Jakarta 3030
Cerpen:
Martin Aleida
BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik dan
disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan.
Tak lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa
mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah
bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan
kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di
kota ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil
ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip
yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan
dibandingkan seribu tahun sebelumnya.
Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian,
kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia
presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah
bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau sekarang saja
apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun yang bisa Anda
tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan ketika kata-kata
hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung mengambilalihnya.
Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata
menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan
ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia
zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi
yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.
Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya
selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan
kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada
waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda
yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar
untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang
durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan
menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang
dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan
lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda.
Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.
Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya
sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya
membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih
dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar
Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat
terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan
vitamin D.
Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu
tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih
bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari
yang mungkin dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu
sebagai sesuatu yang rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh
oleh teka-teki silang. Kepekaan menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di
titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan
negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam
pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.
Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut, dan semua lahan pemakaman sudah lama
diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-gedung berbentuk kubis yang menyundul
langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini sudah tidak mengenal sejengkal tanah
pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang kaya, yang hidup di atas angin,
menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika. Untuk tetap
mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan beroperasi:
www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis dengan
koneksi yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional.
Delapan menit setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di
benua yang jadi pilihan.
Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah tidak lagi
memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan vitamin D,
orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di komunitas yang
pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung, Utan Kayu,
Garuda, Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan tumbal.
Kapitalisme memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat yang
diciptakannya merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas
komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun
kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan
sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka
tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka
mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas
angin terhadap mereka menjadi lengkap. Mereka dijadikan sumber vitamin D.
Gubernur kota merasa telah menemukan kebijakan yang cemerlang dalam upayanya
untuk membuat jasad mereka yang tersisih tidak menyebabkan bau busuk yang
menyengat kota. Sepuluh detik setelah meninggal, jasad orang-orang tersisih ini
sudah dikerek ke pelataran pemusnahan yang dibangun di puncak Monumen Nasional.
Gubernur dan para pembantunya beranggapan sama sekali tidak masuk akal
membiarkan mayat berbulan-bulan supaya membusuk dan dimakan belatung di puncak
monumen. Maka seratus ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian tengah.
Burung-burung yang berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah
kenyang itulah yang dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi
tinggal tulang-belulang. Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan
ke pabrik pemrosesan khusus untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan
tablet-tablet kalsium ini penduduk kota O-besar-kemanusiaan memperpanjang
harapan hidup mereka.
Kepekaan penduduk kota semakin majal, sementara kicau burung-burung yang
semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari
atas pepohonan yang dibuat dari campuran besi dan plastik yang lentur dan
antikarat, di mana mereka bertengger, apalagi pada saat mereka mematuki bangkai
manusia yang tersisihkan di pucak monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai
teriris-iris oleh ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka.
Di kota bawah.
Suatu ketika keseratus burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan
ujung-ujung sayap mereka saling menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di
bawah jadi kegelapan. Seperti ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang,
menukik tajam, membubung tinggi menerjang langit, mereka memekik-mekik
memprotes kezaliman yang dipelihara oleh kota yang terhampar di bawah.
Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir mengenai apa yang sedang
dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan menerjang itu. Bahwa,
kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya
yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi hwa-hwe dahulu
kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna maupun
tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair. Sementara
penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam.
Keesokan harinya kawanan burung Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas
kota. Jeritan mereka menyebarkan ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka
berputar-putar di atas monumen, di mana dua jasad manusia terletak di atas
altar menunggu burung-burung itu melumatkan daging mereka. Namun, burung-burung
itu hanya berputar-putar persis di atas mayat. Memekik-mekik. Lantas mereka
terbang beringsut menjauhi mayat, kembali ke sarang mereka di pohon-pohon
buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta.
"Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini
bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan
perlawanan burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para
pembantunya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.
"Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak
menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung
itu.
"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni
angkasa. Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera
dan semakin sengsara."
"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."
"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar
kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."
Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang
kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah
dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan
perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah
kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan
kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke
tanah air kita. Ke jantung Asia. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung
rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya
yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.
Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus
angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni
hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap!
Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.
Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi
angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin.
Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas
monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.
Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari
luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk
abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih.
Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang
dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak
mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang
mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.
Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami
membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai
Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup
untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga
sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali
di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping,
ditambah lagi dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol
perlawanan terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi.
Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau
buatan yang sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan
kearifan semut yang mengilhami. *
Cerpen:
Martin Aleida
BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik dan
disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan.
Tak lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa
mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah
bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan
kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di
kota ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil
ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip
yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan
dibandingkan seribu tahun sebelumnya.
Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian,
kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia
presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah
bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau sekarang saja
apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun yang bisa Anda
tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan ketika kata-kata
hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung mengambilalihnya.
Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata
menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan
ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia
zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi
yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.
Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya
selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan
kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada
waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda
yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar
untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang
durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan
menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang
dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan
lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda.
Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.
Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya
sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya
membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih
dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar
Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat
terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan
vitamin D.
Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu
tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih
bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari
yang mungkin dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu
sebagai sesuatu yang rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh
oleh teka-teki silang. Kepekaan menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di
titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan
negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam
pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.
Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut, dan semua lahan pemakaman sudah lama
diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-gedung berbentuk kubis yang menyundul
langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini sudah tidak mengenal sejengkal tanah
pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang kaya, yang hidup di atas angin,
menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika. Untuk tetap
mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan beroperasi:
www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis dengan
koneksi yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional.
Delapan menit setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di
benua yang jadi pilihan.
Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah tidak lagi
memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan vitamin D,
orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di komunitas yang
pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung, Utan Kayu,
Garuda, Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan tumbal.
Kapitalisme memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat yang
diciptakannya merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas
komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun
kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan
sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka
tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka
mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas
angin terhadap mereka menjadi lengkap. Mereka dijadikan sumber vitamin D.
Gubernur kota merasa telah menemukan kebijakan yang cemerlang dalam upayanya
untuk membuat jasad mereka yang tersisih tidak menyebabkan bau busuk yang
menyengat kota. Sepuluh detik setelah meninggal, jasad orang-orang tersisih ini
sudah dikerek ke pelataran pemusnahan yang dibangun di puncak Monumen Nasional.
Gubernur dan para pembantunya beranggapan sama sekali tidak masuk akal
membiarkan mayat berbulan-bulan supaya membusuk dan dimakan belatung di puncak
monumen. Maka seratus ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian tengah.
Burung-burung yang berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah
kenyang itulah yang dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi
tinggal tulang-belulang. Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan
ke pabrik pemrosesan khusus untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan
tablet-tablet kalsium ini penduduk kota O-besar-kemanusiaan memperpanjang
harapan hidup mereka.
Kepekaan penduduk kota semakin majal, sementara kicau burung-burung yang
semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari
atas pepohonan yang dibuat dari campuran besi dan plastik yang lentur dan
antikarat, di mana mereka bertengger, apalagi pada saat mereka mematuki bangkai
manusia yang tersisihkan di pucak monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai
teriris-iris oleh ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka.
Di kota bawah.
Suatu ketika keseratus burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan
ujung-ujung sayap mereka saling menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di
bawah jadi kegelapan. Seperti ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang,
menukik tajam, membubung tinggi menerjang langit, mereka memekik-mekik
memprotes kezaliman yang dipelihara oleh kota yang terhampar di bawah.
Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir mengenai apa yang sedang
dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan menerjang itu. Bahwa,
kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya
yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi hwa-hwe dahulu
kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna maupun
tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair. Sementara
penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam.
Keesokan harinya kawanan burung Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas
kota. Jeritan mereka menyebarkan ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka
berputar-putar di atas monumen, di mana dua jasad manusia terletak di atas
altar menunggu burung-burung itu melumatkan daging mereka. Namun, burung-burung
itu hanya berputar-putar persis di atas mayat. Memekik-mekik. Lantas mereka
terbang beringsut menjauhi mayat, kembali ke sarang mereka di pohon-pohon
buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta.
"Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini
bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan
perlawanan burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para
pembantunya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.
"Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak
menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung
itu.
"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni
angkasa. Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera
dan semakin sengsara."
"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."
"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar
kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."
Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang
kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah
dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan
perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah
kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan
kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke
tanah air kita. Ke jantung Asia. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung
rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya
yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.
Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus
angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni
hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap!
Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.
Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi
angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin.
Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas
monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.
Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari
luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk
abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih.
Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang
dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak
mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang
mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.
Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami
membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai
Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup
untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga
sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali
di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping,
ditambah lagi dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol
perlawanan terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi.
Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau
buatan yang sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan
kearifan semut yang mengilhami. *
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as