeda. Maka apabila telah ada dalil atas suatu hukum baik wajib, sunnah, mubah atau haram maka sungguh hukum ini selalu tetap, apabila ada klaim adanya hukum lain untuk perkara tersebut selain yang telah ditetapkan dalil maka harus ada dalil yang menunjukkan atas hal tersebut, jika tidak didapatkan dalil maka hukum asal tetap seperti semula berdasarkan apa yang dihadirkan dalil atas perkara tersebut. Jadi apabila telah ditetapkan hukum untuk suatu hal maka sesungguhnya hukum tersebut akan tetap untuk hal tersebut. Jika ada klaim adanya hukum yang lain untuk hal tersebut selain yang telah ditetapkan baginya maka harus ada dalil yang menunjukkan hal tersebut, jika tidak ditemukan suatu dalil maka hukum tersebut tetap sebagaimana semula.
    Maka istishhab tersebut adalah suatu yang yang tidak terpisahkan bagi seorang yang faqih dan mujtahid, dan dengan istishhab tersebut banyak sekali hukum yang jelas. Al Qurthubi berkata: "adanya perkataan bahwa istishhab itu adalah suatu yang tidak terpisahkan bagi setiap orang, karena istishhab itu adalah pokok yang dibangun diatasnya kenabian dan syariah, maka apabila kita tidak menyatakan kelangsungan keadaan dalil-dalil tersebut, maka tidak dihasilkan suatu ilmu tentang sesuatu dari perkara-perkara tersebut, serta kelangsungan keadaan dari dalil-dalil tentang kenabian dan syariat berdasarkan istishhab yang memang tidak ada perbedaan kebenarannya bagi orang yang berakal dan tidak ada satupun keraguan atas keadaan tersebut".


    KAEDAH DHARAR

    Kaedah dharar mencakup dua hal: pertama bahwa sesuatu itu sendiri adalah berbahaya dan tidak ada di dalam seruan pembuat syara' hal yang menunjukkan adanya tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan atau memilih. Maka keberadaan sesuatu tersebut sebagai yang berbahaya adalah merupakan dalil atas pengharamannya, karena pembuat syara' telah mengharamkan yang berbahaya. Dan kaedahnya adalah:


    "bahwa pada dasarnya untuk yang mebahayakan adalah diharamkan"
    Sedangkan yang kedua adalah bahwa pembuat syara' telah membolehkan sesuatu secara umum, tapi pada salah satu bagian dari sesuatu yang mubah tersebut ditemukan adanya bahaya. Maka keberadaan bagian yang berbahaya atau mengantarkan pada yang membahayakan tersebut merupakan dalil untuk mengharamkannya. Sebab pembuat syara' memang mengharamkan salah satu bagian dari perkara-perkara yang mubah ketika bagian tersebut berbahaya atau mengantarkan pada yang berbahaya. Kaedahnya adalah:



    "bahwa setiap unit dari unit-unit yang mubah apabila merupakan suatu yang berbahaya atau mengantarkan pada yang berbahaya maka unit tersebut adalah haram sedangkan unit sisanya tetap mubah"
    Terkait dengan kaedah yang pertama dalilnya adalah sabda beliau Alaihis-shalatu wassalam:


    "tidak ada yang berbahaya dan yang membahayakan di dalam Islam". Hadits dikeluarkan oleh Ath Thabarani.
    Dan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dari hadits Abi Shirmah (dengan dikasrah shadnya) Malik bin Qais Al Anshari berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda:



    "barang siapa yang membahayakan maka Allah akan membahayakan dia, dan barang siapa yang menyulitkan (saudaranya) maka Allah akan menyulitkan orang tersebut".
    hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa pembuat syara' mengharamkan hal yang berbahaya, sedangkan pada hadits yang ketiga maka istidlal di dalamnya jelas bahwa sesungguhnya yang dimaksud (di dalam hadits tersebut) adalah larangan atas hal yang berbahaya. Sedangkan dua hadits yang pertama bahwa penafian di dalam dua hadits tersebut adalah dengan makna yang dilarang berdasarkan qarinah (adanya indikasi) bahwa pokok dari yang berbahaya tersebut real. Jadi maknanya adalah: janganlah kalian membahayakan. Ini adalah dari aspek dalalah iqtidha',yang merupakan salah satu bagian dari mafhum, maka dalalah iqtidha'pun merupakan bagian dari dalalah al-iltizam. Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Abu Jakfar Muhammad bin Ali dari Samurah bin Jundub:
    "bahwa dia memiliki pelapah kurma pada pagar seorang laki-laki dari Anshar: lalu dia berkata: dan laki-laki tersebut bersama keluarganya, dia berkata: adalah Sumurah masuk ke dalam kebun kurmanya maka Semurah tersebut menyakiti dan mengganggu dengan pelapah kurma tersebut, lalu laki-laki tersebut meminta pada Samurah untuk menjualnya tapi dia menolaknya. Maka laki-laki tersebut mendatangi Nabi SAW dan menceritakan hal tersebut pada beliau, maka Nabi SAW meminta pada Samurah untuk menjualnya tapi dia menolak, lalu Nabi meminta dia untuk memindahkannya tapi dia menolak. Lalu beliau bersabda: "hibahkan pada saya dan untuk kamu begini dan beliau yang begini itu adalah sesuatu yang menarik bagi Samurah", tapi dia tetap menolak, maka Rasulullah bersabda: "kamu itu menimbulkan bahaya", maka Rasulullah SAW memerintahkan pada orang Anshar tersebut: "pergilah dan potonglah kurmanya"

    hadits ini juga menunjukkan bahwa yang berbahaya itu haram, bahkan hadits tersebut menunjukkan bahwa yang berbahaya itu hendaknya dihilangkan. Perintah Rasul untuk memotong pohon kurma adalah perintah untuk menghilangkan hal yang berbahaya, oleh karena itu maka yang berbahaya itu adalah haram. Asy Syaukani menyatakan dalam Nailul Authar pada syarah hadits tersebut:


    "tidak berbahaya dan tidak membahayakan". Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim.
    dia menulis: "ini adalah dalil haramnya hal yang berbahaya apapun bentuknya tanpa perlu membedakan apakah itu tetangga atau bukan. Maka yang berbahaya itu dalam berbagai bentuknya adalah tidak boleh kecuali ada dalil yang mentakshis atas dalil yang umum ini. Maka bagi anda yang menuntut untuk membolehkan hal yang berbahaya pada sebagaian bentuknya tentu harus dengan dalil, jika dia datang dengan dalil maka anda harus menerimanya, tapi jika tidak maka mukanya harus dipukul berdasarkan hadits ini. Bahwa suatu yang berbahaya itu haram adalah salah satu kaedah agama yang didukung oleh (dalil-dalil) kulliah maupun juz'iyyah ". Berdasarkan hal tersebut maka kaedah dharar itu penetapannya berdasarkan nash Sunnah, dan hadits-hadits inilah yang merupakan dalil bahwa kaedah:


    "pada dasarnya hal berbahaya itu adalah diharamkan"
    adalah termasuk kaedah syara'.
    sedangkan yang terkait dengan kaedah yang kedua, maka dalilnya adalah:










    "ketika Rasulullah SAW melewati (sumur) Al Hijr lalu beliau berhenti dan manusia mau melepas dahaga dengan air sumur tersebut. Ketika mereka istirahat maka Rasulullah SAW bersabda: "kalian jangan meminum airnya dan kalian jangan berwudhu dengan airnya untuk shalat, dan adonan yang telah kalian buat berikan pada onta. Jangan kalian makan dari adonan tersebut, dan salah satu dari kalian jangan keluar malam kecuali dengan teman". Maka manusia mengerjakan sebabagaimana yang telah Rasulullah SAW perintahkan kecuali dua orang laki-laki dari Bani Sa'adah salah satu dari kedua orang tersebut keluar untuk menunaikan hajatnya sedangkan yang lain mencari untanya. Adapun yang pergi untuk menunaikan hajatnya, dia tercekik lehernya sedangkan yang pergi mencari untanya, dia diterbangkan angin sampai di gunung Thayyi'. Maka hal tersebut diberitahukan pada Rasulullah SAW, beliaupun bersabda: "bukankah aku telah melarang kalian agar salah seorang dari kalian tidakl keluar kecuali dengan teman". Maka beliaupun mendoakan yang tercekik dan sembuh, sedangkan yang lain yang jatuh di gunung Thayyi', sungguh orang Thayyi' menyerahkan pada Rasulullah SAW ketika beliau sampai di Madinah. Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya.
    pada kisah ini bisa diperhatikan bagaimana Rasul mengharamkan salah satu hal yang mubah, maka minum air itu adalah mubah. Tapi Rasul SAW mengharamkan atas mereka meminum air dari sumur Hijr bahkan beliau mengharamkan atas mereka berwudhu dengan air tersebut. Bahwa keluarnya seseorang pada waktu malam sendirian adalah suatu hal yang mubah tapi Rasul mengharamkan atas mereka pada malam tersebut kecuali dengan teman, kemudian beliau menjelaskan bahwa haramnya air tersebut adalah karena ada dharar, dan haramnya keluar sendirian juga karena ada dharar. Jadi adanya dharar pada sesuatu tertentu itulah yang merupakan sebab pengharamannya. Maka hal tersebut seakan-akan merupakan illat. Maka adanya dharar pada sumur Tsamud menyebabkan haramnya air sumur Tsamud tersebut, sedangkan air itu sendiri tetap mubah. Adanya dharar ketika seseorang keluar sendirian pada malam itu dan dari tempat tersebut adalah menyebabkan haramnya keluarnya seseorang sendirian di sana pada malam itu. Tapi keluarnya seseorang sendirian di tempat yang lain dan bukan pada malam itu tetaplah mubah. Maka adanya dharar itu tidak mengharamkan apa yang dimubahkan oleh syara'. Namun adanya dharar pada salah satu unit dari unit-unit yang mubah menjadikan salah satu unit tersebut mubah sedangkan yang lain tetaplah mubah baik itu perbuatan maupun sesuatu.
    Beginilah apabila individu yang mubah tersebut berbahaya. Tapi apabila individu tersebut mengantarkan pada hal yang berbahaya maka dalilnya adalah apa yang diriwayatkan:











    "bahwa Rasulullah SAW bermukim di Tabuk kira-kira sepuluh malam tidak lebih. Kemudian rombonganpun kembali ke Madinah.Ketika di jalan ada air yang keluar dari wasyal yang disampaikan oleh seorang, dua atau tiga orang yang berkendaraan, pada sebuah lembah yang disebut dengan lembah Musyaqqaq. Maka rasulullah SAW bersabda: "maka barangsiapa mendahului kita pada lembah itu maka jangan meminum sesuatu sampai kita datang pada mata air tersebut". Lalu yang meriwayatkan berkata: sekelompok kecil orang-orang munafiq mendahului beliau lalu mereka meminumnya, maka ketika Rasulullah SAW sampai maka beliaupun tidak melihat apapun. Lalu beliau bertanya: "siapa yang mendahului kita atas air ini?" Lalu dikatakan pada beliau: wahai Rasulullah si fulan, si fulan, maka beliaupun bersabda: "bukankaah aku melarang mereka untuk minum dari air tersebut sampai aku datang" kemudian Rasulullah SAW melaknat mereka dan mendo'akan buruk atas mereka". Hadits diriwayatkan Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya.
    pada hadits ini Rasul mengharamkan meminum air yang sedikit tersebut. Sebab itu bisa mengakibatkan pasukan kehausan. maka sesungguhnya beliau bersabda:
    "barangsiapa yang mendahului kami pada lembah tersebut maka jangan meminum airnya sampai kami sampai pada lembah tersebut"
    dan laknat beliau pada dua orang yang meminum air tersebut adalah merupakan dalil haramnya meminum air sampai beliau tiba di tempat tersebut. Maka (sebenarnya) minum air itu adalah mubah, dan menimum air dari lembah tersebut bukan merupakan suatu yang dharar, tapi meminum air sebelum tibanya Rasul dan sebelum membagi air tersebut diantara para tentara dapat mengakibatkan kesulitan pada pasukan, yakni mengantarkan pada bahaya. Maka diharamkannya meminum (air) dari lembah tersebut sampai beliau tiba karena itu akan mengantarkan pada bahaya. Maka kondisi meminum yang mengakibatkan pada bahaya itulah yang mengharamkan meminum (air) dari lembah tersebut maka itu seakan-akan merupakan illat, maka hal itu layaknya illat. Maka keberadaan meminum air dari lembah tersebut yang akan mengantarkan pada bahaya adalah yang mengharamkan meminum (air) dari lembah itu saja. Adapun minum air dari selain lembah tersebut tentunya tetap mubah. Dan meminum air dari lembah itu sendiri selain kondisi yang mengantarkan pada hal yang berbahaya tersebut juga mubah. Maka keberadaan sesuatu yang mengantarkan pada yang dharar tidaklah mengharamkam sesuatu yang telah dibolehkan oleh syara', tapi keberadaan salah satu individu yang mengantarkan pada yang dharar tersebut menyebabkan haramnya individu tersebut saja sedangkan sesuatu (yang lain) tetaplah mubah baik apakah itu merupakan perbuatan atau sesuatu.
    Maka hadits-hadits pada dua keadaan ini: keadaan sesuatu yang berbahaya dan sesuatu yang mengantarkan pada yang berbahaya diistimbathkan dari keadaan tersebut kaedah yang kedua yaitu:


    "setiap individu dari individu-individu yang mubah apabila berbahaya atau mengantarkan pada hal yang berbahaya menjadikan individu tersebut haram sedangkan hal tersebut tetap mubah"
    Inilah hal yang kedua dari dua hal pada kaedah dharar. Adalah merupakan keharusan untuk mengetahui perbedaan besar dari dua hal tersebut agar kekacauan bagi seseorang. Perkara yang pertama merupakan kaedah untuk hal hal yang tidak ada nash pada hal tersebut pada seruan pembuat syara', keberadaan sesuatu tersebut sebagai suatu yang berbahaya telah menempati posisi nash. Karena sesungguhnya nash datang dengan pengharaman hal yang dharar. Adapun perkara yang kedua terdapat nash yang membolehkannya pada seruan pembuat syara'. Oleh karena itu tidak benar untuk mengharamkannya, karena di dalamnya ada dharar. Sebab nash telah menetapkan kemubahannya dan tidak diterima klaim dharar di dalamnya karena adanya nash yang menjelaskan hukumnya. Tapi apabila ada klaim bahwa salah satu individu dari individu-individu dari hal tersebut berbahaya atau mengantarkan pada sesuatu yang berbahaya maka seketika itu haramlah individu tersebut. Tapi yang diharamkan hanya individu yang berbahaya atau yang mengantarkan pada yang berbahaya tersebut saja karena nash itu datang dengan pengharaman atas individu yang mengantarkan pada dharar. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa kebolehan menjual mata uang asing serta memasukkan ke (dalam) negeri itu mengantarkan pada bahaya maka itu diharamkan. Sebab kebolahan menjual dan membeli mata uang asing tersebut serta mamasukkannya di dalam negeri telah ditetapkan oleh nash. Maka tidak tepat klaim dharar di dalamnya sebagai alasan untuk mengharamkan mata uang asing tersebut, karena adanya nash yang membolehkan pada seruan pembuat syara'. Tapi jika ditetapkan bahwa bahwa mata uang tertentu seperti poundsterling adalah dharar pada kemubahan menjualnya, maka pengharaman tersebut (berlaku) pada mata uang itu saja selama adanya dharar. Karena poundsterling itu merupakan salah satu dari jenis mata uang, sedangkan untuk mata uang asing yang lain tetap mubah untuk dijual dan dibeli serta memasukkannya di dalam negeri. Jadi disana terdapat perbedaan antara dua kaedah tersebut yang harus diperhatikan.


      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 12:33 pm