Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    politik

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    politik Empty politik

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:37 pm

    POLITIK





    Sebagaimana diungkapkan Ibnu
    Taimiyah dalam as-Siyasa asy-Syar'iyyah bahwa, ''Wilayah (organisasi politik)
    bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama yang
    terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Karena Allah SWT
    mewajibkan manusia berbuat amar ma'ruf nahi munkar dan menolong pihak yang
    teraniaya, maka semua yang diwajibkan tentang jihad, menegakkan keadilan, dan
    menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan
    kekuasaan.'' Prinsip dasar kekuasaan (negara) dalam konsepsi Islam harus
    ditegakkan atas dasar konstitusi yaitu Alquran, Sunnah Nabi, Ijma', dan Qiyas.
    Dalam pelaksanaannya, konstitusi Islam adalah penjabaran atau tafsir dari
    konstitusi tersebut yang dalam prakteknya setiap negara boleh berbeda, guna
    menjamin berbagai kepentingan bangsa. Hal yang paling penting dalam menegakkan
    konstitusi Islam terletak pada kepatuhan dari umatnya. Hal itu sebagaimana
    diamanatkan oleh Ibnu Taimiyyah, ''Maka menegakkan daulah Islamiah merupakan
    perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat.'' Konsepsi itu telah
    menjadi rujukan bagi penulis-penulis Muslim klasik maupun modern, yang pada
    umumnya berada dalam wacana pentingnya hubungan antara agama dan negara
    (kekuasaan).


    Sebagai konsepsi politik yang
    mengandung arti pelaksanaan bernegara dalam pemerintahan, dalam negara Islam
    memiliki sistem politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:


    Dalam Islam kekuasaan penuh
    dipegang oleh umat; Masyarakat ikut berperan dan bertanggungjawab; Kebebasan
    adalah hak semua orang; Persamaan di antara semua manusia (egaliter); Kelompok
    yang berbeda (minoritas) juga memiliki legalitas (asas pluralisme); Kezaliman
    (tirani) mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib bagi
    semua umat; Undang-undang di atas segalanya.


    Ciri-ciri tersebut meski
    tidak secara tetap disepakati oleh para pemikir politik Islam, namun setiap
    pemikir politik Islam hampir tidak terlepas dari pemahaman tersebut meski
    jumlah yang disebutkan tidak sama. Prinsip yang paling penting dalam
    pemerintahan Islam adalah bahwa pemerintahan ditegakkan atas dasar aturan yang
    sesuai dengan syari'at Islam. Semua pemikir Islam sepakat bahwa prinsip dasar
    itu meliputi:


    Keadilan, yaitu kewajiban
    yang harus dilaksanakan oleh kepala negara. Musyawarah, yang dalam
    pelaksanaannya dalam bentuk parlemen/ majelis syura (Hasbi Ash Shiddieqy, 1991:
    109-116). Kedua prinsip dasar itu pada umumnya dipakai oleh para pemikir Islam,
    di samping ada yang menambah dengan prinsip ketiga yaitu; Tanggungjawab
    pemerintah, yakni pemerintah harus bertanggungjawab terhadap keselamatan negara
    dan rakyat.


    Dari sejumlah ciri-ciri
    politik dalam konsepsi Islam tersebut perlu dibedakan dengan ciri ''Negara
    Islam'', dalam hal ini negara dalam arti Dar Al-Islam (negeri yang damai), yaitu
    sebuah negara yang secara teknis diatur menurut Hukum Islam. Jika negara yang
    secara teknis adalah Negara Islam (Dar Al-Islam), maka secara tradisional
    menurut fiqih Islam memiliki tiga ciri pokok, yaitu:


    Masyarakatnya Muslim
    (Ummah); Hukum yang berlaku adalah hukum Islam (syari'at); dan Kepemimpinan
    masyarakat secara Muslim yaitu khalifah (Mumtaz Ahmad, 1986: 58). Azyuamrdi
    Azra dalam hal ini membedakan antara negara Islami yaitu negara yang menerapkan
    nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara dengan Negara Islam untuk menyebut
    negara yang secara teknis sebagai Negara Islam. Namun secara tegas ia
    menjelaskan bahwa tidak ada model tunggal negara Islam di dunia, apakah di
    Arab, Pakistan Mesir atau di Indonesia.


    Jika dilihat dari sistem
    politik Islam dalam bernegara maka konsep Khilafah dan Imamah merupakan sebuah
    model yang selalu menjadi rujukan oleh beberapa pemikir politik dan kenegaraan
    Islam. Khilafah dan Imamah merupakan sistem kepemimpinan negara dalam
    masyarakat Muslim yang dipandang relevan dengan syariat Islam. Khilafah pada
    hakekatnya adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan pemerintahan setelah
    Nabi Muhammad saw. Doktrin tentang khilafah yang disebutkan dalam Alquran ialah
    bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh
    seorang manusia, hanyalah karunia Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan manusia
    dalam kedudukan demikian sehingga ia dapat menggunakan pemberian dan karunia
    yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan keridhaan-Nya.
    Berdasarkan hal itu, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya
    sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Sang Pemilik yang sebenarnya.
    Dengan demikian maka sistem Khilafah adalah akibat logis dari sistem Islam,
    tetapi tidak dianggap sebagai salah satu dogma yang fundamental dari Islam.
    Kelembagaan ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan umum dalam rangka
    menegakkan hukum Illahi, dan kepaduan umat dalam ekspansinya.


    Imamah (imam=pemimpin),
    menurut Ibnu Khaldun, ditunjuk untuk merealisasikan kemaslahatan
    kepentingan-kepentingan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi (akhirat),
    karena kenyataan yang bersifat duniawi harus dicerminkan kepada kemaslahatan di
    akhirat. Konsep imamah dalam sejarah pemikir politik Islam sering diartikan
    sebagai pengganti istilah khilafah, yaitu konsep yang menyangkut penentuan
    seorang pemimpin (kepala negara) dan jalannya pemerintahan, yang di dalamnya
    mengandung definisi bahwa, imamah itu bukanlah hak seseorang, atau hak
    segolongan orang saja, atau merupakan hak istimewa bagi seseorang. Dalam hal
    ini yang dikehendaki dari konsep imamah ialah, tertunaikannya tugas yang harus
    ditunaikan, yang telah di-nash-kan; bukan adanya seseorang atau beberapa orang.



    Konsep imamah secara
    manthiqiyah (arti istilah) mengandung arti suatu kedudukan yang diadakan untuk
    mengganti kenabian dalam urusan agama dan mengendalikan urusan dunia. Konsep
    ini sering secara ekstrim dipakai oleh golongan Syi'ah. Dari segi pencetusnya
    pemikir Al Mawardi merupakan tokoh yang dikenal sebagai perumus konsep imamah
    (Al Maududi, 1996: 276).


    Secara umum sistem politik
    dalam pemerintahan Islam setelah Nabi adalah menggunakan konsep khilafah,
    sebagaimana konsep itu digunakan oleh pemikir ketatanegaraan Islam kenamaan,
    Al-Farabi. Konsep Al-Farabi mengacu kepada sistem kepemimpinan umat Islam
    setelah 100 tahun lamanya terbentuk sebuah imperium Islam yang luas dan nyata.
    Umat Islam di seluruh dunia, baik dia warga dari negara Islam ataupun warga
    dari negara non-Islam, semuanya mengakui bahwa Khalifah di Madinah atau
    kemudian di Damaskus adalah penguasa tertinggi dari kaum Muslimin yang
    dinamakan Amirul Mu'minin.


    Dengan demikian, dari segi
    konsepnya tentang imamah dan khilafah tidak terdapat perbedaan, yang membedakan
    adalah secara harfiah dan siapa yang menggunakan konsep tersebut. Perbedaan
    interpretasi dalam sistem kilafah dan imamah itu terletak pada siapa yang
    berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Ali As-Saulus
    menggunakan konsep imamah sama dengan khilafah, yaitu sebagai pemimpin tertinggi
    atau penguasa tertinggi umat Islam (As-Saulus, 1997: 15-22).


    Kunci pokok dari khilafah
    adalah model pengganti penguasa dalam memimpin pemerintahan Islam. Pedoman
    dasar khilafah dalam menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan norma dan hukum
    Tuhan. Kerangka dasar khilafah diberikan secara menyeluruh kepada manusia,
    bukan kepada keluarga tertentu, kelas tertentu atau suku. Khilafah merupakan
    pondasi demokrasi dalam Islam yang meletakkan demokrasi superlatif dalam
    prakteknya, yaitu demokrasi yang menyesuaikan keseimbangan antara individu dan
    kolektif.


    Dengan demikian maka semua
    pemikir Islam sepakat bahwa mengangkat kepala negara (khalifah) hukumnya wajib
    sebagaimana diamanatkan oleh Ibnu Khaldun. Bahkan secara eksplisit Al Mawardi
    dengan teori kontrak sosialnya secara tegas menyatakan jika tanpa adanya
    penguasa maka kehidupan akan menjadi kacau balau. Konsep itu diadopsi oleh
    Thomas Hobbes dengan teori sosialnya, serta John Locke dan Rousseau yang baru
    membicarakan pada abad XVII setelah lima abad dikumandangkan oleh pemikir
    Islam. Secara ekstrim Ibnu Taimiyah telah mewajibkan umat untuk memiliki
    seseorang kepala negara bagaimanapun kondisinya, ''Enam puluh tahun di bawah
    tirani penguasa lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan''. (Ibnu
    Taimiyah, 1977).


    Dalam perjalanan sejarah,
    bentuk khilafah berlangsung dari tahun 41-656 H/632-1258 M. Masa itu dibagi
    dalam sistem kekuasaan yang meliputi: Daulat Khulafaur-Rasyidin (632-661 M),
    Daulat Umayah (661-750 M), Daulat Abbasiyah (750-1250 M).


    Dari masa pemerintahan
    khilafah itu yang paling menonjol adalah masa khalifah yang empat yang disebut
    Khulafaur-Rasyidin (pemimpin yang mulia), sebab masa itulah pemerintahan
    berdasarkan musyawarah. Para khalifah dalam memutuskan sesuatu akan selalu
    melihat Kitabullah. Bila tidak ada, maka akan melihat pada Sunnah Nabi, jika
    tidak ditemukan maka akan mengumpulkan tokoh-tokoh yang baik untuk musyawarah
    dalam lembaga yang disebut Majelis Syura. Arti penting dari masa
    Khulafaur-Rasyidin adalah sebagai awal pembentukan dan pengembangan ideologi
    Islam beserta lembaga-lembaganya.


    Kebesaran pemerintahan masa
    Khulafair-Rasyidin ditandai dengan penerapan undang-undang yang sama atas semua
    orang, suatu pemerintahan yang didasari oleh jiwa demokrasi yang ditunjukkan
    dengan kesediaan menerima kritik. Namun sangat disayangkan bahwa kebesaran masa
    Khulafaur-Rasyidin itu tidak berlangsung lama, sebab dengan berakhirnya
    kekuasaan khalifah keempat (Ali bin Abithalib [661 M/ 41 H]) yang digantikan
    kekuasaan model keluarga dari Bani Mu'awiyah, maka masuklah ke pintu kerajaan
    (monarki).


    Masuknya sistem khilafah
    dengan model kerajaan sejak berakhirnya masa Khulafaur-Rasyidin telah menjadi
    lembaran kelam bagi sejarah ketatanegaraan Islam yang berjalan secara
    demokratis. Hal itu disebabkan dalam menjalankan kekuasaan antara
    Khulafaur-Rasyidin dengan masa kerajaan sangat berbeda. Pada masa
    Khulafaur-Rasyidin kekuasaan itu diperoleh karena datang (bukan dicari) dan
    merupakan amanat dari kaum Muslimin. Sedangkan kerajaan sejak Mu'awiyah hingga Abbasiyah,
    kekuasaan diperoleh dengan berperang.


    Kekuasaan Muawiyah merupakan
    titik awal tamatnya Khulafaur-Rasyidin disambung dengan kekuasaan Abbasiyah
    yang berlangsung hingga abad XIX. Di sisi lain, berakhirnya Khulafaur-Rasyidin
    adalah munculnya para pemikir Islam yang membahas tentang sistem politik dan
    ketatanegaraan Islam, terutama pada masa Daulat Abbasiyah yang memberi
    sumbangan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pada abad XIX sistem
    khalifah masih sempat dibangun oleh kerajaan Turki Usmani yang menjadi pusat
    kekhalifahan dunia Islam. Namun dengan berbagai rongrongan dari golongan
    non-Islam dengan menggelorakan semangat nasionalisme sekuler, maka berakhirlah
    kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 dengan dibentuknya UU Turki yang berwatak
    sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal At Taturk. Berakhirnya kekhalifahan
    Turki Usmani kemudian Turki menjadi negara sekuler hingga saat ini.


    Dengan demikian maka periode
    pasca khilafah sejak berakhirnya Daulat Abbasiyah umat Islam memasuki periode
    kemunduran secara politik dan pemikiran kenegaraan. Kondisi itu menurut Ibnu
    Taymiyah sebagai akibat penyelewengan pemerintahan dari filsafat Islam dan
    penerapan undang-undang yang dipengaruhi oleh kekuasaan Mogol seperti di Mesir
    (Cairo) serta banyaknya undang-undang adat dan sekuler yang dijunjung tinggi
    oleh bangsa Arab sendiri (Ibnu Taimiyah: 5). Dalam perkembangannya memasuki
    abad kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa Barat atas negara-negara Islam
    telah membawa dampak lebih terpuruknya kondisi kaum Muslimin di berbagai
    belahan dunia.


    Memasuki periode abad XIX
    dengan semangat kebangkitan Islam, kaum Muslimin memasuki babak baru dalam
    pemikiran politik Islam yang berusaha mengadakan gerakan menghidupkan kembali
    sistem ketatanegaraan pada masa Nabi dan masa Khulafaur-Rasyidin. Periode ini
    ditandai dengan kebangkitan Islam (Islam Resource), yaitu suatu gerakan yang
    mengacu kepada pandangan bahwa Islam menjadi penting kembali, Islam dikaitkan
    dengan masa lalunya yang gemilang yang mempengaruhi kaum Muslimin hingga
    sekarang.


    Akhir abad XIX dan awal abad
    XX sebagai babak baru pemikiran Islam yang melahirkan konsep baru dalam
    bernegara dengan melontarkan konsep masyarakat madani sebagai reinterpretasi
    redefinisi model negara ideal Madinah semasa Nabi untuk menjawab tantangan
    model demokrasi Barat yang besifat sekuler yang telah berkembang di seantero
    dunia. Konsep madani kemudian menjadi proto type negara demokrasi di
    negara-negara Muslim yang kini juga menjadi wacana dalam bernegara di
    Indonesia.




    Epilog







    Pemikiran Islam tentang
    kenegaraan berkembang dari para khalaf (yang datang kemudian) yang
    dilatarbelakangi peristiwa dalam masyarakat Islam setelah penaklukan keluar
    daerah. Pemikiran itu didasarkan atas akal dan wahyu bertemu dengan
    pemikiran-pemikiran baru, sementara akal tidak mau berserah diri.
    Pemikiran-pemikiran asing (baru) ini sangat mempengaruhi pembangunan pemikiran
    Islam. Dilihat dari peran pemikiran Islam dalam hal ini sebenarnya justru untuk
    menentang golongan yang hendak menodai bangunan wahyu dengan akal dusta mereka.
    Akal Islam hendak menumpas sendiri apa yang dipandang dusta. Sumbangan besar
    yang sangat berarti dari pemikir Islam itu adalah warisan pemikirannya yang
    selalu menjadi rujukan bagi para pemikir berikutnya, baik yang mengkritik atau
    yang mendukungnya.


    Buah pikiran dari para
    sarjana Islam klasik hingga dan para pemikir Islam masa modern itu pula yang
    banyak mewarisi tradisi pemikiran Islam Indonesia, baik karya dalam bahasa Arab
    maupun bahasa Inggris. Pemikiran itu mencakup konsep politik maupun kenegaraan
    yang telah dibangun para sarjana Islam.


    Beberapa pemikir Islam yang
    tergolong pemikir klasik adalah:


    Al Farabi
    (260 H/ 870 M) dengan konsepnya Negara Utama (Al Madinatul Al Fadilah) yang
    secara filosofis mengacu kepada sistem negara kesatuan yang dibangun pada masa
    Nabi di Madinah. Konsep penting dari Al Farabi adalah sebagai pencetus negara
    kemasyarakatan yang bercorak federasi (colectivistic state).


    Ibnu Siena
    (370-25? H/ 980-1033 M) dengan konsepnya Negara Adil Makmur, dikenal sebagai
    konseptor sistem negara sosialis yang ber-Tuhan, yang kemudian diadopsi oleh
    negara Rusia dan diselewengkan ke dalam bentuk negara komunis sejak revolusi
    Bolswijk 1917. Indonesia dalam hal ini secara positif mengadopsi cita-cita
    negara adil makmurnya Ibnu Siena dengan menjadikannya sebagai cita-cita negara
    yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.


    Al Ghozali
    (450-505 H/ 1058-1111 M) dengan konsepnya Negara Moral (Negara Universal); yang
    kemudian diadopsi oleh pemikir negara di Eropa yang membentuk negara agama di
    abad pertengahan (midle age) yang melahirkan abad kegelapan (dark age).


    Ibnu Khaldun
    (lahir 732 H/ 133 M) dengan konsepnya Negara Kemakmuran (ashabiah). Konsep Ibnu
    Khaldun banyak diadopsi oleh pemikir barat modern sejak renaissance hingga
    sekarang dengan memodifikasi dengan konsep baru welfar state (negara
    kesejahteraan).


    Ibnu Taimiyah
    (lahir 1262 M) dengan konsepnya As-Siyasa asy-Syar'iyyah, serta pembahasannya
    tentang Pedoman Islam Bernegara; pemikirannya banyak diadopsi oleh pemikir
    Eropa pada era Reformasi abad 16-17.


    Sementara Ibnu Rusjd, pakar teori negara hukum
    dengan konsepnya Negara Demokrasi, pemikirannya akan tetap menjadi rujukan bagi
    negara-negara modern hingga saat ini.


    Pemikir lain pada masa klasik Al Mawardi sebagai perumus
    konsep Imamah, yang banyak mengilhami pemikiran politik Islam, dan Ibnu Abi
    Rabi' yang melontarkan konsep negara kerajaan.


    Sementara pemikir Islam pada
    Masa Modern antara lain: Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Keduanya
    sebagai penggerak utama paham kebangkitan Islam pada abad XIX hingga abad XX.
    Pemikir Islam lain yang cukup terkenal antara lain Al Maududi, Hasan Al Banna,
    M. Ridha, Al Raziq, Sayid Qutb, M. Husein Haikal, M. Iqbal, Hasan Al-Turabi,
    Ismail Al Faruqi, Khursyid Ahmad, Ahmad Abdul Aziz Sachedina, Imam Khomeini,
    Ali Syariati, Fazlur Rahman dan sebagainya.


    Semua pemikiran dari para
    cendekiawan Muslim tersebut hingga saat ini tetap menjadi rujukan dalam melihat
    konsepsi negara dan sistem politik yang berkembang hingga periode kontemporer.
    Akankah konsepsi itu juga menjadi rujukan bagi umat Islam Indonesia dalam upaya
    membentuk moral politik bangsa di masa depan?

      Waktu sekarang Fri May 10, 2024 1:08 am