Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    jurnalisme publik vs jurnalisme humanis

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    jurnalisme publik vs jurnalisme humanis Empty jurnalisme publik vs jurnalisme humanis

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 4:00 pm

    Jurnalisme
    Publik dan Jurnalisme Humanis



    (Mengkaji Pers
    Mahasiswa Sebagai Pers Alternatif
    )

    Oleh: Dwidjo Utomo Maksum







    "Suatu masyarakat yang
    merdeka lahir atas dasar kebeba­san untuk memilih serta
    kebebasan untuk menyatakan pendapat. Kita dapat
    mengenali suatu pemerintahan tirani, bukan hanya dari dilarangnya
    kebebasan memilih, tetapi juga dari dilarangnya pers yang bebas".


    Alex Springer







    I


    Dalam paradigma
    eksistensial, Pers dapat dilihat dalam perspektif ganda. Hal ini
    berangkat dari pemikiran dasar mengenai hakekat keberadaan Pers
    sendiri. Yaitu, bahwa Pers memiliki banyak elemen yang membuat
    keberadaannya menjadi amat multi dimensional, dimana
    unsur pelaku (jurnalis) merupakan salah satu elemen
    terpenting. Karena dari kerja jurnalistik inilah muncul
    sebuah karya yang kemudian disebut Pers. Selanjutnya dalam perkem­bangannya
    Pers sering juga disebut sebagai Institusi Sosial. Mengingat bahwa sebuah
    produk Pers selalu membawa makna-makna yang berkaitan dengan
    kehidupan sosial (didalamnya mengandung kaitan antara Pers dan
    Kekuasaan).



    Dengan keragaman
    elemen yang ada di dalamnya, Pers seakan mampu
    menjembatani segala polarisasi yang beredar dalam ruang lingkup
    kehidupan manusia. Namun benarkah bahwa Pers telah benar-benar
    mampu menjadi mediator sosial yang ideal. Bukankah dalam banyak
    kasus di berbagai negara, sistem kekuasaan banyak berpengaruh atas
    keberadan sistem Pers-nya. Dan tentunya Indonesia bukan termasuk negara yang
    terhindar dari kenyataan seperti itu.



    Mengenai adanya
    intervensi sistem kekuasaan dalam kehidupan Pers
    di Indonesia, indikasi yang paling jelas adalah
    adanya lembaga SIUPP. Meskipun kini SIUPP sudah almarhum, hal ini perlu
    dikupas sebagai referensi dasar dalam membicarakan Pers Alternatif. Peraturan
    Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984 yang berbunyi:



    SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan
    pers/penerbitan pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan
    setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers,1



    membuktikan
    betapa kesetaraan sebagai institusi sosial antara negara dan Pers menjadi
    amat berbeda. Dimana dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah
    tersebut, jika SIUPP dicabut oleh pemerintah (Departemen Penerangan)
    akibat yang ditimbulkan adalah mekanisme kerja sebuah institusi
    Pers terhenti. Yang diakui atau tidak telah mengakibatkan adanya
    Pembredelan
    . Dalam hal ini logika hukum ternyata tidak
    mampu merasionalkan keberadaan lembaga SIUPP dengan segala
    eksesnya.2 'Kekuasaan', kalau kita bisa
    sebut demikian, untuk ikut menentukan keputusan yang
    tadinya fifty-fifty, berubah menjadi ada pihak
    yang dominan dan ada pihak yang hanya punya kesempatan untuk sekedar
    memberikan saran.3






    II


    Dalam wacana Pers di
    Indonesia, Pers yang memiliki kaitan amat erat
    dengan sejarah perjuangan bangsa adalah Pers Mahasiswa. Hal ini
    bisa dilihat dari proses awal kemun­culan Pers di Indonesia sejak era
    pra-merdeka yang diawali dengan munculnya Pers yang diterbitkan oleh
    kalangan maha­siswa. Dan tak salah jika dikatakan Pers Mahasiswa muncul
    secara bersamaan dengan bangkitnya perger­akan nasional.4



    Dengan menggunakan
    wacana Pers Umum, secara empiris kondisi Pers Mahasiswa
    sempat juga menga­lami banyak pelemahan, ketika harus berhadapan dengan
    kekuasaan. Terbukti dengan begitu banyaknya Pers Mahasiswa
    yang di­bredel. Namun dalam batasan-batasan tertentu, Pers Mahasiswa
    ternyata lebih berdaya dalam mengantisipasi pembredelan
    tersebut. Banyak sekali contoh, ketika sebuah Lembaga Pers
    Mahasiswa (LPM) mengalami pembredelan, mereka mencoba tetap terbit
    meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Di sisi lain proses
    perlawanan mengenai kasus pembredelannya juga secara masif terus
    dijalankan. Karena bagaimanapun juga upaya menegakkan Kebebasan Pers merupakan
    sebuah sikap yang konstitusional seperti dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.



    Dari
    sisi psikologi, sebenarnya Pers Mahasiswa lebih memiliki
    peluang menegakkan kemandirian pers sebagai Pers Perjuangan.
    Karena kekhawatiran akan dicabutnya SIUPP atau STT seperti
    yang selalu menjadi kendala bagi Pers Umum (pada
    era sebelum reformasi) barang kali telah menjadi sebuah imunitas bagi Pers
    Mahasis­wa. Dan dalam hirarki perjuangannya, menegakkan
    kebebasan pers merupakan salah satu
    agenda perjuangan Pers Mahasiswa. Karena bagaimanapun juga
    salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepentingan
    masyarakat dan membantu meniada­kan kondisi yang tidak diinginkan.5






    III


    Dengan adanya kenyataan
    tentang pembredelan yang men­dera Pers Mahasiswa, hal
    ini justru membuktikan bahwa kerangka dan nafas Pers
    Perjuangan di Indonesia masih hidup. Dengan tingkat represi yang
    begitu tinggi terhadap Pers Mahasiswa, ternyata Pers
    Mahasiswa tetap mencoba untuk eksis. Namun perjuangan ini
    tentunya harus senantiasa dilan­dasi dengan satu keyakinan tentang kekuatan
    moralitas dan etika yang bersumber dari kemapanan
    nilai-nilai humanisme dan berbasis pada nilai-nilai
    kerakyatan. Tanpa hal itu perjuangan Pers Mahasiswa akan
    bergeser menjadi sebuah aktivitas jurnalistik tanpa nilai
    (jurnalisme semu).



    Disamping Pers
    Mahasiswa senan­tiasa berhadapan dengan kekuasaan, pada
    sisi lain Pers Mahasiswa ternyata juga banyak mengalami
    kendala internal. Baik yang bersifat fasilitatif maupun
    kendala sumber daya manusia.



    Secara fasilitatif Pers
    Mahasiswa berdiri pada ambang batas dimana antara realitas dan
    idealisme harus terus berjalan. Sebuah posisi yang sama-sama
    memerlukan penguatan progressifitas. Namun hal itulah yang
    sebenarnya merupakan fundamen yang paling dasar bagi Pers Mahasiswa menuju
    kearah yang diidealkan. Sehingga wacana mengenai Pers
    Mahasiswa sebagai Pers Alternatif bukanlah merupakan keniscayaan lagi. Di
    saat Pers Umum semakin tergantung oleh sistem kekuasaan yang
    seringkali menimbulkan dehumanisasi, barangkali Pers
    Mahasiswalah sebagai sebuah jawaban.






    IV


    Nah, mencermati berbagai
    fenomena mutakhir di negeri ini, tampaknya ada sejumlah pergeseran pada tataran
    kekuatan opini. Khususnya pada masa sekarang yang kerap juga disebut era
    reformasi. Pada masa oerde baru dulu, banyak permasalahan yang
    menunjukkan membengkaknya 'paranoia' di kalangan masyarakat luas. Mungkin
    hal ini agak berlebihan jika dipandang dari sudut konstalasi global. Namun jika diteliti lebih lanjut
    lewat berba­gai fragmentasi dan kondisi parsial di sekitar kita, banyak kasus
    yang dapat dipakai indikator
    bahwa kekuatan moral masyarakat kita pun juga telah
    terjangkit epidemi ketakutan tersebut. Hal mana diakibatkan oleh
    kondisi semakin melemahnya lembaga-lembaga yang berkaitan dengan opini
    dan kebijakan publik.






    Meski dalam
    batasan-batasan praksis upaya yang bersifat
    aksioner telah banyak dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat
    untuk membuat nilai tawar terhadap proses pelemahan
    tersebut namun ternyata hal itu tidak banyak memberi arti. Bahkan
    cenderung mengarah ke sebuah 'submission point',
    titik kepasrahan, ketika wacana legal institutif yang coba dipakai
    ternyata menga­lami kebuntuan juga. Seperti apa yang
    dikatakan Rosihan Anwar dalam
    menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengalahkan
    gugatan Tempo dalam kasus pencabutan SIUPP,



    "Kini dengan
    putusan MA itu, janganlah diharapkan prospek
    kemerdekaan pers cerah adanya, apalagi dengan keterangan Ketua MA bahwa pencabutan
    SIUPP tidak sama dengan pembredelan
    pers. Jadi segala itu tidak ada hubungannya dengan soal kemer­dekaan pers.
    Jalan pikiran yang seperti diperlihatkan Ketua MA itu sulit sekali
    diikuti. Dimana logikanya, hanya Tuhan Yang Maha Tahu".
    6








    V


    Dalam situasi dan
    kondisi seperti itu, Pers yang sebenarnya bisa menjadi salah satu
    alternatif bagi pemberdayaan moral ma­syarakat ternyata juga mengalami
    pergeseran nilai. Meskipun dalam wacana
    idealistik ada semacam kredo penting menyangkut
    eksistensi pers dalam lingkaran kehidupan masyarakat.
    Yakni, bahwa salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepen­tingan
    masyarakat dan membantu meniadakan kondisi yang
    tidak diinginkan.
    7


    Namun
    dengan merujuk pada kenyataan seperti apa yang dikatakan Rosihan
    dan barangkali juga sekian banyak anggota
    masyarakat yang lain tentang kemerdekaan pers, adalah merupakan hal
    yang ironis ketika harapan ditimpakan kepada institusi pers.



    Beberapa fakta dan realita yang
    kita dapatkan pada diri pers menyangkut proses pemberdayaan masyarakat
    ternyata justru amat jauh dari yang diharapkan. Bahkan cenderung
    mengarah pada proses dehumanisasi yang sebenarnya merupakan sebuah proses
    pendangkalan moralitas dan pengekangan sikap kedewasaan bernegara. Sidang
    pembaca sebagai elemen pokok dalam dunia pers ternyata
    harus dikalahkan dengan berbagai praktik rekayasa muatan
    redaksional. Pers tidak segan-segan menghilangkan sama sekali
    berita yang menyangkut opini publik dan menggantinya dengan berita
    seremonial pengguntingan pita tanda peresmian gedung
    perkantoran sekedar untuk mengamankan urat nadinya (baca SIUPP).






    Fakta ini barangkali tidak sekeras apa yang pernah
    dikatakan oleh Prof. A. Muis men­yangkut keprihatinannya
    terhadap pers Indonesia, karena terlalu mengutamakan tanggung jawab
    politik, sehingga banyak media menga­lihkan perhatiannya kepada
    hal-hal yang kurang memperlihatkan norma-norma moral
    Pancasila, seperti munculnya kecenderungan mengeksploitasi
    selera rendah.
    8


    Dengan merujuk pada fakta yang menunjukkan adanya
    proses dehumanisasi dalam dunia Pers, elemen alternatif
    manakah yang bisa dipakai untuk menjaga sifat humanis masyarakat? Ketika
    telah begitu banyak makam demokrasi dihiasi oleh
    nisan-nisan korban pembredelan, media alternatif apa yang
    bisa dimanfaatkan untuk mengembalikan nilai humanitarianisme
    sebagai sebuah kekuatan dan kedewasaan sebuah bangsa? Mengingat bahwa
    ketika sebuah bangsa kehilangan nilai humanis-nya, apakah perada­ban dan
    ketinggian budaya yang menyangkut etika dan moral bangsa tersebut
    masih layak dipakai untuk menjaaga soliditas kebang­saannya? Seuntai pertanyaan
    yang memang sangat sulit dijawab, kecuali hanya dengan
    kekuatan moral yang ditempa dari penajaman visi humanisme keseharian,
    yang niscaya sanggup mematahkan ling­karan setan yang mengungkungi
    keberadaan Pers Indonesia.



    Indikasi adanya
    degradasi wacana humanitarianisme dalam
    konstruksi Pers sudah mendekati titik kritis. Dimana Pers Umum
    lewat berbagai muatannya telah mengarah pada penghindaran pem­bentukan
    opini publik. Karena disaat
    mencoba untuk menjaga nilai-nilai tersebut ternyata
    harus beresiko amat tinggi yakni mengalami pembredelan dari
    rejim pemerintah, yang eksesnya akan mepengaruhi stabilitas investasi
    dari institusi pers itu sendiri. Oleh karena itu betapa
    mencemaskan juga kalau yang memiliki konglomerasi pers tidak
    lain adalah pengusaha yang terkenal dekat dengan pusat kekuasaan. Kalau
    pengusaha pers merasa kepentingan mereka sejalan dengan kepentingan
    kelompok tertentu dalam pemer­intah, sehingga mulai memakai
    media yang dimilikinya sebagai tangan negara dalam
    mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat umum masyarakat.
    9


    Hal ini dikarenakan
    amat bergantungnya Pers pada sistem ekonomi politik dan
    struktur sosial dari negara dimana Pers itu berada.
    10 Yang mana dalam kondisi
    seperti negara Indonesia persoa­lan ini menjadi sesuatu hal yang tak dapat dielakkan juga, dan pada
    gilirannya menjadikan pers semakin 'vulnerable', rapuh. Dan pada tahap inilah sudah sewajarnya
    bila Pers Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan Pers alternatif harus
    sanggup mencegah berlarutn­ya proses dehumanisasi yang kian
    transparan dapat kita lihat dalam media massa yang beragam dan
    banyak dipengaruhi unsur-unsur kapitalistik.






    Namun kini dengan terbukanya kran kebebasan pers yang
    seluas-luasnya, bagaimana konstalasinya. Benarkah ketakutan dan keterpasungan
    informasi tersebut telah sirna?
    Bagaimana pula posisi pers dalam era yang segalanya begitu meruyak, di
    mana bayang-bayang sensor dan represi nyaris sirna sama sekali?






    VI


    Dalam
    mencari formulasi strategis Pers Mahasiswa sesungguhnya tak ubahnya
    dengan memotret realitas sosial di masyarakat luas. Untuk itu
    salah satu pijakan mendasar yang
    bisa dipakai sebagai arah perjuangan adalah dengan
    menciptakan kolaborasi nilai dengan realitas sosial itu sendiri. Adalah sesuatu
    yang mustahil ketika kita menempatkan Pers Mahasiswa
    sebagai media Perjuangan namun kita sendiri teralienasi dari fenomena
    yang ada dalam wacana humanisme sosial. Hal ini barangkali amat
    berkaitan dengan konsep gerakan mahasiswa pada umumnya (dimana Pers
    Maha­siswa ada didalamnya), yang harus senantiasa
    berposisi pada nilai-nilai kerakyatan. Dan keberpihakan pada nilai
    moralitas dan etika merupakan sebuah keharusan dalam proses perjalanannya.



    Selanjutnya, tambang
    terbesar bagi berkembangnya humanitar­ianisme
    dalam Pers Mahasiswa adalah posisinya yang independen.
    Sifat-sifat khas yang dimiliki oleh Pers Mahasiswa amat memung­kinkan
    terciptanya keberlangsungan tanpa
    adanya kekhawatiran terhadang oleh Pembredelan. Bukankah
    ketika sebuah Pers Mahasiswa dinyatakan dibredel, ternyata dia tetap berupaya
    untuk terbit dan akan tumbuh lagi. Hal ini berbeda dengan kondisi Pers
    Umum yang amat bergantung pada pemilik modal dan rejim yang sedang
    memerin­tah sehingga memungkinkan terjadinya intervensi
    didalamnya. Sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan
    mampu diemban oleh Pers Mahasiswa bukan lagi menjadi sebuah keniscayaan.






    Pada tanggal 6 Desember 2001, dalam rapat kerja Komisi I
    DPR, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Mu’arif melontarklan
    kritik keras terhadap pers. Menurutnya ada lima penyakit yang merusak pers
    Indonesia pada era reformasi. Yaitu: Pornografi, character assassination,
    berita bohong dan profokatif, iklan yang tidak lagi sesuai dengan dimensi yang
    sesungguhnya serta banyaknya wartawan liar yang tak jelas institusinya. Kelima penyakit tersebut diyakini telah
    memicu pola pemberitaan yang tidak lagi proporsional.






    Fakta
    seperti itu, diakui atau tidak memang bisa dirasakan kebenarannya. Pada situasi
    seperti itu, tampaknya Pers Mahasiswa tetap memiliki peran yang sangat
    siginifikan dalam menjembatani fenomena tersebut. Dalam hal ini selayaknya Pers
    Mahasiswa mengambil posisi sebagai pemihak kepentingan publik dengan mengusung
    kredo-kredo yang sarat dengan kekuatan humanistik. Jika posisi tersebut bisa
    diraih, niscaya Pers Mahasiswa tetap memiliki peran alternatif yang jauh lebih
    luhur. Yaitu menjadi penyebar perasaan damai nan jauh dari kecemasan dan rasa
    takut akibat dari tak terbendungnya kebebasan pers itu sendiri. Nah.






    .....Memang sampai kini saya tidak mengerti bagaimana
    orang dapat merasa terhormat diatas penghinaan yang diderita oleh sesamanya
    11





    Catatan :


    1.
    Lihat PERATURAN MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA No.
    01/PER/MENPEN/1984



    2.
    Lihat proses gugatan Tempo


    3.
    Rustam F. Mandayun, "Siapakah yang Melindungi Wartawan ?"dalam "Pers, Hukum dan Kekuasaan",
    Cetakan Pertama, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994, Halaman
    xiii.



    4.
    Amir Effendi Siregar, "Pers Mahasiswa Indonesia :
    Patah Tumbuh Hilang Berganti",
    Karya Unipres, Jakarta, 1983.



    5.
    Edwin Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee, "Introduction
    to Mass Communication",
    Third Edition, New
    York, Dodd Medd & Company, Inc.



    6.
    Rosihan Anwar, "Tempo dan Mahkamah"
    dalam Forum Keadilan : Edisi 6, Tahun V, 1 Juli 1996.



    7.
    Edwin Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee, "Introduction
    to Mass Communication
    ", Third Edition, New York
    ; Dodd Mead & Company, Inc.



    8.
    Prof. A. Muis, Kompas No. 86 Tahun 27, 24 September 1991, hal 1
    dalam Ana Nadya Abror, "Berjuang Menghadapi
    Perkembangan Masa",
    Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta,
    1992.



    9.
    David T. Hill dalam kata Pengantar buku "Pembredelan
    Pers di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya".
    Ignatius
    Heryanto, "Pembredelan Pers Di Indonesia Kasus Koran Indonesia
    Raya",
    Cetakan Pertama, LSPP Jakarta, 1996.



    10.
    E. Lioyd Sommerlad, "The Press in Developing Countries",
    1996.



    11.
    M. K. Gandhi, "Gandhi Sebuah Otobiografi",
    Cetakan Keempat,Sinar Harapan Jakarta, 1985. Alih Bahasa : Gd.
    Bagoes Oka.



    ----------------------------------------------------------------------------------------------------





    Disampaikan Dalam Forum Pendidikan dan Latihan


    Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di Universitas Brawijaya
    Malang, Senin 13 Mei 2002






    --------------------------------------------------------------------------------

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 8:22 pm