Upaya Wujudkan Konstitusi yang Adil dan Demokratis
Misalnya, banyak pihak yang menafsirkan Dekrit Presiden Soekarno
merupakan tonggak penting, karena kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi resmi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak banyak orang yang tetap
mengingat dengan jernih, betapa langkah darurat Soekarno sesungguhnya telah
menjegal proses demokrasi yang sedang berlangsung dan hampir mencapai konsensus
dalam Konstituante. Sedangkan Konstituante merupakan lembaga perwakilan rakyat,
manifestasi kongkrit dari hasil pemilu pertama sejak kemerdekaan bangsa.
Sejak Dekrit 5 Juli itu, Indonesia
memasuki masa 'Demokrasi Terpimpin', sebuah sistem yang sama sekali tidak
demokratis alias otoriterian. Sehingga, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta
yang menyatakan berpisah haluan dengan Soekarno sempat berkomentar dalam
bukunya Demokrasi Kita, bahwa 'segala sesuatunya ada pada masa Demokrasi
Terpimpin, kecuali demokrasi itu sendiri'.
Dalam konteks sejarah yang ambigu itulah persilangan pendapat tentang Piagam
Jakarta acapkali menyertai. Sebab, dalam dekritnya Presiden Soekarno tegas
menyatakan: 'bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan'. Anehnya, sebagian masyarakat menerima
kembalinya UUD 1945, namun enggan mengakui keabsahan Piagam Jakarta yang digaransi oleh Presiden Soekarno
sendiri.
Latar belakang sejarah Dekrit yang kelabu membuat pemahaman sebagian orang atas
legitimasi historis Piagam Jakarta menjadi kabur. Padahal, landasan sejarah
perumusan dan penyepakatan Piagam Jakarta
jauh lebih lama dibandingkan pemberlakuan Dekrit. Tanpa kemunculan Dekrit
Presiden Soekarno sekalipun, Piagam Jakarta telah mewarnai wacana pemikiran
kebangsaan para pendiri republik ini. Mari kita tata kembali ingatan sejarah
kita.
Kita patut belajar dari para pendiri bangsa yang lebih mengedepankan
argumentasi intelektual dan visi kebersamaan daripada taruhan kekuasaan dalam
merumuskan kesepakatan bangsa (national enggagement).
Berdasarkan risalah sidang BPUPKI, jelas yang dimaksud dengan Piagam Jakarta
bukanlah semata tujuh potong kata yang menjadi momok bagi sebagian orang, yaitu
ketentuan tentang 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya'.
Itu hanyalah sebagian kecil dari gentlemen agreement di antara tokoh-tokoh
nasional dari berbagai aliran. Sekalipun ia sungguh sangat penting, sebab poin
itulah titik kompromi yang diterima oleh founding fathers kita.
Bagian terbesar dari Piagam Jakarta justru menandaskan: pengakuan kemerdekaan
sebagai hak universal dan perlawanan semesta terhadap segala bentuk
kolonialisme; pernyataan kemerdekaan Indonesia sebagai buah perjuangan, bukan
pemberian negara asing; penyepakatan dasar-dasar bagi berdirinya negara
Republik Indonesia yang merdeka; serta tujuan bersama yang harus
diperjuangankan seluruh rakyat Indonesia bersama masyarakat dunia yang beradab.
Ya, Piagam Jakarta itu tak lain adalah Pembukaan UUD 1945 seutuhnya sebagaimana
disepakati Panitia Sembilan BPUPKI hingga hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Satu hari kemudian, 18 Agustus 1945, sidang darurat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghapus klausul imperatif terhadap umat Islam
itu atas usulan Hatta yang telah didatangi seorang opsir Kaigun Jepang dan
diganti dengan 'Yang Maha Esa'.
Karena itu, dapat dipahami sewajarnya upaya untuk mengembalikan UUD 1945 kepada
semangat otentiknya dengan mengusulkan masuknya klausul Piagam Jakarta dalam
proses Perubahan UUD yang sedang berlangsung di PAH I MPR. Usulan perubahan
ditujukan kepada Pasal 29 UUD 1945, bukan pada Pembukaan UUD 1945 -- tempat
asli Piagam Jakarta yang kini tiba-tiba disakralkan kembali. Pasal alternatif
yang disodorkan Fraksi PPP dan PBB adalah: 'Negara berdasarkan Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya'.
Usulan itu memancing perdebatan panas, terutama bagi mereka yang memiliki
pemahaman sejarah mendua seperti dijelaskan di muka. Namun, kontroversi mungkin
segera berlalu karena pembahasan di PAH I MPR tampaknya sudah mengerucut.
Terdengar kabar dua tokoh dari Fraksi PPP dan PBB yang selama ini vokal
mendesakkan klausul Piagam Jakarta
dalam perubahan UUD 1945, akhirnya berkompromi.
Dengan begitu, sungguh tak beralasan kekhawatiran akan ancaman deadlock pada
Sidang Tahunan MPR akibat perdebatan pasal-pasal krusial. Bayang-bayang
kebuntuan itu telah dipergelap dengan kemungkinan skenario keluarnya Dekrit
Presiden Megawati yang membatalkan proses amandemen konstitusi seluruhnya, lalu
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagaimana 'aslinya'. Andai benar begitu, maka
mirip dengan langkah drastis Presiden Soekarno 43 tahun yang lampau, yang
kemudian terbukti berhasil memberangus demokrasi, dan bahkan kemudian
menghancurkan rezimnya sendiri.
Sementara itu, Fraksi Reformasi (gabungan PAN dengan PK) yang tetap mengusulkan
amandemen Ayat 1 Pasal 29 UUD 1945 dalam rumusan yang lebih inklusif, yakni:
'Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran
agama bagi masing-masing pemeluknya'. Rumusan itu bisa disebut sebagai klausul
'Piagam Jakarta yang berwawasan Piagam Madinah'.
Dengan usulan ini, phobi yang biasanya dikemukakan kelompok anti-Piagam Jakarta yaitu adanya
diskriminasi dan kehawatiran disintegrasi terjawab tuntas. Dengan pendekatan
Piagam Madinah, maka berbagai kelompok agama mendapat hak yang sama untuk
melaksanakan ajaran agamanya. Dan terbukti Piagam Madinah justru menjadi faktor
penting terjadinya integrasi masyarakat Madinah yang plural itu. Selain itu
kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi para pemeluknya jelas dinyatakan dalam
Alquran misalnya QS As Syuro: 13 dan QS An Nissa: 59, Al Maidah: 41-47.
Selain itu keperluan untuk mempertegas identitas relijius dari bangsa ini
semakin mendesak. Justru ketika di era reformasi sekarang ini Indonesia
dinyatakan negara terkorup dan paling rendah kemampuannya dalam memunculkan
keadilan hukum di Asia. Paham materialisme dan
sekulerisme telah melanda hampir seluruh sektor kehidupan bangsa, dan terbukti
membawa kerusakan fisik dan moral yang berat.
Banyak orang bingung mencari landasan kehidupan yang lebih kokoh secara moral
yang akan menjamin eksistensi suatu bangsa. Pegangan itu terutama bersumber
dari ajaran agama. Sehingga, penerapan agama secara benar dan menyeluruh dapat
menjadi alternatif pemecahan krisis nasional yang multidimensional.
Implementasi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat tak perlu terjebak silang
pendapat sistem 'teokrasi' atau 'demokrasi'. Sebab, demokrasi yang anti-tuhan
sama berbahayanya dengan teokrasi yang tidak demokratis.
Prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang terkandung dalam Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta dalam bentuk yang utuh sangat relevan untuk diaktualisasikan
kembali. Masa transisi yang penuh ketidakpastian menuntut penguatan falsafah
kebangsaan dan keumatan kita. Dengan mewarisi semangat pencarian kebenaran yang
dilakukan para pendiri bangsa, kita dapat mencermati kaitan historis antara
Piagam Madinah dengan Piagam Jakarta.
Piagam Madinah yang merupakan sunnah Rasulullah SAW itu, pada hakekatnya memuat
prinsip-prinsip kehidupan beragama dan bernegara secara generik dan universal.
Sementara Piagam Jakarta
-- sekali lagi dalam bentuknya yang utuh -- merupakan upaya pengejawantahan
kehidupan beragama dan bernegara sesuai konteks keindonesiaan. Kedua piagam
politik itu (political charter) hendaknya menjadi inspirasi politik kebangsaan
baru.
Kita semua menyadari tantangan umat dan bangsa dewasa ini jauh berbeda dengan
masa awal kemerdekaan. Saat ini, pergesekan ideologi sudah beralih rupa. Arus
globalisasi, materialisme dan sekulerisme merambah ke segenap sektor kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tawaran ideologi Islam secara khusus -- yang
disalahkaprahi sebagai motif utama di balik usul Piagam Jakarta -- mendapat
reaksi keras. Tak cuma dari kalangan non-Muslim, namun dari sebagian kaum muslimin
sendiri yang diam-diam telah menjadi sekuler tanpa disadari. Untuk itu
penggalian kembali nilai-nilai otentik yang terkandung dalam Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta yang seutuhnya sangat diperlukan.
Tantangan praksis, misalnya bagaimana umat pada tingkat individu, profesi, dan
organisasi dalam berbagai aktifitas mampu melaksanakan ajaran agamanya secara
kaafah dan menjadi rahmatan lil alamin. Sebab, kewajiban itu juga sudah ada
semenjak Rasulullah SAW mensyariatkannya pada 14 abad lalu tanpa harus dikaitkan
dengan masalah amandemen UUD '45.
Juga tantangan ini terlihat dalam pemberlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Kewajiban menjalankan syariat hanya ditujukan kepada umat Islam dan
terbukti tidak dipaksakan kepada umat lain, dan bahkan tidak membuat umat
non-Muslim menjadi tidak nyaman hidup di Aceh, karena pemberlakuan syariat
Islam itu. Ketentuan yang digodok sejak era Presiden Habibie, Gus Dur, dan
ditandatangani Presiden Megawati itu diputuskan secara terbuka melalui
legislasi di DPR tanpa dikaitkan dengan Piagam Jakarta yang parsial (7 kata
sakral) itu. Menarik untuk diawasi dan didorong efektivitas syariat dalam
meredam konflik, memajukan masyarakat dan menghilangkan ketimpangan sosial.
Tetapi jangan sebaliknya, konflik terus direkayasa untuk menggagalkan
implementasi syariat.
Ada contoh
menarik dari masyarakat Hindu di Provinsi Bali
yang telah menerapkan hukum agama Hindu berdasarkan Peraturan Daerah setempat.
Ketentuan itu toh tidak dianggap inkonstitusional. Pemberlakuan desa adat Banjar,
bahkan polisi adat Pencalang, dipercaya menciptakan keamanan tersendiri bagi
masyarakat Bali, asal tidak bersifat
diskriminasi terhadap minoritas non-Hindu. Salah satu ritual keagamaan di sana adalah Hari Raya
Nyepi, tatkala seluruh pelosok Bali menghentikan
kegiatan, sampai bandar udara internasional pun berhenti beroperasi. Meskipun
Bali termasuk jurisdiksi nasional Republik Indonesia, ternyata berlaku
ketentuan khusus. Bukankah tidak ada yang menaruh kecurigaan terhadap penerapan
ajaran agama Hindu di Bali? Lalu, mengapa curiga dan takut dengan ajaran Islam?
Fenomena melaksanakan syariat itu mestinya diapresiasi positif, menemukan akar
historis budaya lokal bagi pemecahan masalah sosial. Persoalannya jelas,
masyarakat menyaksikan penegakan hukum di republik ini tidak jalan. Terjadi
sandiwara dan mafia peradilan di satu pihak, serta anarki massa di pihak lain. Solusi pelaksanaan
ajaran agama bisa menjadi terobosan, bila dikelola secara bertanggung-jawab.
Penerapan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat selayaknya diseriusi, karena
demokrasi adalah tes uji bagi penerapan nilai-nilai yang dianut semua komponen
bangsa. Keadilan patut diberikan bagi semua pemeluk agama. Tidak ada tempat
bagi mereka yang tidak beragama atau yang memusuhi agama. Karena negeri ini
dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan modal utama spirit keagamaan. Negeri
ini juga dimakmurkan dan disejahterakan dengan pengamalan nilai-nilai spiritual
keagamaan. Amandemen UUD 1945 harus dituntaskan sehingga kita mempunyai UUD
yang sungguh reformis, adil, dan mengokohkan integrasi kita sebagai bangsa dan
negara. Rabu 17 Juli 2002
Misalnya, banyak pihak yang menafsirkan Dekrit Presiden Soekarno
merupakan tonggak penting, karena kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi resmi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak banyak orang yang tetap
mengingat dengan jernih, betapa langkah darurat Soekarno sesungguhnya telah
menjegal proses demokrasi yang sedang berlangsung dan hampir mencapai konsensus
dalam Konstituante. Sedangkan Konstituante merupakan lembaga perwakilan rakyat,
manifestasi kongkrit dari hasil pemilu pertama sejak kemerdekaan bangsa.
Sejak Dekrit 5 Juli itu, Indonesia
memasuki masa 'Demokrasi Terpimpin', sebuah sistem yang sama sekali tidak
demokratis alias otoriterian. Sehingga, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta
yang menyatakan berpisah haluan dengan Soekarno sempat berkomentar dalam
bukunya Demokrasi Kita, bahwa 'segala sesuatunya ada pada masa Demokrasi
Terpimpin, kecuali demokrasi itu sendiri'.
Dalam konteks sejarah yang ambigu itulah persilangan pendapat tentang Piagam
Jakarta acapkali menyertai. Sebab, dalam dekritnya Presiden Soekarno tegas
menyatakan: 'bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan'. Anehnya, sebagian masyarakat menerima
kembalinya UUD 1945, namun enggan mengakui keabsahan Piagam Jakarta yang digaransi oleh Presiden Soekarno
sendiri.
Latar belakang sejarah Dekrit yang kelabu membuat pemahaman sebagian orang atas
legitimasi historis Piagam Jakarta menjadi kabur. Padahal, landasan sejarah
perumusan dan penyepakatan Piagam Jakarta
jauh lebih lama dibandingkan pemberlakuan Dekrit. Tanpa kemunculan Dekrit
Presiden Soekarno sekalipun, Piagam Jakarta telah mewarnai wacana pemikiran
kebangsaan para pendiri republik ini. Mari kita tata kembali ingatan sejarah
kita.
Kita patut belajar dari para pendiri bangsa yang lebih mengedepankan
argumentasi intelektual dan visi kebersamaan daripada taruhan kekuasaan dalam
merumuskan kesepakatan bangsa (national enggagement).
Berdasarkan risalah sidang BPUPKI, jelas yang dimaksud dengan Piagam Jakarta
bukanlah semata tujuh potong kata yang menjadi momok bagi sebagian orang, yaitu
ketentuan tentang 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya'.
Itu hanyalah sebagian kecil dari gentlemen agreement di antara tokoh-tokoh
nasional dari berbagai aliran. Sekalipun ia sungguh sangat penting, sebab poin
itulah titik kompromi yang diterima oleh founding fathers kita.
Bagian terbesar dari Piagam Jakarta justru menandaskan: pengakuan kemerdekaan
sebagai hak universal dan perlawanan semesta terhadap segala bentuk
kolonialisme; pernyataan kemerdekaan Indonesia sebagai buah perjuangan, bukan
pemberian negara asing; penyepakatan dasar-dasar bagi berdirinya negara
Republik Indonesia yang merdeka; serta tujuan bersama yang harus
diperjuangankan seluruh rakyat Indonesia bersama masyarakat dunia yang beradab.
Ya, Piagam Jakarta itu tak lain adalah Pembukaan UUD 1945 seutuhnya sebagaimana
disepakati Panitia Sembilan BPUPKI hingga hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Satu hari kemudian, 18 Agustus 1945, sidang darurat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghapus klausul imperatif terhadap umat Islam
itu atas usulan Hatta yang telah didatangi seorang opsir Kaigun Jepang dan
diganti dengan 'Yang Maha Esa'.
Karena itu, dapat dipahami sewajarnya upaya untuk mengembalikan UUD 1945 kepada
semangat otentiknya dengan mengusulkan masuknya klausul Piagam Jakarta dalam
proses Perubahan UUD yang sedang berlangsung di PAH I MPR. Usulan perubahan
ditujukan kepada Pasal 29 UUD 1945, bukan pada Pembukaan UUD 1945 -- tempat
asli Piagam Jakarta yang kini tiba-tiba disakralkan kembali. Pasal alternatif
yang disodorkan Fraksi PPP dan PBB adalah: 'Negara berdasarkan Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya'.
Usulan itu memancing perdebatan panas, terutama bagi mereka yang memiliki
pemahaman sejarah mendua seperti dijelaskan di muka. Namun, kontroversi mungkin
segera berlalu karena pembahasan di PAH I MPR tampaknya sudah mengerucut.
Terdengar kabar dua tokoh dari Fraksi PPP dan PBB yang selama ini vokal
mendesakkan klausul Piagam Jakarta
dalam perubahan UUD 1945, akhirnya berkompromi.
Dengan begitu, sungguh tak beralasan kekhawatiran akan ancaman deadlock pada
Sidang Tahunan MPR akibat perdebatan pasal-pasal krusial. Bayang-bayang
kebuntuan itu telah dipergelap dengan kemungkinan skenario keluarnya Dekrit
Presiden Megawati yang membatalkan proses amandemen konstitusi seluruhnya, lalu
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagaimana 'aslinya'. Andai benar begitu, maka
mirip dengan langkah drastis Presiden Soekarno 43 tahun yang lampau, yang
kemudian terbukti berhasil memberangus demokrasi, dan bahkan kemudian
menghancurkan rezimnya sendiri.
Sementara itu, Fraksi Reformasi (gabungan PAN dengan PK) yang tetap mengusulkan
amandemen Ayat 1 Pasal 29 UUD 1945 dalam rumusan yang lebih inklusif, yakni:
'Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran
agama bagi masing-masing pemeluknya'. Rumusan itu bisa disebut sebagai klausul
'Piagam Jakarta yang berwawasan Piagam Madinah'.
Dengan usulan ini, phobi yang biasanya dikemukakan kelompok anti-Piagam Jakarta yaitu adanya
diskriminasi dan kehawatiran disintegrasi terjawab tuntas. Dengan pendekatan
Piagam Madinah, maka berbagai kelompok agama mendapat hak yang sama untuk
melaksanakan ajaran agamanya. Dan terbukti Piagam Madinah justru menjadi faktor
penting terjadinya integrasi masyarakat Madinah yang plural itu. Selain itu
kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi para pemeluknya jelas dinyatakan dalam
Alquran misalnya QS As Syuro: 13 dan QS An Nissa: 59, Al Maidah: 41-47.
Selain itu keperluan untuk mempertegas identitas relijius dari bangsa ini
semakin mendesak. Justru ketika di era reformasi sekarang ini Indonesia
dinyatakan negara terkorup dan paling rendah kemampuannya dalam memunculkan
keadilan hukum di Asia. Paham materialisme dan
sekulerisme telah melanda hampir seluruh sektor kehidupan bangsa, dan terbukti
membawa kerusakan fisik dan moral yang berat.
Banyak orang bingung mencari landasan kehidupan yang lebih kokoh secara moral
yang akan menjamin eksistensi suatu bangsa. Pegangan itu terutama bersumber
dari ajaran agama. Sehingga, penerapan agama secara benar dan menyeluruh dapat
menjadi alternatif pemecahan krisis nasional yang multidimensional.
Implementasi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat tak perlu terjebak silang
pendapat sistem 'teokrasi' atau 'demokrasi'. Sebab, demokrasi yang anti-tuhan
sama berbahayanya dengan teokrasi yang tidak demokratis.
Prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang terkandung dalam Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta dalam bentuk yang utuh sangat relevan untuk diaktualisasikan
kembali. Masa transisi yang penuh ketidakpastian menuntut penguatan falsafah
kebangsaan dan keumatan kita. Dengan mewarisi semangat pencarian kebenaran yang
dilakukan para pendiri bangsa, kita dapat mencermati kaitan historis antara
Piagam Madinah dengan Piagam Jakarta.
Piagam Madinah yang merupakan sunnah Rasulullah SAW itu, pada hakekatnya memuat
prinsip-prinsip kehidupan beragama dan bernegara secara generik dan universal.
Sementara Piagam Jakarta
-- sekali lagi dalam bentuknya yang utuh -- merupakan upaya pengejawantahan
kehidupan beragama dan bernegara sesuai konteks keindonesiaan. Kedua piagam
politik itu (political charter) hendaknya menjadi inspirasi politik kebangsaan
baru.
Kita semua menyadari tantangan umat dan bangsa dewasa ini jauh berbeda dengan
masa awal kemerdekaan. Saat ini, pergesekan ideologi sudah beralih rupa. Arus
globalisasi, materialisme dan sekulerisme merambah ke segenap sektor kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tawaran ideologi Islam secara khusus -- yang
disalahkaprahi sebagai motif utama di balik usul Piagam Jakarta -- mendapat
reaksi keras. Tak cuma dari kalangan non-Muslim, namun dari sebagian kaum muslimin
sendiri yang diam-diam telah menjadi sekuler tanpa disadari. Untuk itu
penggalian kembali nilai-nilai otentik yang terkandung dalam Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta yang seutuhnya sangat diperlukan.
Tantangan praksis, misalnya bagaimana umat pada tingkat individu, profesi, dan
organisasi dalam berbagai aktifitas mampu melaksanakan ajaran agamanya secara
kaafah dan menjadi rahmatan lil alamin. Sebab, kewajiban itu juga sudah ada
semenjak Rasulullah SAW mensyariatkannya pada 14 abad lalu tanpa harus dikaitkan
dengan masalah amandemen UUD '45.
Juga tantangan ini terlihat dalam pemberlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Kewajiban menjalankan syariat hanya ditujukan kepada umat Islam dan
terbukti tidak dipaksakan kepada umat lain, dan bahkan tidak membuat umat
non-Muslim menjadi tidak nyaman hidup di Aceh, karena pemberlakuan syariat
Islam itu. Ketentuan yang digodok sejak era Presiden Habibie, Gus Dur, dan
ditandatangani Presiden Megawati itu diputuskan secara terbuka melalui
legislasi di DPR tanpa dikaitkan dengan Piagam Jakarta yang parsial (7 kata
sakral) itu. Menarik untuk diawasi dan didorong efektivitas syariat dalam
meredam konflik, memajukan masyarakat dan menghilangkan ketimpangan sosial.
Tetapi jangan sebaliknya, konflik terus direkayasa untuk menggagalkan
implementasi syariat.
Ada contoh
menarik dari masyarakat Hindu di Provinsi Bali
yang telah menerapkan hukum agama Hindu berdasarkan Peraturan Daerah setempat.
Ketentuan itu toh tidak dianggap inkonstitusional. Pemberlakuan desa adat Banjar,
bahkan polisi adat Pencalang, dipercaya menciptakan keamanan tersendiri bagi
masyarakat Bali, asal tidak bersifat
diskriminasi terhadap minoritas non-Hindu. Salah satu ritual keagamaan di sana adalah Hari Raya
Nyepi, tatkala seluruh pelosok Bali menghentikan
kegiatan, sampai bandar udara internasional pun berhenti beroperasi. Meskipun
Bali termasuk jurisdiksi nasional Republik Indonesia, ternyata berlaku
ketentuan khusus. Bukankah tidak ada yang menaruh kecurigaan terhadap penerapan
ajaran agama Hindu di Bali? Lalu, mengapa curiga dan takut dengan ajaran Islam?
Fenomena melaksanakan syariat itu mestinya diapresiasi positif, menemukan akar
historis budaya lokal bagi pemecahan masalah sosial. Persoalannya jelas,
masyarakat menyaksikan penegakan hukum di republik ini tidak jalan. Terjadi
sandiwara dan mafia peradilan di satu pihak, serta anarki massa di pihak lain. Solusi pelaksanaan
ajaran agama bisa menjadi terobosan, bila dikelola secara bertanggung-jawab.
Penerapan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat selayaknya diseriusi, karena
demokrasi adalah tes uji bagi penerapan nilai-nilai yang dianut semua komponen
bangsa. Keadilan patut diberikan bagi semua pemeluk agama. Tidak ada tempat
bagi mereka yang tidak beragama atau yang memusuhi agama. Karena negeri ini
dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan modal utama spirit keagamaan. Negeri
ini juga dimakmurkan dan disejahterakan dengan pengamalan nilai-nilai spiritual
keagamaan. Amandemen UUD 1945 harus dituntaskan sehingga kita mempunyai UUD
yang sungguh reformis, adil, dan mengokohkan integrasi kita sebagai bangsa dan
negara. Rabu 17 Juli 2002
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as