Gelombang Besar di
Kota Itu
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi
lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu
memulai kisah malam ini.
Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang
mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain
sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak
orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada
penonton yang menangis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi
juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15
cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang
berkisah.
Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika
Khidir membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini.
Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal
dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak
bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan:
"Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan
memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan
bijaksana!"
Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada
orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit
dicermati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru
dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya
pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah.
Sungguh menyiksa!"
Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal
gelombang besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena
sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk
mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah
gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu
seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan
bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti
kiamat.
Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat
terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka
sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total.
Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon
tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan
kapal besar pun terdampar di jantung kota.
Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang
besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada
di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan
gelombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana
kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun
kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.
***
KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal,
sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga,
tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan
alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur
minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.
Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak.
Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan.
Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat
setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk
sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat.
Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika
para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip,
takut diberondong para serdadu.
"Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah
cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan
kami dan cucu-cucunya. "Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan.
Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara
dentuman..."
Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota
mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para
orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi
jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu.
Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang
tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan,
pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah
yang berkuasa.
Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka
para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran
dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut
mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke
hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar
akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya
tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu
sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan
menjadi makin mencekam.
Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat.
Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili
perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan.
Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan
ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah.
Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari
seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol
menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja
sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.
Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa
kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan
akan menjadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih
kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia...
Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota
enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya
ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau
kursi. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan
berpaling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji
Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha
mengubahnya sendiri, adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku
sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.
Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna
di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama
apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi
orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh
penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab
Tuhan milik orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan
perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.
Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan
perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang
hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan,
selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu
berkisah yang masih terngiang di telingaku.
Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara
anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal
Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga
beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah)
daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong.
Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek.
Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.
Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi
bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang
amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering
telepon, tapi apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana?
Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang
meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan
asap rokok.
Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang
tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat
yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi
melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota?
Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak
orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama
meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar
datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat
bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit
memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota
masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau
bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda?
Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.
Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku
benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang
telah musnah itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh
gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang
sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang
suci dan pahlawan...***
(kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita yang menjadi korban dalam
musibah itu --dan Azhari yang tentu kini merasa luka: maskirbi, din saja, dan
lain-lain)
Lampung, 31 Desember 2004
Kota Itu
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi
lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu
memulai kisah malam ini.
Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang
mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain
sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak
orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada
penonton yang menangis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi
juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15
cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang
berkisah.
Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika
Khidir membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini.
Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal
dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak
bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan:
"Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan
memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan
bijaksana!"
Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada
orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit
dicermati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru
dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya
pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah.
Sungguh menyiksa!"
Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal
gelombang besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena
sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk
mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah
gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu
seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan
bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti
kiamat.
Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat
terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka
sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total.
Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon
tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan
kapal besar pun terdampar di jantung kota.
Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang
besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada
di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan
gelombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana
kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun
kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.
***
KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal,
sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga,
tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan
alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur
minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.
Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak.
Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan.
Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat
setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk
sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat.
Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika
para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip,
takut diberondong para serdadu.
"Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah
cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan
kami dan cucu-cucunya. "Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan.
Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara
dentuman..."
Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota
mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para
orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi
jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu.
Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang
tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan,
pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah
yang berkuasa.
Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka
para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran
dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut
mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke
hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar
akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya
tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu
sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan
menjadi makin mencekam.
Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat.
Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili
perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan.
Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan
ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah.
Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari
seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol
menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja
sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.
Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa
kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan
akan menjadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih
kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia...
Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota
enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya
ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau
kursi. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan
berpaling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji
Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha
mengubahnya sendiri, adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku
sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.
Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna
di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama
apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi
orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh
penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab
Tuhan milik orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan
perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.
Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan
perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang
hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan,
selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu
berkisah yang masih terngiang di telingaku.
Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara
anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal
Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga
beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah)
daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong.
Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek.
Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.
Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi
bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang
amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering
telepon, tapi apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana?
Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang
meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan
asap rokok.
Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang
tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat
yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi
melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota?
Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak
orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama
meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar
datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat
bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit
memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota
masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau
bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda?
Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.
Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku
benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang
telah musnah itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh
gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang
sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang
suci dan pahlawan...***
(kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita yang menjadi korban dalam
musibah itu --dan Azhari yang tentu kini merasa luka: maskirbi, din saja, dan
lain-lain)
Lampung, 31 Desember 2004
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as