Matahari Madinah Pun Tersenyum
Malam Madinah yang hening syahdu, tiba-tiba pecah. Suara pertengkaran itu
membuat pintu-pintu dan jendela terbuka. Wajah penduduk kota pun bermunculan.
Ada apa gerangan?
"Sampai hati engkau ya menuduhku, ya syeih.
Engkau menuduhku memasuki rumah orang? Padahal rumah itu rumahku. Akulah
Al-Faruq. Al-Faruq wali bagi keluarga Al-Munkadir yang berasal dari cucu-cicit
kaum Quraisy!"
Dengan matanya yang tajam orangtua yang dituduh hendak
memasuki rumah Rabi'ah itu mengajukan pembelaannya di depan Imam Malik.
Benarkah ia Al-Faruq? Semua ragu. Mereka tidak pernah
mengenali rupa Al-Faruq sejak 20 tahun yang lalu. Inikah Al-Faruq yang tidak
ada khabarnya itu?
Ibu Rabi'ah yang berada di dalam rumah tersentak.
Hatinya berdebar hebat.
"Benar! Ia Al-Faruq...!" Ujar ibu Rabi'ah
pelan. Semua menoleh pada dirinya.
"Benar, ia suamiku. Dialah ayahmu, hai
Rabi'ah." Semua terdiam, mencoba memahaminya. Lebih-lebih Rabi'ah. Ia
mengalami gelombang perasaan yang begitu tiba-tiba.
"Rabiah itu anakmu, wahai Al-Faruq..,"
wanita itu kini menatao syahdu ke lelaki tua yang begitu terpana melihat
penampilannya.
Semua yang hadir satu persatu beranjak pergi. Satu per satu pintu-pintu dan
jendela tertutup lagi. Semua kembali senyap. Kecuali deru dalam dada Rabi'ah.
Lelaki tua itu, dan sang wanita, ibu Rabi'ah. Mereka pun bertangis-tangisan
dalam pelukan haru-rindu yang menggebu-gebu.
Setelah tenang kembali ketiganya masuk ke dalam rumah.
Masih tanpa kata-kata. Dalam benak sang ibu, terputar semua kilasan peristiwa
dua puluh tahun yang lalu. Ketika masih pengantin baru, suaminya pergi menuju
medan jihad, ke Khurasan dan Bukhara.
Dua puluh tahun sudah tidak ada kabar, sementara benih
dalam perutnya kini sudah menjelma menjadi pemuda dewasa. Di tengah suara-suara
pertanyaan anaknya dan cerita suaminya, ia mulai diliputi rasa bersalah.
Suaminya pasti menanyakan uang yang dititipkan dahulu. Tiga puluh ribu dinar.
Angka yang tidak tersisa sedikitpun ditangannya!
Sang anak ingin tahu alasan ayahnya tidak pulang dalam waktu yang begitu lama.
"Ibu hanya mengatakan, andai maut menghadangmu di
medan perang, apakah engkau akan lari pulang tunggang-langgang seperti seekor
anjing berlari pulang karena takut pada lawan?"
"Mengapa ibu menuntut Ayah begitu keras?"
"Ibu hanya mengingatkan ayahmu, sebagaimana yang
telah dilakukan isteri-isteri para sahabat terhadap suami-suami mereka. Saat
kembali dari pedang Mut'ah, mereka mengunci pintu dan jendela sambil
melontarkan kata, "Pergi kau pengecut! Kembali ke medan perang!!"
Malam bertambah larut. Ibu Rabi'ah belum memincingkan
mata. Ia belum mendapat jawaban yang tepat jika sang suami bertanya mana uang
yang dititipkannya dulu. Uang yang tak mungkin habis jika digunakan hanya untuk
hidup berdua dengan hemat.
Adzan Subuh berkumandang dari mesjid Nabawi. Ia
bangkit. Anaknya sudah lebih dahulu pergi ke masjid. Al-Faruq juga telah
bersiap-siap. Tapi ada hal yang mengganjal langkahnya untuk bersegera ke
masjid.
"Wahai Ummu Rabi'ah, apa yang telah kamu lakukan
dengan uang yang kutinggalkan dulu sebelum berjihad. Jika ada sisanya, aku
ingin menjadikannya modal usaha."
Kalimat yang biasa saja, tapi terasa menusuk perasaan
Ummu Rabi'ah. Dengan cepat jua berusaha mengendalikan diri.
"Uang itu masih tersimpan," Ummu Rabi'ah berusaha menghindar lagi. Ia
merasa ini bukan waktu yang tepat.
"Lekaslah ke masjid. Bukankah kamu telah lama
sekali tidak shalat di mesjid Nabi? Tidakkah kamu rindu melakukannya?"
Al-Faruq tidak membantah. Ia bergegas menuju masjid. Sementara Ummu Rabi'ah
resah. "Ya Allah, permudahlah urusanku ini. Berilah petunjukMu...,"
doanya penuh harap.
Di masjid, Al-Faruq dapat barisan di belakang. Setelah
shalat, dibukalah majelis taklim. Lamat-lamat didengarnya suara sang guru.
Masih muda. Dilongoknya untuk memastikannya. Benar, walau wajahnya susah
dikenali karena tertutup jubahnya. Ah, kalau saja Rabi'ah, anaknya seperti anak
muda itu betapa tenteram hidupnya. Ada anak shalih yang senantiasa
mendoakannya.
Cukup bagiku anak yang shalih tanpa diberi harta
sekalipun, ditorehnya kalimat ini dalam relung-relung hatinya yang paling
dalam. Ya, andaikan Rabi'ah.....
Diamatinya sekeliling. Yang hadir tampaknya bukan
hanya masyarakat awam. Tapi juga para ulama dan cerdik pandai lainnya.
Ketika selesai, Al-Faruq tinggal sendiri, meresapi
rasa rindu dengan masjid suci ini. Siapakah ulama yang mengajar tadi?
"Bapak belum kenal siapa guru tadi?" ujar seorang jama'ah menguak
takbir keingintahuan Al-Faruq.
"Orang itu menjelaskan bahwa sang guru seorang
yang alim dan cerdas dalam bidang hadits. Dia juga orang yang arif di bidang
hukum syari'ah. Ia sempat berguru pada beberapa shahabat Rasulullah SAW. Dan ia
adalah mufti Madinah."
Lelaki itu mengajak Al-Faruq duduk di sudut tepi masjid Nabawi.
"Sungguh guru kita seorang pemuda yang alim dan
dihormati masyarakat. Imam Malik pun salah seorang muridnya. Apakah bapak tahu,
ia lelaki yang sangat pemurah di Madinah ini? Ia menghabiskan banyak uang
sampai 40.000 dirham untuk dihadiahkan kepada guru-gurunya dengan tujuan mereka
mencurahkan segenap waktu untuk memberi ilmu kepadanya. Ia pernah berkata,
'Harta yang habis bisa di cari, tapi guru-guru yang telah tiada siapakah
penggantinya?'"
"Sungguh bahagia orang pandai itu!" cetus
kagum Al-Faruq. "Siapakah namanya?"
"Dialah Rabi'ah A-Rayi bin Abu Abdurrahman. Tapi,
bapaknya lebih dikenal dengan nama Al-Faruq. Dia masih berada di perbatasan
Khurasan. Mungkin bapak pernah mendengar nama itu?"
Matanya berkaca-kaca tidak mampu lagi menahan
gelombang batin seorang ayah yang bangga dengan anak lelakinya. Ia bergegas
pergi, meninggalkan kawab bicaranya masih terheran-heran.
Setibanya di rumah. Al-Faruq menyandarkan punggungnya
di muka pintu, menetralisir gejolak hatinya. Menarik nafas sebentar agar lebih
tenang.
"Kau berhasil, wahai isteriku. Kita telah
mendapatkan sesuatu yang paling berharga di muka bumi ini!" Ceritanya
dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Apa yang kamu maksudkan, wahai suamiku?"
"Kita telah punya anak yang shalih, anak yang
akan mendoakan kita nanti bila kita menghembuskan nafas. Aku melihat anak kita
sangat baik, bertakwa, dan memiliki ilmu luas. Sungguh Allah SWT telah
mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada yang kuduga." ucapnya
berapi-api.
Ini peluang yang ditunggu-tunggu Ummu Rabi'ah. Dan ia
memberanikan diri untuk berterus terang.
"Suamiku, manakah yang lebih engkau sayangi, uang
tiga puluh ribu dinar atau anak kita yang kau ceritakan tadi?"
"Demi Allah! Apalah artinya uang itu. Anak shalih
lebih menyejukkan mataku!" jawabnya tegas.
"Suamiku, sebenarnya yang kau tinggalkan dulu
telah habis kugunakan untuk membiayai anak kita belajar.."
Ditatapnya sang suami dengan sinar mata menunggu.
Tatapan siap menerima akibat seburuk sekalipun.
"Demi Allah, engkau sungguh wanita yang bijak,
duhai isteriku. Engkau seorang ibu sejati. Tidak salah aku memilihmu..."
Dengan mesra digenggamnya jemari sang isteri seolah ingin memberi tekanan
kesungguhan perkataannya.
Matahari Madinah pun tersenyum menyaksikan dua insan bahagia itu. Sinarnya
terasa lebih cerah menerpa bumi.
Malam Madinah yang hening syahdu, tiba-tiba pecah. Suara pertengkaran itu
membuat pintu-pintu dan jendela terbuka. Wajah penduduk kota pun bermunculan.
Ada apa gerangan?
"Sampai hati engkau ya menuduhku, ya syeih.
Engkau menuduhku memasuki rumah orang? Padahal rumah itu rumahku. Akulah
Al-Faruq. Al-Faruq wali bagi keluarga Al-Munkadir yang berasal dari cucu-cicit
kaum Quraisy!"
Dengan matanya yang tajam orangtua yang dituduh hendak
memasuki rumah Rabi'ah itu mengajukan pembelaannya di depan Imam Malik.
Benarkah ia Al-Faruq? Semua ragu. Mereka tidak pernah
mengenali rupa Al-Faruq sejak 20 tahun yang lalu. Inikah Al-Faruq yang tidak
ada khabarnya itu?
Ibu Rabi'ah yang berada di dalam rumah tersentak.
Hatinya berdebar hebat.
"Benar! Ia Al-Faruq...!" Ujar ibu Rabi'ah
pelan. Semua menoleh pada dirinya.
"Benar, ia suamiku. Dialah ayahmu, hai
Rabi'ah." Semua terdiam, mencoba memahaminya. Lebih-lebih Rabi'ah. Ia
mengalami gelombang perasaan yang begitu tiba-tiba.
"Rabiah itu anakmu, wahai Al-Faruq..,"
wanita itu kini menatao syahdu ke lelaki tua yang begitu terpana melihat
penampilannya.
Semua yang hadir satu persatu beranjak pergi. Satu per satu pintu-pintu dan
jendela tertutup lagi. Semua kembali senyap. Kecuali deru dalam dada Rabi'ah.
Lelaki tua itu, dan sang wanita, ibu Rabi'ah. Mereka pun bertangis-tangisan
dalam pelukan haru-rindu yang menggebu-gebu.
Setelah tenang kembali ketiganya masuk ke dalam rumah.
Masih tanpa kata-kata. Dalam benak sang ibu, terputar semua kilasan peristiwa
dua puluh tahun yang lalu. Ketika masih pengantin baru, suaminya pergi menuju
medan jihad, ke Khurasan dan Bukhara.
Dua puluh tahun sudah tidak ada kabar, sementara benih
dalam perutnya kini sudah menjelma menjadi pemuda dewasa. Di tengah suara-suara
pertanyaan anaknya dan cerita suaminya, ia mulai diliputi rasa bersalah.
Suaminya pasti menanyakan uang yang dititipkan dahulu. Tiga puluh ribu dinar.
Angka yang tidak tersisa sedikitpun ditangannya!
Sang anak ingin tahu alasan ayahnya tidak pulang dalam waktu yang begitu lama.
"Ibu hanya mengatakan, andai maut menghadangmu di
medan perang, apakah engkau akan lari pulang tunggang-langgang seperti seekor
anjing berlari pulang karena takut pada lawan?"
"Mengapa ibu menuntut Ayah begitu keras?"
"Ibu hanya mengingatkan ayahmu, sebagaimana yang
telah dilakukan isteri-isteri para sahabat terhadap suami-suami mereka. Saat
kembali dari pedang Mut'ah, mereka mengunci pintu dan jendela sambil
melontarkan kata, "Pergi kau pengecut! Kembali ke medan perang!!"
Malam bertambah larut. Ibu Rabi'ah belum memincingkan
mata. Ia belum mendapat jawaban yang tepat jika sang suami bertanya mana uang
yang dititipkannya dulu. Uang yang tak mungkin habis jika digunakan hanya untuk
hidup berdua dengan hemat.
Adzan Subuh berkumandang dari mesjid Nabawi. Ia
bangkit. Anaknya sudah lebih dahulu pergi ke masjid. Al-Faruq juga telah
bersiap-siap. Tapi ada hal yang mengganjal langkahnya untuk bersegera ke
masjid.
"Wahai Ummu Rabi'ah, apa yang telah kamu lakukan
dengan uang yang kutinggalkan dulu sebelum berjihad. Jika ada sisanya, aku
ingin menjadikannya modal usaha."
Kalimat yang biasa saja, tapi terasa menusuk perasaan
Ummu Rabi'ah. Dengan cepat jua berusaha mengendalikan diri.
"Uang itu masih tersimpan," Ummu Rabi'ah berusaha menghindar lagi. Ia
merasa ini bukan waktu yang tepat.
"Lekaslah ke masjid. Bukankah kamu telah lama
sekali tidak shalat di mesjid Nabi? Tidakkah kamu rindu melakukannya?"
Al-Faruq tidak membantah. Ia bergegas menuju masjid. Sementara Ummu Rabi'ah
resah. "Ya Allah, permudahlah urusanku ini. Berilah petunjukMu...,"
doanya penuh harap.
Di masjid, Al-Faruq dapat barisan di belakang. Setelah
shalat, dibukalah majelis taklim. Lamat-lamat didengarnya suara sang guru.
Masih muda. Dilongoknya untuk memastikannya. Benar, walau wajahnya susah
dikenali karena tertutup jubahnya. Ah, kalau saja Rabi'ah, anaknya seperti anak
muda itu betapa tenteram hidupnya. Ada anak shalih yang senantiasa
mendoakannya.
Cukup bagiku anak yang shalih tanpa diberi harta
sekalipun, ditorehnya kalimat ini dalam relung-relung hatinya yang paling
dalam. Ya, andaikan Rabi'ah.....
Diamatinya sekeliling. Yang hadir tampaknya bukan
hanya masyarakat awam. Tapi juga para ulama dan cerdik pandai lainnya.
Ketika selesai, Al-Faruq tinggal sendiri, meresapi
rasa rindu dengan masjid suci ini. Siapakah ulama yang mengajar tadi?
"Bapak belum kenal siapa guru tadi?" ujar seorang jama'ah menguak
takbir keingintahuan Al-Faruq.
"Orang itu menjelaskan bahwa sang guru seorang
yang alim dan cerdas dalam bidang hadits. Dia juga orang yang arif di bidang
hukum syari'ah. Ia sempat berguru pada beberapa shahabat Rasulullah SAW. Dan ia
adalah mufti Madinah."
Lelaki itu mengajak Al-Faruq duduk di sudut tepi masjid Nabawi.
"Sungguh guru kita seorang pemuda yang alim dan
dihormati masyarakat. Imam Malik pun salah seorang muridnya. Apakah bapak tahu,
ia lelaki yang sangat pemurah di Madinah ini? Ia menghabiskan banyak uang
sampai 40.000 dirham untuk dihadiahkan kepada guru-gurunya dengan tujuan mereka
mencurahkan segenap waktu untuk memberi ilmu kepadanya. Ia pernah berkata,
'Harta yang habis bisa di cari, tapi guru-guru yang telah tiada siapakah
penggantinya?'"
"Sungguh bahagia orang pandai itu!" cetus
kagum Al-Faruq. "Siapakah namanya?"
"Dialah Rabi'ah A-Rayi bin Abu Abdurrahman. Tapi,
bapaknya lebih dikenal dengan nama Al-Faruq. Dia masih berada di perbatasan
Khurasan. Mungkin bapak pernah mendengar nama itu?"
Matanya berkaca-kaca tidak mampu lagi menahan
gelombang batin seorang ayah yang bangga dengan anak lelakinya. Ia bergegas
pergi, meninggalkan kawab bicaranya masih terheran-heran.
Setibanya di rumah. Al-Faruq menyandarkan punggungnya
di muka pintu, menetralisir gejolak hatinya. Menarik nafas sebentar agar lebih
tenang.
"Kau berhasil, wahai isteriku. Kita telah
mendapatkan sesuatu yang paling berharga di muka bumi ini!" Ceritanya
dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Apa yang kamu maksudkan, wahai suamiku?"
"Kita telah punya anak yang shalih, anak yang
akan mendoakan kita nanti bila kita menghembuskan nafas. Aku melihat anak kita
sangat baik, bertakwa, dan memiliki ilmu luas. Sungguh Allah SWT telah
mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada yang kuduga." ucapnya
berapi-api.
Ini peluang yang ditunggu-tunggu Ummu Rabi'ah. Dan ia
memberanikan diri untuk berterus terang.
"Suamiku, manakah yang lebih engkau sayangi, uang
tiga puluh ribu dinar atau anak kita yang kau ceritakan tadi?"
"Demi Allah! Apalah artinya uang itu. Anak shalih
lebih menyejukkan mataku!" jawabnya tegas.
"Suamiku, sebenarnya yang kau tinggalkan dulu
telah habis kugunakan untuk membiayai anak kita belajar.."
Ditatapnya sang suami dengan sinar mata menunggu.
Tatapan siap menerima akibat seburuk sekalipun.
"Demi Allah, engkau sungguh wanita yang bijak,
duhai isteriku. Engkau seorang ibu sejati. Tidak salah aku memilihmu..."
Dengan mesra digenggamnya jemari sang isteri seolah ingin memberi tekanan
kesungguhan perkataannya.
Matahari Madinah pun tersenyum menyaksikan dua insan bahagia itu. Sinarnya
terasa lebih cerah menerpa bumi.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as