JURNALISME
SASTRAWI
Jurnalisme sastrawi
adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme.
Wartawan Amerika Serikat Tom Wolfe pada 1973 memperkenalkannya dengan nama new journalism. Ada juga yang memakai
nama narrative reporting. Ada juga
yang pakai nama passionate journalism.
Wolfe mengatakan ada
empat hal yang membuat genre ini berbeda dengan penulisan feature yang biasa dipakai suratkabar Amerika Serikat pada dekade
itu. Pertama, ia mengandalkan dialog dan adegan dalam tulisannya. Kedua, teknik
reportasenya dikenal dengan teknik immerse
reporting di mana reporter seakan-akan menyusup dalam cerita yang sedang
dikerjakannya. Ketiga, reportasenya tak sekedar meliput dua pihak tapi multi
liputan. Keempat, waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.
Panjang tulisan dalam
genre ini biasanya panjang. Majalah The
New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul
"Hiroshima" dalam satu edisi majalah pada Agustus 1946.
Di Indonesia belum ada
suratkabar yang memakai gaya ini. Salah pengertian yang sering terjadi di
Indonesia, jurnalisme sastrawi diidentikkan dengan bahasa yang puitis. Padahal
jurnalisme ini bahasanya tak harus mendayu-dayu. Bahasa biasanya bahkan lugas.
Menurut Robert Vare,
wartawan Amerika Serikat, yang pernah bekerja buat The New Yorker dan The
Rolling Stone, ada tujuh pertimbangan sebelum seorang wartawan hendak
mengerjakan laporan bergaya ini.
Fakta
Jurnalisme selalu mensakralkan
fakta. Walaupun genre ini memakai kata "sastra" tapi ia tetap
jurnalisme. Karena itu fakta juga sakral baginya. Setiap detail seyogyanya
berupa kenyataan. Akurasi disucikan. Nama-nama orang adalah nama-nama
sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian.
Apabila ada dua orang
bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada
keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.
Orang mungkin bisa lupa.
Orang mungkin bisa berubah persepsi, seiring perjalanan waktu. Tapi minimal,
esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B bila hendak dilaporkan
dalam jurnalisme.
Kalau berbeda?
Ada dua pilihan. Tidak
dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu penting, dilaporkan saja dari
dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini tapi si B bilang lain lagi.
Tapi perbedaan bisa
tidak terletak pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna
dinding, bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa
diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk pergi
ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail di lapangan.
Konflik
Sebuah tulisan panjang
lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Ini bisa berupa
pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar
kelompok.
Konflik juga bisa berupa
pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa
pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata,
pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.
Karakter Jurnalisme
sastrawi mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter membantu daya pikat
suatu laporan. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama
seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga
kepribadian yang menarik. Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang
yang mudah menyerah biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya).
Akses
Si reporter seyogyanya
punya akses pada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama.
Akses bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara
dan sebagainya.
Akses kepada karakter
utama ini kurang lebih bisa disamakan dengan akses yang dimiliki oleh seorang
penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke masalah-masalah pribadi
karakter utama. Soal percintaan, skandal, kejahatan dan sebagainya.
Emosi
Jurnalisme sastrawi
membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa cinta. Bisa
berupa pengkhianatan. Kebencian. Loyalitas. Kekaguman. Sikap menjilat.
Oportunisme dan sebagainya.
Emosi menjadikan cerita
kita seakan-akan hidup.
Emosi karakter juga bisa
berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si karakter menghormati
mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati
mentornya atau tidak.
Di sini mungkin ada
pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya memberikan
ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia memenangkan
pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia dikhianati istri atau
suaminya?
Perjalanan Waktu
Mungkin perbedaan antara
jurnalisme sehari-hari dengan jurnalisme sastrawi adalah keterkaitannya dengan
waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar "hari ini" dengan
sebuah potret. Snap shot. Sedangkan
laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video.
Vare menyebutnya
"series of time." Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki
konsekuensi penyusunan kerangka karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal
hingga akhir. Atau mau membuat flashback.
Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik apa benang merahnya
supaya pembaca tidak bingung?
Panjangnya waktu
tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa dibuat dalam
kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua
tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu
bergulat hidup dan mati di ruang operasi.
Kebaruan
Ada unsur kebaruan yang
harus dipertimbangkan bila hendak membuat laporan panjang. Tak ada gunanya
mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari
kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. John Hersey
dalam "Hiroshima" mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta,
seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi pemboman
Hiroshima.
Secara detail, Hersey
menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom
rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan
rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah
satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika.
Hersey mempublikasikan
karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima.
Konon fisikawan nuklir
Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The
New Yorker pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena
ia berlangganan. Tapi Eistein ingin membeli enam buah lagi buat teman-temannya.
Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan.
Apa artinya?
Sederhana saja. Einstein
menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang baru. Hersey menemukan
sisi bengis dari bom nuklir! Itu saja. ***
SASTRAWI
Jurnalisme sastrawi
adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme.
Wartawan Amerika Serikat Tom Wolfe pada 1973 memperkenalkannya dengan nama new journalism. Ada juga yang memakai
nama narrative reporting. Ada juga
yang pakai nama passionate journalism.
Wolfe mengatakan ada
empat hal yang membuat genre ini berbeda dengan penulisan feature yang biasa dipakai suratkabar Amerika Serikat pada dekade
itu. Pertama, ia mengandalkan dialog dan adegan dalam tulisannya. Kedua, teknik
reportasenya dikenal dengan teknik immerse
reporting di mana reporter seakan-akan menyusup dalam cerita yang sedang
dikerjakannya. Ketiga, reportasenya tak sekedar meliput dua pihak tapi multi
liputan. Keempat, waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.
Panjang tulisan dalam
genre ini biasanya panjang. Majalah The
New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul
"Hiroshima" dalam satu edisi majalah pada Agustus 1946.
Di Indonesia belum ada
suratkabar yang memakai gaya ini. Salah pengertian yang sering terjadi di
Indonesia, jurnalisme sastrawi diidentikkan dengan bahasa yang puitis. Padahal
jurnalisme ini bahasanya tak harus mendayu-dayu. Bahasa biasanya bahkan lugas.
Menurut Robert Vare,
wartawan Amerika Serikat, yang pernah bekerja buat The New Yorker dan The
Rolling Stone, ada tujuh pertimbangan sebelum seorang wartawan hendak
mengerjakan laporan bergaya ini.
Fakta
Jurnalisme selalu mensakralkan
fakta. Walaupun genre ini memakai kata "sastra" tapi ia tetap
jurnalisme. Karena itu fakta juga sakral baginya. Setiap detail seyogyanya
berupa kenyataan. Akurasi disucikan. Nama-nama orang adalah nama-nama
sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian.
Apabila ada dua orang
bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada
keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.
Orang mungkin bisa lupa.
Orang mungkin bisa berubah persepsi, seiring perjalanan waktu. Tapi minimal,
esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B bila hendak dilaporkan
dalam jurnalisme.
Kalau berbeda?
Ada dua pilihan. Tidak
dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu penting, dilaporkan saja dari
dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini tapi si B bilang lain lagi.
Tapi perbedaan bisa
tidak terletak pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna
dinding, bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa
diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk pergi
ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail di lapangan.
Konflik
Sebuah tulisan panjang
lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Ini bisa berupa
pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar
kelompok.
Konflik juga bisa berupa
pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa
pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata,
pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.
Karakter Jurnalisme
sastrawi mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter membantu daya pikat
suatu laporan. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama
seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga
kepribadian yang menarik. Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang
yang mudah menyerah biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya).
Akses
Si reporter seyogyanya
punya akses pada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama.
Akses bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara
dan sebagainya.
Akses kepada karakter
utama ini kurang lebih bisa disamakan dengan akses yang dimiliki oleh seorang
penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke masalah-masalah pribadi
karakter utama. Soal percintaan, skandal, kejahatan dan sebagainya.
Emosi
Jurnalisme sastrawi
membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa cinta. Bisa
berupa pengkhianatan. Kebencian. Loyalitas. Kekaguman. Sikap menjilat.
Oportunisme dan sebagainya.
Emosi menjadikan cerita
kita seakan-akan hidup.
Emosi karakter juga bisa
berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si karakter menghormati
mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati
mentornya atau tidak.
Di sini mungkin ada
pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya memberikan
ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia memenangkan
pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia dikhianati istri atau
suaminya?
Perjalanan Waktu
Mungkin perbedaan antara
jurnalisme sehari-hari dengan jurnalisme sastrawi adalah keterkaitannya dengan
waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar "hari ini" dengan
sebuah potret. Snap shot. Sedangkan
laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video.
Vare menyebutnya
"series of time." Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki
konsekuensi penyusunan kerangka karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal
hingga akhir. Atau mau membuat flashback.
Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik apa benang merahnya
supaya pembaca tidak bingung?
Panjangnya waktu
tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa dibuat dalam
kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua
tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu
bergulat hidup dan mati di ruang operasi.
Kebaruan
Ada unsur kebaruan yang
harus dipertimbangkan bila hendak membuat laporan panjang. Tak ada gunanya
mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari
kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. John Hersey
dalam "Hiroshima" mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta,
seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi pemboman
Hiroshima.
Secara detail, Hersey
menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom
rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan
rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah
satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika.
Hersey mempublikasikan
karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima.
Konon fisikawan nuklir
Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The
New Yorker pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena
ia berlangganan. Tapi Eistein ingin membeli enam buah lagi buat teman-temannya.
Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan.
Apa artinya?
Sederhana saja. Einstein
menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang baru. Hersey menemukan
sisi bengis dari bom nuklir! Itu saja. ***
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as