Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    menggagas jurnalisme empati

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    menggagas jurnalisme empati Empty menggagas jurnalisme empati

    Post by sumanto Sun Aug 08, 2010 8:25 pm




    Menggagas Jurnalisme Empati
    Oleh:
    Stanley*,
    2005-04-12 11:51:47










    Dunia jurnalisme sejak akhir 1999 telah memunculkan
    pendekatan jurnalisme baru yang disebut sebagai jurnalisme damai. Sebelumnya
    di kalangan pendukung lingkungan dan gerakan oposisi di Indonesia, telah
    beredar semacam praktek jurnalisme advokasi yang tak lain adalah upaya
    menyuarakan kaum tak bersuara (voicing the voiceless) antara lain
    kelompok masyarakat adat, kaum perempuan, anak, usia lanjut serta kelompok
    minoritas lainnya yang termarjinalisasi dalam proses pembangunan.




    Perlu
    diketahui bahwa kelompok marjinal seperti kaum miskin yang mencapai angka 40
    juta orang, ditambah para perempuan, orang tua, anak-anak, masyarakat
    terasing, kaum gay, waria dan lainnya, selama ini tak mendapat tempat yang
    cukup dalam media kita. Media lebih banyak meliput para elit (politik,
    ekonomi maupun selebritis).




    Yang jadi
    pertanyaan, apakah pers lupa pada kelompok mayoritas yang hanya diam tanpa
    kemampuan bersuara? Apakah kata-kata yang muncul dalam media hanyalah
    kata-kata hampa makna yang tak mampu mendorong orang untuk bertindak?




    Banyak pemikir
    media saat ini mengaris-bawahi perlunya mengembangkan model komunikasi
    empati. Khususnya ketika perubahan kehidupan (bernegara) tak lagi seirama
    dengan apa yang diharapkan (masyarakat).




    Mereka yakin
    perlu dikembangkan sebuah model jurnalisme empati di tengah memudarnya
    kemampuan berkomunikasi secara empati antar pesonal, kelompok, organisasi
    maupun antar budaya. Semua itu berperan dalam mengikis kemampuan komunikasi
    empati orang-orang yang selama ini melakukan komunikasi massa di ruang
    publik.




    Kita bisa
    memeriksa kembali bagaimana para pasangan kandidat presiden dan wakil
    presiden dalam kampanye Pemilu 2004 lalu berlomba-lomba mempraktekkan
    komunikasi empati melalui iklan dan kampanye mereka. Namun setelah muncul
    presiden dan wapres yang baru, justru yang berkembang adalah komunikasi
    anti-empati antara pimpinan pemerintahan dengan masyarakat.




    Hampir semua
    menteri juga dijangkiti “penyakit” komunikasi yang sama. Demikian pula
    jurubicara kepresidenan yang sebetulnya bisa menjembatani kesalahpahaman
    dengan menjelaskan duduk perkara sebuah persoalan, malah kerap menjadi biang
    kerok dari persoalan itu sendiri.




    Apakah
    komunikasi empati itu?




    Kata “empati”
    (empathy) berasal dari kata “einfuhlung
    yang pertama kali digunakan oleh seorang psikolog Jerman. Secara harafiah
    kata tersebut berarti “merasa terlibat”. Empati sendiri didefinisikan sebagai
    sikap dan kemampuan untuk melihat dunia dari sisi orang lain. Ibarat seorang
    dokter yang sedang mengobati pasiennya, si dokter harus bisa melihat dunia
    dari kaca mata pasiennya.




    Dalam
    jurnalisme empati, seorang wartawan harus bisa mengerti kemauan khalayak
    pembaca/pendengarnya. Pentingnya sikap empati dalam komunikasi dinyatakan
    oleh psikolog terkemuka, Carl Rogers, “kendala utama bagi komunikasi antar
    personal satu sama lain adalah kecenderungan alamiah kita untuk menghakimi,
    menilai, menyetujui atau membantah pernyataan orang lain atau pun pernyataan
    kelompok”.




    Dengan demikian,
    kegagalan komunikasi lebih disebabkan karena kurangnya kemampuan mendengarkan
    dengan empati. Kunci untuk mendengarkan secara efektif yang merupakan kunci
    dari komunikasi yang efektif tak lain adalah empati.




    Pada dasarnya
    seorang pembicara atau penulis yang baik adalah pendengar yang baik. Bicara,
    menulis, dan mendengarkan adalah bagian esensial dari tindakan komunikasi
    yang membentuk kehidupan ini. Cinta, benci, rindu, pengertian, dan salah
    pengertian terbangun lewat bicara, menulis, dan mendengarkan.




    Empati
    memungkinkan kita untuk memahami—secara emosional dan intelektual—apa yang
    sedang dialami orang lain. Empati tak akan terlalu bermakna jika kita tidak
    mampu mengkomunikasikan pemahaman empati ini kepada orang lain.




    Dalam empati,
    kita sebetulnya tidak perlu menempatkan diri kita pada posisi orang lain.
    Kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain.
    Dengan berempati kita membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang
    lain. Model komunikasi ini berlandaskan pada kesadaran untuk memahami
    perasaan, kepedulian dan perhatian terhadap komunikan atau siapapun—dengan
    segala latar belakang kehidupan dan budayanya—orang yang kita ajak bicara.




    Sikap dan
    pemahaman ini akan menumbuhkan pemahaman dan memperbaiki komunikasi secara
    tepat dalam kehidupan sehari-hari.




    Saat ini
    kemampuan jurnalisme yang mengedepankan empati tampaknya kian dibutuhkan
    untuk memperbaiki berbagai kegagalan komunikasi antar personal, komunikasi
    kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi sosial, ataupun komunikasi antar
    budaya yang kerap menyulut kesalahpahaman, sikap saling menghakimi, saling
    menyalahkan, dan bahkan konflik kekerasan yang sewaktu-waktu bisa mengancam
    hubungan sesama warga bangsa yang heterogen ini.




    Ruang publik
    (media) kita dewasa ini dipenuhi dengan prasangka, ketidakpercayaan, sikap
    kesombongan dari orang kepada sekelompok orang, dari penguasa kepada
    rakyatnya, dan dari rakyat kepada pemerintahnya dan seterusnya.




    Untuk itulah
    perlu digagas kembali perlunya sebuah jurnalisme empati sebagai antitesis
    terhadap berkembangnya jurnalisme yang mengedepankan kontroversi, keanehan,
    dan talking news. [A]






    Tabel 1. Ciri Jurnalisme Empati



































    Jurnalisme Mainstream

    Jurnalisme Empati

    Titik Perhatian

    Pertikaian, skandal, pernyataan kontroversial
    (misalnya: ucapan “I don’t care” SBY, atau ucapan Aburizal Bakri, “kalau
    menilai harga elpiji terlalu tinggi, ya tak usah beli elpiji’’, dll


    Sikap pengertian dan upaya memahami posisi serta
    kesulitan orang lain yang berbeda pendapat


    Isi

    Sikap permusuhan, kebencian, tantangan, sengaja
    dimuat pernyataan yang mengundang kemarahan banyak pihak agar beritanya
    bisa ditindak-lanjuti


    Pernyataan-pernyataan yang mengundang kebencian dan
    permusuhan dianggap tidak perlu dikutip, perbedaan dikedepankan sebagai
    cara pandang wajar yang perlu dikemukakan sebagi upaya untuk saling
    memahami


    Tujuan

    Kian banyak tiras yang terjual, atau rating yang tinggi untuk media
    elektronik


    Munculnya komunikasi yang sehat dan pencarian solusi
    bersama


    Cara pandang dan angle

    Membabi buta terhadap pernyataan narasumber. Misalnya
    ucapan Gubernur DKI Sutiyoso yang menyatakan bahwa “penggusuran akan
    diteruskan, karena mereka itu melanggar hukum karena telah menduduki
    tanah-tanah kosong milik negara dan bantaran sungai”


    Mencoba memahami dari sisi yang berbeda. Misalnya:
    dengan mencoba menggali persoalan kenapa ada urbanisasi dari desa ke kota,
    kenapa ada orang mau tinggal di kawasan rawan yang mudah terkena bencana,
    melihat rakyat yang tinggal di tanah kosong dan bantaran sungai sebagai upaya
    survival masayarakat golongan bawah sementara pemerintahnya tak bisa
    menjamin kehidupan mereka secara layak


    Narasumber

    Antar pihak yang bertikai, tokoh, elit

    Memberikan ruang yang adil bagi semua pihak, terutama
    kaum tak bersuara, yang pernyataannya jarang dikutip, untuk mengemukakan alasan masing-masing




    *Wartawan senior, pendiri sekaligus anggota Majelis
    Etik, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan kini bekerja sebagai Direktur
    Institut Studi Arus Informasi (ISAI).






    Tentang Ombudsman:

    Mewakili kepentingan pembaca, penulis artikel
    ini adalah ombudsman untuk Acehkita. Ombudsman dalam sebuah media adalah
    institusi yang berdiri sendiri, di luar redaksi. Ombudsman tidak tunduk dan
    berada di luar struktur keredaksian. Ombudsman bekerja secara independen
    sebagai pihak ketiga yang menjembatani ruang redaksi dengan ruang
    publik/pembaca.




    Di Acehkita, ombudsman bahkan tidak menerima reward
    dari redaksi, melainkan dari donatur yang menginginkan agar media ini
    terkontrol secara profesional. Penunjukkan ombudsman dilakukan bersama-sama
    antara wakil redaksi dan pihak donatur.




    Salah satu tugas ombudsman adalah mengawasi
    kualitas dan akurasi pemberitaan dari media yang dipantaunya. Maka ombudsman
    menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan atas ketidakakuratan
    pemberitaan dalam situs ini, termasuk penyimpangan dan penyalahgunaan kode
    etik jurnalistik di lapangan.




    Untuk itu, ombudsman berhak memeriksa catatan
    reporter, rekaman dan notulensi rapat redaksi. Semua keluhan dan pengaduan
    dapat disampaikan langsung kepada ombudsman acehkita melalui email
    stanley@isai.or.id.


      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 11:36 pm