Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    sangkan paraning demokrasi

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    sangkan paraning demokrasi Empty sangkan paraning demokrasi

    Post by admin Fri Dec 31, 2010 9:19 pm

    Sangkan-Paraning Demokrasi


    Islam didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan kedua ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena membandingkan keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah. Inilah masalahnya yang perlu klarifikasi dan penjelasan [Huwaydi, 1993, hlm 151].

    Oleh karena itu wajar saja jika terjadi perdebatan yang panjang mengenai itu. Hal itu adalah suatu dinamika intelektual muslim yang sangat menguntungkan ummat Islam dalam menambah wacana ke-Islaman. Namun, yang sangat disayangkan jika perdebatan tersebut sudah keluar dari metodologi diskusi dan kajian rasional dalam rangka mencari kebenaran objektif, bukan subyektif. Karena kebenaran subyektif – yang hanya melihat pada siapa/kelompok yang dianutnya – akan memunculkan sikap-sikap ‘jidal’ yang tidak ihsan.

    Tulisan ini bukan ditujukan pada pembelaan terhadap suatu pendapat semata, namun lebih mengarahkan pada suatu kajian obyektif-rasional yang berlandaskan historis dan epistimologis ilmu. Adapun obyek kajiannya adalah buku ‘Ad-Dimukratiah Nidlom Kufr Yahrumu Akhdzuha au Tathbiquha Au Da’wah Ilaiha’ karya seorang ulama besar dan tokoh pergerakan Islam di Timur Tengah yaitu Abd Al-Qodim Zallum.



    Sangkan Paran Demokrasi

    Menurut Abd Al-Qodim Zallum, demokrasi adalah aturan kufur, yang tidak ada hubungannya dengan Islam dan sangat bertentangan dengan hukum Islam secara mutlak. Ia menganggap demokrasi sudah menjadi ideologi tertentu yang banyak digunakan dan didewakan oleh dunia barat dan hendak ditanamkan pada negeri muslimin. Oleh karena itulah diharamkan atas seluruh kaum muslimin untuk mengambilnya, mempraktekkannya dan menyerukan kepadanya.

    Alasan yang digunakan beliau untuk mengatakan bahwa demokrasi merupakan ideologi dan aturan yang kufur adalah dari esensi-esensi yang melandasi terbangunnya demokrasi tersebut. Esensi-esensi tersebut ada lima macam, antara lain:

    Pertama, demokrasi adalah suatu hukum yang berlandaskan pada pemikiran manusia, bukan berdasarkan pada wahyu Allah. Kedua, ia dilandsai oleh suatu aqidah (keyakinan) akan pemisahan agama dari kehidupan yang berikutnya membentuk akibat pada pemisahan agama dengan negara (sekularisme). Ketiga, demokrasi ditegakkan pada dua asas yaitu asas kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Keempat, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara voting yang didasarkan pada suara terbanyak. Kelima, demokrasi selalu berbicara pada persoalan kebebasan secara umum yaitu kebebasan berkeyakinan (agama), kebebasan berpendapat; kebebasan pemikiran, dan kebebasan kepribadian (Abd. Al-Qadim, hal 12). Demikianlah pilar-pilar demokrasi tersebut. Jadi, demokrasi menurut beliau adalah suatu ideologi yang dibangun berdasarkan pilar-pilar di atas.

    Namun yang perlu dikritisi dari tulisan beliau adalah apakah demokrasi itu sebuah ideologi ataukah hanya pemikiran yang bersifat terbuka saja ? Apakah pilar-pilar tersebut merupakan unsur-unsur esensi dari demokrasi ataukah hanya penglihatan fakta terhadap ideologi di dunia ini seperti kapitalisme dan sosialisme ? Serta bagaimanakah sesungguhnya sangkan paran demokrasi tersebut ? Pertanyaan terakhir ini yang – mungkin – bisa menjawab secara obyektif seluruh pertanyaan di atas.

    Demokrasi dari kata yunani Demos, rakyat dan Kratia, pemerintahan; yaitu suatu bentuk pemerintahan yang mergikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama (Ensiklopedia Indonesia 1989, 4 hal 293).

    Jadi demokrasi adalah suatu konsep pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan. Ia adalah anti-tesis dari konsep-konsep pemerintahan sebelumnya, dimana filsuf-filsuf Yunani berpendapat bahwa pemerintahan itu hak dewa (Teokrasi). Pada waktu berikutnya konsep itu berubah menjadi otokrasi, bahwa raja yang merupakan titisan dari dewa sangat berkuasa penuh terhadap kerajaannya. Sehingga lahirlah kedloliman di sana-sini. Dan disaat seperti itulah lahir konsep demokrasi itu.

    Kemudian konsep itu berkembang dan digunakan pada abad modern yaitu awal abad ke-17 dan akhir abad ke-18; dimulai dengan pecahnya revolusi industri yang mengakibatkan Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika. Setelah diletuskannya konsep hak asasi manusia dan hak politik oleh para ahli pada masa itu, seperti John Locke, Volaire dan Jean Jacques Rousseau, bentuk demokrasi semakin berkembang ke arah demokrasi perwakilan. Sebelumnya demokrasi yang berkembang adalah demokrasi langsung, yang hanya diterapkan pada masyarakat Yunani kuno dengan penduduk yang sedikit. Pada abad ke-18 dan ke-19, di Inggris, Amerika dan Eropa telah berkembang sistem demokrasi perwakilan liberal. Dalam sistem ini, dewan perwakilan dijadikan wakil rakyat untuk mengemukakan pendapatnya, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak, pemilihan diadakan secara teratur, hak pilih dimiliki oleh setiap warga yang telah dewasa dan rakyat diberi kebebasan berpendapat. (ibid hlm 293).

    Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa konsep demokrasi itu bersifat dinamis dan terbuka pada setiap ideologi yang masuk padanya. Misalnya, konsep demokrasi yang diterapkan pada abad ke-18 dan ke-19 di Inggris tersebut, menggunakan konsep demokrasi liberal. Karena bangsa Inggris berideologi kapitalisme yang salah satu pilarnya adalah liberalisme. Pada abad ke-20 di Indonesia juga menggunakan konsep pemerintahan dengan demokrasi Pancasila, di mana unsur utamanya terletak pada pemerintahan rakyat, yaitu dari, oleh dan untuk rakyat yang hal itu diungkapkan pertama kali oleh Abraham Lincoln. Karena ideologi yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda dengan ideologi negeri-negeri Barat yaitu kapitalisme, maka – sebenarnya – demokrasi Pancasila sama dengan demokrasi liberal yang diterapkan oleh dunia Barat; dan hanya berbeda sedikit, karena bangsa indonesia adalah bangsa yang “religius”.

    Dari sini, bisa disimpulkan (sementara) bahwa demokrasi itu bukanlah sebuah ideologi. Sebagaiman dikatakan oleh Abd Al Qodim – namun ia hanya pemikiran yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan yang sangat terbuka dari infiltrasi ideologi-ideologi di dunia ini. Pilar-pilar demokrasi yang diungkapkan oleh Abd Al-Qodim Zallum adalah fakta demokrasi yang sudah berkembang dan terinfiltrasi oleh ideologi kapitalisme. Hal itu bisa dilihat pada pilar pertama, kedua serta kelima. Karena inti dari konsep ideologi kapitalisme adalah berdasarkan pemikiran basyar (manusia) dan tidak mengindahkan nilai-nilai normatif ilahi (wahyu) sehingga mereka menganut kebebasan yang tidak terkoridori oleh nilai wahyu tersebut. Hal ini berdampak pada pemisahan antara agama dengan kehidupan dan agama dengan negara, sehingga wajar saja kalau kemudian undang-undang negara yang menggunakan ideologi tersebut menganut dan mengadopsi undang-undang yang dibuat manusia saja tanpa dengan yang lainnya. Inilah fakta demokrasi liberal/demokrasi sosialisme dan kapitalisme.

    Oleh karena itu sangat wajar pula, jika dalam demokrasi liberal, kedaulatan (pembuat undang-undang) ada di tangan rakyat, maksudnya berdasarkan pemikiran manusia saja. Karena sumber hukum bagi mereka bukan wahyu tapi manusia itu sendiri. Jikalau Islam yang masuk pada pemikiran demokrasi, maka tentu akan sangat berbeda dengan konsep demokrasi liberal. Karena Islam didasarkan pada nilai aqidah dan pentauhidan pada Allah saja. Sehingga seluruh aturan dan perilaku kehidupan manusia haruslah berdasarkan pada aqidah tersebut. Jikalau demikian, maka agama tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan dan negara; aturan kenegaraan pun harus berdasarkan pada nilai universal wahyu Allah. Oleh karena itu, kami berpendapat “Demokrasi Islam” tidak mungkin bisa diaplikasikan jika sistemnya masih sistem kufur.



    Bolehkah Menggunakan Istilah Demokrasi Dalam Sistem Islam

    Ada yang berpendapat bahwa menggunakan istilah demokrasi dalam sistem Islam adalah haram. Hal itu berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 104 yang terjemahannya sebagai berikut :

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Nabi Muhammad) : ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah : ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih”.

    Tafsir Ibnu Katsir (Mukhtasar) memahami ayat itu sebagai pelarangan untuk bertasabbuh dengan orang-orang kafir, karena kalimat “Raa’ina” sudah diplesetkan dengan kata “Ru’unah” yang berarti sangat bodoh. Sehingga Allah melarang menggunakan kalimat tersebut lantaran ma’nanya sudah dialihkan oleh orang-orang Yahudi (Mukhtashor Ibnu Katsir, 1981, I hal 102).

    Dari tafsir itu bisa disimpulkan bahwa:

    a. Tasabbuh itu dilarang. Adapun batasan tasabbuh adalah memiliki kesamaan baik dari sisi makna lughowy maupun dari ideologinya. Jadi jika sesuatu itu memiliki kesamaan tapi bertentangan dengan Islam maka sesuatu itu tasabbuh yang haram diambilnya. Namun jika kesamaan tersebut tidak bertentangan dengan ideologi Islam sendiri, maka hal itu bisa diambil dan digunakan dalam sistem Islam jika peristilahan tersebut tidak dimiliki oleh Islam dan cocok dengan ideologinya.

    b. Dalam tafsiran yang lain, ayat tersebut bermakna bahwa jika ada kalimat yang memiliki akar yang sama namun bermakna beda, dan maknanya saling bertentangan terutama dengan sistem Islam, maka haram untuk diambil, seperti Raa’ina dan Ru’unah.

    Adapun demokrasi, sebagaimana disebutkan di atas, secara terminologi berarti pemirintahan rakyat. Hal itu – asal tidak pada konsep demokrasi dalam perkembangannya – tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam (*) yang juga berdasarkan pemerintahan umat. Karena didasarkan pada ideologi Islam maka pemerintahan umat (rakyat) haruslah terikat dengan hukum-hukum syariat.



    Wallaahu a’lamu bish showaab.

    *Kumpulan nasyroh dakwah dan makalah karya Ustadz Drs. Junaidi Sahal (Materi Halaqah Sughra UAKI Unibraw)

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 4:48 am