Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    jakarta 3030

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    jakarta 3030 Empty jakarta 3030

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:52 pm

    Jakarta 3030







    Cerpen:
    Martin Aleida


    BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik dan
    disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan.
    Tak lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa
    mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah
    bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan
    kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di
    kota ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil
    ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip
    yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan
    dibandingkan seribu tahun sebelumnya.

    Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian,
    kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia
    presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah
    bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau sekarang saja
    apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun yang bisa Anda
    tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan ketika kata-kata
    hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung mengambilalihnya.

    Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata
    menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan
    ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia
    zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi
    yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.

    Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya
    selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan
    kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada
    waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda
    yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar
    untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang
    durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan
    menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang
    dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan
    lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda.
    Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.

    Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya
    sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya
    membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih
    dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar
    Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat
    terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan
    vitamin D.

    Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu
    tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih
    bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari
    yang mungkin dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu
    sebagai sesuatu yang rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh
    oleh teka-teki silang. Kepekaan menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di
    titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan
    negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam
    pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.

    Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut, dan semua lahan pemakaman sudah lama
    diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-gedung berbentuk kubis yang menyundul
    langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini sudah tidak mengenal sejengkal tanah
    pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang kaya, yang hidup di atas angin,
    menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika. Untuk tetap
    mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan beroperasi:
    www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis dengan
    koneksi yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional.
    Delapan menit setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di
    benua yang jadi pilihan.

    Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah tidak lagi
    memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan vitamin D,
    orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di komunitas yang
    pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung, Utan Kayu,
    Garuda, Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan tumbal.

    Kapitalisme memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat yang
    diciptakannya merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas
    komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun
    kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan
    sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka
    tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka
    mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas
    angin terhadap mereka menjadi lengkap. Mereka dijadikan sumber vitamin D.
    Gubernur kota merasa telah menemukan kebijakan yang cemerlang dalam upayanya
    untuk membuat jasad mereka yang tersisih tidak menyebabkan bau busuk yang
    menyengat kota. Sepuluh detik setelah meninggal, jasad orang-orang tersisih ini
    sudah dikerek ke pelataran pemusnahan yang dibangun di puncak Monumen Nasional.


    Gubernur dan para pembantunya beranggapan sama sekali tidak masuk akal
    membiarkan mayat berbulan-bulan supaya membusuk dan dimakan belatung di puncak
    monumen. Maka seratus ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian tengah.
    Burung-burung yang berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah
    kenyang itulah yang dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi
    tinggal tulang-belulang. Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan
    ke pabrik pemrosesan khusus untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan
    tablet-tablet kalsium ini penduduk kota O-besar-kemanusiaan memperpanjang
    harapan hidup mereka.


    Kepekaan penduduk kota semakin majal, sementara kicau burung-burung yang
    semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari
    atas pepohonan yang dibuat dari campuran besi dan plastik yang lentur dan
    antikarat, di mana mereka bertengger, apalagi pada saat mereka mematuki bangkai
    manusia yang tersisihkan di pucak monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai
    teriris-iris oleh ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka.
    Di kota bawah.

    Suatu ketika keseratus burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan
    ujung-ujung sayap mereka saling menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di
    bawah jadi kegelapan. Seperti ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang,
    menukik tajam, membubung tinggi menerjang langit, mereka memekik-mekik
    memprotes kezaliman yang dipelihara oleh kota yang terhampar di bawah.

    Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir mengenai apa yang sedang
    dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan menerjang itu. Bahwa,
    kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya
    yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi hwa-hwe dahulu
    kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna maupun
    tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair. Sementara
    penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam.

    Keesokan harinya kawanan burung Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas
    kota. Jeritan mereka menyebarkan ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka
    berputar-putar di atas monumen, di mana dua jasad manusia terletak di atas
    altar menunggu burung-burung itu melumatkan daging mereka. Namun, burung-burung
    itu hanya berputar-putar persis di atas mayat. Memekik-mekik. Lantas mereka
    terbang beringsut menjauhi mayat, kembali ke sarang mereka di pohon-pohon
    buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta.

    "Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini
    bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan
    perlawanan burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para
    pembantunya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.

    "Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak
    menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung
    itu.

    "Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni
    angkasa. Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera
    dan semakin sengsara."

    "Kolera sudah lama dikalahkan manusia."

    "Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar
    kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."

    Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang
    kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah
    dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan
    perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah
    kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan
    kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke
    tanah air kita. Ke jantung Asia. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung
    rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya
    yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.

    Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus
    angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni
    hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap!
    Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.

    Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi
    angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin.
    Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas
    monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.

    Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari
    luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk
    abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih.
    Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang
    dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak
    mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang
    mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.

    Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami
    membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai
    Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup
    untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga
    sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali
    di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping,
    ditambah lagi dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol
    perlawanan terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi.
    Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau
    buatan yang sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan
    kearifan semut yang mengilhami. *

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 7:57 am