Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    konstitusi islami

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    konstitusi islami Empty konstitusi islami

    Post by kutubuku Sat Jul 03, 2010 2:58 pm

    Upaya Wujudkan Konstitusi yang Adil dan Demokratis





    Misalnya, banyak pihak yang menafsirkan Dekrit Presiden Soekarno
    merupakan tonggak penting, karena kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi resmi
    Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak banyak orang yang tetap
    mengingat dengan jernih, betapa langkah darurat Soekarno sesungguhnya telah
    menjegal proses demokrasi yang sedang berlangsung dan hampir mencapai konsensus
    dalam Konstituante. Sedangkan Konstituante merupakan lembaga perwakilan rakyat,
    manifestasi kongkrit dari hasil pemilu pertama sejak kemerdekaan bangsa.

    Sejak Dekrit 5 Juli itu, Indonesia
    memasuki masa 'Demokrasi Terpimpin', sebuah sistem yang sama sekali tidak
    demokratis alias otoriterian. Sehingga, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta
    yang menyatakan berpisah haluan dengan Soekarno sempat berkomentar dalam
    bukunya Demokrasi Kita, bahwa 'segala sesuatunya ada pada masa Demokrasi
    Terpimpin, kecuali demokrasi itu sendiri'.

    Dalam konteks sejarah yang ambigu itulah persilangan pendapat tentang Piagam
    Jakarta acapkali menyertai. Sebab, dalam dekritnya Presiden Soekarno tegas
    menyatakan: 'bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah
    merupakan suatu rangkaian kesatuan'. Anehnya, sebagian masyarakat menerima
    kembalinya UUD 1945, namun enggan mengakui keabsahan Piagam Jakarta yang digaransi oleh Presiden Soekarno
    sendiri.

    Latar belakang sejarah Dekrit yang kelabu membuat pemahaman sebagian orang atas
    legitimasi historis Piagam Jakarta menjadi kabur. Padahal, landasan sejarah
    perumusan dan penyepakatan Piagam Jakarta
    jauh lebih lama dibandingkan pemberlakuan Dekrit. Tanpa kemunculan Dekrit
    Presiden Soekarno sekalipun, Piagam Jakarta telah mewarnai wacana pemikiran
    kebangsaan para pendiri republik ini. Mari kita tata kembali ingatan sejarah
    kita.

    Kita patut belajar dari para pendiri bangsa yang lebih mengedepankan
    argumentasi intelektual dan visi kebersamaan daripada taruhan kekuasaan dalam
    merumuskan kesepakatan bangsa (national enggagement).

    Berdasarkan risalah sidang BPUPKI, jelas yang dimaksud dengan Piagam Jakarta
    bukanlah semata tujuh potong kata yang menjadi momok bagi sebagian orang, yaitu
    ketentuan tentang 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya'.
    Itu hanyalah sebagian kecil dari gentlemen agreement di antara tokoh-tokoh
    nasional dari berbagai aliran. Sekalipun ia sungguh sangat penting, sebab poin
    itulah titik kompromi yang diterima oleh founding fathers kita.

    Bagian terbesar dari Piagam Jakarta justru menandaskan: pengakuan kemerdekaan
    sebagai hak universal dan perlawanan semesta terhadap segala bentuk
    kolonialisme; pernyataan kemerdekaan Indonesia sebagai buah perjuangan, bukan
    pemberian negara asing; penyepakatan dasar-dasar bagi berdirinya negara
    Republik Indonesia yang merdeka; serta tujuan bersama yang harus
    diperjuangankan seluruh rakyat Indonesia bersama masyarakat dunia yang beradab.

    Ya, Piagam Jakarta itu tak lain adalah Pembukaan UUD 1945 seutuhnya sebagaimana
    disepakati Panitia Sembilan BPUPKI hingga hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
    Satu hari kemudian, 18 Agustus 1945, sidang darurat Panitia Persiapan
    Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghapus klausul imperatif terhadap umat Islam
    itu atas usulan Hatta yang telah didatangi seorang opsir Kaigun Jepang dan
    diganti dengan 'Yang Maha Esa'.

    Karena itu, dapat dipahami sewajarnya upaya untuk mengembalikan UUD 1945 kepada
    semangat otentiknya dengan mengusulkan masuknya klausul Piagam Jakarta dalam
    proses Perubahan UUD yang sedang berlangsung di PAH I MPR. Usulan perubahan
    ditujukan kepada Pasal 29 UUD 1945, bukan pada Pembukaan UUD 1945 -- tempat
    asli Piagam Jakarta yang kini tiba-tiba disakralkan kembali. Pasal alternatif
    yang disodorkan Fraksi PPP dan PBB adalah: 'Negara berdasarkan Ketuhanan dengan
    kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya'.

    Usulan itu memancing perdebatan panas, terutama bagi mereka yang memiliki
    pemahaman sejarah mendua seperti dijelaskan di muka. Namun, kontroversi mungkin
    segera berlalu karena pembahasan di PAH I MPR tampaknya sudah mengerucut.
    Terdengar kabar dua tokoh dari Fraksi PPP dan PBB yang selama ini vokal
    mendesakkan klausul Piagam Jakarta
    dalam perubahan UUD 1945, akhirnya berkompromi.

    Dengan begitu, sungguh tak beralasan kekhawatiran akan ancaman deadlock pada
    Sidang Tahunan MPR akibat perdebatan pasal-pasal krusial. Bayang-bayang
    kebuntuan itu telah dipergelap dengan kemungkinan skenario keluarnya Dekrit
    Presiden Megawati yang membatalkan proses amandemen konstitusi seluruhnya, lalu
    memberlakukan kembali UUD 1945 sebagaimana 'aslinya'. Andai benar begitu, maka
    mirip dengan langkah drastis Presiden Soekarno 43 tahun yang lampau, yang
    kemudian terbukti berhasil memberangus demokrasi, dan bahkan kemudian
    menghancurkan rezimnya sendiri.

    Sementara itu, Fraksi Reformasi (gabungan PAN dengan PK) yang tetap mengusulkan
    amandemen Ayat 1 Pasal 29 UUD 1945 dalam rumusan yang lebih inklusif, yakni:
    'Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran
    agama bagi masing-masing pemeluknya'. Rumusan itu bisa disebut sebagai klausul
    'Piagam Jakarta yang berwawasan Piagam Madinah'.

    Dengan usulan ini, phobi yang biasanya dikemukakan kelompok anti-Piagam Jakarta yaitu adanya
    diskriminasi dan kehawatiran disintegrasi terjawab tuntas. Dengan pendekatan
    Piagam Madinah, maka berbagai kelompok agama mendapat hak yang sama untuk
    melaksanakan ajaran agamanya. Dan terbukti Piagam Madinah justru menjadi faktor
    penting terjadinya integrasi masyarakat Madinah yang plural itu. Selain itu
    kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi para pemeluknya jelas dinyatakan dalam
    Alquran misalnya QS As Syuro: 13 dan QS An Nissa: 59, Al Maidah: 41-47.

    Selain itu keperluan untuk mempertegas identitas relijius dari bangsa ini
    semakin mendesak. Justru ketika di era reformasi sekarang ini Indonesia
    dinyatakan negara terkorup dan paling rendah kemampuannya dalam memunculkan
    keadilan hukum di Asia. Paham materialisme dan
    sekulerisme telah melanda hampir seluruh sektor kehidupan bangsa, dan terbukti
    membawa kerusakan fisik dan moral yang berat.

    Banyak orang bingung mencari landasan kehidupan yang lebih kokoh secara moral
    yang akan menjamin eksistensi suatu bangsa. Pegangan itu terutama bersumber
    dari ajaran agama. Sehingga, penerapan agama secara benar dan menyeluruh dapat
    menjadi alternatif pemecahan krisis nasional yang multidimensional.
    Implementasi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat tak perlu terjebak silang
    pendapat sistem 'teokrasi' atau 'demokrasi'. Sebab, demokrasi yang anti-tuhan
    sama berbahayanya dengan teokrasi yang tidak demokratis.

    Prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang terkandung dalam Piagam Madinah dan
    Piagam Jakarta dalam bentuk yang utuh sangat relevan untuk diaktualisasikan
    kembali. Masa transisi yang penuh ketidakpastian menuntut penguatan falsafah
    kebangsaan dan keumatan kita. Dengan mewarisi semangat pencarian kebenaran yang
    dilakukan para pendiri bangsa, kita dapat mencermati kaitan historis antara
    Piagam Madinah dengan Piagam Jakarta.

    Piagam Madinah yang merupakan sunnah Rasulullah SAW itu, pada hakekatnya memuat
    prinsip-prinsip kehidupan beragama dan bernegara secara generik dan universal.
    Sementara Piagam Jakarta
    -- sekali lagi dalam bentuknya yang utuh -- merupakan upaya pengejawantahan
    kehidupan beragama dan bernegara sesuai konteks keindonesiaan. Kedua piagam
    politik itu (political charter) hendaknya menjadi inspirasi politik kebangsaan
    baru.

    Kita semua menyadari tantangan umat dan bangsa dewasa ini jauh berbeda dengan
    masa awal kemerdekaan. Saat ini, pergesekan ideologi sudah beralih rupa. Arus
    globalisasi, materialisme dan sekulerisme merambah ke segenap sektor kehidupan
    bermasyarakat dan bernegara. Tawaran ideologi Islam secara khusus -- yang
    disalahkaprahi sebagai motif utama di balik usul Piagam Jakarta -- mendapat
    reaksi keras. Tak cuma dari kalangan non-Muslim, namun dari sebagian kaum muslimin
    sendiri yang diam-diam telah menjadi sekuler tanpa disadari. Untuk itu
    penggalian kembali nilai-nilai otentik yang terkandung dalam Piagam Madinah dan
    Piagam Jakarta yang seutuhnya sangat diperlukan.

    Tantangan praksis, misalnya bagaimana umat pada tingkat individu, profesi, dan
    organisasi dalam berbagai aktifitas mampu melaksanakan ajaran agamanya secara
    kaafah dan menjadi rahmatan lil alamin. Sebab, kewajiban itu juga sudah ada
    semenjak Rasulullah SAW mensyariatkannya pada 14 abad lalu tanpa harus dikaitkan
    dengan masalah amandemen UUD '45.

    Juga tantangan ini terlihat dalam pemberlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh
    Darussalam. Kewajiban menjalankan syariat hanya ditujukan kepada umat Islam dan
    terbukti tidak dipaksakan kepada umat lain, dan bahkan tidak membuat umat
    non-Muslim menjadi tidak nyaman hidup di Aceh, karena pemberlakuan syariat
    Islam itu. Ketentuan yang digodok sejak era Presiden Habibie, Gus Dur, dan
    ditandatangani Presiden Megawati itu diputuskan secara terbuka melalui
    legislasi di DPR tanpa dikaitkan dengan Piagam Jakarta yang parsial (7 kata
    sakral) itu. Menarik untuk diawasi dan didorong efektivitas syariat dalam
    meredam konflik, memajukan masyarakat dan menghilangkan ketimpangan sosial.
    Tetapi jangan sebaliknya, konflik terus direkayasa untuk menggagalkan
    implementasi syariat.

    Ada contoh
    menarik dari masyarakat Hindu di Provinsi Bali
    yang telah menerapkan hukum agama Hindu berdasarkan Peraturan Daerah setempat.
    Ketentuan itu toh tidak dianggap inkonstitusional. Pemberlakuan desa adat Banjar,
    bahkan polisi adat Pencalang, dipercaya menciptakan keamanan tersendiri bagi
    masyarakat Bali, asal tidak bersifat
    diskriminasi terhadap minoritas non-Hindu. Salah satu ritual keagamaan di sana adalah Hari Raya
    Nyepi, tatkala seluruh pelosok Bali menghentikan
    kegiatan, sampai bandar udara internasional pun berhenti beroperasi. Meskipun
    Bali termasuk jurisdiksi nasional Republik Indonesia, ternyata berlaku
    ketentuan khusus. Bukankah tidak ada yang menaruh kecurigaan terhadap penerapan
    ajaran agama Hindu di Bali? Lalu, mengapa curiga dan takut dengan ajaran Islam?

    Fenomena melaksanakan syariat itu mestinya diapresiasi positif, menemukan akar
    historis budaya lokal bagi pemecahan masalah sosial. Persoalannya jelas,
    masyarakat menyaksikan penegakan hukum di republik ini tidak jalan. Terjadi
    sandiwara dan mafia peradilan di satu pihak, serta anarki massa di pihak lain. Solusi pelaksanaan
    ajaran agama bisa menjadi terobosan, bila dikelola secara bertanggung-jawab.

    Penerapan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat selayaknya diseriusi, karena
    demokrasi adalah tes uji bagi penerapan nilai-nilai yang dianut semua komponen
    bangsa. Keadilan patut diberikan bagi semua pemeluk agama. Tidak ada tempat
    bagi mereka yang tidak beragama atau yang memusuhi agama. Karena negeri ini
    dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan modal utama spirit keagamaan. Negeri
    ini juga dimakmurkan dan disejahterakan dengan pengamalan nilai-nilai spiritual
    keagamaan. Amandemen UUD 1945 harus dituntaskan sehingga kita mempunyai UUD
    yang sungguh reformis, adil, dan mengokohkan integrasi kita sebagai bangsa dan
    negara.
    Rabu 17 Juli 2002

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 11:48 am