Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    matahari madinah pun tersenyum

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    matahari madinah pun tersenyum Empty matahari madinah pun tersenyum

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:48 pm

    Matahari Madinah Pun Tersenyum



    Malam Madinah yang hening syahdu, tiba-tiba pecah. Suara pertengkaran itu
    membuat pintu-pintu dan jendela terbuka. Wajah penduduk kota pun bermunculan.
    Ada apa gerangan?



    "Sampai hati engkau ya menuduhku, ya syeih.
    Engkau menuduhku memasuki rumah orang? Padahal rumah itu rumahku. Akulah
    Al-Faruq. Al-Faruq wali bagi keluarga Al-Munkadir yang berasal dari cucu-cicit
    kaum Quraisy!"



    Dengan matanya yang tajam orangtua yang dituduh hendak
    memasuki rumah Rabi'ah itu mengajukan pembelaannya di depan Imam Malik.



    Benarkah ia Al-Faruq? Semua ragu. Mereka tidak pernah
    mengenali rupa Al-Faruq sejak 20 tahun yang lalu. Inikah Al-Faruq yang tidak
    ada khabarnya itu?



    Ibu Rabi'ah yang berada di dalam rumah tersentak.
    Hatinya berdebar hebat.



    "Benar! Ia Al-Faruq...!" Ujar ibu Rabi'ah
    pelan. Semua menoleh pada dirinya.



    "Benar, ia suamiku. Dialah ayahmu, hai
    Rabi'ah." Semua terdiam, mencoba memahaminya. Lebih-lebih Rabi'ah. Ia
    mengalami gelombang perasaan yang begitu tiba-tiba.



    "Rabiah itu anakmu, wahai Al-Faruq..,"
    wanita itu kini menatao syahdu ke lelaki tua yang begitu terpana melihat
    penampilannya.
    Semua yang hadir satu persatu beranjak pergi. Satu per satu pintu-pintu dan
    jendela tertutup lagi. Semua kembali senyap. Kecuali deru dalam dada Rabi'ah.
    Lelaki tua itu, dan sang wanita, ibu Rabi'ah. Mereka pun bertangis-tangisan
    dalam pelukan haru-rindu yang menggebu-gebu.



    Setelah tenang kembali ketiganya masuk ke dalam rumah.
    Masih tanpa kata-kata. Dalam benak sang ibu, terputar semua kilasan peristiwa
    dua puluh tahun yang lalu. Ketika masih pengantin baru, suaminya pergi menuju
    medan jihad, ke Khurasan dan Bukhara.



    Dua puluh tahun sudah tidak ada kabar, sementara benih
    dalam perutnya kini sudah menjelma menjadi pemuda dewasa. Di tengah suara-suara
    pertanyaan anaknya dan cerita suaminya, ia mulai diliputi rasa bersalah.
    Suaminya pasti menanyakan uang yang dititipkan dahulu. Tiga puluh ribu dinar.
    Angka yang tidak tersisa sedikitpun ditangannya!
    Sang anak ingin tahu alasan ayahnya tidak pulang dalam waktu yang begitu lama.



    "Ibu hanya mengatakan, andai maut menghadangmu di
    medan perang, apakah engkau akan lari pulang tunggang-langgang seperti seekor
    anjing berlari pulang karena takut pada lawan?"



    "Mengapa ibu menuntut Ayah begitu keras?"


    "Ibu hanya mengingatkan ayahmu, sebagaimana yang
    telah dilakukan isteri-isteri para sahabat terhadap suami-suami mereka. Saat
    kembali dari pedang Mut'ah, mereka mengunci pintu dan jendela sambil
    melontarkan kata, "Pergi kau pengecut! Kembali ke medan perang!!"



    Malam bertambah larut. Ibu Rabi'ah belum memincingkan
    mata. Ia belum mendapat jawaban yang tepat jika sang suami bertanya mana uang
    yang dititipkannya dulu. Uang yang tak mungkin habis jika digunakan hanya untuk
    hidup berdua dengan hemat.



    Adzan Subuh berkumandang dari mesjid Nabawi. Ia
    bangkit. Anaknya sudah lebih dahulu pergi ke masjid. Al-Faruq juga telah
    bersiap-siap. Tapi ada hal yang mengganjal langkahnya untuk bersegera ke
    masjid.



    "Wahai Ummu Rabi'ah, apa yang telah kamu lakukan
    dengan uang yang kutinggalkan dulu sebelum berjihad. Jika ada sisanya, aku
    ingin menjadikannya modal usaha."



    Kalimat yang biasa saja, tapi terasa menusuk perasaan
    Ummu Rabi'ah. Dengan cepat jua berusaha mengendalikan diri.
    "Uang itu masih tersimpan," Ummu Rabi'ah berusaha menghindar lagi. Ia
    merasa ini bukan waktu yang tepat.



    "Lekaslah ke masjid. Bukankah kamu telah lama
    sekali tidak shalat di mesjid Nabi? Tidakkah kamu rindu melakukannya?"
    Al-Faruq tidak membantah. Ia bergegas menuju masjid. Sementara Ummu Rabi'ah
    resah. "Ya Allah, permudahlah urusanku ini. Berilah petunjukMu...,"
    doanya penuh harap.



    Di masjid, Al-Faruq dapat barisan di belakang. Setelah
    shalat, dibukalah majelis taklim. Lamat-lamat didengarnya suara sang guru.
    Masih muda. Dilongoknya untuk memastikannya. Benar, walau wajahnya susah
    dikenali karena tertutup jubahnya. Ah, kalau saja Rabi'ah, anaknya seperti anak
    muda itu betapa tenteram hidupnya. Ada anak shalih yang senantiasa
    mendoakannya.



    Cukup bagiku anak yang shalih tanpa diberi harta
    sekalipun, ditorehnya kalimat ini dalam relung-relung hatinya yang paling
    dalam. Ya, andaikan Rabi'ah.....



    Diamatinya sekeliling. Yang hadir tampaknya bukan
    hanya masyarakat awam. Tapi juga para ulama dan cerdik pandai lainnya.



    Ketika selesai, Al-Faruq tinggal sendiri, meresapi
    rasa rindu dengan masjid suci ini. Siapakah ulama yang mengajar tadi?
    "Bapak belum kenal siapa guru tadi?" ujar seorang jama'ah menguak
    takbir keingintahuan Al-Faruq.



    "Orang itu menjelaskan bahwa sang guru seorang
    yang alim dan cerdas dalam bidang hadits. Dia juga orang yang arif di bidang
    hukum syari'ah. Ia sempat berguru pada beberapa shahabat Rasulullah SAW. Dan ia
    adalah mufti Madinah."
    Lelaki itu mengajak Al-Faruq duduk di sudut tepi masjid Nabawi.



    "Sungguh guru kita seorang pemuda yang alim dan
    dihormati masyarakat. Imam Malik pun salah seorang muridnya. Apakah bapak tahu,
    ia lelaki yang sangat pemurah di Madinah ini? Ia menghabiskan banyak uang
    sampai 40.000 dirham untuk dihadiahkan kepada guru-gurunya dengan tujuan mereka
    mencurahkan segenap waktu untuk memberi ilmu kepadanya. Ia pernah berkata,
    'Harta yang habis bisa di cari, tapi guru-guru yang telah tiada siapakah
    penggantinya?'"



    "Sungguh bahagia orang pandai itu!" cetus
    kagum Al-Faruq. "Siapakah namanya?"



    "Dialah Rabi'ah A-Rayi bin Abu Abdurrahman. Tapi,
    bapaknya lebih dikenal dengan nama Al-Faruq. Dia masih berada di perbatasan
    Khurasan. Mungkin bapak pernah mendengar nama itu?"



    Matanya berkaca-kaca tidak mampu lagi menahan
    gelombang batin seorang ayah yang bangga dengan anak lelakinya. Ia bergegas
    pergi, meninggalkan kawab bicaranya masih terheran-heran.



    Setibanya di rumah. Al-Faruq menyandarkan punggungnya
    di muka pintu, menetralisir gejolak hatinya. Menarik nafas sebentar agar lebih
    tenang.



    "Kau berhasil, wahai isteriku. Kita telah
    mendapatkan sesuatu yang paling berharga di muka bumi ini!" Ceritanya
    dengan mata yang masih berkaca-kaca.



    "Apa yang kamu maksudkan, wahai suamiku?"


    "Kita telah punya anak yang shalih, anak yang
    akan mendoakan kita nanti bila kita menghembuskan nafas. Aku melihat anak kita
    sangat baik, bertakwa, dan memiliki ilmu luas. Sungguh Allah SWT telah
    mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada yang kuduga." ucapnya
    berapi-api.



    Ini peluang yang ditunggu-tunggu Ummu Rabi'ah. Dan ia
    memberanikan diri untuk berterus terang.



    "Suamiku, manakah yang lebih engkau sayangi, uang
    tiga puluh ribu dinar atau anak kita yang kau ceritakan tadi?"



    "Demi Allah! Apalah artinya uang itu. Anak shalih
    lebih menyejukkan mataku!" jawabnya tegas.



    "Suamiku, sebenarnya yang kau tinggalkan dulu
    telah habis kugunakan untuk membiayai anak kita belajar.."



    Ditatapnya sang suami dengan sinar mata menunggu.
    Tatapan siap menerima akibat seburuk sekalipun.



    "Demi Allah, engkau sungguh wanita yang bijak,
    duhai isteriku. Engkau seorang ibu sejati. Tidak salah aku memilihmu..."
    Dengan mesra digenggamnya jemari sang isteri seolah ingin memberi tekanan
    kesungguhan perkataannya.
    Matahari Madinah pun tersenyum menyaksikan dua insan bahagia itu. Sinarnya
    terasa lebih cerah menerpa bumi.

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 12:23 pm