Sembilan Elemen Jurnalisme
HATI nurani
jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang
bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard
mengatakan, Kovach punya "Karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan.
Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit "mencari
kesalahan" Kovach.
Wartawan yang
nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama
rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di
sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu
suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun
di sana.
Kovach mundur
ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di
bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya
dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize,
penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach
menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada
1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas
Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom
Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media
dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of
Concerned Journalists -sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya
melakukan riset dan diskusi tentang media.
Dalam buku ini
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme.
Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan
banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga
tahun.
Sembilan
elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen
jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.
Kebenaran yang
mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda?
Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran
yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering
direvisi. Kebenaran menurut siapa?
Bagaimana
dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena
latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau
agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang
berbeda-beda?
Kovach dan
Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap
tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga
berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan
hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada
anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.
Namun apa yang
dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa
dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah,
fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula
yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi
kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa
mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang,
ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.
Selain itu
kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan
Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan
memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor
polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi
oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi.
Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah
ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom
opini. Demikian seterusnya.
Jadi kebenaran
dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi
tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya
lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran
yang lebih lengkap.
Namun
ironisnya dengan mengetahui mana benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach
dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, "Kepada siapa
wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya?
Atau pada masyarakat?"
Pertanyaan itu
penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang
bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan
setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini
memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa
melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian,
dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari
keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan
masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan
bisnisnya sendiri.
Mari melihat
dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times.
Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan
suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak
menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis,
"… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of
party, sect or interests involved."
Pada 1933
Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman
suratkabar itu, "Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau
perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan
demi kepentingan masyarakat."
Prinsip Ochs
dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang
prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Kovach dan
Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan
misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan
bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah
pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga
adalah masyarakat (citizens).
Berbeda dengan
kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca
bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio,
maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk
menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis
suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos
produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya
kepercayaan publik inilah yang kemudian "dipinjamkan" perusahaan
media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang
pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara
media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.
Kovach dan
Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau
pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan
bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan
sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.
Model ini
ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya.
Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil
mencapainya.
Manajemen
model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial
para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan
atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas
si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada
peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan
bonus.
BANYAK
wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang
media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis
bahwa renungan dua wartawan "yang sudah mengalami pencerahan" ini
perlu dibaca wartawan Thai.
I Made
Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan bahwa Gatra sedang
menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, "Buku ini kita
pandang mengembalikan pada basic jurnalisme," kata Suarjana.
Salah satu
bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin
dalam melakukan verifikasi.
Disiplin mampu
membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi,
guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang
membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Mereka
berpendapat, "saudara sepupu" hiburan yang disebut infotainment (dari
kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana
batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian
pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa
menghibur tapi juga bisa tidak.
Batas antara
fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan
fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike
Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang
keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana
industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan
perokok.
Kejadian itu
sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan
seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu
"pada dasarnya akurat" karena Wallace memang takluk pada tekanan
pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara
keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.
Kovach dan
Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai
tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada
kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik
perhatian penonton.
Lantas
bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan
dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel
menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap
wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan
dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena
disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut
sebagai objektifitas.
Orang sering
bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif?
Bagaimana dengan wartawan yang punya
latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan
pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang
diliputnya?
Kovach dan
Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu.
Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme.
Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya
begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.
Ide tentang
realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut
sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada
awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka
berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Namun pada
awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919
Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis
sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times
menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times
lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa
yang terjadi.
Lippmann
menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh "saksi mata yang
tak terlatih." Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann
mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga
tidak cukup.
Bylines
diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si
reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah
wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan
konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk
bekerja di lapangan.
Solusinya,
menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan,
"There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It
is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada
satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu
adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan;
seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan)."
Baginya, metode
jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas
adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Sayang, dengan
berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan
keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi
tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman
bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.
Sekarang ini
tak sedikit jurnalis yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan
pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya
sebagai ilusi. Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan
Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya
sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.
Tapi berimbang
maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan
distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan
yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai
tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca? Kovach dan Rosenstiel
menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah
setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam
melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.
Kovach dan
Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan
metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan
secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi
kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua,
memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu
daftar pertanyaan yang disebutnya "accuracy checklist."
- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang
cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi
atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam
laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan
apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin
halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan
laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang
memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari
yang bersangkutan?
Ketiga, jangan
berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus
mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari
Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang
konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping
media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan
pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam
adalah saksi mata.
Metode
keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French's Colored
Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi
dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk
mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.
Seorang wartawan yang pernah mengikuti program
pelatihan Bill Kovach bercerita, pada suatu liputan ia dan keluarganya secara
tak sengaja berhubungan dengan keluarga obyek yang menjadi liputannya. Si
Wartawan pun mendiskusikan dengan Bill Kovach kejadian tersebut. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang
wartawan "tidak mencari teman, tidak mencari musuh." Terkadang memang
sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari
taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi
wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk
lewat acara-acara itu.
"Seorang
wartawan adalah mahluk asosial. Don't get me wrong," kata Kovach. Asosial
bukan antisosial. Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach
dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom
opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan
sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh
tak netral?
Menjadi netral
bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud
dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap
orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat
dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas.
Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari
data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada
kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati
seorang wartawan.
"Wartawan
yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap
harus menghargai fakta di atas segalanya," kata Anthony Lewis, kolumnis
The New York Times. Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari
Universal Press Syndicate, "bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan
saya."
Tapi wartawan
yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi
pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif
yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih
sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan
mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut
bermain.
Kesetiaan pada
kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau
propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh
bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi
jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi
ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan.
Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih,
keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan
sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang
etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi
buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan.
Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal
menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang
seragam.
Bersama-sama
wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi
sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah
metode buat menghasilkan liputan yang baik.
ELEMEN jurnalisme yang kelima
adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau
kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau
dipakai istilah Indonesianya, "jangan cari gara-gara juga." Memantau
kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Salah satu
cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis
reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang
melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu
kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya di
Amerika Serikat, juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang
dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana
menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi.
Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi
itu.
Salah satu
konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil
sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai
istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting
karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan
dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat
menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin
karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi.
Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke
dalam investigasi.
Bob Woodward
dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut
mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada
1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah "pikiran yang
terbuka."
Elemen keenam
adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman
dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik
di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan
sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.
Logikanya,
manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan,
katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya
suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak.
Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun
dipenuhi dengan komentar -mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk
show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan
sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi
dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk
menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum
publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum
inilah Plato pertama kali menegakkan cap demokrasi.
Sekarang
teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran
langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai
teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun
informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Kovach dan
Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus
dibedakan dengan "jurnalisme semu," yang mengadakan debat secara
artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
Munculnya
jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta
secara memadai. "Talk is cheap," kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya
produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun
infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur
reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga
membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka
biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Ngomong itu murah”,
Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung
sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.
Jurnalisme
semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme
semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar
nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang
sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang
esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini.
Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi
lebih sengit.
Nieman Fellowship dan Bill Kovach
mengusulkan agar para wartawan mengikuti program penulisan non fiksi. Mereka
menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme
cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini.
Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat
sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus
"enak dibaca dan perlu."
Memikat
sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal
yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu,
sensasional, menghibur dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan
dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang
membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi
juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja
karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang
dan serius. Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya
malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang
bermutu.
Menulis narasi
yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana
laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah
bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Di sisi lain,
daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan
Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15
persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah
internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik.
Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.
Duet
Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age
of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan
media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky.
Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang
isu yang lebih relevan.
Elemen
kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan
komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang
menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya
pada aspek yang emosional. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional
dalam pemberitaannya.
Kovach dan
Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan
seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu
melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya
adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya? Ini berbeda
dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada
sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan
gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain
gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.
Proporsional
serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita
mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama,
penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita
juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif
inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan
berita.
Masyarakat
bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya
masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
SETIAP wartawan harus
mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi,
semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan
tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan. "Setiap individu reporter harus
menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model
itulah dia membangun karirnya," kata wartawan televisi Bill Kurtis dari
A&E Network.
Menjalankan
prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas,
di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. "Bos, saya kira keputusan
Anda keliru!" atau "Pak, ini kok kesannya rasialis" adalah dua
contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.
Menciptakan
suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah
tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan
menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus
bisa mengambil keputusan -menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan,
membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas-agar media bersangkutan bisa
menepati deadline.
Membolehkan
tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan
manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami
persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus
senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau
komentar bisa datang langsung pada mereka.
Bob Woodward
dari The Washington Post mengatakan, "Jurnalisme yang paling baik
seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya."
HATI nurani
jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang
bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard
mengatakan, Kovach punya "Karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan.
Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit "mencari
kesalahan" Kovach.
Wartawan yang
nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama
rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di
sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu
suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun
di sana.
Kovach mundur
ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di
bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya
dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize,
penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach
menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada
1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas
Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom
Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media
dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of
Concerned Journalists -sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya
melakukan riset dan diskusi tentang media.
Dalam buku ini
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme.
Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan
banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga
tahun.
Sembilan
elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen
jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.
Kebenaran yang
mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda?
Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran
yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering
direvisi. Kebenaran menurut siapa?
Bagaimana
dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena
latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau
agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang
berbeda-beda?
Kovach dan
Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap
tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga
berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan
hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada
anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.
Namun apa yang
dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa
dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah,
fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula
yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi
kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa
mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang,
ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.
Selain itu
kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan
Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan
memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor
polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi
oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi.
Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah
ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom
opini. Demikian seterusnya.
Jadi kebenaran
dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi
tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya
lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran
yang lebih lengkap.
Namun
ironisnya dengan mengetahui mana benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach
dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, "Kepada siapa
wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya?
Atau pada masyarakat?"
Pertanyaan itu
penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang
bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan
setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini
memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa
melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian,
dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari
keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan
masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan
bisnisnya sendiri.
Mari melihat
dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times.
Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan
suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak
menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis,
"… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of
party, sect or interests involved."
Pada 1933
Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman
suratkabar itu, "Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau
perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan
demi kepentingan masyarakat."
Prinsip Ochs
dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang
prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Kovach dan
Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan
misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan
bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah
pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga
adalah masyarakat (citizens).
Berbeda dengan
kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca
bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio,
maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk
menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis
suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos
produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya
kepercayaan publik inilah yang kemudian "dipinjamkan" perusahaan
media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang
pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara
media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.
Kovach dan
Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau
pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan
bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan
sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.
Model ini
ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya.
Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil
mencapainya.
Manajemen
model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial
para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan
atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas
si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada
peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan
bonus.
BANYAK
wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang
media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis
bahwa renungan dua wartawan "yang sudah mengalami pencerahan" ini
perlu dibaca wartawan Thai.
I Made
Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan bahwa Gatra sedang
menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, "Buku ini kita
pandang mengembalikan pada basic jurnalisme," kata Suarjana.
Salah satu
bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin
dalam melakukan verifikasi.
Disiplin mampu
membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi,
guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang
membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Mereka
berpendapat, "saudara sepupu" hiburan yang disebut infotainment (dari
kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana
batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian
pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa
menghibur tapi juga bisa tidak.
Batas antara
fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan
fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike
Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang
keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana
industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan
perokok.
Kejadian itu
sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan
seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu
"pada dasarnya akurat" karena Wallace memang takluk pada tekanan
pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara
keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.
Kovach dan
Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai
tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada
kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik
perhatian penonton.
Lantas
bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan
dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel
menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap
wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan
dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena
disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut
sebagai objektifitas.
Orang sering
bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif?
Bagaimana dengan wartawan yang punya
latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan
pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang
diliputnya?
Kovach dan
Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu.
Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme.
Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya
begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.
Ide tentang
realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut
sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada
awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka
berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Namun pada
awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919
Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis
sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times
menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times
lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa
yang terjadi.
Lippmann
menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh "saksi mata yang
tak terlatih." Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann
mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga
tidak cukup.
Bylines
diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si
reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah
wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan
konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk
bekerja di lapangan.
Solusinya,
menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan,
"There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It
is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada
satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu
adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan;
seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan)."
Baginya, metode
jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas
adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Sayang, dengan
berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan
keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi
tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman
bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.
Sekarang ini
tak sedikit jurnalis yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan
pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya
sebagai ilusi. Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan
Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya
sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.
Tapi berimbang
maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan
distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan
yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai
tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca? Kovach dan Rosenstiel
menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah
setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam
melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.
Kovach dan
Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan
metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan
secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi
kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua,
memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu
daftar pertanyaan yang disebutnya "accuracy checklist."
- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang
cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi
atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam
laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan
apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin
halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan
laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang
memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari
yang bersangkutan?
Ketiga, jangan
berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus
mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari
Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang
konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping
media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan
pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam
adalah saksi mata.
Metode
keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French's Colored
Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi
dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk
mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.
Seorang wartawan yang pernah mengikuti program
pelatihan Bill Kovach bercerita, pada suatu liputan ia dan keluarganya secara
tak sengaja berhubungan dengan keluarga obyek yang menjadi liputannya. Si
Wartawan pun mendiskusikan dengan Bill Kovach kejadian tersebut. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang
wartawan "tidak mencari teman, tidak mencari musuh." Terkadang memang
sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari
taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi
wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk
lewat acara-acara itu.
"Seorang
wartawan adalah mahluk asosial. Don't get me wrong," kata Kovach. Asosial
bukan antisosial. Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach
dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom
opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan
sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh
tak netral?
Menjadi netral
bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud
dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap
orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat
dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas.
Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari
data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada
kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati
seorang wartawan.
"Wartawan
yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap
harus menghargai fakta di atas segalanya," kata Anthony Lewis, kolumnis
The New York Times. Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari
Universal Press Syndicate, "bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan
saya."
Tapi wartawan
yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi
pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif
yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih
sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan
mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut
bermain.
Kesetiaan pada
kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau
propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh
bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi
jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi
ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan.
Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih,
keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan
sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang
etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi
buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan.
Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal
menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang
seragam.
Bersama-sama
wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi
sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah
metode buat menghasilkan liputan yang baik.
ELEMEN jurnalisme yang kelima
adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau
kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau
dipakai istilah Indonesianya, "jangan cari gara-gara juga." Memantau
kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Salah satu
cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis
reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang
melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu
kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya di
Amerika Serikat, juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang
dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana
menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi.
Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi
itu.
Salah satu
konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil
sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai
istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting
karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan
dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat
menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin
karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi.
Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke
dalam investigasi.
Bob Woodward
dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut
mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada
1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah "pikiran yang
terbuka."
Elemen keenam
adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman
dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik
di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan
sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.
Logikanya,
manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan,
katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya
suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak.
Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun
dipenuhi dengan komentar -mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk
show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan
sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi
dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk
menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum
publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum
inilah Plato pertama kali menegakkan cap demokrasi.
Sekarang
teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran
langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai
teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun
informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Kovach dan
Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus
dibedakan dengan "jurnalisme semu," yang mengadakan debat secara
artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
Munculnya
jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta
secara memadai. "Talk is cheap," kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya
produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun
infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur
reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga
membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka
biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Ngomong itu murah”,
Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung
sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.
Jurnalisme
semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme
semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar
nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang
sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang
esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini.
Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi
lebih sengit.
Nieman Fellowship dan Bill Kovach
mengusulkan agar para wartawan mengikuti program penulisan non fiksi. Mereka
menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme
cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini.
Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat
sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus
"enak dibaca dan perlu."
Memikat
sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal
yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu,
sensasional, menghibur dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan
dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang
membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi
juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja
karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang
dan serius. Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya
malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang
bermutu.
Menulis narasi
yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana
laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah
bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Di sisi lain,
daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan
Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15
persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah
internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik.
Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.
Duet
Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age
of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan
media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky.
Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang
isu yang lebih relevan.
Elemen
kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan
komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang
menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya
pada aspek yang emosional. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional
dalam pemberitaannya.
Kovach dan
Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan
seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu
melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya
adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya? Ini berbeda
dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada
sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan
gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain
gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.
Proporsional
serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita
mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama,
penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita
juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif
inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan
berita.
Masyarakat
bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya
masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
SETIAP wartawan harus
mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi,
semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan
tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan. "Setiap individu reporter harus
menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model
itulah dia membangun karirnya," kata wartawan televisi Bill Kurtis dari
A&E Network.
Menjalankan
prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas,
di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. "Bos, saya kira keputusan
Anda keliru!" atau "Pak, ini kok kesannya rasialis" adalah dua
contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.
Menciptakan
suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah
tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan
menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus
bisa mengambil keputusan -menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan,
membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas-agar media bersangkutan bisa
menepati deadline.
Membolehkan
tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan
manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami
persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus
senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau
komentar bisa datang langsung pada mereka.
Bob Woodward
dari The Washington Post mengatakan, "Jurnalisme yang paling baik
seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya."
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as