AL-QUR'AN
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Al-Quran yang secara harfiah berarti
"bacaan sempurna "merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh
tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulisbaca lima ribu
tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi
mulia itu.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang
dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa,
remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada
sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang
ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi
generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun
semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang
memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal
atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau
harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada
etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata
Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu
lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan
padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh -sekali lagi sebagai
contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali
sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata
dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata
yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir
sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan
berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak
keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah
hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah
bulan-bulan dalam setahun.
"Allah menurunkan kitab Al-Quran
dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti
itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia
dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS
Al-Isra,[17]: 88).
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis
bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian
luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad
(Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian,
dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
"Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]:
1-5).
Mengapa iqra, merupakan perintah
pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak
pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra' terambil dari akar kata yang
berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan
"membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."
Dari "menghimpun" lahir
aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti
mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra' (Bacalah)!
Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi -dalam suatu
riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh
malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu
tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa
saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra' berarti
bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,
bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak
tertulis.
Alhasil objek
perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu
dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk
meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan
perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa
kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah)
akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.
Mengulang-ulang
membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan
menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang
"membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan
serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak
sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi
terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta
limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung
dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah).
Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh,
perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat
diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah
syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama
membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru
dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya
Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab
Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan
berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831).
Peradaban Islam
lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena
kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan,
selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
"Sesungguhnya
Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr
[15]: 9).
Pengetahuan dan
peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu yang
melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan
dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap
pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut berperan
guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Komet Halley,
memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun
para astronom menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya,
tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri
untuk memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham,
intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau
apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang
tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang
ditegaskan wahyu pertama ini.
"Allah
mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan
mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq
[96]: 4-5)
Sekali lagi
terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal
dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di
tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran sebagai
kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan
memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa a.s.
menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual,
Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material :
"Apakah itu
yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).
Musa sadar
sambil menjawab,
"Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku,
disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
Di sisi lain,
agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan
benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan
kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi –sekecil apa pun-
adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak
sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering
kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)"
(QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu
yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan
kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
Sungguh,
ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim,
serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat
Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain
yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang
tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan,
sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati
manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau,
menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.
Salah satu
tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan manusia
-khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan
terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keharaman
makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan
pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum
mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa terkesan
acak? Jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya
melaksanakan ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan
untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu Bersedekah tidak pula
lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan
menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan ibadah
lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya,
walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri. Demikian terlihat
keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran
menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan
kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik.
Kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk
tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat
buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.
Ketika Qarun
yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu adalah
hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:
"Maka Kami
benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).
Dan berkatalah
orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah
Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan
mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya
kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir
(QS Al-Qashash [28]: 82).
Dalam konteks
menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan mengemukakan situasi, langkah
konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta
oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya,
Maksudnya,
"(Setelah
berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya semua
pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada
kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf
[12]: 23).
Demikian, tetapi
itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing nafsu dan
merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri
manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar
apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran
kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita
itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
Yang pertama dan kedua adalah,
"Aku
berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan
aku dengan baik" (QS Yusuf [12]: 23).
Yang ketiga,
khawatir kedua alasan itu belum cukup.
"Dan
sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya" (QS
Yusuf [12]: 23).
Dalam bidang
pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu,
keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.
Pada saat
Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat itu pula ia
mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan
menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para pemimpin
diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah
dengan mereka.
Demikian
Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan pemerintah. Tidak
mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita
berhasil kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya
ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur
kependidikan.
Dua puluh dua
tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih
berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya
tekun mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya,
mereka berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur
dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan
Ilahi.
Kita dapat bertanya
mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat
kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard University, yang
dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran
negara-negara itu.
Salah satu
faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan sajian yang
disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para
generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh
tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada
hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu.
Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh tahun, sama dengan
lama turunnya Al-Quran.
Kalau demikian,
jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun
kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian
tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan anak-anak dan
remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka
kita wajar optimis, karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan
generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar
delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan hayati
mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian
hati.
Kita wajar
optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta tekadnya
mencanangkan wajib belajar.
Ayat "wa
tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja mencanangkan
"wajib belajar" tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah
tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-haq atau
kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu.
Ketiga unsur itulah yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban.
Al-Quran yang
sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara lain:
Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala
bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja
sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia
dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme,
kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas
manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan
kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok
kehidupan masyarakat manusia
Untuk
memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah
kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran.
Untuk
menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang
sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
Demikian sebagian tujuan kehadiran
Al-Quran, tujuan yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan
formalitas dan kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang
bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan
pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan
diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada
realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup
pribadi dan masyarakat.
Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang
merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi
kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi
sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan spiritual
bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalam negara kita. []
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Al-Quran yang secara harfiah berarti
"bacaan sempurna "merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh
tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulisbaca lima ribu
tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi
mulia itu.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang
dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa,
remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada
sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang
ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi
generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun
semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang
memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal
atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau
harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada
etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata
Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu
lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan
padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh -sekali lagi sebagai
contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali
sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata
dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata
yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir
sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan
berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak
keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah
hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah
bulan-bulan dalam setahun.
"Allah menurunkan kitab Al-Quran
dengan penuh kebenaran dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti
itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia
dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS
Al-Isra,[17]: 88).
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis
bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian
luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad
(Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian,
dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
"Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]:
1-5).
Mengapa iqra, merupakan perintah
pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak
pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra' terambil dari akar kata yang
berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus diartikan
"membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."
Dari "menghimpun" lahir
aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti
mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra' (Bacalah)!
Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi -dalam suatu
riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh
malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu
tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa
saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra' berarti
bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,
bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak
tertulis.
Alhasil objek
perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu
dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk
meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan
perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa
kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah)
akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.
Mengulang-ulang
membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan
menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang
"membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan
serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak
sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi
terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta
limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung
dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah).
Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh,
perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat
diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah
syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama
membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru
dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya
Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab
Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan
berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831).
Peradaban Islam
lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena
kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan,
selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
"Sesungguhnya
Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr
[15]: 9).
Pengetahuan dan
peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu yang
melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan
dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap
pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut berperan
guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Komet Halley,
memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun
para astronom menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya,
tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri
untuk memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham,
intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau
apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang
tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang
ditegaskan wahyu pertama ini.
"Allah
mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan
mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq
[96]: 4-5)
Sekali lagi
terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal
dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di
tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran sebagai
kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan
memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa a.s.
menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual,
Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material :
"Apakah itu
yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).
Musa sadar
sambil menjawab,
"Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku,
disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
Di sisi lain,
agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan
benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan
kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi –sekecil apa pun-
adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak
sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering
kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)"
(QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu
yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan
kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
Sungguh,
ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim,
serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat
Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain
yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang
tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan,
sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati
manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau,
menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.
Salah satu
tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan manusia
-khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan
terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keharaman
makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan
pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum
mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa terkesan
acak? Jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya
melaksanakan ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan
untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu Bersedekah tidak pula
lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan
menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan ibadah
lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya,
walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri. Demikian terlihat
keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran
menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan
kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik.
Kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk
tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat
buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.
Ketika Qarun
yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu adalah
hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:
"Maka Kami
benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).
Dan berkatalah
orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah
Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan
mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya
kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir
(QS Al-Qashash [28]: 82).
Dalam konteks
menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan mengemukakan situasi, langkah
konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta
oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya,
Maksudnya,
"(Setelah
berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya semua
pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada
kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf
[12]: 23).
Demikian, tetapi
itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing nafsu dan
merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri
manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar
apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran
kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita
itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
Yang pertama dan kedua adalah,
"Aku
berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan
aku dengan baik" (QS Yusuf [12]: 23).
Yang ketiga,
khawatir kedua alasan itu belum cukup.
"Dan
sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya" (QS
Yusuf [12]: 23).
Dalam bidang
pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu,
keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.
Pada saat
Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat itu pula ia
mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan
menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para pemimpin
diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah
dengan mereka.
Demikian
Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan pemerintah. Tidak
mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita
berhasil kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya
ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur
kependidikan.
Dua puluh dua
tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih
berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya
tekun mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya,
mereka berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur
dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan
Ilahi.
Kita dapat bertanya
mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat
kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard University, yang
dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran
negara-negara itu.
Salah satu
faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan sajian yang
disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para
generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh
tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada
hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu.
Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh tahun, sama dengan
lama turunnya Al-Quran.
Kalau demikian,
jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20 tahun
kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian
tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan anak-anak dan
remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka
kita wajar optimis, karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan
generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar
delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan hayati
mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian
hati.
Kita wajar
optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta tekadnya
mencanangkan wajib belajar.
Ayat "wa
tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja mencanangkan
"wajib belajar" tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah
tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-haq atau
kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu.
Ketiga unsur itulah yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban.
Al-Quran yang
sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara lain:
Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala
bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja
sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia
dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme,
kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas
manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan
kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok
kehidupan masyarakat manusia
Untuk
memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah
kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran.
Untuk
menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang
sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
Demikian sebagian tujuan kehadiran
Al-Quran, tujuan yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan
formalitas dan kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang
bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan
pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan
diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada
realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup
pribadi dan masyarakat.
Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang
merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi
kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi
sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan spiritual
bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalam negara kita. []
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as