Menyoal Islam dan Demokrasi
Oleh: Choirul Mahfud
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya
Diskursus Islam dan Demokrasi hingga detik ini masih aktual. Sebab, masih ada banyak anggapan bahwa antara Islam dan Demokrasi sebagai dua kutub yang saling berseberangan. Pasca tragedi 11 september, Islam kerapkali dituduh sebagai agama terorisme yang menyebarkan ajaran anti-demokrasi. Pada titik inilah, perdebatan mulai muncul. Berbagai pertemuan dan forum-forum internasional digelar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Di tanah air, misalnya, International Centre for Islam and Pluralism bekerjasama dengan The Asia Foundation pernah menyelenggarakan pertemuan membahas tersebut beberapa tahun lalu. Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), Syafii Anwar mengatakan bahwa wacana Islam dan demokrasi yang jalan di tempat, perlu didorong agar menghasilkan langkah konkret sehingga bisa langsung diterapkan dalam kehidupan keseharian.
Pertemuan internasional yang merupakan lanjutan dari pertemuan serupa tahun lalu di Manila tersebut mengangkat tema besar Islam and Democratization in Southeast Asia: Challenges and Opportunities. Pertemuan yang ingin mencari titik temu dan berbagi pengalaman di antara negara-negara Asia Tenggara ini coba mencari solusi dan cara terbaik dalam menjalankan prinsip Islam sekaligus mendukung demokrasi.
Pertemuan tersebut di atas, hanyalah satu dari sekian contoh saja. Di Surabaya, misalnya, perbincangan relasi Islam dan Demokrasi juga pernah dihelat di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya. Dalam perspektif pemikir barat, inti persoalan yang dianggap klasik dalam wacana Islam dan demokrasi ini adalah munculnya keraguan terhadap Islam. Keraguan itu muncul berdasarkan fakta-fakta implementasi demokrasi di negara-negara yang secara jelas menyatakan diri sebagai negara Islam. Keraguan itu terwujud dalam pertanyaan, apakah Islam itu kompatibel dengan demokrasi.
Pro dan kontra atas pertanyaan ini selalu muncul hingga akhirnya pertanyaan tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Pasalnya, argumentasi yang diajukan terasa sama kuat dan punya dasar. Persoalan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi sudah sering dipertanyakan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Pertanyaan ini muncul karena kenyataan yang diperlihatkan di negara-negara Islam tidak ada yang memperlihatkan arah terwujudnya demokrasi seperti yang dibayangkan oleh masyarakat Barat. Alih-alih demokrasi seperti yang diinginkan, kenyataan itu juga memperlihatkan otoritarianisme dan puritanisme tampak meluas dalam negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Kenyataan ini pulalah yang memunculkan pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu apakah memang Islam tak bisa hidup bersama dengan sistem demokrasi atau Islam memang tidak kompatibel dengan demokrasi. Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah memaparkan argumentasi bahwa Islam di Indonesia dapat kompatibel dengan demokrasi. Rujukan yang dipergunakan Amien adalah pengalaman praktis di Indonesia selama delapan tahun terakhir. Amien melihat, meskipun banyak kendala dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, Islam moderat yang dominan di Indonesia telah menjadi sumber inspirasi dan pendorong reformasi demokratisasi di Indonesia.
Seperti telah dilakukan dalam berbagai diskusi, seminar yang membahas tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi, akhirnya hanya berputar pada cocok atau tidaknya Islam dengan demokrasi. Segudang argumentasi, dengan landasan ayat dan sejumlah pengalaman telah disebarkan untuk memperkuat pandangan yang menegaskan bahwa Islam itu dasarnya cocok dengan demokrasi atau Islam tidak bisa hidup bersama demokrasi. Pertanyaan kritisnya, so what jika Islam cocok dengan demokrasi atau jika Islam tidak cocok dengan demokrasi. Bukanlah, perjalanan menuju demokrasi tak harus sama persis dengan apa yang sudah dilewati oleh masyarakat Barat. Jawaban atas pertanyaan kritis seperti ini bisa menjadi jalan keluar bagi kebuntuan pemikiran dalam wacana Islam dan demokrasi. Berbeda dengan Amien Rais, Syafii Anwar menjelaskan bahwa jika kita mendefinisikan demokrasi sebagai usaha memberikan ruang pada orang lain untuk berbeda dan dapat menerima mereka, maka kita juga harus bisa menerima dan memberikan ruang pada kelompok Islam garis keras itu sendiri.
Menurut Imam Prihandoko bahwa hakikatnya sejarah memang belum berakhir seperti yang dibayangkan Fukuyama dalam The End of History. Spora demokrasi telah melanglang buana. Begitu spora mendapatkan lahan subur, maka langsung berkembang dan tumbuh pesat. Betulkah tuduhan sebagian pakar yang menyatakan bahwa Islam tidak bisa maju dalam demokrasi karena dalam pemikiran idealnya belum melalui tahapan pencerahan seperti yang dilalui oleh pemikiran Yunani. Sementara itu, kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan demokrasi. Harus diakui, dalam ajaran Islam, menurut mantan Menteri Luar Negeri Thailand Surin Pitsuwan, masih ada hal-hal yang diajarkan dengan dogmatis.
Padahal, ajaran Islam yang dijalankan secara dogmatis inilah, menurut Surin, justru menghambat Muslimin menghirup udara demokrasi. Itu sebabnya pemeluk Islam harus lebih berani melakukan ijtihad dan mengembangkan rasionalitasnya agar bisa hidup damai dalam realitas masyarakat global. Proses demokratisasi yang bergulir di negara-negara Islam saat ini merupakan bagian dari kehidupan global yang harus diakui fakta keberadaannya. Jadi, menurut Surin, sangat tidak arif jika kaum Muslimin yang hidup dalam era ini masih mempertahankan sikap puritanismenya dan merasa bisa hidup sendiri dalam komunitas kecilnya tanpa memedulikan keberadaan komunitas lainnya di dunia.
Bagi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, pertumbuhan Islam sebagai kekuatan konstruksi sosial dan untuk mengembangkan demokrasi tampaknya bisa hadir di Indonesia. Pasalnya, fakta memperlihatkan Indonesia menjadi rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia. Sekitar 90 persen dari 220 juta penduduk Indonesia atau sekitar 198 juta orang beragama Islam. Dan sebagian besar Muslim Indonesia merupakan Islam moderat. Selain itu, pengalaman demokrasi di Indonesia bisa diunggulkan meski masih banyak catatannya.
Dalam prosesnya, Islam bisa menjadi kekuatan moral dan memainkan peran penting dalam politik. Menurut hemat penulis, pertautan Islam dengan demokrasi bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan sebab prinsip-prinsip demokrasi sebetulnya ada pada Islam, seperti prinsip syura atau musyawarah dan kebebasan. Akhirnya, demokrasi sudah seharusnya terus dijaga dan dikembangkan demi terciptanya kehidupan yang harmonis dan sejahtera.***
Oleh: Choirul Mahfud
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya
Diskursus Islam dan Demokrasi hingga detik ini masih aktual. Sebab, masih ada banyak anggapan bahwa antara Islam dan Demokrasi sebagai dua kutub yang saling berseberangan. Pasca tragedi 11 september, Islam kerapkali dituduh sebagai agama terorisme yang menyebarkan ajaran anti-demokrasi. Pada titik inilah, perdebatan mulai muncul. Berbagai pertemuan dan forum-forum internasional digelar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Di tanah air, misalnya, International Centre for Islam and Pluralism bekerjasama dengan The Asia Foundation pernah menyelenggarakan pertemuan membahas tersebut beberapa tahun lalu. Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), Syafii Anwar mengatakan bahwa wacana Islam dan demokrasi yang jalan di tempat, perlu didorong agar menghasilkan langkah konkret sehingga bisa langsung diterapkan dalam kehidupan keseharian.
Pertemuan internasional yang merupakan lanjutan dari pertemuan serupa tahun lalu di Manila tersebut mengangkat tema besar Islam and Democratization in Southeast Asia: Challenges and Opportunities. Pertemuan yang ingin mencari titik temu dan berbagi pengalaman di antara negara-negara Asia Tenggara ini coba mencari solusi dan cara terbaik dalam menjalankan prinsip Islam sekaligus mendukung demokrasi.
Pertemuan tersebut di atas, hanyalah satu dari sekian contoh saja. Di Surabaya, misalnya, perbincangan relasi Islam dan Demokrasi juga pernah dihelat di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya. Dalam perspektif pemikir barat, inti persoalan yang dianggap klasik dalam wacana Islam dan demokrasi ini adalah munculnya keraguan terhadap Islam. Keraguan itu muncul berdasarkan fakta-fakta implementasi demokrasi di negara-negara yang secara jelas menyatakan diri sebagai negara Islam. Keraguan itu terwujud dalam pertanyaan, apakah Islam itu kompatibel dengan demokrasi.
Pro dan kontra atas pertanyaan ini selalu muncul hingga akhirnya pertanyaan tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Pasalnya, argumentasi yang diajukan terasa sama kuat dan punya dasar. Persoalan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi sudah sering dipertanyakan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Pertanyaan ini muncul karena kenyataan yang diperlihatkan di negara-negara Islam tidak ada yang memperlihatkan arah terwujudnya demokrasi seperti yang dibayangkan oleh masyarakat Barat. Alih-alih demokrasi seperti yang diinginkan, kenyataan itu juga memperlihatkan otoritarianisme dan puritanisme tampak meluas dalam negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Kenyataan ini pulalah yang memunculkan pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu apakah memang Islam tak bisa hidup bersama dengan sistem demokrasi atau Islam memang tidak kompatibel dengan demokrasi. Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah memaparkan argumentasi bahwa Islam di Indonesia dapat kompatibel dengan demokrasi. Rujukan yang dipergunakan Amien adalah pengalaman praktis di Indonesia selama delapan tahun terakhir. Amien melihat, meskipun banyak kendala dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, Islam moderat yang dominan di Indonesia telah menjadi sumber inspirasi dan pendorong reformasi demokratisasi di Indonesia.
Seperti telah dilakukan dalam berbagai diskusi, seminar yang membahas tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi, akhirnya hanya berputar pada cocok atau tidaknya Islam dengan demokrasi. Segudang argumentasi, dengan landasan ayat dan sejumlah pengalaman telah disebarkan untuk memperkuat pandangan yang menegaskan bahwa Islam itu dasarnya cocok dengan demokrasi atau Islam tidak bisa hidup bersama demokrasi. Pertanyaan kritisnya, so what jika Islam cocok dengan demokrasi atau jika Islam tidak cocok dengan demokrasi. Bukanlah, perjalanan menuju demokrasi tak harus sama persis dengan apa yang sudah dilewati oleh masyarakat Barat. Jawaban atas pertanyaan kritis seperti ini bisa menjadi jalan keluar bagi kebuntuan pemikiran dalam wacana Islam dan demokrasi. Berbeda dengan Amien Rais, Syafii Anwar menjelaskan bahwa jika kita mendefinisikan demokrasi sebagai usaha memberikan ruang pada orang lain untuk berbeda dan dapat menerima mereka, maka kita juga harus bisa menerima dan memberikan ruang pada kelompok Islam garis keras itu sendiri.
Menurut Imam Prihandoko bahwa hakikatnya sejarah memang belum berakhir seperti yang dibayangkan Fukuyama dalam The End of History. Spora demokrasi telah melanglang buana. Begitu spora mendapatkan lahan subur, maka langsung berkembang dan tumbuh pesat. Betulkah tuduhan sebagian pakar yang menyatakan bahwa Islam tidak bisa maju dalam demokrasi karena dalam pemikiran idealnya belum melalui tahapan pencerahan seperti yang dilalui oleh pemikiran Yunani. Sementara itu, kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan demokrasi. Harus diakui, dalam ajaran Islam, menurut mantan Menteri Luar Negeri Thailand Surin Pitsuwan, masih ada hal-hal yang diajarkan dengan dogmatis.
Padahal, ajaran Islam yang dijalankan secara dogmatis inilah, menurut Surin, justru menghambat Muslimin menghirup udara demokrasi. Itu sebabnya pemeluk Islam harus lebih berani melakukan ijtihad dan mengembangkan rasionalitasnya agar bisa hidup damai dalam realitas masyarakat global. Proses demokratisasi yang bergulir di negara-negara Islam saat ini merupakan bagian dari kehidupan global yang harus diakui fakta keberadaannya. Jadi, menurut Surin, sangat tidak arif jika kaum Muslimin yang hidup dalam era ini masih mempertahankan sikap puritanismenya dan merasa bisa hidup sendiri dalam komunitas kecilnya tanpa memedulikan keberadaan komunitas lainnya di dunia.
Bagi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, pertumbuhan Islam sebagai kekuatan konstruksi sosial dan untuk mengembangkan demokrasi tampaknya bisa hadir di Indonesia. Pasalnya, fakta memperlihatkan Indonesia menjadi rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia. Sekitar 90 persen dari 220 juta penduduk Indonesia atau sekitar 198 juta orang beragama Islam. Dan sebagian besar Muslim Indonesia merupakan Islam moderat. Selain itu, pengalaman demokrasi di Indonesia bisa diunggulkan meski masih banyak catatannya.
Dalam prosesnya, Islam bisa menjadi kekuatan moral dan memainkan peran penting dalam politik. Menurut hemat penulis, pertautan Islam dengan demokrasi bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan sebab prinsip-prinsip demokrasi sebetulnya ada pada Islam, seperti prinsip syura atau musyawarah dan kebebasan. Akhirnya, demokrasi sudah seharusnya terus dijaga dan dikembangkan demi terciptanya kehidupan yang harmonis dan sejahtera.***
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as