Jurnalisme Publik dan Jurnalisme Humanis
(Mengkaji Pers Mahasiswa Sebagai Pers Alternatif)
Oleh: Dwidjo Utomo Maksum
"Suatu masyarakat yang merdeka lahir atas dasar kebebasan
untuk memilih serta kebebasan untuk menyatakan
pendapat. Kita dapat mengenali suatu pemerintahan
tirani, bukan hanya dari dilarangnya kebebasan memilih, tetapi juga dari
dilarangnya pers yang bebas".
Alex Springer
I
Dalam paradigma
eksistensial, Pers dapat dilihat dalam perspektif ganda. Hal ini
berangkat dari pemikiran dasar mengenai hakekat keberadaan Pers
sendiri. Yaitu, bahwa Pers memiliki banyak elemen yang membuat
keberadaannya menjadi amat multi dimensional, dimana
unsur pelaku (jurnalis) merupakan salah satu elemen
terpenting. Karena dari kerja jurnalistik inilah muncul
sebuah karya yang kemudian disebut Pers. Selanjutnya dalam perkembangannya
Pers sering juga disebut sebagai Institusi Sosial. Mengingat bahwa sebuah
produk Pers selalu membawa makna-makna yang berkaitan dengan
kehidupan sosial (didalamnya
mengandung kaitan antara Pers dan Kekuasaan).
Dengan keragaman
elemen yang ada di dalamnya, Pers seakan mampu
menjembatani segala polarisasi yang beredar dalam ruang lingkup
kehidupan manusia. Namun benarkah bahwa Pers telah benar-benar
mampu menjadi mediator sosial yang ideal. Bukankah dalam banyak
kasus di berbagai negara, sistem kekuasaan banyak berpengaruh atas
keberadan sistem Pers-nya. Dan tentunya Indonesia bukan termasuk negara yang
terhindar dari kenyataan seperti itu.
Mengenai adanya
intervensi sistem kekuasaan dalam kehidupan Pers
di Indonesia, indikasi yang paling jelas adalah
adanya lembaga SIUPP. Meskipun kini SIUPP sudah almarhum, hal ini perlu
dikupas sebagai referensi dasar dalam membicarakan Pers Alternatif. Peraturan
Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984 yang berbunyi:
SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan pers/penerbitan pers
dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar
pertimbangan Dewan Pers,1
membuktikan betapa kesetaraan sebagai institusi sosial antara
negara dan Pers menjadi amat berbeda. Dimana dengan diberlakukannya
kebijakan pemerintah tersebut, jika SIUPP dicabut oleh pemerintah
(Departemen Penerangan) akibat yang ditimbulkan adalah mekanisme kerja
sebuah institusi Pers terhenti. Yang diakui atau tidak telah
mengakibatkan adanya Pembredelan. Dalam hal ini logika
hukum ternyata tidak mampu merasionalkan keberadaan lembaga SIUPP
dengan segala eksesnya.2
'Kekuasaan', kalau kita
bisa sebut demikian, untuk ikut menentukan keputusan
yang tadinya fifty-fifty, berubah menjadi
ada pihak yang dominan dan ada pihak yang hanya punya kesempatan untuk
sekedar memberikan saran.3
II
Dalam wacana
Pers di Indonesia, Pers yang memiliki kaitan amat
erat dengan sejarah perjuangan bangsa adalah Pers Mahasiswa.
Hal ini bisa dilihat dari proses awal kemunculan Pers di Indonesia sejak
era pra-merdeka yang diawali dengan munculnya Pers yang diterbitkan oleh
kalangan mahasiswa. Dan tak salah jika dikatakan Pers Mahasiswa muncul
secara bersamaan dengan bangkitnya pergerakan nasional.4
Dengan
menggunakan wacana Pers Umum, secara empiris kondisi
Pers Mahasiswa sempat juga mengalami banyak pelemahan, ketika harus
berhadapan dengan kekuasaan. Terbukti dengan begitu banyaknya
Pers Mahasiswa yang dibredel. Namun dalam batasan-batasan tertentu, Pers
Mahasiswa ternyata lebih berdaya dalam mengantisipasi
pembredelan tersebut. Banyak sekali contoh, ketika sebuah Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) mengalami pembredelan, mereka mencoba tetap
terbit meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Di sisi lain
proses perlawanan mengenai kasus pembredelannya juga secara masif
terus dijalankan. Karena bagaimanapun juga upaya menegakkan Kebebasan Pers merupakan sebuah sikap
yang konstitusional seperti dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.
Dari
sisi psikologi, sebenarnya Pers Mahasiswa lebih memiliki
peluang menegakkan kemandirian pers sebagai Pers Perjuangan.
Karena kekhawatiran akan dicabutnya SIUPP atau STT seperti
yang selalu menjadi kendala bagi Pers Umum (pada
era sebelum reformasi) barang kali telah menjadi sebuah imunitas bagi Pers
Mahasiswa. Dan dalam hirarki perjuangannya, menegakkan
kebebasan pers merupakan salah satu
agenda perjuangan Pers Mahasiswa. Karena bagaimanapun juga
salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepentingan
masyarakat dan membantu meniadakan kondisi yang tidak diinginkan.5
III
Dengan adanya
kenyataan tentang pembredelan yang mendera Pers Mahasiswa,
hal ini justru membuktikan bahwa kerangka dan
nafas Pers Perjuangan di Indonesia masih hidup. Dengan tingkat
represi yang begitu tinggi terhadap Pers Mahasiswa, ternyata
Pers Mahasiswa tetap mencoba untuk eksis. Namun
perjuangan ini tentunya harus senantiasa dilandasi dengan satu keyakinan
tentang kekuatan moralitas dan etika yang bersumber dari
kemapanan nilai-nilai humanisme dan berbasis pada nilai-nilai
kerakyatan. Tanpa hal itu perjuangan Pers Mahasiswa akan
bergeser menjadi sebuah aktivitas jurnalistik tanpa nilai
(jurnalisme semu).
Disamping Pers
Mahasiswa senantiasa berhadapan dengan kekuasaan, pada
sisi lain Pers Mahasiswa ternyata juga banyak mengalami
kendala internal. Baik yang bersifat fasilitatif maupun
kendala sumber daya manusia.
Secara
fasilitatif Pers Mahasiswa berdiri pada ambang batas dimana
antara realitas dan idealisme harus terus berjalan. Sebuah
posisi yang sama-sama memerlukan penguatan progressifitas. Namun
hal itulah yang sebenarnya merupakan fundamen yang paling dasar bagi Pers
Mahasiswa menuju kearah yang diidealkan. Sehingga wacana mengenai
Pers Mahasiswa sebagai Pers Alternatif bukanlah merupakan
keniscayaan lagi. Di saat Pers Umum semakin tergantung oleh sistem kekuasaan
yang seringkali menimbulkan dehumanisasi, barangkali Pers
Mahasiswalah sebagai sebuah jawaban.
IV
Nah,
mencermati berbagai fenomena mutakhir di negeri ini, tampaknya ada sejumlah
pergeseran pada tataran kekuatan opini. Khususnya pada masa sekarang yang kerap
juga disebut era reformasi. Pada masa oerde baru dulu,
banyak permasalahan yang menunjukkan membengkaknya 'paranoia'
di kalangan masyarakat
luas. Mungkin hal ini agak berlebihan jika dipandang dari sudut
konstalasi global. Namun jika diteliti
lebih lanjut lewat berbagai fragmentasi dan kondisi parsial di sekitar kita,
banyak kasus yang dapat
dipakai indikator bahwa kekuatan moral masyarakat kita
pun juga telah terjangkit epidemi ketakutan tersebut. Hal
mana diakibatkan oleh kondisi semakin melemahnya lembaga-lembaga yang
berkaitan dengan opini dan kebijakan publik.
Meski
dalam batasan-batasan praksis upaya yang bersifat
aksioner telah banyak dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat
untuk membuat nilai tawar terhadap proses pelemahan
tersebut namun ternyata hal itu tidak banyak memberi arti. Bahkan
cenderung mengarah ke sebuah 'submission point',
titik kepasrahan, ketika wacana legal institutif yang coba dipakai
ternyata mengalami kebuntuan juga. Seperti apa yang
dikatakan Rosihan Anwar dalam
menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengalahkan
gugatan Tempo dalam kasus pencabutan SIUPP,
"Kini dengan putusan MA
itu, janganlah diharapkan prospek kemerdekaan pers
cerah adanya, apalagi dengan
keterangan Ketua MA bahwa pencabutan SIUPP tidak sama dengan pembredelan pers. Jadi segala itu
tidak ada hubungannya dengan soal kemerdekaan pers. Jalan pikiran yang seperti
diperlihatkan Ketua MA itu sulit sekali diikuti. Dimana logikanya, hanya
Tuhan Yang Maha Tahu".6
V
Dalam
situasi dan kondisi seperti itu, Pers yang sebenarnya bisa menjadi
salah satu alternatif bagi pemberdayaan moral masyarakat ternyata juga mengalami
pergeseran nilai. Meskipun dalam wacana
idealistik ada semacam kredo penting menyangkut
eksistensi pers dalam lingkaran kehidupan masyarakat.
Yakni, bahwa salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepentingan
masyarakat dan membantu meniadakan kondisi yang
tidak diinginkan.7
Namun dengan merujuk pada kenyataan seperti apa
yang dikatakan Rosihan dan barangkali juga sekian
banyak anggota masyarakat yang lain tentang kemerdekaan pers,
adalah merupakan hal yang ironis ketika harapan ditimpakan kepada
institusi pers.
Beberapa
fakta dan realita yang kita dapatkan pada diri pers menyangkut proses
pemberdayaan masyarakat ternyata justru amat jauh dari yang
diharapkan. Bahkan cenderung mengarah pada proses dehumanisasi yang
sebenarnya merupakan sebuah proses pendangkalan moralitas dan
pengekangan sikap kedewasaan
bernegara. Sidang pembaca sebagai elemen pokok dalam
dunia pers ternyata harus dikalahkan dengan berbagai
praktik rekayasa muatan redaksional. Pers tidak segan-segan
menghilangkan sama sekali berita yang menyangkut opini publik
dan menggantinya dengan berita seremonial pengguntingan pita tanda
peresmian gedung perkantoran sekedar untuk mengamankan urat nadinya
(baca SIUPP).
Fakta ini barangkali tidak
sekeras apa yang pernah dikatakan oleh Prof. A. Muis menyangkut keprihatinannya terhadap pers
Indonesia, karena terlalu mengutamakan tanggung jawab politik, sehingga
banyak media mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang
kurang memperlihatkan norma-norma moral Pancasila,
seperti munculnya kecenderungan mengeksploitasi selera rendah.8
Dengan
merujuk pada fakta yang
menunjukkan adanya proses dehumanisasi dalam dunia
Pers, elemen alternatif manakah yang bisa dipakai untuk menjaga
sifat humanis masyarakat? Ketika telah begitu banyak
makam demokrasi dihiasi oleh nisan-nisan korban
pembredelan, media alternatif apa yang bisa dimanfaatkan
untuk mengembalikan nilai humanitarianisme sebagai sebuah kekuatan
dan kedewasaan sebuah bangsa? Mengingat bahwa ketika sebuah bangsa kehilangan
nilai humanis-nya, apakah peradaban dan ketinggian budaya yang menyangkut
etika dan moral bangsa tersebut masih layak dipakai untuk
menjaaga soliditas kebangsaannya? Seuntai pertanyaan
yang memang sangat sulit dijawab, kecuali hanya dengan
kekuatan moral yang ditempa dari penajaman visi humanisme keseharian,
yang niscaya sanggup mematahkan lingkaran setan yang mengungkungi
keberadaan Pers Indonesia.
Indikasi
adanya degradasi wacana humanitarianisme dalam
konstruksi Pers sudah mendekati titik kritis. Dimana Pers Umum
lewat berbagai muatannya telah mengarah pada penghindaran pembentukan
opini publik. Karena disaat
mencoba untuk menjaga nilai-nilai tersebut ternyata
harus beresiko amat tinggi yakni mengalami pembredelan dari
rejim pemerintah, yang eksesnya akan mepengaruhi stabilitas investasi
dari institusi pers itu sendiri. Oleh karena itu betapa
mencemaskan juga kalau yang memiliki konglomerasi pers tidak
lain adalah pengusaha yang terkenal dekat dengan pusat kekuasaan. Kalau
pengusaha pers merasa kepentingan mereka sejalan dengan kepentingan
kelompok tertentu dalam pemerintah, sehingga mulai memakai
media yang dimilikinya sebagai tangan negara dalam
mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat umum masyarakat.9
Hal
ini dikarenakan amat bergantungnya Pers pada
sistem ekonomi politik dan struktur sosial dari negara dimana Pers
itu berada.10 Yang mana dalam kondisi seperti negara
Indonesia persoalan ini menjadi sesuatu hal yang tak dapat dielakkan juga, dan pada
gilirannya menjadikan pers semakin 'vulnerable', rapuh. Dan pada tahap inilah sudah sewajarnya
bila Pers Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan Pers alternatif harus
sanggup mencegah berlarutnya proses dehumanisasi
yang kian transparan dapat kita lihat dalam media massa yang
beragam dan banyak dipengaruhi unsur-unsur kapitalistik.
Namun kini dengan terbukanya
kran kebebasan pers yang seluas-luasnya, bagaimana konstalasinya. Benarkah
ketakutan dan keterpasungan informasi tersebut telah sirna? Bagaimana pula posisi pers dalam era yang
segalanya begitu meruyak, di mana bayang-bayang sensor dan represi nyaris sirna
sama sekali?
VI
Dalam
mencari formulasi strategis Pers Mahasiswa sesungguhnya tak ubahnya
dengan memotret realitas sosial di masyarakat luas. Untuk itu
salah satu pijakan mendasar yang
bisa dipakai sebagai arah perjuangan adalah dengan
menciptakan kolaborasi nilai dengan realitas sosial itu sendiri. Adalah sesuatu
yang mustahil ketika kita menempatkan Pers Mahasiswa
sebagai media Perjuangan namun kita sendiri teralienasi dari fenomena
yang ada dalam wacana humanisme sosial. Hal ini barangkali amat
berkaitan dengan konsep gerakan mahasiswa pada umumnya (dimana Pers
Mahasiswa ada didalamnya), yang harus senantiasa
berposisi pada nilai-nilai kerakyatan. Dan keberpihakan pada nilai
moralitas dan etika merupakan sebuah keharusan dalam proses perjalanannya.
Selanjutnya,
tambang terbesar bagi berkembangnya humanitarianisme dalam Pers Mahasiswa
adalah posisinya yang independen. Sifat-sifat khas yang
dimiliki oleh Pers Mahasiswa amat memungkinkan terciptanya
keberlangsungan tanpa adanya
kekhawatiran terhadang oleh Pembredelan. Bukankah ketika sebuah Pers
Mahasiswa dinyatakan dibredel, ternyata dia tetap berupaya untuk terbit dan
akan tumbuh lagi. Hal ini berbeda dengan kondisi Pers Umum yang
amat bergantung pada pemilik modal dan rejim yang sedang memerintah
sehingga memungkinkan terjadinya intervensi
didalamnya. Sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan
mampu diemban oleh Pers Mahasiswa bukan lagi menjadi sebuah keniscayaan.
Pada tanggal 6 Desember 2001,
dalam rapat kerja Komisi I DPR, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul
Mu’arif melontarklan kritik keras terhadap pers. Menurutnya ada lima penyakit
yang merusak pers Indonesia pada era reformasi. Yaitu: Pornografi, character
assassination, berita bohong dan profokatif, iklan yang tidak lagi sesuai
dengan dimensi yang sesungguhnya serta banyaknya wartawan liar yang tak jelas
institusinya. Kelima penyakit tersebut
diyakini telah memicu pola pemberitaan yang tidak lagi proporsional.
Fakta seperti itu, diakui atau tidak memang bisa
dirasakan kebenarannya. Pada situasi seperti itu, tampaknya Pers Mahasiswa
tetap memiliki peran yang sangat siginifikan dalam menjembatani fenomena
tersebut. Dalam hal ini selayaknya Pers Mahasiswa mengambil posisi sebagai
pemihak kepentingan publik dengan mengusung kredo-kredo yang sarat dengan
kekuatan humanistik. Jika posisi tersebut bisa diraih, niscaya Pers Mahasiswa
tetap memiliki peran alternatif yang jauh lebih luhur. Yaitu menjadi penyebar
perasaan damai nan jauh dari kecemasan dan rasa takut akibat dari tak
terbendungnya kebebasan pers itu sendiri. Nah.
.....Memang sampai kini saya
tidak mengerti bagaimana orang dapat merasa terhormat diatas penghinaan yang
diderita oleh sesamanya11
Catatan :
1.
Lihat PERATURAN
MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA No. 01/PER/MENPEN/1984
2.
Lihat proses
gugatan Tempo
3.
Rustam F.
Mandayun, "Siapakah yang Melindungi Wartawan ?"dalam "Pers, Hukum dan
Kekuasaan", Cetakan Pertama, Yayasan Bentang
Budaya, Yogyakarta, 1994, Halaman xiii.
4.
Amir
Effendi Siregar, "Pers Mahasiswa Indonesia : Patah
Tumbuh Hilang Berganti", Karya Unipres, Jakarta, 1983.
5.
Edwin
Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee,
"Introduction to
Mass Communication", Third Edition, New York,
Dodd Medd & Company, Inc.
6.
Rosihan
Anwar, "Tempo dan Mahkamah" dalam Forum Keadilan
: Edisi 6, Tahun V, 1 Juli 1996.
7.
Edwin Emery,
Philip H. Ault, Warren K. Agee, "Introduction to Mass
Communication", Third Edition, New York ; Dodd
Mead & Company, Inc.
8.
Prof. A. Muis,
Kompas No. 86 Tahun 27, 24 September 1991, hal 1 dalam Ana Nadya
Abror, "Berjuang Menghadapi Perkembangan Masa",
Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta, 1992.
9.
David T.
Hill dalam kata Pengantar buku "Pembredelan Pers di
Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya".Ignatius Heryanto, "Pembredelan
Pers Di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya", Cetakan
Pertama, LSPP Jakarta, 1996.
10.
E. Lioyd
Sommerlad, "The Press in Developing Countries", 1996.
11.
M. K.
Gandhi, "Gandhi Sebuah Otobiografi", Cetakan
Keempat,Sinar Harapan Jakarta, 1985. Alih Bahasa : Gd. Bagoes Oka.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Disampaikan Dalam Forum Pendidikan dan
Latihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di Universitas Brawijaya Malang,
Senin 13 Mei 2002
--------------------------------------------------------------------------------
(Mengkaji Pers Mahasiswa Sebagai Pers Alternatif)
Oleh: Dwidjo Utomo Maksum
"Suatu masyarakat yang merdeka lahir atas dasar kebebasan
untuk memilih serta kebebasan untuk menyatakan
pendapat. Kita dapat mengenali suatu pemerintahan
tirani, bukan hanya dari dilarangnya kebebasan memilih, tetapi juga dari
dilarangnya pers yang bebas".
Alex Springer
I
Dalam paradigma
eksistensial, Pers dapat dilihat dalam perspektif ganda. Hal ini
berangkat dari pemikiran dasar mengenai hakekat keberadaan Pers
sendiri. Yaitu, bahwa Pers memiliki banyak elemen yang membuat
keberadaannya menjadi amat multi dimensional, dimana
unsur pelaku (jurnalis) merupakan salah satu elemen
terpenting. Karena dari kerja jurnalistik inilah muncul
sebuah karya yang kemudian disebut Pers. Selanjutnya dalam perkembangannya
Pers sering juga disebut sebagai Institusi Sosial. Mengingat bahwa sebuah
produk Pers selalu membawa makna-makna yang berkaitan dengan
kehidupan sosial (didalamnya
mengandung kaitan antara Pers dan Kekuasaan).
Dengan keragaman
elemen yang ada di dalamnya, Pers seakan mampu
menjembatani segala polarisasi yang beredar dalam ruang lingkup
kehidupan manusia. Namun benarkah bahwa Pers telah benar-benar
mampu menjadi mediator sosial yang ideal. Bukankah dalam banyak
kasus di berbagai negara, sistem kekuasaan banyak berpengaruh atas
keberadan sistem Pers-nya. Dan tentunya Indonesia bukan termasuk negara yang
terhindar dari kenyataan seperti itu.
Mengenai adanya
intervensi sistem kekuasaan dalam kehidupan Pers
di Indonesia, indikasi yang paling jelas adalah
adanya lembaga SIUPP. Meskipun kini SIUPP sudah almarhum, hal ini perlu
dikupas sebagai referensi dasar dalam membicarakan Pers Alternatif. Peraturan
Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984 yang berbunyi:
SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan pers/penerbitan pers
dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar
pertimbangan Dewan Pers,1
membuktikan betapa kesetaraan sebagai institusi sosial antara
negara dan Pers menjadi amat berbeda. Dimana dengan diberlakukannya
kebijakan pemerintah tersebut, jika SIUPP dicabut oleh pemerintah
(Departemen Penerangan) akibat yang ditimbulkan adalah mekanisme kerja
sebuah institusi Pers terhenti. Yang diakui atau tidak telah
mengakibatkan adanya Pembredelan. Dalam hal ini logika
hukum ternyata tidak mampu merasionalkan keberadaan lembaga SIUPP
dengan segala eksesnya.2
'Kekuasaan', kalau kita
bisa sebut demikian, untuk ikut menentukan keputusan
yang tadinya fifty-fifty, berubah menjadi
ada pihak yang dominan dan ada pihak yang hanya punya kesempatan untuk
sekedar memberikan saran.3
II
Dalam wacana
Pers di Indonesia, Pers yang memiliki kaitan amat
erat dengan sejarah perjuangan bangsa adalah Pers Mahasiswa.
Hal ini bisa dilihat dari proses awal kemunculan Pers di Indonesia sejak
era pra-merdeka yang diawali dengan munculnya Pers yang diterbitkan oleh
kalangan mahasiswa. Dan tak salah jika dikatakan Pers Mahasiswa muncul
secara bersamaan dengan bangkitnya pergerakan nasional.4
Dengan
menggunakan wacana Pers Umum, secara empiris kondisi
Pers Mahasiswa sempat juga mengalami banyak pelemahan, ketika harus
berhadapan dengan kekuasaan. Terbukti dengan begitu banyaknya
Pers Mahasiswa yang dibredel. Namun dalam batasan-batasan tertentu, Pers
Mahasiswa ternyata lebih berdaya dalam mengantisipasi
pembredelan tersebut. Banyak sekali contoh, ketika sebuah Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) mengalami pembredelan, mereka mencoba tetap
terbit meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Di sisi lain
proses perlawanan mengenai kasus pembredelannya juga secara masif
terus dijalankan. Karena bagaimanapun juga upaya menegakkan Kebebasan Pers merupakan sebuah sikap
yang konstitusional seperti dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.
Dari
sisi psikologi, sebenarnya Pers Mahasiswa lebih memiliki
peluang menegakkan kemandirian pers sebagai Pers Perjuangan.
Karena kekhawatiran akan dicabutnya SIUPP atau STT seperti
yang selalu menjadi kendala bagi Pers Umum (pada
era sebelum reformasi) barang kali telah menjadi sebuah imunitas bagi Pers
Mahasiswa. Dan dalam hirarki perjuangannya, menegakkan
kebebasan pers merupakan salah satu
agenda perjuangan Pers Mahasiswa. Karena bagaimanapun juga
salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepentingan
masyarakat dan membantu meniadakan kondisi yang tidak diinginkan.5
III
Dengan adanya
kenyataan tentang pembredelan yang mendera Pers Mahasiswa,
hal ini justru membuktikan bahwa kerangka dan
nafas Pers Perjuangan di Indonesia masih hidup. Dengan tingkat
represi yang begitu tinggi terhadap Pers Mahasiswa, ternyata
Pers Mahasiswa tetap mencoba untuk eksis. Namun
perjuangan ini tentunya harus senantiasa dilandasi dengan satu keyakinan
tentang kekuatan moralitas dan etika yang bersumber dari
kemapanan nilai-nilai humanisme dan berbasis pada nilai-nilai
kerakyatan. Tanpa hal itu perjuangan Pers Mahasiswa akan
bergeser menjadi sebuah aktivitas jurnalistik tanpa nilai
(jurnalisme semu).
Disamping Pers
Mahasiswa senantiasa berhadapan dengan kekuasaan, pada
sisi lain Pers Mahasiswa ternyata juga banyak mengalami
kendala internal. Baik yang bersifat fasilitatif maupun
kendala sumber daya manusia.
Secara
fasilitatif Pers Mahasiswa berdiri pada ambang batas dimana
antara realitas dan idealisme harus terus berjalan. Sebuah
posisi yang sama-sama memerlukan penguatan progressifitas. Namun
hal itulah yang sebenarnya merupakan fundamen yang paling dasar bagi Pers
Mahasiswa menuju kearah yang diidealkan. Sehingga wacana mengenai
Pers Mahasiswa sebagai Pers Alternatif bukanlah merupakan
keniscayaan lagi. Di saat Pers Umum semakin tergantung oleh sistem kekuasaan
yang seringkali menimbulkan dehumanisasi, barangkali Pers
Mahasiswalah sebagai sebuah jawaban.
IV
Nah,
mencermati berbagai fenomena mutakhir di negeri ini, tampaknya ada sejumlah
pergeseran pada tataran kekuatan opini. Khususnya pada masa sekarang yang kerap
juga disebut era reformasi. Pada masa oerde baru dulu,
banyak permasalahan yang menunjukkan membengkaknya 'paranoia'
di kalangan masyarakat
luas. Mungkin hal ini agak berlebihan jika dipandang dari sudut
konstalasi global. Namun jika diteliti
lebih lanjut lewat berbagai fragmentasi dan kondisi parsial di sekitar kita,
banyak kasus yang dapat
dipakai indikator bahwa kekuatan moral masyarakat kita
pun juga telah terjangkit epidemi ketakutan tersebut. Hal
mana diakibatkan oleh kondisi semakin melemahnya lembaga-lembaga yang
berkaitan dengan opini dan kebijakan publik.
Meski
dalam batasan-batasan praksis upaya yang bersifat
aksioner telah banyak dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat
untuk membuat nilai tawar terhadap proses pelemahan
tersebut namun ternyata hal itu tidak banyak memberi arti. Bahkan
cenderung mengarah ke sebuah 'submission point',
titik kepasrahan, ketika wacana legal institutif yang coba dipakai
ternyata mengalami kebuntuan juga. Seperti apa yang
dikatakan Rosihan Anwar dalam
menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengalahkan
gugatan Tempo dalam kasus pencabutan SIUPP,
"Kini dengan putusan MA
itu, janganlah diharapkan prospek kemerdekaan pers
cerah adanya, apalagi dengan
keterangan Ketua MA bahwa pencabutan SIUPP tidak sama dengan pembredelan pers. Jadi segala itu
tidak ada hubungannya dengan soal kemerdekaan pers. Jalan pikiran yang seperti
diperlihatkan Ketua MA itu sulit sekali diikuti. Dimana logikanya, hanya
Tuhan Yang Maha Tahu".6
V
Dalam
situasi dan kondisi seperti itu, Pers yang sebenarnya bisa menjadi
salah satu alternatif bagi pemberdayaan moral masyarakat ternyata juga mengalami
pergeseran nilai. Meskipun dalam wacana
idealistik ada semacam kredo penting menyangkut
eksistensi pers dalam lingkaran kehidupan masyarakat.
Yakni, bahwa salah satu fungsi Pers adalah memperjuangkan kepentingan
masyarakat dan membantu meniadakan kondisi yang
tidak diinginkan.7
Namun dengan merujuk pada kenyataan seperti apa
yang dikatakan Rosihan dan barangkali juga sekian
banyak anggota masyarakat yang lain tentang kemerdekaan pers,
adalah merupakan hal yang ironis ketika harapan ditimpakan kepada
institusi pers.
Beberapa
fakta dan realita yang kita dapatkan pada diri pers menyangkut proses
pemberdayaan masyarakat ternyata justru amat jauh dari yang
diharapkan. Bahkan cenderung mengarah pada proses dehumanisasi yang
sebenarnya merupakan sebuah proses pendangkalan moralitas dan
pengekangan sikap kedewasaan
bernegara. Sidang pembaca sebagai elemen pokok dalam
dunia pers ternyata harus dikalahkan dengan berbagai
praktik rekayasa muatan redaksional. Pers tidak segan-segan
menghilangkan sama sekali berita yang menyangkut opini publik
dan menggantinya dengan berita seremonial pengguntingan pita tanda
peresmian gedung perkantoran sekedar untuk mengamankan urat nadinya
(baca SIUPP).
Fakta ini barangkali tidak
sekeras apa yang pernah dikatakan oleh Prof. A. Muis menyangkut keprihatinannya terhadap pers
Indonesia, karena terlalu mengutamakan tanggung jawab politik, sehingga
banyak media mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal yang
kurang memperlihatkan norma-norma moral Pancasila,
seperti munculnya kecenderungan mengeksploitasi selera rendah.8
Dengan
merujuk pada fakta yang
menunjukkan adanya proses dehumanisasi dalam dunia
Pers, elemen alternatif manakah yang bisa dipakai untuk menjaga
sifat humanis masyarakat? Ketika telah begitu banyak
makam demokrasi dihiasi oleh nisan-nisan korban
pembredelan, media alternatif apa yang bisa dimanfaatkan
untuk mengembalikan nilai humanitarianisme sebagai sebuah kekuatan
dan kedewasaan sebuah bangsa? Mengingat bahwa ketika sebuah bangsa kehilangan
nilai humanis-nya, apakah peradaban dan ketinggian budaya yang menyangkut
etika dan moral bangsa tersebut masih layak dipakai untuk
menjaaga soliditas kebangsaannya? Seuntai pertanyaan
yang memang sangat sulit dijawab, kecuali hanya dengan
kekuatan moral yang ditempa dari penajaman visi humanisme keseharian,
yang niscaya sanggup mematahkan lingkaran setan yang mengungkungi
keberadaan Pers Indonesia.
Indikasi
adanya degradasi wacana humanitarianisme dalam
konstruksi Pers sudah mendekati titik kritis. Dimana Pers Umum
lewat berbagai muatannya telah mengarah pada penghindaran pembentukan
opini publik. Karena disaat
mencoba untuk menjaga nilai-nilai tersebut ternyata
harus beresiko amat tinggi yakni mengalami pembredelan dari
rejim pemerintah, yang eksesnya akan mepengaruhi stabilitas investasi
dari institusi pers itu sendiri. Oleh karena itu betapa
mencemaskan juga kalau yang memiliki konglomerasi pers tidak
lain adalah pengusaha yang terkenal dekat dengan pusat kekuasaan. Kalau
pengusaha pers merasa kepentingan mereka sejalan dengan kepentingan
kelompok tertentu dalam pemerintah, sehingga mulai memakai
media yang dimilikinya sebagai tangan negara dalam
mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat umum masyarakat.9
Hal
ini dikarenakan amat bergantungnya Pers pada
sistem ekonomi politik dan struktur sosial dari negara dimana Pers
itu berada.10 Yang mana dalam kondisi seperti negara
Indonesia persoalan ini menjadi sesuatu hal yang tak dapat dielakkan juga, dan pada
gilirannya menjadikan pers semakin 'vulnerable', rapuh. Dan pada tahap inilah sudah sewajarnya
bila Pers Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan Pers alternatif harus
sanggup mencegah berlarutnya proses dehumanisasi
yang kian transparan dapat kita lihat dalam media massa yang
beragam dan banyak dipengaruhi unsur-unsur kapitalistik.
Namun kini dengan terbukanya
kran kebebasan pers yang seluas-luasnya, bagaimana konstalasinya. Benarkah
ketakutan dan keterpasungan informasi tersebut telah sirna? Bagaimana pula posisi pers dalam era yang
segalanya begitu meruyak, di mana bayang-bayang sensor dan represi nyaris sirna
sama sekali?
VI
Dalam
mencari formulasi strategis Pers Mahasiswa sesungguhnya tak ubahnya
dengan memotret realitas sosial di masyarakat luas. Untuk itu
salah satu pijakan mendasar yang
bisa dipakai sebagai arah perjuangan adalah dengan
menciptakan kolaborasi nilai dengan realitas sosial itu sendiri. Adalah sesuatu
yang mustahil ketika kita menempatkan Pers Mahasiswa
sebagai media Perjuangan namun kita sendiri teralienasi dari fenomena
yang ada dalam wacana humanisme sosial. Hal ini barangkali amat
berkaitan dengan konsep gerakan mahasiswa pada umumnya (dimana Pers
Mahasiswa ada didalamnya), yang harus senantiasa
berposisi pada nilai-nilai kerakyatan. Dan keberpihakan pada nilai
moralitas dan etika merupakan sebuah keharusan dalam proses perjalanannya.
Selanjutnya,
tambang terbesar bagi berkembangnya humanitarianisme dalam Pers Mahasiswa
adalah posisinya yang independen. Sifat-sifat khas yang
dimiliki oleh Pers Mahasiswa amat memungkinkan terciptanya
keberlangsungan tanpa adanya
kekhawatiran terhadang oleh Pembredelan. Bukankah ketika sebuah Pers
Mahasiswa dinyatakan dibredel, ternyata dia tetap berupaya untuk terbit dan
akan tumbuh lagi. Hal ini berbeda dengan kondisi Pers Umum yang
amat bergantung pada pemilik modal dan rejim yang sedang memerintah
sehingga memungkinkan terjadinya intervensi
didalamnya. Sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan
mampu diemban oleh Pers Mahasiswa bukan lagi menjadi sebuah keniscayaan.
Pada tanggal 6 Desember 2001,
dalam rapat kerja Komisi I DPR, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul
Mu’arif melontarklan kritik keras terhadap pers. Menurutnya ada lima penyakit
yang merusak pers Indonesia pada era reformasi. Yaitu: Pornografi, character
assassination, berita bohong dan profokatif, iklan yang tidak lagi sesuai
dengan dimensi yang sesungguhnya serta banyaknya wartawan liar yang tak jelas
institusinya. Kelima penyakit tersebut
diyakini telah memicu pola pemberitaan yang tidak lagi proporsional.
Fakta seperti itu, diakui atau tidak memang bisa
dirasakan kebenarannya. Pada situasi seperti itu, tampaknya Pers Mahasiswa
tetap memiliki peran yang sangat siginifikan dalam menjembatani fenomena
tersebut. Dalam hal ini selayaknya Pers Mahasiswa mengambil posisi sebagai
pemihak kepentingan publik dengan mengusung kredo-kredo yang sarat dengan
kekuatan humanistik. Jika posisi tersebut bisa diraih, niscaya Pers Mahasiswa
tetap memiliki peran alternatif yang jauh lebih luhur. Yaitu menjadi penyebar
perasaan damai nan jauh dari kecemasan dan rasa takut akibat dari tak
terbendungnya kebebasan pers itu sendiri. Nah.
.....Memang sampai kini saya
tidak mengerti bagaimana orang dapat merasa terhormat diatas penghinaan yang
diderita oleh sesamanya11
Catatan :
1.
Lihat PERATURAN
MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA No. 01/PER/MENPEN/1984
2.
Lihat proses
gugatan Tempo
3.
Rustam F.
Mandayun, "Siapakah yang Melindungi Wartawan ?"dalam "Pers, Hukum dan
Kekuasaan", Cetakan Pertama, Yayasan Bentang
Budaya, Yogyakarta, 1994, Halaman xiii.
4.
Amir
Effendi Siregar, "Pers Mahasiswa Indonesia : Patah
Tumbuh Hilang Berganti", Karya Unipres, Jakarta, 1983.
5.
Edwin
Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee,
"Introduction to
Mass Communication", Third Edition, New York,
Dodd Medd & Company, Inc.
6.
Rosihan
Anwar, "Tempo dan Mahkamah" dalam Forum Keadilan
: Edisi 6, Tahun V, 1 Juli 1996.
7.
Edwin Emery,
Philip H. Ault, Warren K. Agee, "Introduction to Mass
Communication", Third Edition, New York ; Dodd
Mead & Company, Inc.
8.
Prof. A. Muis,
Kompas No. 86 Tahun 27, 24 September 1991, hal 1 dalam Ana Nadya
Abror, "Berjuang Menghadapi Perkembangan Masa",
Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta, 1992.
9.
David T.
Hill dalam kata Pengantar buku "Pembredelan Pers di
Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya".Ignatius Heryanto, "Pembredelan
Pers Di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya", Cetakan
Pertama, LSPP Jakarta, 1996.
10.
E. Lioyd
Sommerlad, "The Press in Developing Countries", 1996.
11.
M. K.
Gandhi, "Gandhi Sebuah Otobiografi", Cetakan
Keempat,Sinar Harapan Jakarta, 1985. Alih Bahasa : Gd. Bagoes Oka.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Disampaikan Dalam Forum Pendidikan dan
Latihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di Universitas Brawijaya Malang,
Senin 13 Mei 2002
--------------------------------------------------------------------------------
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as