Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    gelombang besar di kota itu

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    gelombang besar di kota itu Empty gelombang besar di kota itu

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:56 pm

    Gelombang Besar di
    Kota Itu








    Cerpen Isbedy Stiawan ZS

    MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi
    lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu
    memulai kisah malam ini.

    Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang
    mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain
    sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak
    orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada
    penonton yang menangis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi
    juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15
    cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang
    berkisah.

    Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika
    Khidir membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini.
    Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal
    dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak
    bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan:
    "Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan
    memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan
    bijaksana!"

    Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada
    orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit
    dicermati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru
    dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya
    pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah.
    Sungguh menyiksa!"

    Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal
    gelombang besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena
    sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk
    mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah
    gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu
    seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan
    bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti
    kiamat.

    Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat
    terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka
    sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total.
    Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon
    tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan
    kapal besar pun terdampar di jantung kota.

    Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang
    besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada
    di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan
    gelombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana
    kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun
    kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.
    ***
    KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal,
    sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga,
    tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan
    alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur
    minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.

    Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak.
    Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan.
    Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat
    setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk
    sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat.
    Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika
    para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip,
    takut diberondong para serdadu.

    "Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah
    cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan
    kami dan cucu-cucunya. "Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan.
    Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara
    dentuman..."

    Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota
    mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para
    orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi
    jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu.
    Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang
    tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan,
    pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah
    yang berkuasa.

    Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka
    para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran
    dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut
    mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke
    hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar
    akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya
    tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu
    sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan
    menjadi makin mencekam.

    Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat.
    Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili
    perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan.
    Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan
    ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah.
    Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari
    seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol
    menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja
    sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.

    Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa
    kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan
    akan menjadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih
    kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia...

    Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota
    enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya
    ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau
    kursi. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan
    berpaling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji
    Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha
    mengubahnya sendiri, adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku
    sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.

    Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna
    di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama
    apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi
    orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh
    penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab
    Tuhan milik orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan
    perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.

    Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan
    perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang
    hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan,
    selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu
    berkisah yang masih terngiang di telingaku.

    Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara
    anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal
    Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga
    beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah)
    daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong.
    Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek.
    Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.

    Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi
    bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang
    amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering
    telepon, tapi apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana?

    Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang
    meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan
    asap rokok.

    Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang
    tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat
    yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi
    melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota?

    Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak
    orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama
    meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar
    datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat
    bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit
    memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota
    masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau
    bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda?
    Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.

    Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku
    benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang
    telah musnah itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh
    gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang
    sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang
    suci dan pahlawan...***

    (kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita yang menjadi korban dalam
    musibah itu --dan Azhari yang tentu kini merasa luka: maskirbi, din saja, dan
    lain-lain)

    Lampung, 31 Desember 2004

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 1:46 am