Rindu Bapak
Rika Halida
7.07
“Walah ayune, rek. Mau kemana to, Dik, pagi-pagi begini kok sudah rapi?” sapa
Mbak Sri, penjual sayur dari Pasuruan, dengan nada berayun-ayun. Ia sedang
menjajakan dagangannya di halaman rumah.
“Ndak ke mana-mana,” jawabku singkat sambil tersenyum.
“Mau ketemu doinya, ya? Hihihi…,” Mbak Sri terkikik senang seperti menemukan
mainan yang lucu dan menggemaskan.
“Eh! Masih kecil kok sudah doi-doian. Iki piro, Mbak?” Ibu memotong kegembiraan
Mbak Sri dengan nada tak suka. Mbak Sri memang dikenal genit oleh para
tetangga. Pantas Ibu terdengar tak berkenan dengan komentarnya barusan. Takut
anaknya ikutan genit, kali.
“Jangan lupa pesananku buat besok lho, ya. Bawain kerang ijo,” Ibu mengingatkan
saat transaksi sudah selesai. Tumben cepet….
“Iya, Bu. Beres! Monggo Bu, Dik Ranti,” pamit Mbak Sri yang dijawab “he-em”
pendek Ibu.
Ibu lalu mendekatiku.
“Belanja apa, Bu?” tanyaku basa-basi sambil berusaha meraih tangannya.
“Sop sama perkedel jagung kesenanganmu. Kamu itu lho, apa nggak lebih baik
nunggu di dalam saja?” Ibu menggoyang-goyangkan tangannya yang kugenggam.
“Nggak mau, ah. Enakan di sini.”
“Masih dua jaman lagi lho, Nduk,” bujuk Ibu.
“Nggak pa-pa. Biarin. Ranti suka di sini. Ramai,” aku tetap bersikeras.
“Ya sudah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, Ibu di dapur, ya.”
“Iya, Bu,” jawabku
Ibu pun melangkah ke dalam.
Sejak pesawat televisi kami dijual sebulan yang lalu, rumah memang jadi lebih
sepi. Tinggal berdua saja sudah sepi, apalagi tanpa kotak hiburan itu. Salah
seorang guruku pernah bilang kalau menonton televisi itu bisa menjadi racun.
Soalnya, kalau sudah di depan televisi, perhatian kita jadi tersedot dan malas
ngapa-ngapain, bahkan untuk beranjak dari tempat duduk sekalipun. Makanya,
waktu luang, kata Pak Munir—guru IPA ku itu—lebih baik digunakan untuk membaca
saja. Hmm, iya, sih. Apa yang dikatakan Pak Munir banyak benarnya juga, lho.
Membaca memang lebih menyenangkan! Dalam satu waktu, kita bisa bertualang ke
banyak tempat.
Tapi sayang, belum banyak buku yang menggunakan huruf braille. Kalaupun ada,
harganya pasti mahal. Jadi, kalau sedang menganggur begini, aku harus menunggu
sampai Ibu menyelesaikan order jahitan dan pekerjaan dapurnya dulu, baru bisa
memintanya untuk membacakan buku, majalah, ataupun koran—meskipun seringkali
hanya majalah dan koran lama.
Biasanya Mbak Alia, tetanggaku yang sudah kuliah dan kost di rumah Mpok Mimin
itu juga sering membacakan dan meminjamkan buku-bukunya utnukku. Wah, bukunya
banyak, deh. Aku paling suka cerita tentang anak Jepang bernama Toto Chan.
Sepertinya belajar di kelas kereta asyik juga!
“Assalamualaikum,” suara berat seorang lelaki mengagetkanku. Hatiku langsung
berdebar kencang. Cepat-cepat kubetulkan letak dudukku dan memeriksa jilbabku,
apakah masih rapih. Jangan-jangan lelaki itu….
“Waalaikum salam,” sahutku hampir berbarengan dengan Bu RT, tetangga sebelah.
Oalaah… tamunya Bu RT, to. Aku menghela napas, kecewa. Kirain… ah, sudahlah.
Memang begini kalau tinggal di gang kecil yang rumahnya bergandengan satu sama
lain. Antar tetangga jadi bisa saling berbagi. Contohnya, berbagi suara seperti
barusan ini. Eh, dengerin deh, sudah berada di ruang tamu pun suara mereka
masih bisa aku tangkap dari kursi karet ini.
“Waduh, pegimane ye? Orangnye lagi kagak ade tuh. Lagian, Abang tau sendiri
kan, tanggal tua begini mah susah! Lagi seret, Bang!” suara Bu RT terdengar
kencang seperti biasa.
“Yee…dulu janjinye juga tanggal segini, Mpok. Kalau nurutin tanggal tuanye
situ, anak isteri aye mau dikasih makan apa, dong?” protes lelaki bersuara
berat tadi.
Ah, udah, ah. Tak boleh nguping pembicaraan orang lain. Dosa, kata Mbak Alia.
Nanti Allah jadi nggak sayang lagi sama kita.
“Ibu…,” aku melongokkan kepala ke dalam pintu.
“Kenapa?” sahut Ibu dari dalam.
“Sekarang jam berapa?”
“Jam 7 seperempat!”
Ha! Pagi-pagi sudah nagih utang.
Hei, kan tadi sudah dibilang nggak boleh nguping. Kok jadi nambah dosa dengan
ngomongin orang, sih. Hehehe. Astaghfirullah….
Duh, masih lama, ya. Hatiku deg-degan nih. Hari ini bapakku mau datang. Begitu
yang tertulis di suratnya lima hari yang lalu. Hatiku girang bukan main.
Bagaimana tidak, hingga detik ini, sampai aku berumur 11 tahun, sekali pun aku
belum pernah bertemu dengannya, mendengar suaranya, atau menyentuh sosoknya.
Aku rindu.
Ibu pernah cerita, sejak aku berumur delapan bulan di dalam kandungan, Bapak
pergi ke Arab Saudi menjadi TKI. Aku percaya. Sebenarnya, agak curiga juga,
sih. Habis Bapak lama banget nggak pulang-pulang. Sampai 11 tahun! Sudah betah
kali, ya? Waktu aku tanyakan pada Ibu, Ibu bilang begini, “Kan Bapak ngumpulin
uang dulu biar banyak, biar nanti kita bisa jalan-jalan dan makan enak di
restoran.”
“Asyiik! Bu, di restoran Om Liang aja, Bu. Melisa pernah cerita, di sana
makanannya enak-enak. Minumannya juga.”
“Hus! Itu babi, haram dimakan. Terserah Bapak aja nanti mau makan di mana.
Bapak pasti tahu rumah makan mana yang enak.”
Sejak saat itu, kalau ada teman-temanku bercerita tentang rumah makan, aku
hafalkan nama-nama restoran dan makanan yang mereka obrolkan. Dan sekarang aku
sudah punya beberapa pilihan untuk kuusulkan pada Bapak.
Tentang Bapak, Ibu jarang bercerita. Paling-paling kalau kutanya saja. Itu pun
jawabannya pendek-pendek. Tapi tak apa. Soalnya, dengan begitu aku jadi bisa
mengkhayalkan banyak hal tentang Bapak. Dan hari ini dia mau datang. Bukan
khayalan! Aku benar-benar akan berhadapan dengannya.
Dia baik enggak, ya? Kira-kira dia bakal membawa oleh-oleh apa, ya? Ya Allah,
semoga Bapak membawa jilbab yang banyak…
9.37
Mungkin Bapak masih bingung mencari alamat rumah kami. Kan rumah ini letaknya
nylempit, jadi memang agak susah dicari. Ibu sudah dua kali menengokku. Kurasa
dia sama gugupnya dengan diriku. Pak, cepetan datang dong…
10.15
Kayaknya Bapak mampir di warung dulu, deh, untuk membelikanku cokelat. Kan
Nana, Uli, dan yang lainnya juga sering dibelikan cokelat sama bapaknya. Oh
iya, sebentar lagi aku bisa memamerkan bapakku pada mereka. Sebentar lagi kalau
mereka main ke rumah, selain Ibu akan ada Bapak untuk mereka pamiti saat hendak
pulang. Sebentar lagi bertambah satu orang yang akan menjadi pembaca buku
untukku. Mulai besok aku akan berhenti berlangganan ojek Bang Oji, ah. Biar
Bapak saja yang mengantarku ke sekolah. Bulan depan Pak Munir tidak usah
membayarkan uang sekolah untukku. Kan ada Bapak. Aduh, senangnya punya Bapak.
12.21
“Ranti, shalat dulu yuk, terus makan,” Ibu mengingatkanku. Dari suaranya aku
bisa menangkap kegelisahan yang sama sepertiku. Tapi, Ibu tidak bilang apa-apa.
Padahal, aku tahu, Ibu pun sudah berdandan. Bajunya harum, disemprot minyak
wangi yang dikasih Mbah Uti.
Aku beranjak dengan malas, dituntun oleh Ibu. Ah, Bapak mana, sih… ?
16.03
Setelah mandi dan memakai baju yang sama, aku masih menunggu di kursi karet.
Sudah belasan orang yang menyapaku. Sudah tak terhitung suara motor yang lewat.
Sudah banyak penjaja makanan, pengamen, tukang sol sepatu, tukang benerin
panci, dan tukang-tukang lainnya yang lewat depan rumahku. Tapi, tak satu pun
yang mampir ke rumah dan mengaku sebagai bapakku. Aku mulai cemas. Ada apa
dengan Bapak, ya? Semoga tidak apa-apa, ya Allah. Semoga saja aku yang salah
hari.
“Ibuu…,” aku melongokkan kepala ke dalam pintu.
“Ada apa?” sahut Ibu dari samping.
Masya Allah, aku sampai tidak sadar kalau Ibu ada di sebelahku.
“Sekarang hari apa?”
“Minggu.”
“Benar hari ini kan, Bu, Bapak mau datang?”
“Insya Allah,” jawab ibu dengan nada pasrah.
Aku pun menunggu lagi. Ditemani Ibu di sampingku.
Adzan Maghrib
“Sudah, Nduk. Mungkin Bapak ada keperluan mendadak, jadi tak bisa datang hari
ini. Kita shalat, yuk,” Ibu menggandeng tanganku.
Aku merasakan air mataku sudah hampir jatuh, tapi kutahan mati-matian.
Ya Allah, betapa inginnya aku bertemu Bapak
***
Seusai shalat, aku terisak pelan. Kecewa, kecewa, kecewa, sedih, dan khawatir
bercampur jadi satu. Bapak telah mempermainkan perasaan kami. Mendengar Ibu
bertilawah, hatiku jadi agak damai. Aku tahu, Ibu pasti juga kecewa. Tapi Ibu
diam saja.
“Assalamualaikum,” terdengar suara laki-laki sedang mengetuk pintu rumah kami.
Aku melompat dari sajadah dengan tergesa dan langsung menuju pintu depan.
Kakiku tertabrak-tabrak buffet dan kursi, tapi aku tak peduli. Mungkin yang
mengetuk pintu Bapak!
“Ranti, pelan-pelan!” seru Ibu dari belakang sambil memegang lenganku.
“Waalaikum salam,” jawabku sambil membuka pintu.
“Maaf, ini betul rumah Mbak Iis?” tanya lelaki di hadapanku.
“Benar,” sahut kami berbarengan.
“Ehm…begini Mbakyu, anu, saya Gunawan, teman Mas Suripto.”
Itu dia, itu nama Bapakku!
“Tadi saya dan Mas Suripto mau ke sini, tapi sempat nyasar sampai ke…
Pejompongan, kalau ndak salah. Maklum, ndak hapal jalan. Nah, di perjalanan
itulah, ngng… itu… kan ada truk, ngebut, terus… ngng… ndak tahunya bukan mau
belok yaa… soalnya, kan itu tadi. Tapi, ndak ini kok, Mbak…,” Pak Gunawan
bercerita dengan gugup dan berbelit-belit.
“Kenapa? Kecelakaan? Sekarang dirawat di mana?” tembak Ibu langsung.
“I… Iya,” sahutnya lemas. “Sekarang ada di Cipto Mangunkusumo.”
“Ayo ke sana, Bu,” kataku tegas sambil menggandeng tangan ibu.
“Tunggu sebentar, Mas,” kata Ibu pada Pak Gunawan.
Kami membuka mukena dan mengenakan jilbab bertali. Baju yang tadi masih belum
diganti. Meski kaget mendengar kabar Bapak kecelakaan, tapi bagiku itu lebih
baik daripada tak ada kabar sama sekali.
“Gimana keadaannya sekarang?” tanya Ibu dengan nada khawatir saat mengunci
pintu sambil tergesa-gesa.
“Waktu saya mau ke sini, sih, sudah siuman. Makanya, dia minta saya menjemput
Mbak Yu sama Dik Ranti.”
Kami naik mobil. Entah mobil jenis apa. Di dalamnya sudah ada orang yang
menunggu, mungkin teman Pak Gunawan. Entahlah. Aku sudah tidak peduli apa-apa
lagi selain bapakku. Ya Rabbi, selamatkan dia….
***
Sesampainya di rumah sakit, tanganku tak pernah lepas dari jari-jemari ibu yang
berkeringat dingin. Kami berjalan bergegas, kami sama tidak sabarnya ingin
segera mengetahui kondisi Bapak. Saat memasuki kamar yang ditunjukkan Pak
Gunawan, kami mulai berjalan pelan-pelan. Bau-bau asing menjejali hidungku.
“Assalamualaikum,” Ibu mengucap salam pelan saat kami berhenti di depan ranjang
besi. Jantungku berdetak sangat kencang, sampai-sampai terasa sesak. Tangan
kananku memegang ranjang yang ditiduri Bapak.
“Waalaikum salam,” jawabnya lemah. Ya Allah, itu dia. Itu dia suara bapakku
yang selama ini hanya bisa kubayangkan dalam mimpi. Alhamdulillah, akhirnya
kami bertemu juga. Meski terdengar lemah, masih tersirat kegagahan dalam suara
Bapak.
“Apa kabar, Mas?” sapa Ibu dengan suara menahan isak. Rupanya Ibu yang biasanya
tegar itu sudah tak kuasa membendung air matanya lagi. Tangan kanan Ibu melepas
tanganku.
“Dik…,” sahut Bapak dengan suara tercekat.
Ibu menangis tersedu-sedu sambil berbicara dengan suara tidak jelas. Aku tidak
pernah mendengar Ibu menangis, jadi aku hampir tidak yakin kalau suara
perempuan yang sedang mengadu itu adalah ibuku. Kudengar Bapak berkali-kali
minta maaf. Aku hanya terpaku di ujung ranjang sambil tetap memegang besinya.
Air mataku meleleh ke mana-mana. Aku tidak pernah menyangka pertemuan kami akan
seperti ini.
“Ini Ranti, Mas. Anak kita,” Ibu menarik tanganku setelah tangisnya mereda.
Aku maju selangkah. Aku tidak yakin, ada rasa takut menjalari hatiku.
“Nak,” kata Bapak dengan suara lemah.
Ya Tuhan, “nak” katanya. Aku dipanggil nak oleh bapakku. Itu sungguh-sungguh
panggilan terindah yang pernah kudengar seumur hidupku. Air mataku semakin
deras, isakku semakin keras.
“Ba-pak…,” kataku terbata.
“Sini, Nak… Cantik….”
Cantik, katanya! Ya Allah, aku rela memberikan semua uang celengan yang sudah
kukumpulkan sejak TK demi mendengar bapakku mengatakan itu. Bahkan Nuri,
bonekaku satu-satunya pun rela kuberikan.
Aku menghampirinya. Meraba, mencari tangannya dan menciumnya. Rupanya seperti
ini tangan seorang Bapak itu. Kuat, besar. Aku terus menggenggamnya. Bapakku
mengusap kepalaku sambil berkata maaf. Yah, kalau permasalahannya karena ia
terlambat datang sih, aku tak menyalahkannya. Bahkan sopir truk yang menabrak
Bapak pun sudah kumaafkan.
Bapak mendekatkan mukaku padanya dan menciumku. Pipinya basah.
“Anakku… Kesayanganku…,” ujarnya.
Aku meraba mukanya. Keningnya, matanya, hidungnya, bibirnya yang sedang
tersenyum. Indah.
Aku tidak tahu seperti apa tersenyum itu—bahkan wajahku sendiri pun aku tak
tahu—tapi aku yakin, senyuman Bapak pasti manis sekali. Jauh lebih manis dari
es sirup Mang Jaja yang biasa mangkal di ujung gang.
Aku ikut tersenyum. Aku tidak peduli dengan besok. Tidak juga dengan restoran
dan lamunan-lamunanku yang lain. Asal ada saat seperti ini saja, aku sudah
sangat bersyukur.
Aku punya Bapak!
Rika Halida
7.07
“Walah ayune, rek. Mau kemana to, Dik, pagi-pagi begini kok sudah rapi?” sapa
Mbak Sri, penjual sayur dari Pasuruan, dengan nada berayun-ayun. Ia sedang
menjajakan dagangannya di halaman rumah.
“Ndak ke mana-mana,” jawabku singkat sambil tersenyum.
“Mau ketemu doinya, ya? Hihihi…,” Mbak Sri terkikik senang seperti menemukan
mainan yang lucu dan menggemaskan.
“Eh! Masih kecil kok sudah doi-doian. Iki piro, Mbak?” Ibu memotong kegembiraan
Mbak Sri dengan nada tak suka. Mbak Sri memang dikenal genit oleh para
tetangga. Pantas Ibu terdengar tak berkenan dengan komentarnya barusan. Takut
anaknya ikutan genit, kali.
“Jangan lupa pesananku buat besok lho, ya. Bawain kerang ijo,” Ibu mengingatkan
saat transaksi sudah selesai. Tumben cepet….
“Iya, Bu. Beres! Monggo Bu, Dik Ranti,” pamit Mbak Sri yang dijawab “he-em”
pendek Ibu.
Ibu lalu mendekatiku.
“Belanja apa, Bu?” tanyaku basa-basi sambil berusaha meraih tangannya.
“Sop sama perkedel jagung kesenanganmu. Kamu itu lho, apa nggak lebih baik
nunggu di dalam saja?” Ibu menggoyang-goyangkan tangannya yang kugenggam.
“Nggak mau, ah. Enakan di sini.”
“Masih dua jaman lagi lho, Nduk,” bujuk Ibu.
“Nggak pa-pa. Biarin. Ranti suka di sini. Ramai,” aku tetap bersikeras.
“Ya sudah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, Ibu di dapur, ya.”
“Iya, Bu,” jawabku
Ibu pun melangkah ke dalam.
Sejak pesawat televisi kami dijual sebulan yang lalu, rumah memang jadi lebih
sepi. Tinggal berdua saja sudah sepi, apalagi tanpa kotak hiburan itu. Salah
seorang guruku pernah bilang kalau menonton televisi itu bisa menjadi racun.
Soalnya, kalau sudah di depan televisi, perhatian kita jadi tersedot dan malas
ngapa-ngapain, bahkan untuk beranjak dari tempat duduk sekalipun. Makanya,
waktu luang, kata Pak Munir—guru IPA ku itu—lebih baik digunakan untuk membaca
saja. Hmm, iya, sih. Apa yang dikatakan Pak Munir banyak benarnya juga, lho.
Membaca memang lebih menyenangkan! Dalam satu waktu, kita bisa bertualang ke
banyak tempat.
Tapi sayang, belum banyak buku yang menggunakan huruf braille. Kalaupun ada,
harganya pasti mahal. Jadi, kalau sedang menganggur begini, aku harus menunggu
sampai Ibu menyelesaikan order jahitan dan pekerjaan dapurnya dulu, baru bisa
memintanya untuk membacakan buku, majalah, ataupun koran—meskipun seringkali
hanya majalah dan koran lama.
Biasanya Mbak Alia, tetanggaku yang sudah kuliah dan kost di rumah Mpok Mimin
itu juga sering membacakan dan meminjamkan buku-bukunya utnukku. Wah, bukunya
banyak, deh. Aku paling suka cerita tentang anak Jepang bernama Toto Chan.
Sepertinya belajar di kelas kereta asyik juga!
“Assalamualaikum,” suara berat seorang lelaki mengagetkanku. Hatiku langsung
berdebar kencang. Cepat-cepat kubetulkan letak dudukku dan memeriksa jilbabku,
apakah masih rapih. Jangan-jangan lelaki itu….
“Waalaikum salam,” sahutku hampir berbarengan dengan Bu RT, tetangga sebelah.
Oalaah… tamunya Bu RT, to. Aku menghela napas, kecewa. Kirain… ah, sudahlah.
Memang begini kalau tinggal di gang kecil yang rumahnya bergandengan satu sama
lain. Antar tetangga jadi bisa saling berbagi. Contohnya, berbagi suara seperti
barusan ini. Eh, dengerin deh, sudah berada di ruang tamu pun suara mereka
masih bisa aku tangkap dari kursi karet ini.
“Waduh, pegimane ye? Orangnye lagi kagak ade tuh. Lagian, Abang tau sendiri
kan, tanggal tua begini mah susah! Lagi seret, Bang!” suara Bu RT terdengar
kencang seperti biasa.
“Yee…dulu janjinye juga tanggal segini, Mpok. Kalau nurutin tanggal tuanye
situ, anak isteri aye mau dikasih makan apa, dong?” protes lelaki bersuara
berat tadi.
Ah, udah, ah. Tak boleh nguping pembicaraan orang lain. Dosa, kata Mbak Alia.
Nanti Allah jadi nggak sayang lagi sama kita.
“Ibu…,” aku melongokkan kepala ke dalam pintu.
“Kenapa?” sahut Ibu dari dalam.
“Sekarang jam berapa?”
“Jam 7 seperempat!”
Ha! Pagi-pagi sudah nagih utang.
Hei, kan tadi sudah dibilang nggak boleh nguping. Kok jadi nambah dosa dengan
ngomongin orang, sih. Hehehe. Astaghfirullah….
Duh, masih lama, ya. Hatiku deg-degan nih. Hari ini bapakku mau datang. Begitu
yang tertulis di suratnya lima hari yang lalu. Hatiku girang bukan main.
Bagaimana tidak, hingga detik ini, sampai aku berumur 11 tahun, sekali pun aku
belum pernah bertemu dengannya, mendengar suaranya, atau menyentuh sosoknya.
Aku rindu.
Ibu pernah cerita, sejak aku berumur delapan bulan di dalam kandungan, Bapak
pergi ke Arab Saudi menjadi TKI. Aku percaya. Sebenarnya, agak curiga juga,
sih. Habis Bapak lama banget nggak pulang-pulang. Sampai 11 tahun! Sudah betah
kali, ya? Waktu aku tanyakan pada Ibu, Ibu bilang begini, “Kan Bapak ngumpulin
uang dulu biar banyak, biar nanti kita bisa jalan-jalan dan makan enak di
restoran.”
“Asyiik! Bu, di restoran Om Liang aja, Bu. Melisa pernah cerita, di sana
makanannya enak-enak. Minumannya juga.”
“Hus! Itu babi, haram dimakan. Terserah Bapak aja nanti mau makan di mana.
Bapak pasti tahu rumah makan mana yang enak.”
Sejak saat itu, kalau ada teman-temanku bercerita tentang rumah makan, aku
hafalkan nama-nama restoran dan makanan yang mereka obrolkan. Dan sekarang aku
sudah punya beberapa pilihan untuk kuusulkan pada Bapak.
Tentang Bapak, Ibu jarang bercerita. Paling-paling kalau kutanya saja. Itu pun
jawabannya pendek-pendek. Tapi tak apa. Soalnya, dengan begitu aku jadi bisa
mengkhayalkan banyak hal tentang Bapak. Dan hari ini dia mau datang. Bukan
khayalan! Aku benar-benar akan berhadapan dengannya.
Dia baik enggak, ya? Kira-kira dia bakal membawa oleh-oleh apa, ya? Ya Allah,
semoga Bapak membawa jilbab yang banyak…
9.37
Mungkin Bapak masih bingung mencari alamat rumah kami. Kan rumah ini letaknya
nylempit, jadi memang agak susah dicari. Ibu sudah dua kali menengokku. Kurasa
dia sama gugupnya dengan diriku. Pak, cepetan datang dong…
10.15
Kayaknya Bapak mampir di warung dulu, deh, untuk membelikanku cokelat. Kan
Nana, Uli, dan yang lainnya juga sering dibelikan cokelat sama bapaknya. Oh
iya, sebentar lagi aku bisa memamerkan bapakku pada mereka. Sebentar lagi kalau
mereka main ke rumah, selain Ibu akan ada Bapak untuk mereka pamiti saat hendak
pulang. Sebentar lagi bertambah satu orang yang akan menjadi pembaca buku
untukku. Mulai besok aku akan berhenti berlangganan ojek Bang Oji, ah. Biar
Bapak saja yang mengantarku ke sekolah. Bulan depan Pak Munir tidak usah
membayarkan uang sekolah untukku. Kan ada Bapak. Aduh, senangnya punya Bapak.
12.21
“Ranti, shalat dulu yuk, terus makan,” Ibu mengingatkanku. Dari suaranya aku
bisa menangkap kegelisahan yang sama sepertiku. Tapi, Ibu tidak bilang apa-apa.
Padahal, aku tahu, Ibu pun sudah berdandan. Bajunya harum, disemprot minyak
wangi yang dikasih Mbah Uti.
Aku beranjak dengan malas, dituntun oleh Ibu. Ah, Bapak mana, sih… ?
16.03
Setelah mandi dan memakai baju yang sama, aku masih menunggu di kursi karet.
Sudah belasan orang yang menyapaku. Sudah tak terhitung suara motor yang lewat.
Sudah banyak penjaja makanan, pengamen, tukang sol sepatu, tukang benerin
panci, dan tukang-tukang lainnya yang lewat depan rumahku. Tapi, tak satu pun
yang mampir ke rumah dan mengaku sebagai bapakku. Aku mulai cemas. Ada apa
dengan Bapak, ya? Semoga tidak apa-apa, ya Allah. Semoga saja aku yang salah
hari.
“Ibuu…,” aku melongokkan kepala ke dalam pintu.
“Ada apa?” sahut Ibu dari samping.
Masya Allah, aku sampai tidak sadar kalau Ibu ada di sebelahku.
“Sekarang hari apa?”
“Minggu.”
“Benar hari ini kan, Bu, Bapak mau datang?”
“Insya Allah,” jawab ibu dengan nada pasrah.
Aku pun menunggu lagi. Ditemani Ibu di sampingku.
Adzan Maghrib
“Sudah, Nduk. Mungkin Bapak ada keperluan mendadak, jadi tak bisa datang hari
ini. Kita shalat, yuk,” Ibu menggandeng tanganku.
Aku merasakan air mataku sudah hampir jatuh, tapi kutahan mati-matian.
Ya Allah, betapa inginnya aku bertemu Bapak
***
Seusai shalat, aku terisak pelan. Kecewa, kecewa, kecewa, sedih, dan khawatir
bercampur jadi satu. Bapak telah mempermainkan perasaan kami. Mendengar Ibu
bertilawah, hatiku jadi agak damai. Aku tahu, Ibu pasti juga kecewa. Tapi Ibu
diam saja.
“Assalamualaikum,” terdengar suara laki-laki sedang mengetuk pintu rumah kami.
Aku melompat dari sajadah dengan tergesa dan langsung menuju pintu depan.
Kakiku tertabrak-tabrak buffet dan kursi, tapi aku tak peduli. Mungkin yang
mengetuk pintu Bapak!
“Ranti, pelan-pelan!” seru Ibu dari belakang sambil memegang lenganku.
“Waalaikum salam,” jawabku sambil membuka pintu.
“Maaf, ini betul rumah Mbak Iis?” tanya lelaki di hadapanku.
“Benar,” sahut kami berbarengan.
“Ehm…begini Mbakyu, anu, saya Gunawan, teman Mas Suripto.”
Itu dia, itu nama Bapakku!
“Tadi saya dan Mas Suripto mau ke sini, tapi sempat nyasar sampai ke…
Pejompongan, kalau ndak salah. Maklum, ndak hapal jalan. Nah, di perjalanan
itulah, ngng… itu… kan ada truk, ngebut, terus… ngng… ndak tahunya bukan mau
belok yaa… soalnya, kan itu tadi. Tapi, ndak ini kok, Mbak…,” Pak Gunawan
bercerita dengan gugup dan berbelit-belit.
“Kenapa? Kecelakaan? Sekarang dirawat di mana?” tembak Ibu langsung.
“I… Iya,” sahutnya lemas. “Sekarang ada di Cipto Mangunkusumo.”
“Ayo ke sana, Bu,” kataku tegas sambil menggandeng tangan ibu.
“Tunggu sebentar, Mas,” kata Ibu pada Pak Gunawan.
Kami membuka mukena dan mengenakan jilbab bertali. Baju yang tadi masih belum
diganti. Meski kaget mendengar kabar Bapak kecelakaan, tapi bagiku itu lebih
baik daripada tak ada kabar sama sekali.
“Gimana keadaannya sekarang?” tanya Ibu dengan nada khawatir saat mengunci
pintu sambil tergesa-gesa.
“Waktu saya mau ke sini, sih, sudah siuman. Makanya, dia minta saya menjemput
Mbak Yu sama Dik Ranti.”
Kami naik mobil. Entah mobil jenis apa. Di dalamnya sudah ada orang yang
menunggu, mungkin teman Pak Gunawan. Entahlah. Aku sudah tidak peduli apa-apa
lagi selain bapakku. Ya Rabbi, selamatkan dia….
***
Sesampainya di rumah sakit, tanganku tak pernah lepas dari jari-jemari ibu yang
berkeringat dingin. Kami berjalan bergegas, kami sama tidak sabarnya ingin
segera mengetahui kondisi Bapak. Saat memasuki kamar yang ditunjukkan Pak
Gunawan, kami mulai berjalan pelan-pelan. Bau-bau asing menjejali hidungku.
“Assalamualaikum,” Ibu mengucap salam pelan saat kami berhenti di depan ranjang
besi. Jantungku berdetak sangat kencang, sampai-sampai terasa sesak. Tangan
kananku memegang ranjang yang ditiduri Bapak.
“Waalaikum salam,” jawabnya lemah. Ya Allah, itu dia. Itu dia suara bapakku
yang selama ini hanya bisa kubayangkan dalam mimpi. Alhamdulillah, akhirnya
kami bertemu juga. Meski terdengar lemah, masih tersirat kegagahan dalam suara
Bapak.
“Apa kabar, Mas?” sapa Ibu dengan suara menahan isak. Rupanya Ibu yang biasanya
tegar itu sudah tak kuasa membendung air matanya lagi. Tangan kanan Ibu melepas
tanganku.
“Dik…,” sahut Bapak dengan suara tercekat.
Ibu menangis tersedu-sedu sambil berbicara dengan suara tidak jelas. Aku tidak
pernah mendengar Ibu menangis, jadi aku hampir tidak yakin kalau suara
perempuan yang sedang mengadu itu adalah ibuku. Kudengar Bapak berkali-kali
minta maaf. Aku hanya terpaku di ujung ranjang sambil tetap memegang besinya.
Air mataku meleleh ke mana-mana. Aku tidak pernah menyangka pertemuan kami akan
seperti ini.
“Ini Ranti, Mas. Anak kita,” Ibu menarik tanganku setelah tangisnya mereda.
Aku maju selangkah. Aku tidak yakin, ada rasa takut menjalari hatiku.
“Nak,” kata Bapak dengan suara lemah.
Ya Tuhan, “nak” katanya. Aku dipanggil nak oleh bapakku. Itu sungguh-sungguh
panggilan terindah yang pernah kudengar seumur hidupku. Air mataku semakin
deras, isakku semakin keras.
“Ba-pak…,” kataku terbata.
“Sini, Nak… Cantik….”
Cantik, katanya! Ya Allah, aku rela memberikan semua uang celengan yang sudah
kukumpulkan sejak TK demi mendengar bapakku mengatakan itu. Bahkan Nuri,
bonekaku satu-satunya pun rela kuberikan.
Aku menghampirinya. Meraba, mencari tangannya dan menciumnya. Rupanya seperti
ini tangan seorang Bapak itu. Kuat, besar. Aku terus menggenggamnya. Bapakku
mengusap kepalaku sambil berkata maaf. Yah, kalau permasalahannya karena ia
terlambat datang sih, aku tak menyalahkannya. Bahkan sopir truk yang menabrak
Bapak pun sudah kumaafkan.
Bapak mendekatkan mukaku padanya dan menciumku. Pipinya basah.
“Anakku… Kesayanganku…,” ujarnya.
Aku meraba mukanya. Keningnya, matanya, hidungnya, bibirnya yang sedang
tersenyum. Indah.
Aku tidak tahu seperti apa tersenyum itu—bahkan wajahku sendiri pun aku tak
tahu—tapi aku yakin, senyuman Bapak pasti manis sekali. Jauh lebih manis dari
es sirup Mang Jaja yang biasa mangkal di ujung gang.
Aku ikut tersenyum. Aku tidak peduli dengan besok. Tidak juga dengan restoran
dan lamunan-lamunanku yang lain. Asal ada saat seperti ini saja, aku sudah
sangat bersyukur.
Aku punya Bapak!
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as