POLITIK
Sebagaimana diungkapkan Ibnu
Taimiyah dalam as-Siyasa asy-Syar'iyyah bahwa, ''Wilayah (organisasi politik)
bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang
terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Karena Allah SWT
mewajibkan manusia berbuat amar ma'ruf nahi munkar dan menolong pihak yang
teraniaya, maka semua yang diwajibkan tentang jihad, menegakkan keadilan, dan
menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan
kekuasaan.'' Prinsip dasar kekuasaan (negara) dalam konsepsi Islam harus
ditegakkan atas dasar konstitusi yaitu Alquran, Sunnah Nabi, Ijma', dan Qiyas.
Dalam pelaksanaannya, konstitusi Islam adalah penjabaran atau tafsir dari
konstitusi tersebut yang dalam prakteknya setiap negara boleh berbeda, guna
menjamin berbagai kepentingan bangsa. Hal yang paling penting dalam menegakkan
konstitusi Islam terletak pada kepatuhan dari umatnya. Hal itu sebagaimana
diamanatkan oleh Ibnu Taimiyyah, ''Maka menegakkan daulah Islamiah merupakan
perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat.'' Konsepsi itu telah
menjadi rujukan bagi penulis-penulis Muslim klasik maupun modern, yang pada
umumnya berada dalam wacana pentingnya hubungan antara agama dan negara
(kekuasaan).
Sebagai konsepsi politik yang
mengandung arti pelaksanaan bernegara dalam pemerintahan, dalam negara Islam
memiliki sistem politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Dalam Islam kekuasaan penuh
dipegang oleh umat; Masyarakat ikut berperan dan bertanggungjawab; Kebebasan
adalah hak semua orang; Persamaan di antara semua manusia (egaliter); Kelompok
yang berbeda (minoritas) juga memiliki legalitas (asas pluralisme); Kezaliman
(tirani) mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib bagi
semua umat; Undang-undang di atas segalanya.
Ciri-ciri tersebut meski
tidak secara tetap disepakati oleh para pemikir politik Islam, namun setiap
pemikir politik Islam hampir tidak terlepas dari pemahaman tersebut meski
jumlah yang disebutkan tidak sama. Prinsip yang paling penting dalam
pemerintahan Islam adalah bahwa pemerintahan ditegakkan atas dasar aturan yang
sesuai dengan syari'at Islam. Semua pemikir Islam sepakat bahwa prinsip dasar
itu meliputi:
Keadilan, yaitu kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh kepala negara. Musyawarah, yang dalam
pelaksanaannya dalam bentuk parlemen/ majelis syura (Hasbi Ash Shiddieqy, 1991:
109-116). Kedua prinsip dasar itu pada umumnya dipakai oleh para pemikir Islam,
di samping ada yang menambah dengan prinsip ketiga yaitu; Tanggungjawab
pemerintah, yakni pemerintah harus bertanggungjawab terhadap keselamatan negara
dan rakyat.
Dari sejumlah ciri-ciri
politik dalam konsepsi Islam tersebut perlu dibedakan dengan ciri ''Negara
Islam'', dalam hal ini negara dalam arti Dar Al-Islam (negeri yang damai), yaitu
sebuah negara yang secara teknis diatur menurut Hukum Islam. Jika negara yang
secara teknis adalah Negara Islam (Dar Al-Islam), maka secara tradisional
menurut fiqih Islam memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
Masyarakatnya Muslim
(Ummah); Hukum yang berlaku adalah hukum Islam (syari'at); dan Kepemimpinan
masyarakat secara Muslim yaitu khalifah (Mumtaz Ahmad, 1986: 58). Azyuamrdi
Azra dalam hal ini membedakan antara negara Islami yaitu negara yang menerapkan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara dengan Negara Islam untuk menyebut
negara yang secara teknis sebagai Negara Islam. Namun secara tegas ia
menjelaskan bahwa tidak ada model tunggal negara Islam di dunia, apakah di
Arab, Pakistan Mesir atau di Indonesia.
Jika dilihat dari sistem
politik Islam dalam bernegara maka konsep Khilafah dan Imamah merupakan sebuah
model yang selalu menjadi rujukan oleh beberapa pemikir politik dan kenegaraan
Islam. Khilafah dan Imamah merupakan sistem kepemimpinan negara dalam
masyarakat Muslim yang dipandang relevan dengan syariat Islam. Khilafah pada
hakekatnya adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan pemerintahan setelah
Nabi Muhammad saw. Doktrin tentang khilafah yang disebutkan dalam Alquran ialah
bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh
seorang manusia, hanyalah karunia Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan manusia
dalam kedudukan demikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian dan karunia
yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan keridhaan-Nya.
Berdasarkan hal itu, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya
sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Sang Pemilik yang sebenarnya.
Dengan demikian maka sistem Khilafah adalah akibat logis dari sistem Islam,
tetapi tidak dianggap sebagai salah satu dogma yang fundamental dari Islam.
Kelembagaan ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan umum dalam rangka
menegakkan hukum Illahi, dan kepaduan umat dalam ekspansinya.
Imamah (imam=pemimpin),
menurut Ibnu Khaldun, ditunjuk untuk merealisasikan kemaslahatan
kepentingan-kepentingan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi (akhirat),
karena kenyataan yang bersifat duniawi harus dicerminkan kepada kemaslahatan di
akhirat. Konsep imamah dalam sejarah pemikir politik Islam sering diartikan
sebagai pengganti istilah khilafah, yaitu konsep yang menyangkut penentuan
seorang pemimpin (kepala negara) dan jalannya pemerintahan, yang di dalamnya
mengandung definisi bahwa, imamah itu bukanlah hak seseorang, atau hak
segolongan orang saja, atau merupakan hak istimewa bagi seseorang. Dalam hal
ini yang dikehendaki dari konsep imamah ialah, tertunaikannya tugas yang harus
ditunaikan, yang telah di-nash-kan; bukan adanya seseorang atau beberapa orang.
Konsep imamah secara
manthiqiyah (arti istilah) mengandung arti suatu kedudukan yang diadakan untuk
mengganti kenabian dalam urusan agama dan mengendalikan urusan dunia. Konsep
ini sering secara ekstrim dipakai oleh golongan Syi'ah. Dari segi pencetusnya
pemikir Al Mawardi merupakan tokoh yang dikenal sebagai perumus konsep imamah
(Al Maududi, 1996: 276).
Secara umum sistem politik
dalam pemerintahan Islam setelah Nabi adalah menggunakan konsep khilafah,
sebagaimana konsep itu digunakan oleh pemikir ketatanegaraan Islam kenamaan,
Al-Farabi. Konsep Al-Farabi mengacu kepada sistem kepemimpinan umat Islam
setelah 100 tahun lamanya terbentuk sebuah imperium Islam yang luas dan nyata.
Umat Islam di seluruh dunia, baik dia warga dari negara Islam ataupun warga
dari negara non-Islam, semuanya mengakui bahwa Khalifah di Madinah atau
kemudian di Damaskus adalah penguasa tertinggi dari kaum Muslimin yang
dinamakan Amirul Mu'minin.
Dengan demikian, dari segi
konsepnya tentang imamah dan khilafah tidak terdapat perbedaan, yang membedakan
adalah secara harfiah dan siapa yang menggunakan konsep tersebut. Perbedaan
interpretasi dalam sistem kilafah dan imamah itu terletak pada siapa yang
berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Ali As-Saulus
menggunakan konsep imamah sama dengan khilafah, yaitu sebagai pemimpin tertinggi
atau penguasa tertinggi umat Islam (As-Saulus, 1997: 15-22).
Kunci pokok dari khilafah
adalah model pengganti penguasa dalam memimpin pemerintahan Islam. Pedoman
dasar khilafah dalam menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan norma dan hukum
Tuhan. Kerangka dasar khilafah diberikan secara menyeluruh kepada manusia,
bukan kepada keluarga tertentu, kelas tertentu atau suku. Khilafah merupakan
pondasi demokrasi dalam Islam yang meletakkan demokrasi superlatif dalam
prakteknya, yaitu demokrasi yang menyesuaikan keseimbangan antara individu dan
kolektif.
Dengan demikian maka semua
pemikir Islam sepakat bahwa mengangkat kepala negara (khalifah) hukumnya wajib
sebagaimana diamanatkan oleh Ibnu Khaldun. Bahkan secara eksplisit Al Mawardi
dengan teori kontrak sosialnya secara tegas menyatakan jika tanpa adanya
penguasa maka kehidupan akan menjadi kacau balau. Konsep itu diadopsi oleh
Thomas Hobbes dengan teori sosialnya, serta John Locke dan Rousseau yang baru
membicarakan pada abad XVII setelah lima abad dikumandangkan oleh pemikir
Islam. Secara ekstrim Ibnu Taimiyah telah mewajibkan umat untuk memiliki
seseorang kepala negara bagaimanapun kondisinya, ''Enam puluh tahun di bawah
tirani penguasa lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan''. (Ibnu
Taimiyah, 1977).
Dalam perjalanan sejarah,
bentuk khilafah berlangsung dari tahun 41-656 H/632-1258 M. Masa itu dibagi
dalam sistem kekuasaan yang meliputi: Daulat Khulafaur-Rasyidin (632-661 M),
Daulat Umayah (661-750 M), Daulat Abbasiyah (750-1250 M).
Dari masa pemerintahan
khilafah itu yang paling menonjol adalah masa khalifah yang empat yang disebut
Khulafaur-Rasyidin (pemimpin yang mulia), sebab masa itulah pemerintahan
berdasarkan musyawarah. Para khalifah dalam memutuskan sesuatu akan selalu
melihat Kitabullah. Bila tidak ada, maka akan melihat pada Sunnah Nabi, jika
tidak ditemukan maka akan mengumpulkan tokoh-tokoh yang baik untuk musyawarah
dalam lembaga yang disebut Majelis Syura. Arti penting dari masa
Khulafaur-Rasyidin adalah sebagai awal pembentukan dan pengembangan ideologi
Islam beserta lembaga-lembaganya.
Kebesaran pemerintahan masa
Khulafair-Rasyidin ditandai dengan penerapan undang-undang yang sama atas semua
orang, suatu pemerintahan yang didasari oleh jiwa demokrasi yang ditunjukkan
dengan kesediaan menerima kritik. Namun sangat disayangkan bahwa kebesaran masa
Khulafaur-Rasyidin itu tidak berlangsung lama, sebab dengan berakhirnya
kekuasaan khalifah keempat (Ali bin Abithalib [661 M/ 41 H]) yang digantikan
kekuasaan model keluarga dari Bani Mu'awiyah, maka masuklah ke pintu kerajaan
(monarki).
Masuknya sistem khilafah
dengan model kerajaan sejak berakhirnya masa Khulafaur-Rasyidin telah menjadi
lembaran kelam bagi sejarah ketatanegaraan Islam yang berjalan secara
demokratis. Hal itu disebabkan dalam menjalankan kekuasaan antara
Khulafaur-Rasyidin dengan masa kerajaan sangat berbeda. Pada masa
Khulafaur-Rasyidin kekuasaan itu diperoleh karena datang (bukan dicari) dan
merupakan amanat dari kaum Muslimin. Sedangkan kerajaan sejak Mu'awiyah hingga Abbasiyah,
kekuasaan diperoleh dengan berperang.
Kekuasaan Muawiyah merupakan
titik awal tamatnya Khulafaur-Rasyidin disambung dengan kekuasaan Abbasiyah
yang berlangsung hingga abad XIX. Di sisi lain, berakhirnya Khulafaur-Rasyidin
adalah munculnya para pemikir Islam yang membahas tentang sistem politik dan
ketatanegaraan Islam, terutama pada masa Daulat Abbasiyah yang memberi
sumbangan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pada abad XIX sistem
khalifah masih sempat dibangun oleh kerajaan Turki Usmani yang menjadi pusat
kekhalifahan dunia Islam. Namun dengan berbagai rongrongan dari golongan
non-Islam dengan menggelorakan semangat nasionalisme sekuler, maka berakhirlah
kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 dengan dibentuknya UU Turki yang berwatak
sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal At Taturk. Berakhirnya kekhalifahan
Turki Usmani kemudian Turki menjadi negara sekuler hingga saat ini.
Dengan demikian maka periode
pasca khilafah sejak berakhirnya Daulat Abbasiyah umat Islam memasuki periode
kemunduran secara politik dan pemikiran kenegaraan. Kondisi itu menurut Ibnu
Taymiyah sebagai akibat penyelewengan pemerintahan dari filsafat Islam dan
penerapan undang-undang yang dipengaruhi oleh kekuasaan Mogol seperti di Mesir
(Cairo) serta banyaknya undang-undang adat dan sekuler yang dijunjung tinggi
oleh bangsa Arab sendiri (Ibnu Taimiyah: 5). Dalam perkembangannya memasuki
abad kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa Barat atas negara-negara Islam
telah membawa dampak lebih terpuruknya kondisi kaum Muslimin di berbagai
belahan dunia.
Memasuki periode abad XIX
dengan semangat kebangkitan Islam, kaum Muslimin memasuki babak baru dalam
pemikiran politik Islam yang berusaha mengadakan gerakan menghidupkan kembali
sistem ketatanegaraan pada masa Nabi dan masa Khulafaur-Rasyidin. Periode ini
ditandai dengan kebangkitan Islam (Islam Resource), yaitu suatu gerakan yang
mengacu kepada pandangan bahwa Islam menjadi penting kembali, Islam dikaitkan
dengan masa lalunya yang gemilang yang mempengaruhi kaum Muslimin hingga
sekarang.
Akhir abad XIX dan awal abad
XX sebagai babak baru pemikiran Islam yang melahirkan konsep baru dalam
bernegara dengan melontarkan konsep masyarakat madani sebagai reinterpretasi
redefinisi model negara ideal Madinah semasa Nabi untuk menjawab tantangan
model demokrasi Barat yang besifat sekuler yang telah berkembang di seantero
dunia. Konsep madani kemudian menjadi proto type negara demokrasi di
negara-negara Muslim yang kini juga menjadi wacana dalam bernegara di
Indonesia.
Epilog
Pemikiran Islam tentang
kenegaraan berkembang dari para khalaf (yang datang kemudian) yang
dilatarbelakangi peristiwa dalam masyarakat Islam setelah penaklukan keluar
daerah. Pemikiran itu didasarkan atas akal dan wahyu bertemu dengan
pemikiran-pemikiran baru, sementara akal tidak mau berserah diri.
Pemikiran-pemikiran asing (baru) ini sangat mempengaruhi pembangunan pemikiran
Islam. Dilihat dari peran pemikiran Islam dalam hal ini sebenarnya justru untuk
menentang golongan yang hendak menodai bangunan wahyu dengan akal dusta mereka.
Akal Islam hendak menumpas sendiri apa yang dipandang dusta. Sumbangan besar
yang sangat berarti dari pemikir Islam itu adalah warisan pemikirannya yang
selalu menjadi rujukan bagi para pemikir berikutnya, baik yang mengkritik atau
yang mendukungnya.
Buah pikiran dari para
sarjana Islam klasik hingga dan para pemikir Islam masa modern itu pula yang
banyak mewarisi tradisi pemikiran Islam Indonesia, baik karya dalam bahasa Arab
maupun bahasa Inggris. Pemikiran itu mencakup konsep politik maupun kenegaraan
yang telah dibangun para sarjana Islam.
Beberapa pemikir Islam yang
tergolong pemikir klasik adalah:
Al Farabi
(260 H/ 870 M) dengan konsepnya Negara Utama (Al Madinatul Al Fadilah) yang
secara filosofis mengacu kepada sistem negara kesatuan yang dibangun pada masa
Nabi di Madinah. Konsep penting dari Al Farabi adalah sebagai pencetus negara
kemasyarakatan yang bercorak federasi (colectivistic state).
Ibnu Siena
(370-25? H/ 980-1033 M) dengan konsepnya Negara Adil Makmur, dikenal sebagai
konseptor sistem negara sosialis yang ber-Tuhan, yang kemudian diadopsi oleh
negara Rusia dan diselewengkan ke dalam bentuk negara komunis sejak revolusi
Bolswijk 1917. Indonesia dalam hal ini secara positif mengadopsi cita-cita
negara adil makmurnya Ibnu Siena dengan menjadikannya sebagai cita-cita negara
yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Al Ghozali
(450-505 H/ 1058-1111 M) dengan konsepnya Negara Moral (Negara Universal); yang
kemudian diadopsi oleh pemikir negara di Eropa yang membentuk negara agama di
abad pertengahan (midle age) yang melahirkan abad kegelapan (dark age).
Ibnu Khaldun
(lahir 732 H/ 133 M) dengan konsepnya Negara Kemakmuran (ashabiah). Konsep Ibnu
Khaldun banyak diadopsi oleh pemikir barat modern sejak renaissance hingga
sekarang dengan memodifikasi dengan konsep baru welfar state (negara
kesejahteraan).
Ibnu Taimiyah
(lahir 1262 M) dengan konsepnya As-Siyasa asy-Syar'iyyah, serta pembahasannya
tentang Pedoman Islam Bernegara; pemikirannya banyak diadopsi oleh pemikir
Eropa pada era Reformasi abad 16-17.
Sementara Ibnu Rusjd, pakar teori negara hukum
dengan konsepnya Negara Demokrasi, pemikirannya akan tetap menjadi rujukan bagi
negara-negara modern hingga saat ini.
Pemikir lain pada masa klasik Al Mawardi sebagai perumus
konsep Imamah, yang banyak mengilhami pemikiran politik Islam, dan Ibnu Abi
Rabi' yang melontarkan konsep negara kerajaan.
Sementara pemikir Islam pada
Masa Modern antara lain: Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Keduanya
sebagai penggerak utama paham kebangkitan Islam pada abad XIX hingga abad XX.
Pemikir Islam lain yang cukup terkenal antara lain Al Maududi, Hasan Al Banna,
M. Ridha, Al Raziq, Sayid Qutb, M. Husein Haikal, M. Iqbal, Hasan Al-Turabi,
Ismail Al Faruqi, Khursyid Ahmad, Ahmad Abdul Aziz Sachedina, Imam Khomeini,
Ali Syariati, Fazlur Rahman dan sebagainya.
Semua pemikiran dari para
cendekiawan Muslim tersebut hingga saat ini tetap menjadi rujukan dalam melihat
konsepsi negara dan sistem politik yang berkembang hingga periode kontemporer.
Akankah konsepsi itu juga menjadi rujukan bagi umat Islam Indonesia dalam upaya
membentuk moral politik bangsa di masa depan?
Sebagaimana diungkapkan Ibnu
Taimiyah dalam as-Siyasa asy-Syar'iyyah bahwa, ''Wilayah (organisasi politik)
bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang
terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Karena Allah SWT
mewajibkan manusia berbuat amar ma'ruf nahi munkar dan menolong pihak yang
teraniaya, maka semua yang diwajibkan tentang jihad, menegakkan keadilan, dan
menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan
kekuasaan.'' Prinsip dasar kekuasaan (negara) dalam konsepsi Islam harus
ditegakkan atas dasar konstitusi yaitu Alquran, Sunnah Nabi, Ijma', dan Qiyas.
Dalam pelaksanaannya, konstitusi Islam adalah penjabaran atau tafsir dari
konstitusi tersebut yang dalam prakteknya setiap negara boleh berbeda, guna
menjamin berbagai kepentingan bangsa. Hal yang paling penting dalam menegakkan
konstitusi Islam terletak pada kepatuhan dari umatnya. Hal itu sebagaimana
diamanatkan oleh Ibnu Taimiyyah, ''Maka menegakkan daulah Islamiah merupakan
perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat.'' Konsepsi itu telah
menjadi rujukan bagi penulis-penulis Muslim klasik maupun modern, yang pada
umumnya berada dalam wacana pentingnya hubungan antara agama dan negara
(kekuasaan).
Sebagai konsepsi politik yang
mengandung arti pelaksanaan bernegara dalam pemerintahan, dalam negara Islam
memiliki sistem politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Dalam Islam kekuasaan penuh
dipegang oleh umat; Masyarakat ikut berperan dan bertanggungjawab; Kebebasan
adalah hak semua orang; Persamaan di antara semua manusia (egaliter); Kelompok
yang berbeda (minoritas) juga memiliki legalitas (asas pluralisme); Kezaliman
(tirani) mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib bagi
semua umat; Undang-undang di atas segalanya.
Ciri-ciri tersebut meski
tidak secara tetap disepakati oleh para pemikir politik Islam, namun setiap
pemikir politik Islam hampir tidak terlepas dari pemahaman tersebut meski
jumlah yang disebutkan tidak sama. Prinsip yang paling penting dalam
pemerintahan Islam adalah bahwa pemerintahan ditegakkan atas dasar aturan yang
sesuai dengan syari'at Islam. Semua pemikir Islam sepakat bahwa prinsip dasar
itu meliputi:
Keadilan, yaitu kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh kepala negara. Musyawarah, yang dalam
pelaksanaannya dalam bentuk parlemen/ majelis syura (Hasbi Ash Shiddieqy, 1991:
109-116). Kedua prinsip dasar itu pada umumnya dipakai oleh para pemikir Islam,
di samping ada yang menambah dengan prinsip ketiga yaitu; Tanggungjawab
pemerintah, yakni pemerintah harus bertanggungjawab terhadap keselamatan negara
dan rakyat.
Dari sejumlah ciri-ciri
politik dalam konsepsi Islam tersebut perlu dibedakan dengan ciri ''Negara
Islam'', dalam hal ini negara dalam arti Dar Al-Islam (negeri yang damai), yaitu
sebuah negara yang secara teknis diatur menurut Hukum Islam. Jika negara yang
secara teknis adalah Negara Islam (Dar Al-Islam), maka secara tradisional
menurut fiqih Islam memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
Masyarakatnya Muslim
(Ummah); Hukum yang berlaku adalah hukum Islam (syari'at); dan Kepemimpinan
masyarakat secara Muslim yaitu khalifah (Mumtaz Ahmad, 1986: 58). Azyuamrdi
Azra dalam hal ini membedakan antara negara Islami yaitu negara yang menerapkan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara dengan Negara Islam untuk menyebut
negara yang secara teknis sebagai Negara Islam. Namun secara tegas ia
menjelaskan bahwa tidak ada model tunggal negara Islam di dunia, apakah di
Arab, Pakistan Mesir atau di Indonesia.
Jika dilihat dari sistem
politik Islam dalam bernegara maka konsep Khilafah dan Imamah merupakan sebuah
model yang selalu menjadi rujukan oleh beberapa pemikir politik dan kenegaraan
Islam. Khilafah dan Imamah merupakan sistem kepemimpinan negara dalam
masyarakat Muslim yang dipandang relevan dengan syariat Islam. Khilafah pada
hakekatnya adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan pemerintahan setelah
Nabi Muhammad saw. Doktrin tentang khilafah yang disebutkan dalam Alquran ialah
bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh
seorang manusia, hanyalah karunia Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan manusia
dalam kedudukan demikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian dan karunia
yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan keridhaan-Nya.
Berdasarkan hal itu, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya
sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Sang Pemilik yang sebenarnya.
Dengan demikian maka sistem Khilafah adalah akibat logis dari sistem Islam,
tetapi tidak dianggap sebagai salah satu dogma yang fundamental dari Islam.
Kelembagaan ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan umum dalam rangka
menegakkan hukum Illahi, dan kepaduan umat dalam ekspansinya.
Imamah (imam=pemimpin),
menurut Ibnu Khaldun, ditunjuk untuk merealisasikan kemaslahatan
kepentingan-kepentingan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi (akhirat),
karena kenyataan yang bersifat duniawi harus dicerminkan kepada kemaslahatan di
akhirat. Konsep imamah dalam sejarah pemikir politik Islam sering diartikan
sebagai pengganti istilah khilafah, yaitu konsep yang menyangkut penentuan
seorang pemimpin (kepala negara) dan jalannya pemerintahan, yang di dalamnya
mengandung definisi bahwa, imamah itu bukanlah hak seseorang, atau hak
segolongan orang saja, atau merupakan hak istimewa bagi seseorang. Dalam hal
ini yang dikehendaki dari konsep imamah ialah, tertunaikannya tugas yang harus
ditunaikan, yang telah di-nash-kan; bukan adanya seseorang atau beberapa orang.
Konsep imamah secara
manthiqiyah (arti istilah) mengandung arti suatu kedudukan yang diadakan untuk
mengganti kenabian dalam urusan agama dan mengendalikan urusan dunia. Konsep
ini sering secara ekstrim dipakai oleh golongan Syi'ah. Dari segi pencetusnya
pemikir Al Mawardi merupakan tokoh yang dikenal sebagai perumus konsep imamah
(Al Maududi, 1996: 276).
Secara umum sistem politik
dalam pemerintahan Islam setelah Nabi adalah menggunakan konsep khilafah,
sebagaimana konsep itu digunakan oleh pemikir ketatanegaraan Islam kenamaan,
Al-Farabi. Konsep Al-Farabi mengacu kepada sistem kepemimpinan umat Islam
setelah 100 tahun lamanya terbentuk sebuah imperium Islam yang luas dan nyata.
Umat Islam di seluruh dunia, baik dia warga dari negara Islam ataupun warga
dari negara non-Islam, semuanya mengakui bahwa Khalifah di Madinah atau
kemudian di Damaskus adalah penguasa tertinggi dari kaum Muslimin yang
dinamakan Amirul Mu'minin.
Dengan demikian, dari segi
konsepnya tentang imamah dan khilafah tidak terdapat perbedaan, yang membedakan
adalah secara harfiah dan siapa yang menggunakan konsep tersebut. Perbedaan
interpretasi dalam sistem kilafah dan imamah itu terletak pada siapa yang
berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Ali As-Saulus
menggunakan konsep imamah sama dengan khilafah, yaitu sebagai pemimpin tertinggi
atau penguasa tertinggi umat Islam (As-Saulus, 1997: 15-22).
Kunci pokok dari khilafah
adalah model pengganti penguasa dalam memimpin pemerintahan Islam. Pedoman
dasar khilafah dalam menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan norma dan hukum
Tuhan. Kerangka dasar khilafah diberikan secara menyeluruh kepada manusia,
bukan kepada keluarga tertentu, kelas tertentu atau suku. Khilafah merupakan
pondasi demokrasi dalam Islam yang meletakkan demokrasi superlatif dalam
prakteknya, yaitu demokrasi yang menyesuaikan keseimbangan antara individu dan
kolektif.
Dengan demikian maka semua
pemikir Islam sepakat bahwa mengangkat kepala negara (khalifah) hukumnya wajib
sebagaimana diamanatkan oleh Ibnu Khaldun. Bahkan secara eksplisit Al Mawardi
dengan teori kontrak sosialnya secara tegas menyatakan jika tanpa adanya
penguasa maka kehidupan akan menjadi kacau balau. Konsep itu diadopsi oleh
Thomas Hobbes dengan teori sosialnya, serta John Locke dan Rousseau yang baru
membicarakan pada abad XVII setelah lima abad dikumandangkan oleh pemikir
Islam. Secara ekstrim Ibnu Taimiyah telah mewajibkan umat untuk memiliki
seseorang kepala negara bagaimanapun kondisinya, ''Enam puluh tahun di bawah
tirani penguasa lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan''. (Ibnu
Taimiyah, 1977).
Dalam perjalanan sejarah,
bentuk khilafah berlangsung dari tahun 41-656 H/632-1258 M. Masa itu dibagi
dalam sistem kekuasaan yang meliputi: Daulat Khulafaur-Rasyidin (632-661 M),
Daulat Umayah (661-750 M), Daulat Abbasiyah (750-1250 M).
Dari masa pemerintahan
khilafah itu yang paling menonjol adalah masa khalifah yang empat yang disebut
Khulafaur-Rasyidin (pemimpin yang mulia), sebab masa itulah pemerintahan
berdasarkan musyawarah. Para khalifah dalam memutuskan sesuatu akan selalu
melihat Kitabullah. Bila tidak ada, maka akan melihat pada Sunnah Nabi, jika
tidak ditemukan maka akan mengumpulkan tokoh-tokoh yang baik untuk musyawarah
dalam lembaga yang disebut Majelis Syura. Arti penting dari masa
Khulafaur-Rasyidin adalah sebagai awal pembentukan dan pengembangan ideologi
Islam beserta lembaga-lembaganya.
Kebesaran pemerintahan masa
Khulafair-Rasyidin ditandai dengan penerapan undang-undang yang sama atas semua
orang, suatu pemerintahan yang didasari oleh jiwa demokrasi yang ditunjukkan
dengan kesediaan menerima kritik. Namun sangat disayangkan bahwa kebesaran masa
Khulafaur-Rasyidin itu tidak berlangsung lama, sebab dengan berakhirnya
kekuasaan khalifah keempat (Ali bin Abithalib [661 M/ 41 H]) yang digantikan
kekuasaan model keluarga dari Bani Mu'awiyah, maka masuklah ke pintu kerajaan
(monarki).
Masuknya sistem khilafah
dengan model kerajaan sejak berakhirnya masa Khulafaur-Rasyidin telah menjadi
lembaran kelam bagi sejarah ketatanegaraan Islam yang berjalan secara
demokratis. Hal itu disebabkan dalam menjalankan kekuasaan antara
Khulafaur-Rasyidin dengan masa kerajaan sangat berbeda. Pada masa
Khulafaur-Rasyidin kekuasaan itu diperoleh karena datang (bukan dicari) dan
merupakan amanat dari kaum Muslimin. Sedangkan kerajaan sejak Mu'awiyah hingga Abbasiyah,
kekuasaan diperoleh dengan berperang.
Kekuasaan Muawiyah merupakan
titik awal tamatnya Khulafaur-Rasyidin disambung dengan kekuasaan Abbasiyah
yang berlangsung hingga abad XIX. Di sisi lain, berakhirnya Khulafaur-Rasyidin
adalah munculnya para pemikir Islam yang membahas tentang sistem politik dan
ketatanegaraan Islam, terutama pada masa Daulat Abbasiyah yang memberi
sumbangan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pada abad XIX sistem
khalifah masih sempat dibangun oleh kerajaan Turki Usmani yang menjadi pusat
kekhalifahan dunia Islam. Namun dengan berbagai rongrongan dari golongan
non-Islam dengan menggelorakan semangat nasionalisme sekuler, maka berakhirlah
kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 dengan dibentuknya UU Turki yang berwatak
sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal At Taturk. Berakhirnya kekhalifahan
Turki Usmani kemudian Turki menjadi negara sekuler hingga saat ini.
Dengan demikian maka periode
pasca khilafah sejak berakhirnya Daulat Abbasiyah umat Islam memasuki periode
kemunduran secara politik dan pemikiran kenegaraan. Kondisi itu menurut Ibnu
Taymiyah sebagai akibat penyelewengan pemerintahan dari filsafat Islam dan
penerapan undang-undang yang dipengaruhi oleh kekuasaan Mogol seperti di Mesir
(Cairo) serta banyaknya undang-undang adat dan sekuler yang dijunjung tinggi
oleh bangsa Arab sendiri (Ibnu Taimiyah: 5). Dalam perkembangannya memasuki
abad kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa Barat atas negara-negara Islam
telah membawa dampak lebih terpuruknya kondisi kaum Muslimin di berbagai
belahan dunia.
Memasuki periode abad XIX
dengan semangat kebangkitan Islam, kaum Muslimin memasuki babak baru dalam
pemikiran politik Islam yang berusaha mengadakan gerakan menghidupkan kembali
sistem ketatanegaraan pada masa Nabi dan masa Khulafaur-Rasyidin. Periode ini
ditandai dengan kebangkitan Islam (Islam Resource), yaitu suatu gerakan yang
mengacu kepada pandangan bahwa Islam menjadi penting kembali, Islam dikaitkan
dengan masa lalunya yang gemilang yang mempengaruhi kaum Muslimin hingga
sekarang.
Akhir abad XIX dan awal abad
XX sebagai babak baru pemikiran Islam yang melahirkan konsep baru dalam
bernegara dengan melontarkan konsep masyarakat madani sebagai reinterpretasi
redefinisi model negara ideal Madinah semasa Nabi untuk menjawab tantangan
model demokrasi Barat yang besifat sekuler yang telah berkembang di seantero
dunia. Konsep madani kemudian menjadi proto type negara demokrasi di
negara-negara Muslim yang kini juga menjadi wacana dalam bernegara di
Indonesia.
Epilog
Pemikiran Islam tentang
kenegaraan berkembang dari para khalaf (yang datang kemudian) yang
dilatarbelakangi peristiwa dalam masyarakat Islam setelah penaklukan keluar
daerah. Pemikiran itu didasarkan atas akal dan wahyu bertemu dengan
pemikiran-pemikiran baru, sementara akal tidak mau berserah diri.
Pemikiran-pemikiran asing (baru) ini sangat mempengaruhi pembangunan pemikiran
Islam. Dilihat dari peran pemikiran Islam dalam hal ini sebenarnya justru untuk
menentang golongan yang hendak menodai bangunan wahyu dengan akal dusta mereka.
Akal Islam hendak menumpas sendiri apa yang dipandang dusta. Sumbangan besar
yang sangat berarti dari pemikir Islam itu adalah warisan pemikirannya yang
selalu menjadi rujukan bagi para pemikir berikutnya, baik yang mengkritik atau
yang mendukungnya.
Buah pikiran dari para
sarjana Islam klasik hingga dan para pemikir Islam masa modern itu pula yang
banyak mewarisi tradisi pemikiran Islam Indonesia, baik karya dalam bahasa Arab
maupun bahasa Inggris. Pemikiran itu mencakup konsep politik maupun kenegaraan
yang telah dibangun para sarjana Islam.
Beberapa pemikir Islam yang
tergolong pemikir klasik adalah:
Al Farabi
(260 H/ 870 M) dengan konsepnya Negara Utama (Al Madinatul Al Fadilah) yang
secara filosofis mengacu kepada sistem negara kesatuan yang dibangun pada masa
Nabi di Madinah. Konsep penting dari Al Farabi adalah sebagai pencetus negara
kemasyarakatan yang bercorak federasi (colectivistic state).
Ibnu Siena
(370-25? H/ 980-1033 M) dengan konsepnya Negara Adil Makmur, dikenal sebagai
konseptor sistem negara sosialis yang ber-Tuhan, yang kemudian diadopsi oleh
negara Rusia dan diselewengkan ke dalam bentuk negara komunis sejak revolusi
Bolswijk 1917. Indonesia dalam hal ini secara positif mengadopsi cita-cita
negara adil makmurnya Ibnu Siena dengan menjadikannya sebagai cita-cita negara
yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Al Ghozali
(450-505 H/ 1058-1111 M) dengan konsepnya Negara Moral (Negara Universal); yang
kemudian diadopsi oleh pemikir negara di Eropa yang membentuk negara agama di
abad pertengahan (midle age) yang melahirkan abad kegelapan (dark age).
Ibnu Khaldun
(lahir 732 H/ 133 M) dengan konsepnya Negara Kemakmuran (ashabiah). Konsep Ibnu
Khaldun banyak diadopsi oleh pemikir barat modern sejak renaissance hingga
sekarang dengan memodifikasi dengan konsep baru welfar state (negara
kesejahteraan).
Ibnu Taimiyah
(lahir 1262 M) dengan konsepnya As-Siyasa asy-Syar'iyyah, serta pembahasannya
tentang Pedoman Islam Bernegara; pemikirannya banyak diadopsi oleh pemikir
Eropa pada era Reformasi abad 16-17.
Sementara Ibnu Rusjd, pakar teori negara hukum
dengan konsepnya Negara Demokrasi, pemikirannya akan tetap menjadi rujukan bagi
negara-negara modern hingga saat ini.
Pemikir lain pada masa klasik Al Mawardi sebagai perumus
konsep Imamah, yang banyak mengilhami pemikiran politik Islam, dan Ibnu Abi
Rabi' yang melontarkan konsep negara kerajaan.
Sementara pemikir Islam pada
Masa Modern antara lain: Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Keduanya
sebagai penggerak utama paham kebangkitan Islam pada abad XIX hingga abad XX.
Pemikir Islam lain yang cukup terkenal antara lain Al Maududi, Hasan Al Banna,
M. Ridha, Al Raziq, Sayid Qutb, M. Husein Haikal, M. Iqbal, Hasan Al-Turabi,
Ismail Al Faruqi, Khursyid Ahmad, Ahmad Abdul Aziz Sachedina, Imam Khomeini,
Ali Syariati, Fazlur Rahman dan sebagainya.
Semua pemikiran dari para
cendekiawan Muslim tersebut hingga saat ini tetap menjadi rujukan dalam melihat
konsepsi negara dan sistem politik yang berkembang hingga periode kontemporer.
Akankah konsepsi itu juga menjadi rujukan bagi umat Islam Indonesia dalam upaya
membentuk moral politik bangsa di masa depan?
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as