Ide, Proses Kreatif dan “Berak”
(Dody Wisnu Pribadi, alumnus jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Jember)
disajikan untuk acara pelatihan jurnalistik di
Universitas Brawijaya, malang Kamis, 30 November 1995
Ide dalam Pers
Marilah kita mulai pembahasan
dengan sebuah statement tunggal: Pers adalah pasar ide. Pers, dalam pengertian
luas, adalah wahana komunikasi. Ia malah bisa disebut sebagai sisitem nilai.
Yang menjadikan pers berkekuatan karena sifat komunikasinya yang khas, yakni
umum, tidak personal seperti handphone atau pager. Dari masyarakat umum ke
khalayak umum, membicarkan kepentingan umum. Itulah sebabnya umum kemudian
berkepentingan dengan pers.
Pers menjadi public service, bukan
hanya menjadi interes personal, tapi lalu menjadi interes publik. Mereka yang
berkepentingan dengan publik, apakah itu lembaga-lembaga negara, ataukah
lembaga-lembaga modal, berkepentingan dengan pers. Begitu juga publik itu
sendiri. Yah...., pers lalu bermetamorfosa sebagai sebebntuk kekuatan .
powerfull information. Manifestasinya sepele, selembar koran, seeksemplar
majalah, atau sekedar tayangan suara dan gambar, tapi yang lebih penting
pengaruhnya.
Dalam konteks inilah ide dalam pers
memberi nyawa, menjadikan pers hidup, menjadi hantu atau bahkan pahlawan bagi
sesuatu pihak. Karena pers sebagai sistem kemudian mengenal ide sebagai
komoditas-tidak hanya dalam artian modal, namun terlebih penting dalam artian
public interes (kepentingan publik) itu tadi- ide menjadi penting dalam
perbincangan kita tentang makna dasar kerja jurnalistik. Ide itulah intisari
kerja jurnalistik. Mengemas ide, menawarkan ide, menjualnya dan mendapat
keuntungan dari jualan ide.
Bagaimana ide mula-mula diperoleh
menjadi pertanyaan besar dalam proses kreatif kerja jurnalistik. Memang, hakekatnya
seputar itulah pekerjaan menulis dalam kerja jurnalistik. Dalam wacana
kepenulisan yang lain, proses menemukan dan menggarap ide, sangat barangkali
bisa sama, tapi saya ingin menegaskan perbedaannya. Yakni perbedaa mengolah ide
dalam kerja jurnalistik, dengan mengolah ide dalam kerja lain, misalnya ketika
menulis puisi, atau menulis cerpen, meskipun perbedaan itu bukan harga mati.
Ide dalam kerja jurnalistik
mestilah bermula dari konteks kemasyarakatan, karena memang di situlah awal dan
akhir perjalanan ide dalam pers. Proses ini amat mirip dengan epistemologi
pemecahan masalah dalam kerja ilmiah. Bahwa dalam masyarakat muncul
masalah-masalah yang harus dipecahkan. Masalah, niscaya ada dalam kumpulan
masyarakat. Lebih-lebih dalam sistem masyarakat yang disebut negara.
Kompleks-kompleks friksi dan kemajemukan dalam lembaga negara atau kelompok
masyarakt niscaya akan menimbulkan masalah.
Misalnya terhadap premis elementer
dalam ilmu hukum yang menyebutkan, bahwa batas-batas kekuasaan hukum individu
adalah individu lain. Orang boleh dan melakukan apa saja sampai pada batasnya
ia terbatasi oleh hak orang lain. Dengan cara itulah misalnya masalah-masalah
timbul, yakni masalah pengaturan hak-hak individu. Friksi dalam kumpulan
masyarakat itu pasti senantiasa ada. Dan dari masalah itulah ide dimunculkan.
Jadi, sampai tahap ini tampak bahwa
kerja jurnalistik bukan (jangan) tidak berasal dari kepentingan kemasyarakatan.
Itulah, dalam batasan sempit, yang membedakan penulis berita jurnalistik dengan
penulis roman atau fiksi. Karena penulis roman hanya menggarap ide personalnya.
Misalnya ingatan kampung halaman, pada kerinduan kepada ibu. Sekali lagi, dalam
batasan sempit
Tapi kebanyakan nurani manusia di
zaman ini sudah tumpul. Mungkin karena terbawa kelana zaman konsumerisme.
Mungkin karena asyik masyuk dengan kemapanan, status sosial, fasilitas, materi
dan deposito. Mungkin juga hanya karena ketakutan-ketakutan situasional.
Misalnya, takut disiksa tentara, takut dimutasikan, takut di PHK, takut tak
diluluskan dosennya. Nurani manusia tumpul, tidak rajin membaca zaman, tidak
peka melihat masalah dalam masyarakat, maka ide tidak tampak. Padahal, ide dan
masalah itu kasat mata meskipun tidak dalam artian harafiah. Masalah dalam
masyarakat terserak dimana-mana.
Marilah kita uraikan. Hanya barang
tiga puluh kilometer dari pusat kota Surabya, di kota-kota kecil Madura,
kemiskinan merajalela. Mereka miskin bukan hanya karena nasib buruk mereka,
tapi karena sengaja dibuat miskin. Uang dibiarkan berputar di pusat kota. Uang
tidak dibawa ke desa. Akses mereka terhadap modal usaha, dihilangkan atau bahasa
halusnya dikecilkan. Modal usaha, kunci keberhasilan menuju kesejahteraan hanya
dinikmati pengusaha kota. Sistem ekonomi dibangun dengan mendahulukan
kepentingan pemilik modal di kota-kota besa, bagi sektor-sektor yang hanya bisa
disentuh oleh sekelompok kecil penikmat modal, bukan kelompok besarnya.
Ketika bocah-bocah ABG di Plaza
Tunjungan duduk di sudut Bon Cafe, mengenakan kaos ketat Hammer bergambar palu,
memesan satu cup fresh juisce yang diminta menggunakan non-diabetic sweetener,
menyantap seporsi tepanyaki ditambah kudapan kentang goreng lantas berlalu
dengan sepetu radialnya dan membayar di kasi dengan kartu kredit Master
Card-nya untuk transaksi sekali santap sebesar Rp. 50.000,- Bocah ABG tadi
mampir ke counter music shop menghamburkan beberapa ratus ribu membeli CD
terbarunya Janette Jackson seraya bertanya “Apakah tidak ada discount, kan bisa
lebih hemat kalau pas sale” Bocah ABG tadi lalu melenggang sambil menggumamkan
lagu “Scatman World” ia melangkah ke tempat parkir seraya memencet tombol
remote key mobilnya dan mobil JLX-nya berteriak menguik sebeblum kunci
otomatisnya membuka: Di bilah dunia tak jauh dari situ seorang ibu muda namun
berparas tua di tengah kegelapan acara pengajian di Madu di atas hamparan sawah
bera yang lama tak tertanami sepanjang musim kemarau, ia duduk menuai
beberapa genggam kacang tanah yang digelar di atas tampah kusam. Tampahnya
dihiasi lampu minyak berkelip kecil. Agar menarik perhatian ia sengaja duduk di
bawah tiang corong speaker. Di sekelilingnya, bocah-bocah kecil bermain lesu
menunggu acara pengajian dimulai, sementara corong menguakkan lagu-lagu dari
Timur Tengah. Mata anak-anak itu masih belok lucu, tapi gerakannya lamban,
rambutnya kusam kemerahan dan kulitnya busik. Di samping keranjang kosongnya
tergeletak anak bayinya, diam dan muram, pasti sedang menahan lapar. Atau malah
tidak merasa lapar karena seumur hidupnya ia belum pernah tahu rasanya kenyang.
Seluruh sistem metebolisme sosial di terakhir ini barangkali hanya berjalan
sepersepuluh atau seperseratus kali dibanding Bocah ABG tadi. Kontras-kontras
itulah contoh masalah dan idenya.
Mencairkan Ide
Ide sekedar menjadi individual
(misalnya ingatan pada kekasih) jika tidak diiringi dengan usaha
“mengkontekskan ide”. Maksudnya, lantaran motif public interest dalam kerja
jurnalistik dan pers tadi, ide yang terkemukakan harus dikontekskan dengan situasi-situasi
kontemporer. Mungkin bisa juga proses ini disebut dengan aktualisasi ide, atau
apalah namanya.
Yah...., gambaran pelukisan seorang
Mbok Misnatun di sudut pasar Jagalan dengan dagangan kain batiknya, akan
terkontekskan jika dikaitkan dengan persoalan besar sektor usaha kecil. Mungkin
gambaran Mbok Misnatun hanya ilustrasi dramatis dari sebuah mayor thingking, sebuah pikiran besar
yang hendak dikemukakan tentang pentingnya keadilan mendistribusikan modal,
khususnya bagi wirausahawan bermodal kecil. Mengkontekskan ide, barangkali
merupakan proses kerja paling cerdas dalam seluruh tahapan proses kreatif
jurnalistik. Tapi dengan cara itulah ide itu mencair, menjadi untaian kerangka
penulisan yang menjelaskan rinci tahap demi tahap perkembangan ide itu tadi
dalam tulisan. Tapi upaya mengkontekskan ide hendaknya jangan dibatasi oleh sektor-sektor,
apalagi oleh pengkotakan-pengkotakan masalah. Konteks ide harus benar-benar
bebas, liar, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya. Konteks
besar ide dalam kerja jurnalistikk, akhirnya juga menyinggung pada wacana
aktual pada waktu itu.
Mungkin Mbok Misnatun sekedar
ilustrasi dalam sebuah tulisan besar tentang konglomerasi, ketidakmerataan
distribusi modal (sektor ekonomi). Tapi kisah Mbok Misnatun juga bisa
dikontekskan dengan keadilan hukum, proses politik, diskriminasi sosial, kemiskinan
dan sejuta ide besar lainnya.
Marilah kita lebih memfokuskan
kacamata dalam perbincangan ini. Bagaimana mengkontekskan ide? Bahwa proses
kontekstualisasi itu hendaknya ditarik oelh isu-isu aktual pada hari itu, atau
pada masa itu. Biasanya penggiringan ide ini sangat diwarnai oleh interes
pribadi penulisnya. Itu sah-sah saja, boleh-boleh saja, tapi yang lebih penting
penggringan ini hendaknya dilembagakan oleh sistem persnya, atau setidaknya
oleh lembaga persnya. (Sayang apa boleh buat jika secara jujur harus dikatakan,
upaya terakhir itu dalam banyak hal jarang terjadi. Jarang terjadi mungkin
karena rai gedeg-nya pengelola lembaga pers itu, tapi lebih sering terjadi
karena tekanan-tekanan eksternal dan sistem birokrasi yang sedang bekerja dalam
lembaga besar negaranya memang tidak memungkinkan).
Jika ide dalam sistem pers adalah
muatan bagi sebuah kendaraan. Maka tujuan kendaraan itulah proses penggiringan
atau kontekstualisasi idenya. Mulailah kita temukan bahwa proses pemberian
nyawa bagi sebuah tulisan dalam kerja kreatif jurnalistik ini lantas terasakan.
Pada sat inilah tulisan dan kerja jurnalistik itu lantas amat menarik, hidup
dan menjadi sumber pencerahan khalayak pembacanya. Ide dikemas lewat kasus-kasus
aktual, antara kasus mikro dengan pikiran besarnya, sehingga menjadi sangat
kontekstual dengan kebutuhan zaman bagi pembacanya.
Pada saat inilah keluasan dan
kedalaman motif-motif pribadi penulisnya teruji. Yang juga teruji pastilah juga
keluasan pengetahuan penulisnya. Tapi yah...., tentu semua tahu bahwa keluasan
pengetahuan merupakan pra-syarat mutlak dalam kerja kepenulisan. Tidak mungkin
seorang jurnalis bekerja berdagang ide, kulakan ide, memberi nilai tambah bagi
ide itu, dan menggelar idenya di warung ide, tanpa lebih dulu mengetahui pasar
bursa ide. Mungkin tidak banyak penulis jurnalistik (wartawan) yang secara
sadar melakukan ini.
Marilah kita masuk menggali lebih
dalam. Dalam kerja kepenulisan, ada sebuah motif terdalam yang disebut nurani
penulisan. Ini penamaan saya sendiri, karena saya tidak tahu apakah kajian
literer mempersoalkannya (barangkali tidak). Nurani penulisan, dalam banyak
kasus bisa disebut seperti kependetaan, kewaskitaan kerja penulisan. Semacam
malaikat suci yang menjaga tindakan moral penggiringan (kontekstualisasi) ide.
Penggiringan ide, sangat berkait dengan motif-motif moral. Dia bukan semata-mata
kerja tekhnis melakukan kristalisasi, pencarian intisari masalah, namun lebih
dari itu dia juga dalam bahasa agama seperti semacam dakwah, syiar moral.
Sayang sekali banyak wartawan lalai
melakukan ini. Tapi jika citarasa ini kita cicipi, betapa moralisasi kerja
penggiringan ide itu menjadi begitu mulia, begitu bermakna begitu suci,
sehingga pekerjaan kewartawanan, atau kerja besar di dunia pers ini bukan
semata-mata mencari sesuap nasi atau menambah besar tumpukan deposito (semenjak
pers menjadi ajang kapitalisasi modal bahkan kekuasaan gaji wartawan sekarang
terlalu besar untuk disebut mencari sesuap nai. Lha... wong kebiasaan
entertaimentnya ke disko, pijet atau nyetel film BF). Barangkali lebih cocok
jika tahap ini disebut moralisasi ide, atau saya biasa menyebut moral kerja
wartawan.
Menurut pendapat saya, dengan cara
inilah kira-kira, seorang penulis yang biasa melakukan Mo Limo dalam hidupnya
tetap mampu mengkhotbahkan kemuliaan dalam tulisan-tulisannya. Seorang wartawan
yang menerima suap siang hari, petang harinya di depan komputer ia tetap
mengetikkan karya jurnalistik padat moral. Tapi baiklah di sini adalah moral
kerja kepenulisannya.
Sampai di sini pertanyaan yang
paling yang bisa diajukan adalah moral mana yang hendak dianut. Bahasan tentang
ini sangat tergantung, tapi kalau saat ini bisa dikemukakan menurut pendapat
saya adalah moral-moral universal, mungkin juga moral agama (karena anggapan
masing-masing pribadi terhadap agama sangat bermacam-macam, agama untuk
sementara kita sebut sebagai sebentuk universialisme juga). Nilai-nilai
universal yang dimaksud adalah ide-ide moral semacam humanisme, hak asasi
manusia, demokratisasi, keadilan, pemerataan, pemihakan kepada kaum yang lemah,
kerakyatan, memperjuangkan kebenaran, pembelaan kepada rakyat kecil...
pendeknya pemuliaan kepada moral-moral duniawi itu.
Menuliskan Ide
Dua bahasan di muka berkuasa dalam
motif kerja kepenulisan selama proses kreatif berlangsung. Ia berkuasa dari
awal pencarian ide, hingga tetes akhir penulisan berlangsung. Lalu
pertanyaannya..... bagaimana benar-benar menuliskan idenya? Saya berpendapat
proses ini sebenarnya individual sekali. Sangat tergantung situasi personal
yang bersangkutan. Tapi, yah....., memang ada kerangka kerja, atau semacam
upaya-upaya sistematis yang dapat dilakukan.
Upaya-upaya sistematis itu sangat
umum dan belum tentu mampu memberikan semacam resep kepenulisan, tapi
setidaknya bisa dimanfaatkan sebagai kegiatan membagi pengalaman saja. Seorang
penulis yang gelsiah biasanya melakukan pencarian diri, ia juga mengksplorasi
pengalan orang lain, lalu mencoba dan mengevaluasi sejauh mana pencarian relung
idenya termanifestasikan di tulisannya atau sejauh mana pencarian ide untuk
topik yang sama yang dilakukan orang lain dalam tulisannya menyamai
pencariannya.
Cara paling umum adalah meng-kerangkakannya.
Kristalisasi ide dalam pikiran dicirikan oleh kehadiran kaitan-kaitan masalah
dalam pikiran. Jika pikiran dasarnya sudah muncul dalam pikiran, kita bisa
mulai mengkerangkakannya sesuai tujuan format penulisannya. Format berita
(news) barangkali sangat biasa, karena di sana tidak ada pemanipulasian. Yang
lebih berat biasanya ketika mengerjakan (news) feature. Lantaran tuntutan
terhadap bobot dan upaya membuat tulisan juga menarik, membuat pengkerangkaan
ide dalam feature memerlukan ketrampilan pemanipulasian (bukan penipuan, tapi
semacam trik atau montase, pengolahan gagasan).
Kita bisa membagi pokok pikiran
dalam item-item. Item boleh diberi judul, boleh juga tidak misalnya dengan
memisahkannya dengan tanda-tanda (misalnya bintang tiga dicentered paragraph).
Setelah kerangka terbentuk, lalu dibuatlah kerja pemanipulasian . tulisan yang
baik akan menarik dengan membuatkannya mengandung unsur thriller, suspense,
kejutan-kejutan. Fakta-fakta tidak langsung digeber dalam satu item, tapi
ditunda pemunculan penyelesaian uraiannya. Banyak cara bisa dipilih, misalnya
dengan teknik fokus jauh dan fokus pendek. Mikro lalu makro, lalu mikro lagi,
dimakrokan lalu ending pointnya mikro lagi.
Misalnya, item pertama, mikro.
Bertutur tentang dunia mikro (seperti fokus pendek dalam film) Mbok Misnatun di
pasar Jagalan, berikut kisah dramatis yang dialaminya (misalnya baru saja
kecopetan uang yang seharusnya untuk membayar uang sekolah anaknya). Item
berikutnya dimakrokan (seperti fokus panjang, kamera menjauhi obyek sehingga
tampak pemandangan tempat tempat obyek berada), misalnya menuturkan rendahnya
keamanan pasar Jagalan dan lebih jauh lagi keamanan pasar-pasar di kota itu,
lalu diilustrasikan dengan fakta-fakta statistik kejahatan, kasus kemarin.
Komentar pihak keamanan pasar, kepala pasar.
Item berikutnya boleh dimikrokan
kembali (fokus pendek) dengan melihat kontras-kontras tidak hanya keamanan
namun juga kenyamanan yang dinikmati pengunjung Plaza hanya beda selantai di
lanatai atas pasar Jagalan. Dilukiskan kenyamanannya, kontras-kontrasnya,
keamanannya, sistem sekuritinya, satpamnya,otomatisasi keamanan yang semuanya
berharga mahal. Lalu dimakrokan kembali untuk membicarakn ketimpangan sistem
keadilan dan hak memperoleh keamanan.
Disini boleh ada khotbah-khotbah,
gugatan-gugatan, renungan-renungan, pembandingan-pembandingan ketika mana
moralisasi ide seperti diurai sebelumnya dipaparkan. Lalu ending point-nya
dimikrokan kembali, misalnya fokus ketiak Mbok Misnatun tetap saja gagal
membayar uang sekolah anaknya. Seperti nonton film, akhir filem kamera menjauh
menyisakan renungan-renungan pesan pada penontonnya.
Orang memiliki pengalaman personal
yang berbeda-beda dalam proses pencarian ide, kontekstualisasi ide, moralisasi
hingga proses penulisan ide itu. Kadang-kadang ide itu sudah tuntas sebelum
penulis menghadapi komputer untuk mulai menulis, tidak jarang keseluruhan
penggrapan ide baru selesai pada detik-detik terakhir penyelsaian naskah. Untuk
menyelesaikannya tidak jarang orang perlu ngopi dulu, menggeliat dulu, sambil
mondar-mandir di depan meja tulis, memilih waktu menjelang subuh, harus mandi
dan berbaju bersih dulu, atau harus seketika dituliskan sepulang dari lapangan,
harus ditemani radio yang disetel sayup-sayup, harus sambil mendengarkan musk
lewat earphone, atau harus duduk disamping foto pacar, istri atau anaknya.
Tidak jarang kebiasaan itu juga
aneh, misalnya di film Firm, tokoh yang diperankan Tom Cruise selalu mendapat
ide ketika menggenggam pemukul bola kasti, bisa juga ide mengalir lancar jika
di lacinya ada apel busuk (Agatha Christhie menulis karakter tokoh dalam cerita
detektifnya demikian). Saya misalnya, mendapat ide seringkali ketika sedang
membaca koran sambil berak di kamar mandi.
(Dody Wisnu Pribadi, alumnus jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Jember)
disajikan untuk acara pelatihan jurnalistik di
Universitas Brawijaya, malang Kamis, 30 November 1995
Ide dalam Pers
Marilah kita mulai pembahasan
dengan sebuah statement tunggal: Pers adalah pasar ide. Pers, dalam pengertian
luas, adalah wahana komunikasi. Ia malah bisa disebut sebagai sisitem nilai.
Yang menjadikan pers berkekuatan karena sifat komunikasinya yang khas, yakni
umum, tidak personal seperti handphone atau pager. Dari masyarakat umum ke
khalayak umum, membicarkan kepentingan umum. Itulah sebabnya umum kemudian
berkepentingan dengan pers.
Pers menjadi public service, bukan
hanya menjadi interes personal, tapi lalu menjadi interes publik. Mereka yang
berkepentingan dengan publik, apakah itu lembaga-lembaga negara, ataukah
lembaga-lembaga modal, berkepentingan dengan pers. Begitu juga publik itu
sendiri. Yah...., pers lalu bermetamorfosa sebagai sebebntuk kekuatan .
powerfull information. Manifestasinya sepele, selembar koran, seeksemplar
majalah, atau sekedar tayangan suara dan gambar, tapi yang lebih penting
pengaruhnya.
Dalam konteks inilah ide dalam pers
memberi nyawa, menjadikan pers hidup, menjadi hantu atau bahkan pahlawan bagi
sesuatu pihak. Karena pers sebagai sistem kemudian mengenal ide sebagai
komoditas-tidak hanya dalam artian modal, namun terlebih penting dalam artian
public interes (kepentingan publik) itu tadi- ide menjadi penting dalam
perbincangan kita tentang makna dasar kerja jurnalistik. Ide itulah intisari
kerja jurnalistik. Mengemas ide, menawarkan ide, menjualnya dan mendapat
keuntungan dari jualan ide.
Bagaimana ide mula-mula diperoleh
menjadi pertanyaan besar dalam proses kreatif kerja jurnalistik. Memang, hakekatnya
seputar itulah pekerjaan menulis dalam kerja jurnalistik. Dalam wacana
kepenulisan yang lain, proses menemukan dan menggarap ide, sangat barangkali
bisa sama, tapi saya ingin menegaskan perbedaannya. Yakni perbedaa mengolah ide
dalam kerja jurnalistik, dengan mengolah ide dalam kerja lain, misalnya ketika
menulis puisi, atau menulis cerpen, meskipun perbedaan itu bukan harga mati.
Ide dalam kerja jurnalistik
mestilah bermula dari konteks kemasyarakatan, karena memang di situlah awal dan
akhir perjalanan ide dalam pers. Proses ini amat mirip dengan epistemologi
pemecahan masalah dalam kerja ilmiah. Bahwa dalam masyarakat muncul
masalah-masalah yang harus dipecahkan. Masalah, niscaya ada dalam kumpulan
masyarakat. Lebih-lebih dalam sistem masyarakat yang disebut negara.
Kompleks-kompleks friksi dan kemajemukan dalam lembaga negara atau kelompok
masyarakt niscaya akan menimbulkan masalah.
Misalnya terhadap premis elementer
dalam ilmu hukum yang menyebutkan, bahwa batas-batas kekuasaan hukum individu
adalah individu lain. Orang boleh dan melakukan apa saja sampai pada batasnya
ia terbatasi oleh hak orang lain. Dengan cara itulah misalnya masalah-masalah
timbul, yakni masalah pengaturan hak-hak individu. Friksi dalam kumpulan
masyarakat itu pasti senantiasa ada. Dan dari masalah itulah ide dimunculkan.
Jadi, sampai tahap ini tampak bahwa
kerja jurnalistik bukan (jangan) tidak berasal dari kepentingan kemasyarakatan.
Itulah, dalam batasan sempit, yang membedakan penulis berita jurnalistik dengan
penulis roman atau fiksi. Karena penulis roman hanya menggarap ide personalnya.
Misalnya ingatan kampung halaman, pada kerinduan kepada ibu. Sekali lagi, dalam
batasan sempit
Tapi kebanyakan nurani manusia di
zaman ini sudah tumpul. Mungkin karena terbawa kelana zaman konsumerisme.
Mungkin karena asyik masyuk dengan kemapanan, status sosial, fasilitas, materi
dan deposito. Mungkin juga hanya karena ketakutan-ketakutan situasional.
Misalnya, takut disiksa tentara, takut dimutasikan, takut di PHK, takut tak
diluluskan dosennya. Nurani manusia tumpul, tidak rajin membaca zaman, tidak
peka melihat masalah dalam masyarakat, maka ide tidak tampak. Padahal, ide dan
masalah itu kasat mata meskipun tidak dalam artian harafiah. Masalah dalam
masyarakat terserak dimana-mana.
Marilah kita uraikan. Hanya barang
tiga puluh kilometer dari pusat kota Surabya, di kota-kota kecil Madura,
kemiskinan merajalela. Mereka miskin bukan hanya karena nasib buruk mereka,
tapi karena sengaja dibuat miskin. Uang dibiarkan berputar di pusat kota. Uang
tidak dibawa ke desa. Akses mereka terhadap modal usaha, dihilangkan atau bahasa
halusnya dikecilkan. Modal usaha, kunci keberhasilan menuju kesejahteraan hanya
dinikmati pengusaha kota. Sistem ekonomi dibangun dengan mendahulukan
kepentingan pemilik modal di kota-kota besa, bagi sektor-sektor yang hanya bisa
disentuh oleh sekelompok kecil penikmat modal, bukan kelompok besarnya.
Ketika bocah-bocah ABG di Plaza
Tunjungan duduk di sudut Bon Cafe, mengenakan kaos ketat Hammer bergambar palu,
memesan satu cup fresh juisce yang diminta menggunakan non-diabetic sweetener,
menyantap seporsi tepanyaki ditambah kudapan kentang goreng lantas berlalu
dengan sepetu radialnya dan membayar di kasi dengan kartu kredit Master
Card-nya untuk transaksi sekali santap sebesar Rp. 50.000,- Bocah ABG tadi
mampir ke counter music shop menghamburkan beberapa ratus ribu membeli CD
terbarunya Janette Jackson seraya bertanya “Apakah tidak ada discount, kan bisa
lebih hemat kalau pas sale” Bocah ABG tadi lalu melenggang sambil menggumamkan
lagu “Scatman World” ia melangkah ke tempat parkir seraya memencet tombol
remote key mobilnya dan mobil JLX-nya berteriak menguik sebeblum kunci
otomatisnya membuka: Di bilah dunia tak jauh dari situ seorang ibu muda namun
berparas tua di tengah kegelapan acara pengajian di Madu di atas hamparan sawah
bera yang lama tak tertanami sepanjang musim kemarau, ia duduk menuai
beberapa genggam kacang tanah yang digelar di atas tampah kusam. Tampahnya
dihiasi lampu minyak berkelip kecil. Agar menarik perhatian ia sengaja duduk di
bawah tiang corong speaker. Di sekelilingnya, bocah-bocah kecil bermain lesu
menunggu acara pengajian dimulai, sementara corong menguakkan lagu-lagu dari
Timur Tengah. Mata anak-anak itu masih belok lucu, tapi gerakannya lamban,
rambutnya kusam kemerahan dan kulitnya busik. Di samping keranjang kosongnya
tergeletak anak bayinya, diam dan muram, pasti sedang menahan lapar. Atau malah
tidak merasa lapar karena seumur hidupnya ia belum pernah tahu rasanya kenyang.
Seluruh sistem metebolisme sosial di terakhir ini barangkali hanya berjalan
sepersepuluh atau seperseratus kali dibanding Bocah ABG tadi. Kontras-kontras
itulah contoh masalah dan idenya.
Mencairkan Ide
Ide sekedar menjadi individual
(misalnya ingatan pada kekasih) jika tidak diiringi dengan usaha
“mengkontekskan ide”. Maksudnya, lantaran motif public interest dalam kerja
jurnalistik dan pers tadi, ide yang terkemukakan harus dikontekskan dengan situasi-situasi
kontemporer. Mungkin bisa juga proses ini disebut dengan aktualisasi ide, atau
apalah namanya.
Yah...., gambaran pelukisan seorang
Mbok Misnatun di sudut pasar Jagalan dengan dagangan kain batiknya, akan
terkontekskan jika dikaitkan dengan persoalan besar sektor usaha kecil. Mungkin
gambaran Mbok Misnatun hanya ilustrasi dramatis dari sebuah mayor thingking, sebuah pikiran besar
yang hendak dikemukakan tentang pentingnya keadilan mendistribusikan modal,
khususnya bagi wirausahawan bermodal kecil. Mengkontekskan ide, barangkali
merupakan proses kerja paling cerdas dalam seluruh tahapan proses kreatif
jurnalistik. Tapi dengan cara itulah ide itu mencair, menjadi untaian kerangka
penulisan yang menjelaskan rinci tahap demi tahap perkembangan ide itu tadi
dalam tulisan. Tapi upaya mengkontekskan ide hendaknya jangan dibatasi oleh sektor-sektor,
apalagi oleh pengkotakan-pengkotakan masalah. Konteks ide harus benar-benar
bebas, liar, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya. Konteks
besar ide dalam kerja jurnalistikk, akhirnya juga menyinggung pada wacana
aktual pada waktu itu.
Mungkin Mbok Misnatun sekedar
ilustrasi dalam sebuah tulisan besar tentang konglomerasi, ketidakmerataan
distribusi modal (sektor ekonomi). Tapi kisah Mbok Misnatun juga bisa
dikontekskan dengan keadilan hukum, proses politik, diskriminasi sosial, kemiskinan
dan sejuta ide besar lainnya.
Marilah kita lebih memfokuskan
kacamata dalam perbincangan ini. Bagaimana mengkontekskan ide? Bahwa proses
kontekstualisasi itu hendaknya ditarik oelh isu-isu aktual pada hari itu, atau
pada masa itu. Biasanya penggiringan ide ini sangat diwarnai oleh interes
pribadi penulisnya. Itu sah-sah saja, boleh-boleh saja, tapi yang lebih penting
penggringan ini hendaknya dilembagakan oleh sistem persnya, atau setidaknya
oleh lembaga persnya. (Sayang apa boleh buat jika secara jujur harus dikatakan,
upaya terakhir itu dalam banyak hal jarang terjadi. Jarang terjadi mungkin
karena rai gedeg-nya pengelola lembaga pers itu, tapi lebih sering terjadi
karena tekanan-tekanan eksternal dan sistem birokrasi yang sedang bekerja dalam
lembaga besar negaranya memang tidak memungkinkan).
Jika ide dalam sistem pers adalah
muatan bagi sebuah kendaraan. Maka tujuan kendaraan itulah proses penggiringan
atau kontekstualisasi idenya. Mulailah kita temukan bahwa proses pemberian
nyawa bagi sebuah tulisan dalam kerja kreatif jurnalistik ini lantas terasakan.
Pada sat inilah tulisan dan kerja jurnalistik itu lantas amat menarik, hidup
dan menjadi sumber pencerahan khalayak pembacanya. Ide dikemas lewat kasus-kasus
aktual, antara kasus mikro dengan pikiran besarnya, sehingga menjadi sangat
kontekstual dengan kebutuhan zaman bagi pembacanya.
Pada saat inilah keluasan dan
kedalaman motif-motif pribadi penulisnya teruji. Yang juga teruji pastilah juga
keluasan pengetahuan penulisnya. Tapi yah...., tentu semua tahu bahwa keluasan
pengetahuan merupakan pra-syarat mutlak dalam kerja kepenulisan. Tidak mungkin
seorang jurnalis bekerja berdagang ide, kulakan ide, memberi nilai tambah bagi
ide itu, dan menggelar idenya di warung ide, tanpa lebih dulu mengetahui pasar
bursa ide. Mungkin tidak banyak penulis jurnalistik (wartawan) yang secara
sadar melakukan ini.
Marilah kita masuk menggali lebih
dalam. Dalam kerja kepenulisan, ada sebuah motif terdalam yang disebut nurani
penulisan. Ini penamaan saya sendiri, karena saya tidak tahu apakah kajian
literer mempersoalkannya (barangkali tidak). Nurani penulisan, dalam banyak
kasus bisa disebut seperti kependetaan, kewaskitaan kerja penulisan. Semacam
malaikat suci yang menjaga tindakan moral penggiringan (kontekstualisasi) ide.
Penggiringan ide, sangat berkait dengan motif-motif moral. Dia bukan semata-mata
kerja tekhnis melakukan kristalisasi, pencarian intisari masalah, namun lebih
dari itu dia juga dalam bahasa agama seperti semacam dakwah, syiar moral.
Sayang sekali banyak wartawan lalai
melakukan ini. Tapi jika citarasa ini kita cicipi, betapa moralisasi kerja
penggiringan ide itu menjadi begitu mulia, begitu bermakna begitu suci,
sehingga pekerjaan kewartawanan, atau kerja besar di dunia pers ini bukan
semata-mata mencari sesuap nasi atau menambah besar tumpukan deposito (semenjak
pers menjadi ajang kapitalisasi modal bahkan kekuasaan gaji wartawan sekarang
terlalu besar untuk disebut mencari sesuap nai. Lha... wong kebiasaan
entertaimentnya ke disko, pijet atau nyetel film BF). Barangkali lebih cocok
jika tahap ini disebut moralisasi ide, atau saya biasa menyebut moral kerja
wartawan.
Menurut pendapat saya, dengan cara
inilah kira-kira, seorang penulis yang biasa melakukan Mo Limo dalam hidupnya
tetap mampu mengkhotbahkan kemuliaan dalam tulisan-tulisannya. Seorang wartawan
yang menerima suap siang hari, petang harinya di depan komputer ia tetap
mengetikkan karya jurnalistik padat moral. Tapi baiklah di sini adalah moral
kerja kepenulisannya.
Sampai di sini pertanyaan yang
paling yang bisa diajukan adalah moral mana yang hendak dianut. Bahasan tentang
ini sangat tergantung, tapi kalau saat ini bisa dikemukakan menurut pendapat
saya adalah moral-moral universal, mungkin juga moral agama (karena anggapan
masing-masing pribadi terhadap agama sangat bermacam-macam, agama untuk
sementara kita sebut sebagai sebentuk universialisme juga). Nilai-nilai
universal yang dimaksud adalah ide-ide moral semacam humanisme, hak asasi
manusia, demokratisasi, keadilan, pemerataan, pemihakan kepada kaum yang lemah,
kerakyatan, memperjuangkan kebenaran, pembelaan kepada rakyat kecil...
pendeknya pemuliaan kepada moral-moral duniawi itu.
Menuliskan Ide
Dua bahasan di muka berkuasa dalam
motif kerja kepenulisan selama proses kreatif berlangsung. Ia berkuasa dari
awal pencarian ide, hingga tetes akhir penulisan berlangsung. Lalu
pertanyaannya..... bagaimana benar-benar menuliskan idenya? Saya berpendapat
proses ini sebenarnya individual sekali. Sangat tergantung situasi personal
yang bersangkutan. Tapi, yah....., memang ada kerangka kerja, atau semacam
upaya-upaya sistematis yang dapat dilakukan.
Upaya-upaya sistematis itu sangat
umum dan belum tentu mampu memberikan semacam resep kepenulisan, tapi
setidaknya bisa dimanfaatkan sebagai kegiatan membagi pengalaman saja. Seorang
penulis yang gelsiah biasanya melakukan pencarian diri, ia juga mengksplorasi
pengalan orang lain, lalu mencoba dan mengevaluasi sejauh mana pencarian relung
idenya termanifestasikan di tulisannya atau sejauh mana pencarian ide untuk
topik yang sama yang dilakukan orang lain dalam tulisannya menyamai
pencariannya.
Cara paling umum adalah meng-kerangkakannya.
Kristalisasi ide dalam pikiran dicirikan oleh kehadiran kaitan-kaitan masalah
dalam pikiran. Jika pikiran dasarnya sudah muncul dalam pikiran, kita bisa
mulai mengkerangkakannya sesuai tujuan format penulisannya. Format berita
(news) barangkali sangat biasa, karena di sana tidak ada pemanipulasian. Yang
lebih berat biasanya ketika mengerjakan (news) feature. Lantaran tuntutan
terhadap bobot dan upaya membuat tulisan juga menarik, membuat pengkerangkaan
ide dalam feature memerlukan ketrampilan pemanipulasian (bukan penipuan, tapi
semacam trik atau montase, pengolahan gagasan).
Kita bisa membagi pokok pikiran
dalam item-item. Item boleh diberi judul, boleh juga tidak misalnya dengan
memisahkannya dengan tanda-tanda (misalnya bintang tiga dicentered paragraph).
Setelah kerangka terbentuk, lalu dibuatlah kerja pemanipulasian . tulisan yang
baik akan menarik dengan membuatkannya mengandung unsur thriller, suspense,
kejutan-kejutan. Fakta-fakta tidak langsung digeber dalam satu item, tapi
ditunda pemunculan penyelesaian uraiannya. Banyak cara bisa dipilih, misalnya
dengan teknik fokus jauh dan fokus pendek. Mikro lalu makro, lalu mikro lagi,
dimakrokan lalu ending pointnya mikro lagi.
Misalnya, item pertama, mikro.
Bertutur tentang dunia mikro (seperti fokus pendek dalam film) Mbok Misnatun di
pasar Jagalan, berikut kisah dramatis yang dialaminya (misalnya baru saja
kecopetan uang yang seharusnya untuk membayar uang sekolah anaknya). Item
berikutnya dimakrokan (seperti fokus panjang, kamera menjauhi obyek sehingga
tampak pemandangan tempat tempat obyek berada), misalnya menuturkan rendahnya
keamanan pasar Jagalan dan lebih jauh lagi keamanan pasar-pasar di kota itu,
lalu diilustrasikan dengan fakta-fakta statistik kejahatan, kasus kemarin.
Komentar pihak keamanan pasar, kepala pasar.
Item berikutnya boleh dimikrokan
kembali (fokus pendek) dengan melihat kontras-kontras tidak hanya keamanan
namun juga kenyamanan yang dinikmati pengunjung Plaza hanya beda selantai di
lanatai atas pasar Jagalan. Dilukiskan kenyamanannya, kontras-kontrasnya,
keamanannya, sistem sekuritinya, satpamnya,otomatisasi keamanan yang semuanya
berharga mahal. Lalu dimakrokan kembali untuk membicarakn ketimpangan sistem
keadilan dan hak memperoleh keamanan.
Disini boleh ada khotbah-khotbah,
gugatan-gugatan, renungan-renungan, pembandingan-pembandingan ketika mana
moralisasi ide seperti diurai sebelumnya dipaparkan. Lalu ending point-nya
dimikrokan kembali, misalnya fokus ketiak Mbok Misnatun tetap saja gagal
membayar uang sekolah anaknya. Seperti nonton film, akhir filem kamera menjauh
menyisakan renungan-renungan pesan pada penontonnya.
Orang memiliki pengalaman personal
yang berbeda-beda dalam proses pencarian ide, kontekstualisasi ide, moralisasi
hingga proses penulisan ide itu. Kadang-kadang ide itu sudah tuntas sebelum
penulis menghadapi komputer untuk mulai menulis, tidak jarang keseluruhan
penggrapan ide baru selesai pada detik-detik terakhir penyelsaian naskah. Untuk
menyelesaikannya tidak jarang orang perlu ngopi dulu, menggeliat dulu, sambil
mondar-mandir di depan meja tulis, memilih waktu menjelang subuh, harus mandi
dan berbaju bersih dulu, atau harus seketika dituliskan sepulang dari lapangan,
harus ditemani radio yang disetel sayup-sayup, harus sambil mendengarkan musk
lewat earphone, atau harus duduk disamping foto pacar, istri atau anaknya.
Tidak jarang kebiasaan itu juga
aneh, misalnya di film Firm, tokoh yang diperankan Tom Cruise selalu mendapat
ide ketika menggenggam pemukul bola kasti, bisa juga ide mengalir lancar jika
di lacinya ada apel busuk (Agatha Christhie menulis karakter tokoh dalam cerita
detektifnya demikian). Saya misalnya, mendapat ide seringkali ketika sedang
membaca koran sambil berak di kamar mandi.
Cerita | Item | Tahapan Proses Kreatif | Dramatisasi Suspence Teknik Bertutur |
| | Kristalisasi Ide | Aktualisasi ide | Moralisasi ide | |
Mbok misnatun dan drama pencopetan yang menimpa dirinya | Pertama | X | | | Ceritakan kasusnya secara dramatis, tapi jangan seluruh fakta |
Mbok Misnatun cuma contoh dari rawannya keamanan pasar Jagalan. Ada kondisi makro yang membedakannya dengan situasi keamanan plaza selantai di atasnya | kedua | | X | | Sudut makro, mulai masukkan persoalan besar yang menjadi setting dari kondisi mikro yang diceritakan |
Gambaran keamanan dan kenyamanan di apsar mewah plaza selantai di atasnya. Gambaran kontras-kontras fasilitas yang boleh dinikmati pengunjung plaza sementara warga negara seperti Mbok Misnatun tidak menikmati | Ketiga | X | | X | Sama seperti item pertama |
Dua model kontras yang mencerminkan perbedaan perlakuan hukum yang diterima warga negara. Mungkin memang, warga negara yang lebih kaya dan membayar lebih mahal berhak menikmati fasilitas lebih baik, tapi bukankah akses terhadap keamanan merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang | keempat | | X | X | Beberkan persoalannya, gugatan-gugatan, renungan-renungan, pembandingan, referensi, bagaimana kisah di negeri lain, bagaimana pandangan keilmuan |
Pesan moral tentang kesamaan hak di depan hukum | Kelima (Ending) | | X | X | mungkin dengan ending yang menggugah menimbulkan tanda tanya, perenungan moralis |
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as