Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    Alqur'anulkarim

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    Alqur'anulkarim Empty Alqur'anulkarim

    Post by kutubuku Sat Jul 03, 2010 7:49 pm

    AL-QUR'AN


    Dr. M. Quraish Shihab, M.A.






    Al-Quran yang secara harfiah berarti
    "bacaan sempurna "merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh
    tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulisbaca lima ribu
    tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi
    mulia itu.



    Tiada bacaan semacam Al-Quran yang
    dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
    menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa,
    remaja, dan anak-anak.



    Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam
    perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
    demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada
    sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.



    Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
    dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
    kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang
    ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi
    generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
    berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun
    semua mengandung kebenaran.



    Al-Quran layaknya sebuah permata yang
    memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.



    Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
    diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal
    atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau
    harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada
    etika membacanya.



    Tiada bacaan sebanyak kosakata
    Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
    sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu
    lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan
    padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.



    Sebagai contoh -sekali lagi sebagai
    contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
    akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali
    sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata
    dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.



    Kata infaq terulang sebanyak kata
    yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir
    sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan
    berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak
    keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah
    hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah
    bulan-bulan dalam setahun.



    "Allah menurunkan kitab Al-Quran
    dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."



    Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti
    itu? Al-Quran menantang:



    "Katakanlah, Seandainya manusia
    dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
    berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS
    Al-Isra,[17]: 88).



    Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis
    bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
    memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian
    luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad
    (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian,
    dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
    kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.



    "Bacalah dengan (menyebut) nama
    Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah,
    dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia
    mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]:
    1-5).



    Mengapa iqra, merupakan perintah
    pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak
    pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?



    Iqra' terambil dari akar kata yang
    berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan
    "membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."



    Dari "menghimpun" lahir
    aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti
    mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.



    Iqra' (Bacalah)!
    Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi -dalam suatu
    riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh
    malaikat Jibril a.s.



    Pertanyaan itu
    tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa
    saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
    kemanusiaan.



    Iqra' berarti
    bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,
    bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak
    tertulis.



    Alhasil objek
    perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.



    Demikian terpadu
    dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk
    meningkatkan kemampuannya.



    Pengulangan
    perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa
    kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca
    hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk
    mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah)
    akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
    juga.



    Mengulang-ulang
    membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan
    menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang
    "membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan
    serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak
    sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi
    terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta
    limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung
    dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah).
    Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.



    Sungguh,
    perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat
    diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah
    syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama
    membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru
    dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya
    Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab
    Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan
    berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831).



    Peradaban Islam
    lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena
    kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan,
    selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya



    "Sesungguhnya
    Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
    (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr
    [15]: 9).



    Pengetahuan dan
    peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu yang
    melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan
    dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.



    Setiap
    pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut berperan
    guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
    memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang subjek.



    Komet Halley,
    memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun
    para astronom menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya,
    tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri
    untuk memperkenalkan diri.



    Wahyu, ilham,
    intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau
    apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang
    tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
    dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang
    ditegaskan wahyu pertama ini.



    "Allah
    mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan
    mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq
    [96]: 4-5)



    Sekali lagi
    terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal
    dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
    seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan.
    Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di
    tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.



    Al-Quran sebagai
    kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan
    memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.



    Ketika Musa a.s.
    menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual,
    Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material :



    "Apakah itu
    yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).



    Musa sadar
    sambil menjawab,



    "Ini adalah
    tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku,
    disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).



    Di sisi lain,
    agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan
    benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan
    kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi –sekecil apa pun-
    adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.



    "Tidak
    sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir
    biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering
    kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)"
    (QS Al-An'am [6]: 59).



    "Bukan kamu
    yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan
    kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).



    Sungguh,
    ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim,
    serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat
    Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
    tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain
    yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang
    tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan,
    sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati
    manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau,
    menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
    di mana ujung pangkalnya.



    Salah satu
    tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan manusia
    -khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan
    terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.



    Keharaman
    makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan
    pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum
    mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
    berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa terkesan
    acak? Jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya
    melaksanakan ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan
    untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu Bersedekah tidak pula
    lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan
    menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan ibadah
    lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya,
    walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri. Demikian terlihat
    keterpaduan ajaran-ajarannya.



    Al-Quran
    menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan
    kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik.
    Kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
    namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk
    tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat
    buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi
    godaan nafsu dan setan.



    Ketika Qarun
    yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu adalah
    hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
    nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:



    "Maka Kami
    benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).



    Dan berkatalah
    orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah
    Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan
    mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya
    kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir
    (QS Al-Qashash [28]: 82).



    Dalam konteks
    menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan mengemukakan situasi, langkah
    konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta
    oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya,



    Maksudnya,


    "(Setelah
    berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya semua
    pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada
    kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf
    [12]: 23).



    Demikian, tetapi
    itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing nafsu dan
    merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri
    manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar
    apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.



    Al-Quran
    kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita
    itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
    Yang pertama dan kedua adalah,



    "Aku
    berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan
    aku dengan baik" (QS Yusuf [12]: 23).



    Yang ketiga,
    khawatir kedua alasan itu belum cukup.



    "Dan
    sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya" (QS
    Yusuf [12]: 23).



    Dalam bidang
    pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu,
    keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.



    Pada saat
    Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat itu pula ia
    mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan
    menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para pemimpin
    diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah
    dengan mereka.



    Demikian
    Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan pemerintah. Tidak
    mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita
    berhasil kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya
    ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur
    kependidikan.



    Dua puluh dua
    tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih
    berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya
    tekun mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya,
    mereka berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur
    dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan
    Ilahi.



    Kita dapat bertanya
    mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat
    kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard University, yang
    dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran
    negara-negara itu.



    Salah satu
    faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan sajian yang
    disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
    menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para
    generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh
    tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada
    hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu.
    Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh tahun, sama dengan
    lama turunnya Al-Quran.



    Kalau demikian,
    jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun
    kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian
    tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan anak-anak dan
    remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka
    kita wajar optimis, karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan
    generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar
    delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan hayati
    mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian
    hati.



    Kita wajar
    optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta tekadnya
    mencanangkan wajib belajar.



    Ayat "wa
    tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja mencanangkan
    "wajib belajar" tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah
    tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-haq atau
    kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
    mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu.
    Ketiga unsur itulah yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban.



    Al-Quran yang
    sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara lain:



    Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala
    bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
    Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
    teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.



    Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
    yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja
    sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.



    Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
    antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia
    dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
    kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme,
    kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
    keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.



    Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam
    bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat
    yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.



    Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
    kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas
    manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.



    Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan
    kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok
    kehidupan masyarakat manusia



    Untuk
    memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah
    kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan
    dan mencegah kemunkaran.



    Untuk
    menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang
    sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.



    Demikian sebagian tujuan kehadiran
    Al-Quran, tujuan yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
    pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan
    formalitas dan kegersangan.



    Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang
    bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan
    pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan
    diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada
    realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup
    pribadi dan masyarakat.



    Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang
    merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi
    kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi
    sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
    manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan spiritual
    bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalam negara kita. []

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 10:20 pm