Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    memori sepotong cokelat

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    memori sepotong cokelat Empty memori sepotong cokelat

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:49 pm

    Memori Sepotong Coklat
    Ai Varidah


    Silverqueen '95
    Hem! Nyam! Nyam!
    Kiran termangu-mangu di sebuah mini market. Ditengoknya kantong seragam yang di
    depannya ada label OSIS warna cokelat. Emh, hanya ada selembar gopek lecek yang
    nongkrong di sana. Itu pun buat ongkos pulang. Mana cukup!
    "Heh, yuk ah. Aku cuma beli parfum doang," tahu-tahu Rima telah
    menarik lengannya.
    Yaa, Kiran yang memang datang ke mini market ini hanya ngantar Rima, mau tak
    mau mesti nurut. Kakinya melangkah, tapi matanya masih meleng ke
    belakang.
    "Eh, lihat apaan sih?" Rima sadar jika sobatnya tertarik sesuatu,
    "Ooh..., Silverqueen. Mau?" Rima tertawa meledek.
    "Huss! Malu-maluin aja kamu. Sana cepet bayar!" Kiran mendorong Rima
    ke arah kasir. Huh! Dasar anak ini. Bikin wajah memerah saja. Untung tidak ada
    yang merperhatikan.
    Kiran dan Rima baru saja ke luar ketika tiba-tiba mata mereka menangkap sosok
    jangkung.
    "Hei, Iwang!" teriak Rima nyaring tanpa bas.
    Dag-dig-dug! Jantung Kiran tiba-tiba berdegup kencang. Aduh! Gimana ini?
    Belakangan Kiran suka salting kalau ketemu Iwang. Hayo kenapa? Padahal mereka
    satu kelas lho.
    "Hei, lagi pada ngapain, Non?" Iwang mendekat, "Belon pada
    pulang nih?"
    "Kebetulan baru mau. Kita bareng ya, Wang? Kita kan bisa nebeng ongkos.
    Tul nggak, Ran?" Rima mengedipkan matanya ke arah Kiran yang tengah asyik
    merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya. Kiran hanya tersenyum gugup.
    "Mimpi apa gue semalam, siang-siang dibajak gini. Tapi tidak apa-apa,
    bajak lautnya 'kan imut-imut," Iwang tertawa.
    Sebuah angkot lewat. Iwang buru-buru menyetopnya. Bertiga mereka naik.
    "Heh, sakit gigi ya, Ran? Diem aja sih," Iwang mulai memperhatikan
    Kiran setelah lelah telinganya mendengarkan Rima yang rame
    bercas-cis-cus.
    "Masih ingat Silverqueen ya? Aduh, kalo tadi dokuku masih ada pasti
    dibeliin."
    Asem tuh Rima! Berani-beraninya ia buka kartu di depan cowok ini. Wajah Kiran
    makin mirip kepiting rebus.
    "Ooh, pingin Silverqueen. Entar dah tak gue beliin," Iwang
    tertawa.

    Silverqueen Oktober '95
    "Eh... Teh Ian, ini apa?" Ros, adik Kiran yang masih cadel, tiba-tiba
    mengacungkan sebuah bungkusan dari dalam tas sekolah Kiran.
    Kiran menoleh kaget. Bungkusan dari mana itu?
    Kiran baru saja pulang sekolah dan melempar tasnya ke kasur. Kemudian Ros
    datang dan merazia tas warna biru dongker itu. Emang jadi kebiasaan tuh anak
    setelah sering mendapatkan permen dalam tas kakaknya.
    Sementara Kiran bengong, tangan mungil Ros telah merobek kertas kado
    bunga-bunga warna pink itu.
    "Aciik...! Cokyat!" teriaknya riang, "Teh Ian, ini buat Yos ya?
    Aciik! Mama, Mama, Iyos punya cokyat."
    Anak kecil itu berlari ke luar kamar sambil mengacungkan cokelatnya
    tinggi-tinggi. Sebatang Silverqueen.
    Kiran memungut bungkus kado yang tergeletak di lantai. Ada secarik kertas
    dilipat rapi.
    "Semoga harimu lebih indah. Met ultah."
    Singkat, padat, dan tanpa identitas. Kiran mengerutkan dahi. Ultah? Emangnya
    ini tanggal berapa? Yap! 17 Oktober. Ya, ampun, ini kan benar-benar
    ultahnya.
    Siapa yang mau memperhatikan tanggal bersejarah ini? Orang-orang rumah saja tak
    perduli. Kiran sendiri malah lupa. Lantas siapa yang menyimpan cokelat itu.
    Jangan-jangan...

    Silver queen Februari '96
    Be my valentine. Aku sayang kamu.
    Singkat, padat, dan lagi-lagi tanpa identitas. Silverqueen misterius yang
    nyaris terlupakan itu kini muncul lagi di tas Kiran, plus selembar kartu
    valentine warna pink. Romantis, bo!
    "Woow! Dapet hadiah ya, Ran?" Tiba-tiba Rima telah berdiri di samping
    Kiran. Kelas kosong. Anak-anak sudah pulang. Tinggal mereka berdua yang belum
    beranjak.
    "Eh, coba lihat!" Rima merebut kartu dari tangan Kiran, "Kok
    nggak ada pengirimnya?"
    "Siapa ya, Rim?"
    "Mana aku tahu," Rima mengangkat bahu, "Yang jelas dia sayang
    kamu. Jangan-jangan si Abi. Dia kan naksir berat ama kamu."
    "Amit-amit deh."
    "Lho kenapa? Ya, terima aja. Si Abi 'kan lumayan."
    "Embat aja ama situ. Sekalian tuh ama coklatnya."
    Tiba-tiba saja Kiran ketakutan sendiri. Tak bisa dibayangkan kalau itu
    benar-benar dari Abi. Ih, kepikiran juga nggak tentang anak itu.

    Silverqueen Oktober '96
    Ting! Tong! Ting! Tong!
    Ah, siapa sih sore-sore begini? Kiran agak malas membukakan pintu. Habis ia
    lagi asyik baca buku. Sebuah buku praktis penuntun salat. Dikit-dikit Kiran
    ingin memperbaiki salatnya yang selama ini terkesan asal jadi.
    Ting! Tong! Bel pintu masih cerewet juga. Ogah-ogahan Kiran beranjak.
    "Eh, Rulli," Kiran menatap anak usia sepuluh tahun yang tegap di
    mulut pintu, "Ada apa?"
    "Ada titipan, Teh," Rulli menyodorkan benda panjang kurang lebih 20
    centi meter berbungkus kertas kado pink.
    "Buat?"
    "Buat Teh Kiran."
    "Dari siapa?" Kiran menerima bungkusan itu dengan tatapan
    sangsi.
    "Rulli juga nggak tahu. Orangnya naik motor gede, pake helm, wajahnya
    nggak kelihatan. Mari, Teh."
    Kiran masih terbengong-bengong. Tak sadar kalau Rulli telah berlari
    meninggalkan rumahnya. Heh? Kiran terhenyak begitu mengamati kado di tangannya.
    Kertas warna pink bermotif bunga-bunga kecil. Yap! Sama persis dengan bungkus
    dua Silverqueen misterius.
    Wek! Wek! Buru-buru Kiran merobek kadonya. Silverqueen lagi
    "Selamat ulang tahun, Kiran."
    Hah? Ulang tahun? Iya. Ini 'kan 17 Oktober!
    "Di sweat seventeen-mu ini aku hanya ingin bilang, kian hari aku tambah
    sayang kamu."
    Buntu. Kalimat itu berakhir sampai di sana. Tak ada nama pengirim. Bahkan
    sepotong huruf pun tak ada. Misterius!
    "Ris, di sekolahan kita ada anak yang suka pake motor gede nggak?"
    Kiran langsung menelepon Risma. Kali ini ia harus menemukan otak di balik
    Silverqueen iseng itu.
    "Banyak dong. Ada si Anton, Buyung, Farhan, Dika, Bima, dan si
    Abi."
    Deg! Jantung Kiran agak berdegup mendengar nama terakhir yang disebut Risma.
    "Ada apa, Ran?"
    "Ah, nggak. Udah dulu ya."
    Klik! Kiran menutup telepon. Tidak peduli Risma yang pasti terbengong-bengong
    di seberang sana.

    Silverqueen Oktober '97
    Ada lagi sepotong Silverqueen dengan bungkus kado warna pink berbunga-bunga
    kecil tepat pada tanggal 17 Oktober. Kali ini dibawa seorang tukang koran yang
    tiap pagi mengantarkan surat kebar untuk ayah.
    Kali ini tulisannya tidak begitu polos. Sedikit dibubuhi identitas walau hanya
    dua huruf.
    Selamat ulang tahun.
    Sampai detik ini aku masih tetap sayang kamu
    'Bi
    Bi, Bi, siapa? Bi apa ya? Atau....? Ya. Bukankah Bi bisa saja potongan dari
    kata Abi. Jadi yang selama ini memberi Kiran sepotong Silverqueen...?

    Silverqueen '98
    Masa-masa SMU sudah mencapai batas. Resepsi perpisahan baru saja usai beberapa
    jam yang lalu. Hampir saja Kiran masuk ke mobil Papa, ketika Risma berlari-lari
    menghampirinya.
    "Tunggu, Ran. Ada titipan nih buatmu," Risma menyodorkan sebuah
    bungkusan. Kertas kado pink berbunga-bunga kecil. Kiran lagi-lagi
    tersentak.
    "Dari siapa?"
    "Entar dah tahu sendiri,"
    Hati Kiran tiba-tiba berdegup kencang. Rasanya tak sabar untuk segera membuka
    bungkusan itu. Kebetulan Mama duduk di jok depan bersama Papa. Kiran bisa
    leluasa.
    Silverqueen again!
    Aku sayang kamu
    Sampai detik ini
    Aku pengecut
    Untuk menampakkan diri
    Tapi...satu hal
    Aku sayang kamu, Kiran
    Iwang Bimantara
    Deg! Terrr....! Dug! Dug! Derrrrr...!

    Silverqueen '99
    Januari 99, Silverqueen terakhir dari Iwang. Setelah itu tak ada lagi kabar
    tentang Iwang. Padahal sejak mereka menempuh kuliah di universitas yang berbeda
    dan di kota yang berjauhan, nyaris tiap minggu surat Iwang datang.
    "Cokelat memang manis, tapi kalau nggak tahu nempatinya cokelat bisa bikin
    gigi kita keropos," komentar Ula saat Kiran mengatakan jika ia rindu
    sepotong cokelat dari Iwang.
    Anak berjilbab teman sekost Kiran ini memang tidak respek dengan
    persoalan-persoalan macam ini. Kalau Kiran cerita tentang Iwang dan
    cokelat-cokelatnya, dia hanya diam tanpa komentar. Uh! Susah deh kalau
    ngomongin cowok sama dia.
    "Sebenarnya cokelatnya sih nggak jadi masalah, tapi kok surat Iwang nggak
    dateng-dateng aku kangen nih."
    Ula menelan ludah. Duh, Kiran anak manis.
    "Kiran, kupikir kehilangan surat-surat Iwang bukan musibah. Kamu nggak
    bisa baca surat-suratnya juga nggak rugi. Asal kita jangan sampai kehilangan
    surat-surat Ilahi dan tidak lupa membaca surat-Nya,"
    Tuh, respon Ula tidak seperti respon Inne, Rice, dan konco-konconya di kampus.
    Biasanya mereka menyemangati bukan menghempaskan kayak begini. Bahkan Inne
    memberi saran biar Kiran nulis surat saja buat Iwang.
    Tapi... sudah hampir empat kali Kiran mengirim surat, tak satu pun yang dibalas
    Iwang. Ke mana aja tuh anak? Sibuk kuliah? Sibuk organisasi? Atau...
    jangan-jangan malah kecantol gadis Yogya. Kiran tak akan memaafkan kalau sampai
    Iwang berkhianat.
    Telepon ke rumahnya. Ide itu meleset dari otak Kiran. Andai saja teleponnya
    yang di Yogya bisa dihubungi, tentu Kiran dapat melacak keberadaan Iwang.
    Sayang berulang kali dihubungi, tak pernah sekali pun nyambung.
    Tak ada jalan lain selain telepon ke rumah Iwang. Siapa tahu nasib sedang
    mujur, Iwang kebetulan ada di rumah. Kalau pun tidak, ia bisa bertanya pada
    orang tua atau Firya, adiknya.
    Agak gemetar ketika sore ini Kiran memijiti nomor telepon rumah Iwang di wartel
    depan kampus.
    "Assalamualaikum." Nah, ini pasti suara Firya.
    "Kum salaam. Iwangnya ada?"
    "Mas Iwang nggak ada di rumah. Ini sama siapa ya?"
    "Sama Kiran."
    "Ooh, Teh Kiran. Sudah beberapa bulan ini Mas Iwang tidak pulang. Mungkin
    sibuk. Mau nitip pesan?"
    "Emh, kalau pulang atau telpon, tolong suruh dia menghubungi aku. Sudah
    beberapa bulan ini..." Kiran mengurungkan kata-katanya. Gengsi dong mesti
    ngeluh sama Firya tentang surat-surat Iwang yang tak pernah datang.
    "Insya Allah, Teh. Nnng... tapi kalau boleh Firya ngasih saran, lebih baik
    Teh Kiran belajar melupakan mas Iwang."
    "Lho? Memangnya ada apa?" Kiran merajuk. Perasaannya mulai tidak
    enak. Jangan-jangan ada sesuatu yang dapat mengancam stabilitas hubungan
    bilateralnya dengan Iwang.
    "Nggak ada apa-apa sih, cuma....cuma takut Teh Kiran nanti
    kecewa."
    "Selama Iwang tidak..., emh, rasanya Iwang nggak akan
    ngecewain."
    "Itulah, Teh. Emh... menurut orang bijak, tapi maaf lho, Jangan
    tersinggung. Nng... kalau kita berharap pada manusia maka kita harus siap untuk
    kecewa. Hanya berharap pada Allah yang tidak akan membuat kecewa."
    Kiran menjauhkan horn telepon dari telinganya beberapa saat. Bisa juga nih anak
    ngomong.
    "Baiklah, Ya. Nggak apa kalau Iwangnya nggak ada."
    Buru-buru Kiran menutup telepon. Sia-sia deh usahanya kali ini. Iwang
    benar-benar sulit dilacak.

    Silverqueen Oktober '99
    17 Oktober kelabu!
    Kali ini, tak ada lagi sepotong cokelat hadiah ulang tahun dari Iwang. Tak ada
    lagi kata-kata singkat, padat, dan romantis. Iwang telah menghilang entah ke
    belahan bumi yang mana. Iwang membuat Kiran lelah menanti.
    "Selamat ulang tahun, Kiran!" Tiba-tiba Ula datang menyerbu Kiran
    yang tengah tiduran di kasur. Baru saja Ula pulang kuliah.
    "Semoga Allah tambah sayang kamu," ujar Ula hangat.
    "Makasih, La."
    Mata Kiran berkaca-kaca. Haru ia dengan perhatian Ula. Hatinya sedikit terobati
    walau ulang tahun kali ini tanpa ucapan selamat dari Iwang tersayang yang mulai
    melayang.
    "Kiran, aku nggak bisa ngasih apa-apa."
    Ula menyodorkan bungkusan kecil berbentuk kotak.
    "Kok jadi ngerepotin, La. Makasih ya." Mata Kiran makin
    berkaca-kaca.
    "Ayolah buka, Ran. Mudah-mudahan kamu suka."
    Hati-hati Kiran membuka bungkus kado.
    Allah! Hati Kiran tergetar halus. Tiba-tiba dadanya terasa sesak dengan tangis
    yang mendesak ingin ke luar. Kaca-kaca di matanya pecah menjadi bening air yang
    mulai berguguran. Matanya bersirobok dengan sepasang mata tenang Ula.
    "Ulaa..." Kiran memeluk Ula erat, "Makasih. Ini hadiah paling
    agung yang pernah aku terima. Al-Quran!"
    "Ini surat Sang Kekasih yang bisa menenangkan hati kita," Ula
    mengusap-usap rambut Kiran penuh sayang.
    Panas matahari di luar perlahan meredup, karena sang bola api menutupi wajahnya
    dengan selembar awan hitam. Udara terasa mulai sejuk.

    Silverqueen Januari 2000
    Kiran tersenyum. Firya duduk menunduk di hadapannya. Sangat manis dengan
    balutan jilbabnya birunya.
    Baru kemarin Kiran pulang. Ibu mengabarkan ada pesan dari Firya agar ia segera
    menghubungi gadis itu. Inilah hasilnya. Pertemuan di suatu siang yang cukup
    panas.
    "Firya ingin mengabarkan tentang Mas Iwang," Firya berucap
    hati-hati.
    "Katakanlah," Kiran sudah sangat siap mendengar apa pun tentang
    Iwang. Sekalipun sangat menyakitkan.
    "Semingggu yang lalu Mas Iwang berangkat ke Jepang."
    "Ke Jepang?" Dahi Kiran berkerut, "Dalam rangka?"
    "Studi."
    "Alhamdulillah! Aku turut bangga."
    "Cuma...emh.... sebelum pergi Mas Iwang menitipkan ini buat Teh
    Kiran."
    Kiran meraih lipatan kertas putih yang disodorkan Firya. Sebuah surat
    pendek.
    "Aku ingin mohon maaf atas semua yang telah terjadi antara kita selama
    ini. Lupakan potongan-potongan cokelat yang telah mengotori hati kita
    masing-masing. Ada yang jauh lebih berarti dalam hidup ini daripada sepotong
    cokelat."
    Kiran melipat kembali kertas itu tanpa beban, seperti dia melipat masa lalunya
    dalam catatan sejarah.
    "Mas Iwang sangat terbebani telah menyeret Teh Kiran dalam hubungan yang
    tidak syar'i. Maafkan Mas Iwang ya, Teh."
    "Teteh juga salah. Khilaf. Biarkan saja masa itu itu sebagai
    cermin."
    Mata Firya berbinar. Ditatapnya wajah Kiran yang tampak lebih teduh dalam
    balutan jilbabnya.
    Selamat jalan, Iwang! Umat menantimu kembali.

    Bandung, 7 Maret 2000



      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 5:32 am