Anak Bandung
Bangun Teleskop Robotik
EsGe
SATU lagi kisah
anak negeri yang sukses menimba ilmu dan meniti karier di negeri orang. Namanya
Mohamad Ridwan Hidayat, M.Sc. Pria yang lahir di Bandung, 36 tahun lalu itu,
dikenal sebagai seorang astronom andal. Di Indonesia mungkin tidak banyak orang
yang mengenalnya. Namun, kalangan ilmuwan di Malaysia banyak yang mengenal
Ridwan sebagai astronom jempolan. Pasalnya, gelar S1 dan S2 di bidang
astronomi, ia raih di Universitas Kebangsaan Malaysia, di Bangi, Selangor.
Karena keahliannya itu, Ridwan kerap
dipercaya pemerintahan Malaysia untuk menjalankan projek nasionalnya, khususnya
di bidang astronomi. Tak salah kiranya Ridwan juga didaulat untuk
mempresentasikan sebuah projek nasional Malaysia lainnya di bidang astronomi,
dalam acara Asia Pacific Regional IAU Meeting (APRIM) 2005 di Nusa Dua Bali.
Kertas kerja yang ia paparkan dalam bahasa Inggris itu ialah sebuah projek
Robotic Telescope pertama di Malaysia, yang nantinya juga menjadi observatorium
terbesar pertama di Malaysia.
Observatorium nasional itu terletak di
Pulau Langkawi, dekat perbatasan Malaysia-Thailand. Projek itu dimulai sejak
akhir 2003, dan direncanakan bakal rampung pada Desember 2005. Perdana Menteri
Malaysia rencananya akan meresmikan difungsikannya observatorium tersebut.
Dalam projek itu, Ridwan memegang
tanggung jawab sebagai manajer projeknya. Ridwan juga yang mendesain sistem,
membuat konsepnya, dan mengintegrasikan sistem-sistem tersebut hingga bisa
diaplikasikan nantinya. Ia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang terlibat
penuh dalam projek tersebut.
Ridwan memaparkan bahwa projek
tersebut dimotori oleh Agency Angkasa Negara atau National Space Agency
Malaysia (semacam Lapan di Indonesia). "Pemerintah Malaysia sangat
mendukung projek ini karena pemerintah di sana sangat concern soal dunia sains,
terutama tentang angkasa. Mereka juga memberi dana yang besar pada projek
ini," katanya.
Dijelaskannya,
teleskop yang dipasang di observatorium ini memiliki diameter lensa 60
sentimeter dengan autosistem CCD, dan mampu melakukan imaging, fotometri,
spektroskopi, serta astrometri. Teleskop seharga 1,5 juta ringgit Malaysia itu
(sekira Rp 3,9 miliar) dikirim dari Amerika. Teleskop juga dilengkapi dengan
kamera All Sky yang berguna untuk memantau langit secara keseluruhan.
Sebenarnya di Malaysia sudah ada empat
observatorium yaitu di Kuala Lumpur (Observatorium Negara), Malaka
(Observatorium Al Quarizmi), Trengganu (Observatorium Kusza) dan Observatorium
Syekh Tahir. Yang membedakan observatorium Langkawi dengan empat lainnya ialah,
selain lebih canggih, juga mampu dikontrol via internet. "Itulah kenapa
disebut robotic telescope. Jadi, kita mampu menjalankannya secara otomatiks,
dan dikontrol via internet," jelas Ridwan.
Kedatangannya ke APRIM 2005, selain
untuk mengenalkan observatorium itu ke khalayak, juga hendak menjalin kerja
sama dengan Indonesia tentang astronomi, khususnya Departemen Astronomi ITB.
"Saya sudah menghubungi Departemen Astronomi ITB, dan mereka menyambut
baik kerja sama ini," tutur Ridwan.
Dengan kerja sama itu, nantinya para
ilmuwan astronomi di Indonesia bisa memakai observatorium Malaysia di Langkawi.
"Tidak perlu datang ke lokasi. Cukup dikontrol via internet di Indonesia.
Namun kalau mau secara manual pun tetap bisa," ungkap Ridwan. Begitu pula
sebaliknya, ilmuwan astronomi Malaysia diperkenankan memakai Observatorium
Bosscha di Lembang.
Mengapa dengan Indonesia? "Karena
di ASEAN, baru observatorium di Indonesia yang juga telah memakai sistem
robotic telescope," ungkap Ridwan. Ke depannya, ada rencana untuk membuat
jaringan se-ASEAN dengan membangun observatorium yang memakai teleskop
berdiameter 2 meter (lensanya).
"Tempatnya mungkin sesuai hasil
observasi pihak Astronomi ITB yaitu di NTT," kata Ridwan. Pemilihan NTT
(Nusa Tenggara Timur) sebagai observatorium regional dilihat dari berbagai
faktor. "Tempat yang paling bagus untuk observatorium ialah yang paling
minimum curah hujan, dan yang paling minimum tutupan awan. Dan, dari data-data
pihak ITB yang diperoleh dari BMG dan citra satelit, NTT-lah daerah yang pas
untuk itu," katanya.
Teleskop
warisan
Selain terjun dalam projek pembangunan
observatorium nasional Malaysia, Ridwan juga banyak terlibat dalam
projek-projek penelitian lainnya terkait astronomi di Malaysia. Sebelumnya, ia
turut berkiprah dalam pembuatan dan pemasangan kamera All Sky dengan sistem
kamera Fish Eye di Antartika di akhir 2004. "Kamera All Sky yang
dilengkapi dengan kamera CCD itu, berguna untuk memonitor langit secara keseluruhan
karena sudut yang dicapai bisa 180 derajat," ujarnya.
Projek penelitian itu merupakan kerja
sama antara Malaysia dengan New Zealand. Dipilih Antartika karena di sana
selama enam bulan matahari tidak bersinar, dan enam bulan berikutnya matahari
bersinar terus. "Dari situ didapat penampakan langit yang berbeda dengan
di ekuator (khatulistiwa). Kita bisa memantau perputaran bintang, juga
aktivitas aurora di langit selatan," kata Ridwan.
Langit. Kata itulah yang memicu Ridwan
untuk menggeluti bidang astronomi. "Dari kecil, saya memang suka melihat
langit. Dan ayah saya mendukung kesukaan saya itu," tutur Ridwan.
Dukungan itu
berupa hadiah teleskop refraktor 60 mm buatan Jepang. Hidayat Suhari, ayah
Ridwan, memberikan hadiah itu saat Ridwan masih berusia 8 tahun. Dengan
teleskop itu, Ridwan kecil kian tergila-gila dengan hobinya. Hampir tiap malam
ia meneropong langit dari kamar atau loteng rumah di Jln. Sanggar Hurip,
Soekarno-Hatta.
Benda langit yang paling ia ingat saat
melihat melalui teleskopnya ialah bulan dan Planet Saturnus. "Sebelumnya,
lihat nyala bulan saja bagi saya sudah begitu indah. Ketika ada teleskop, saya
bisa lihat kawah-kawahnya. Kalau Saturnus, Subhanallah, saya bisa melihat
cincinnya itu dengan teleskop. Padahal sebelumnya hanya melihat titik kuningnya
saja," tutur Ridwan mengenang.
Sejak di SD yaitu SD Merdeka, hingga
bangku SMP di SMP 2, Ridwan terus memperdalam hobinya soal astronomi dengan
otodidak, seperti membaca buku-buku soal astronomi. Hobinya kian terarah saat
menginjak bangku SMA di SMAN 5 Bandung. Ketika itu ia dikenalkan oleh temannya
kepada Prof. Dr. Bambang Hidayat. Ternyata temannya itu masih ada hubungan
saudara dengan Bambang Hidayat.
Prof. Dr. Bambang Hidayat adalah
astronom terpandang di Indonesia juga di dunia internasional. Meski kini sudah
purnabakti dari Departemen Astronomi ITB, tenaganya masih dibutuhkan sebagai
dosen luar biasa, atau sumber ilmu bagi mahasiswanya.
"Pak Bambanglah yang menyarankan
saya untuk mempelajari ilmu astronomi di luar Indonesia. Makanya saya pergi ke
Malaysia yaitu University Kebangsaan Malaysia," ujar Ridwan, yang pernah
sekelas dengan pemusik Yofie Widianto saat di SMAN 5.
Di universitas itu, astronomi bukan
jurusan tersendiri tapi substudi dari jurusan Fisika. Setelah lulus S-1 di tahun
1992, Ridwan meminta nasihat kepada Prof. Bambang tentang ke mana ia harus
meneruskan. "Apakah saya harus kembali ke Indonesia atau tidak. Beliau
bilang, 'Kamu jangan terlalu nasionalis. Dapatkan kepakaran di luar. Kalau
sudah matang baru pulang'. Begitu katanya," tutur Ridwan.
Ia lalu mengambil S-2 juga di
universitas yang sama dengan tesisnya "Pemakaian Kamera CCD Untuk
Fotometri Astronomi", dan lulus di tahun 1994. "Sekarang saya
berencana ambil S-3. Kalau ada jalan, insya Allah saya mau ambil di
Jerman," tuturnya.
Sejak menggeluti astronomi, ia merasa
makin dekat dengan Sang Khalik. "Setiap melihat ke langit, memberi
ketenangan batin. Dan bagi seorang Muslim, makin mendekatkan kepadaNya karena
alam semesta yang cerdas ini pasti ciptaan-Nya. Makin kita pelajari makin sadar
kita ini kecil sekali," ujarnya.
Ridwan bermaksud memberi
"kesadaran" tersebut kepada anak-anak dari istrinya Anna Mardiana
yang seorang lulusan S-2 Pertanian Unpad. "Baru anak pertama saya, Jaish
Muhammad, mulai ada minat dengan astronomi. Umurnya 8 tahun, sama seperti saat
saya pertama kali tertarik soal astronomi," ucapnya. Untuk itu, teleskop
pemberian ayahnya yang masih terawat, Ridwan wariskan kepada Jaish. Ia
berharap, melalui teleskop itu anaknya kian tertarik ke astronomi. Dan yang
lebih penting, melalui benda itu, Jaish dan tiga anaknya yang lain, kian dekat
dengan Yang Maha Segalanya.
Sumber : Suara Pembaruan (31 Juli 2005)
Bangun Teleskop Robotik
EsGe
SATU lagi kisah
anak negeri yang sukses menimba ilmu dan meniti karier di negeri orang. Namanya
Mohamad Ridwan Hidayat, M.Sc. Pria yang lahir di Bandung, 36 tahun lalu itu,
dikenal sebagai seorang astronom andal. Di Indonesia mungkin tidak banyak orang
yang mengenalnya. Namun, kalangan ilmuwan di Malaysia banyak yang mengenal
Ridwan sebagai astronom jempolan. Pasalnya, gelar S1 dan S2 di bidang
astronomi, ia raih di Universitas Kebangsaan Malaysia, di Bangi, Selangor.
Karena keahliannya itu, Ridwan kerap
dipercaya pemerintahan Malaysia untuk menjalankan projek nasionalnya, khususnya
di bidang astronomi. Tak salah kiranya Ridwan juga didaulat untuk
mempresentasikan sebuah projek nasional Malaysia lainnya di bidang astronomi,
dalam acara Asia Pacific Regional IAU Meeting (APRIM) 2005 di Nusa Dua Bali.
Kertas kerja yang ia paparkan dalam bahasa Inggris itu ialah sebuah projek
Robotic Telescope pertama di Malaysia, yang nantinya juga menjadi observatorium
terbesar pertama di Malaysia.
Observatorium nasional itu terletak di
Pulau Langkawi, dekat perbatasan Malaysia-Thailand. Projek itu dimulai sejak
akhir 2003, dan direncanakan bakal rampung pada Desember 2005. Perdana Menteri
Malaysia rencananya akan meresmikan difungsikannya observatorium tersebut.
Dalam projek itu, Ridwan memegang
tanggung jawab sebagai manajer projeknya. Ridwan juga yang mendesain sistem,
membuat konsepnya, dan mengintegrasikan sistem-sistem tersebut hingga bisa
diaplikasikan nantinya. Ia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang terlibat
penuh dalam projek tersebut.
Ridwan memaparkan bahwa projek
tersebut dimotori oleh Agency Angkasa Negara atau National Space Agency
Malaysia (semacam Lapan di Indonesia). "Pemerintah Malaysia sangat
mendukung projek ini karena pemerintah di sana sangat concern soal dunia sains,
terutama tentang angkasa. Mereka juga memberi dana yang besar pada projek
ini," katanya.
Dijelaskannya,
teleskop yang dipasang di observatorium ini memiliki diameter lensa 60
sentimeter dengan autosistem CCD, dan mampu melakukan imaging, fotometri,
spektroskopi, serta astrometri. Teleskop seharga 1,5 juta ringgit Malaysia itu
(sekira Rp 3,9 miliar) dikirim dari Amerika. Teleskop juga dilengkapi dengan
kamera All Sky yang berguna untuk memantau langit secara keseluruhan.
Sebenarnya di Malaysia sudah ada empat
observatorium yaitu di Kuala Lumpur (Observatorium Negara), Malaka
(Observatorium Al Quarizmi), Trengganu (Observatorium Kusza) dan Observatorium
Syekh Tahir. Yang membedakan observatorium Langkawi dengan empat lainnya ialah,
selain lebih canggih, juga mampu dikontrol via internet. "Itulah kenapa
disebut robotic telescope. Jadi, kita mampu menjalankannya secara otomatiks,
dan dikontrol via internet," jelas Ridwan.
Kedatangannya ke APRIM 2005, selain
untuk mengenalkan observatorium itu ke khalayak, juga hendak menjalin kerja
sama dengan Indonesia tentang astronomi, khususnya Departemen Astronomi ITB.
"Saya sudah menghubungi Departemen Astronomi ITB, dan mereka menyambut
baik kerja sama ini," tutur Ridwan.
Dengan kerja sama itu, nantinya para
ilmuwan astronomi di Indonesia bisa memakai observatorium Malaysia di Langkawi.
"Tidak perlu datang ke lokasi. Cukup dikontrol via internet di Indonesia.
Namun kalau mau secara manual pun tetap bisa," ungkap Ridwan. Begitu pula
sebaliknya, ilmuwan astronomi Malaysia diperkenankan memakai Observatorium
Bosscha di Lembang.
Mengapa dengan Indonesia? "Karena
di ASEAN, baru observatorium di Indonesia yang juga telah memakai sistem
robotic telescope," ungkap Ridwan. Ke depannya, ada rencana untuk membuat
jaringan se-ASEAN dengan membangun observatorium yang memakai teleskop
berdiameter 2 meter (lensanya).
"Tempatnya mungkin sesuai hasil
observasi pihak Astronomi ITB yaitu di NTT," kata Ridwan. Pemilihan NTT
(Nusa Tenggara Timur) sebagai observatorium regional dilihat dari berbagai
faktor. "Tempat yang paling bagus untuk observatorium ialah yang paling
minimum curah hujan, dan yang paling minimum tutupan awan. Dan, dari data-data
pihak ITB yang diperoleh dari BMG dan citra satelit, NTT-lah daerah yang pas
untuk itu," katanya.
Teleskop
warisan
Selain terjun dalam projek pembangunan
observatorium nasional Malaysia, Ridwan juga banyak terlibat dalam
projek-projek penelitian lainnya terkait astronomi di Malaysia. Sebelumnya, ia
turut berkiprah dalam pembuatan dan pemasangan kamera All Sky dengan sistem
kamera Fish Eye di Antartika di akhir 2004. "Kamera All Sky yang
dilengkapi dengan kamera CCD itu, berguna untuk memonitor langit secara keseluruhan
karena sudut yang dicapai bisa 180 derajat," ujarnya.
Projek penelitian itu merupakan kerja
sama antara Malaysia dengan New Zealand. Dipilih Antartika karena di sana
selama enam bulan matahari tidak bersinar, dan enam bulan berikutnya matahari
bersinar terus. "Dari situ didapat penampakan langit yang berbeda dengan
di ekuator (khatulistiwa). Kita bisa memantau perputaran bintang, juga
aktivitas aurora di langit selatan," kata Ridwan.
Langit. Kata itulah yang memicu Ridwan
untuk menggeluti bidang astronomi. "Dari kecil, saya memang suka melihat
langit. Dan ayah saya mendukung kesukaan saya itu," tutur Ridwan.
Dukungan itu
berupa hadiah teleskop refraktor 60 mm buatan Jepang. Hidayat Suhari, ayah
Ridwan, memberikan hadiah itu saat Ridwan masih berusia 8 tahun. Dengan
teleskop itu, Ridwan kecil kian tergila-gila dengan hobinya. Hampir tiap malam
ia meneropong langit dari kamar atau loteng rumah di Jln. Sanggar Hurip,
Soekarno-Hatta.
Benda langit yang paling ia ingat saat
melihat melalui teleskopnya ialah bulan dan Planet Saturnus. "Sebelumnya,
lihat nyala bulan saja bagi saya sudah begitu indah. Ketika ada teleskop, saya
bisa lihat kawah-kawahnya. Kalau Saturnus, Subhanallah, saya bisa melihat
cincinnya itu dengan teleskop. Padahal sebelumnya hanya melihat titik kuningnya
saja," tutur Ridwan mengenang.
Sejak di SD yaitu SD Merdeka, hingga
bangku SMP di SMP 2, Ridwan terus memperdalam hobinya soal astronomi dengan
otodidak, seperti membaca buku-buku soal astronomi. Hobinya kian terarah saat
menginjak bangku SMA di SMAN 5 Bandung. Ketika itu ia dikenalkan oleh temannya
kepada Prof. Dr. Bambang Hidayat. Ternyata temannya itu masih ada hubungan
saudara dengan Bambang Hidayat.
Prof. Dr. Bambang Hidayat adalah
astronom terpandang di Indonesia juga di dunia internasional. Meski kini sudah
purnabakti dari Departemen Astronomi ITB, tenaganya masih dibutuhkan sebagai
dosen luar biasa, atau sumber ilmu bagi mahasiswanya.
"Pak Bambanglah yang menyarankan
saya untuk mempelajari ilmu astronomi di luar Indonesia. Makanya saya pergi ke
Malaysia yaitu University Kebangsaan Malaysia," ujar Ridwan, yang pernah
sekelas dengan pemusik Yofie Widianto saat di SMAN 5.
Di universitas itu, astronomi bukan
jurusan tersendiri tapi substudi dari jurusan Fisika. Setelah lulus S-1 di tahun
1992, Ridwan meminta nasihat kepada Prof. Bambang tentang ke mana ia harus
meneruskan. "Apakah saya harus kembali ke Indonesia atau tidak. Beliau
bilang, 'Kamu jangan terlalu nasionalis. Dapatkan kepakaran di luar. Kalau
sudah matang baru pulang'. Begitu katanya," tutur Ridwan.
Ia lalu mengambil S-2 juga di
universitas yang sama dengan tesisnya "Pemakaian Kamera CCD Untuk
Fotometri Astronomi", dan lulus di tahun 1994. "Sekarang saya
berencana ambil S-3. Kalau ada jalan, insya Allah saya mau ambil di
Jerman," tuturnya.
Sejak menggeluti astronomi, ia merasa
makin dekat dengan Sang Khalik. "Setiap melihat ke langit, memberi
ketenangan batin. Dan bagi seorang Muslim, makin mendekatkan kepadaNya karena
alam semesta yang cerdas ini pasti ciptaan-Nya. Makin kita pelajari makin sadar
kita ini kecil sekali," ujarnya.
Ridwan bermaksud memberi
"kesadaran" tersebut kepada anak-anak dari istrinya Anna Mardiana
yang seorang lulusan S-2 Pertanian Unpad. "Baru anak pertama saya, Jaish
Muhammad, mulai ada minat dengan astronomi. Umurnya 8 tahun, sama seperti saat
saya pertama kali tertarik soal astronomi," ucapnya. Untuk itu, teleskop
pemberian ayahnya yang masih terawat, Ridwan wariskan kepada Jaish. Ia
berharap, melalui teleskop itu anaknya kian tertarik ke astronomi. Dan yang
lebih penting, melalui benda itu, Jaish dan tiga anaknya yang lain, kian dekat
dengan Yang Maha Segalanya.
Sumber : Suara Pembaruan (31 Juli 2005)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as