Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    9 elemen jurnalisme

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    9 elemen jurnalisme Empty 9 elemen jurnalisme

    Post by sumanto Sun Aug 08, 2010 8:22 pm

    Sembilan Elemen Jurnalisme





    HATI nurani
    jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang
    bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard
    mengatakan, Kovach punya "Karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan.
    Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit "mencari
    kesalahan" Kovach.


    Wartawan yang
    nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama
    rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di
    sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu
    suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun
    di sana.


    Kovach mundur
    ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di
    bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya
    dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize,
    penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach
    menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada
    1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas
    Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.


    Sedangkan Tom
    Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media
    dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of
    Concerned Journalists -sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya
    melakukan riset dan diskusi tentang media.


    Dalam buku ini
    Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme.
    Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan
    banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga
    tahun.


    Sembilan
    elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen
    jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.


    Kebenaran yang
    mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda?
    Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran
    yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering
    direvisi. Kebenaran menurut siapa?


    Bagaimana
    dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena
    latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau
    agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang
    berbeda-beda?


    Kovach dan
    Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
    mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap
    tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga
    berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan
    hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada
    anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.


    Namun apa yang
    dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa
    dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah,
    fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.


    Hal ini pula
    yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi
    kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa
    mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang,
    ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.


    Selain itu
    kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan
    Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan
    memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor
    polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi
    oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi.
    Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah
    ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom
    opini. Demikian seterusnya.


    Jadi kebenaran
    dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi
    tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya
    lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran
    yang lebih lengkap.


    Namun
    ironisnya dengan mengetahui mana benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach
    dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, "Kepada siapa
    wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya?
    Atau pada masyarakat?"


    Pertanyaan itu
    penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang
    bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan
    setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.


    Ini
    memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa
    melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian,
    dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari
    keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan
    masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan
    bisnisnya sendiri.


    Mari melihat
    dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times.
    Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan
    suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak
    menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis,
    "… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of
    party, sect or interests involved."


    Pada 1933
    Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman
    suratkabar itu, "Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau
    perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan
    demi kepentingan masyarakat."


    Prinsip Ochs
    dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang
    prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.


    Kovach dan
    Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan
    misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan
    bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah
    pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga
    adalah masyarakat (citizens).


    Berbeda dengan
    kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca
    bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio,
    maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk
    menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis
    suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos
    produksi. Ada subsidi buat pembaca.


    Adanya
    kepercayaan publik inilah yang kemudian "dipinjamkan" perusahaan
    media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang
    pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara
    media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.


    Kovach dan
    Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau
    pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan
    bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan
    sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.


    Model ini
    ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya.
    Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil
    mencapainya.


    Manajemen
    model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial
    para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan
    atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas
    si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada
    peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan
    bonus.





    BANYAK
    wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang
    media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis
    bahwa renungan dua wartawan "yang sudah mengalami pencerahan" ini
    perlu dibaca wartawan Thai.


    I Made
    Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan bahwa Gatra sedang
    menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, "Buku ini kita
    pandang mengembalikan pada basic jurnalisme," kata Suarjana.


    Salah satu
    bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
    tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin
    dalam melakukan verifikasi.


    Disiplin mampu
    membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi,
    guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang
    membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.


    Mereka
    berpendapat, "saudara sepupu" hiburan yang disebut infotainment (dari
    kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana
    batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian
    pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa
    menghibur tapi juga bisa tidak.


    Batas antara
    fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan
    fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike
    Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang
    keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana
    industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan
    perokok.


    Kejadian itu
    sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan
    seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu
    "pada dasarnya akurat" karena Wallace memang takluk pada tekanan
    pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara
    keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.


    Kovach dan
    Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai
    tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada
    kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik
    perhatian penonton.


    Lantas
    bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan
    dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel
    menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap
    wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan
    dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena
    disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut
    sebagai objektifitas.


    Orang sering
    bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif?
    Bagaimana dengan wartawan yang punya
    latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan
    pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang
    diliputnya?


    Kovach dan
    Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu.
    Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme.
    Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya
    begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.


    Ide tentang
    realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut
    sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada
    awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka
    berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.


    Namun pada
    awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919
    Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis
    sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times
    menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times
    lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa
    yang terjadi.


    Lippmann
    menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh "saksi mata yang
    tak terlatih." Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann
    mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga
    tidak cukup.


    Bylines
    diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si
    reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah
    wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan
    konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk
    bekerja di lapangan.


    Solusinya,
    menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan,
    "There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It
    is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada
    satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu
    adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan;
    seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan)."


    Baginya, metode
    jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas
    adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.


    Sayang, dengan
    berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan
    keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi
    tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman
    bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.


    Sekarang ini
    tak sedikit jurnalis yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan
    pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya
    sebagai ilusi. Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan
    Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya
    sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.


    Tapi berimbang
    maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan
    distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan
    yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai
    tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca? Kovach dan Rosenstiel
    menawarkan lima konsep dalam verifikasi:


    - Jangan menambah atau mengarang apa pun;


    - Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;


    - Bersikaplah
    setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam
    melakukan reportase;


    - Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;


    - Bersikaplah rendah hati.


    Kovach dan
    Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan
    metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan
    secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi
    kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.


    Kedua,
    memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu
    daftar pertanyaan yang disebutnya "accuracy checklist."


    - Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang
    cukup?


    - Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi
    atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam
    laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?


    - Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?


    - Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan
    apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?


    - Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin
    halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan
    laporan ini lebih dari batas yang wajar?


    - Apa ada yang kurang?


    - Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang
    memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari
    yang bersangkutan?


    Ketiga, jangan
    berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus
    mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari
    Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang
    konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping
    media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan
    pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam
    adalah saksi mata.


    Metode
    keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French's Colored
    Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi
    dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk
    mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.





    Seorang wartawan yang pernah mengikuti program
    pelatihan Bill Kovach bercerita, pada suatu liputan ia dan keluarganya secara
    tak sengaja berhubungan dengan keluarga obyek yang menjadi liputannya. Si
    Wartawan pun mendiskusikan dengan Bill Kovach kejadian tersebut. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang
    wartawan "tidak mencari teman, tidak mencari musuh." Terkadang memang
    sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari
    taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi
    wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk
    lewat acara-acara itu.


    "Seorang
    wartawan adalah mahluk asosial. Don't get me wrong," kata Kovach. Asosial
    bukan antisosial. Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach
    dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom
    opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan
    sikapnya dengan jelas.





    Kalau begitu wartawan boleh
    tak netral?



    Menjadi netral
    bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud
    dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap
    orang-orang yang mereka liput.


    Jadi, semangat
    dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas.
    Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari
    data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada
    kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati
    seorang wartawan.


    "Wartawan
    yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap
    harus menghargai fakta di atas segalanya," kata Anthony Lewis, kolumnis
    The New York Times. Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari
    Universal Press Syndicate, "bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan
    saya."


    Tapi wartawan
    yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi
    pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif
    yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih
    sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan
    mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut
    bermain.


    Kesetiaan pada
    kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau
    propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh
    bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi
    jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.


    Independensi
    ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan.
    Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih,
    keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan
    sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.


    Latar belakang
    etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi
    buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan.
    Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal
    menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang
    seragam.


    Bersama-sama
    wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi
    sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah
    metode buat menghasilkan liputan yang baik.





    ELEMEN jurnalisme yang kelima
    adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau
    kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau
    dipakai istilah Indonesianya, "jangan cari gara-gara juga." Memantau
    kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.


    Salah satu
    cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis
    reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang
    melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu
    kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.


    Sayangnya di
    Amerika Serikat, juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang
    dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana
    menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi.
    Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi
    itu.


    Salah satu
    konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil
    sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai
    istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting
    karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan
    dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat
    menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin
    karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi.
    Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke
    dalam investigasi.


    Bob Woodward
    dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut
    mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada
    1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah "pikiran yang
    terbuka."


    Elemen keenam
    adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman
    dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik
    di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan
    sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.


    Logikanya,
    manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan,
    katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya
    suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak.
    Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun
    dipenuhi dengan komentar -mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk
    show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan
    sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi
    dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk
    menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum
    publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum
    inilah Plato pertama kali menegakkan cap demokrasi.


    Sekarang
    teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran
    langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai
    teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun
    informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.


    Kovach dan
    Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus
    dibedakan dengan "jurnalisme semu," yang mengadakan debat secara
    artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.


    Munculnya
    jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta
    secara memadai. "Talk is cheap," kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya
    produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun
    infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur
    reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga
    membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka
    biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Ngomong itu murah”,
    Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung
    sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.


    Jurnalisme
    semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme
    semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar
    nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang
    sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang
    esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini.
    Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi
    lebih sengit.





    Nieman Fellowship dan Bill Kovach
    mengusulkan agar para wartawan mengikuti program penulisan non fiksi. Mereka
    menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme
    cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini.
    Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat
    sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus
    "enak dibaca dan perlu."


    Memikat
    sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal
    yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu,
    sensasional, menghibur dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan
    dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
    Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang
    membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi
    juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja
    karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang
    dan serius. Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya
    malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang
    bermutu.


    Menulis narasi
    yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana
    laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah
    bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.


    Di sisi lain,
    daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan
    Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15
    persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah
    internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik.
    Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.


    Duet
    Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age
    of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan
    media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky.
    Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang
    isu yang lebih relevan.


    Elemen
    kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan
    komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang
    menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya
    pada aspek yang emosional. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional
    dalam pemberitaannya.


    Kovach dan
    Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan
    seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu
    melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya
    adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya? Ini berbeda
    dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada
    sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan
    gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain
    gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.


    Proporsional
    serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita
    mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama,
    penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita
    juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif
    inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan
    berita.


    Masyarakat
    bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya
    masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.





    SETIAP wartawan harus
    mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi,
    semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan
    tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan. "Setiap individu reporter harus
    menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model
    itulah dia membangun karirnya," kata wartawan televisi Bill Kurtis dari
    A&E Network.


    Menjalankan
    prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas,
    di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. "Bos, saya kira keputusan
    Anda keliru!" atau "Pak, ini kok kesannya rasialis" adalah dua
    contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.


    Menciptakan
    suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah
    tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan
    menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus
    bisa mengambil keputusan -menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan,
    membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas-agar media bersangkutan bisa
    menepati deadline.


    Membolehkan
    tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan
    manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami
    persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus
    senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau
    komentar bisa datang langsung pada mereka.


    Bob Woodward
    dari The Washington Post mengatakan, "Jurnalisme yang paling baik
    seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya."

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 4:07 pm