Peniup Seruling
Ratna Indraswari Ibrahim
AKU sudah
merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari tempat
yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, "Kami tetap berdiri
di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan
dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur
adalah orang-orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir
(pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai
pendamping anak-anak pelacur."
APA pun kata
Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu.
Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang
bisa membawa anak- anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena
itu, aku menerima tawaran Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk
bekerja sebagai pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang
terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, "Tujuan
pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak."
"Mas,
anak-anak dari pelacur-pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari lingkaran
setan, ibu-ibu mereka, menjadi anak baik-baik! Seharusnya, itu kerja maksimal
kita."
Mas Obet cuma
tertawa dan bilang, "Mbak Gita, sebaiknya segera observasi, dengan dua
orang teman lain, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan."
Aku merasa
hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan sekian puluh anak
dari kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai dengan observasiku, yang
diterima oleh ibu-ibu pelacur ini dengan tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu
juga dengan seorang perempuan, Tini, namanya, yang sedikit mau bicara denganku.
"Mbak tahu, hidup ini harus jalan terus. Siapa sih yang tidak ingin
membesarkan anak, bukan di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat
ini. Ketika baru sehari di sini, orang-orang di sini sudah bilang, ’Para
pelacur berutang transportasi sampai ke sini, baju, make up dan lain-lainnya’.
Aku betul-betul perawan ketika laki-laki yang tidak kukenal itu
meniduriku."
"Mengapa
Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan bohong, bilang kepada
Mbak, akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran."
Tini tertawa
lebar. "Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di sini, sudah
hampir sepuluh tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak perempuanku yang
terkecil pincang, dia tidak bisa jadi pelacur karena cacat. Apa ada tempat
yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini bisa sekolah, dan tidak
membebani kami."
"Lantas,
bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang cantik, apa kamu tidak
berpikir untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang kepadaku, ingin menjadi guru SD
seperti gurunya."
Tini
tersenyum, "Ah, anak-anak tidak mengerti susahnya orangtua, terlampau jauh
kalau jadi guru, paling-paling tujuh tahun lagi, dia akan jadi pelacur di
tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit, mencuri make up dan
lipstikku."
Aku terkejut,
sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku tidak pernah
membayangkan hal seperti ini. Papaku seorang psikiater dan Mama seorang akuntan
yang hebat. Namun, aku dan adikku hidup dengan norma yang diberikan oleh eyang.
(Eyang putri serumah dengan kami sampai beliau meninggal tiga bulan yang
lampau). Yah, sepanjang waktu, aku hidup bersama eyang, berkasih sayang,
bertengkar, sebel, cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah
bayang-bayang di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah,
tidak sempat berbicara panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu Mas
Obet di kampus, aku tidak pernah bayangkan kehidupan pelacur lebih dari yang
diceritakan eyang. "Pelacur adalah perempuan yang menjual diri karena
malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan ekonomi."
AKU tidak bisa
mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini yang punya kiwir (yaitu
pelindungnya, suami, makelar) yang mengantarnya ke tempat orang-orang yang
membeli, kemudian mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain,
pelacur atau tempatnya ibu-ibu dari anak-anak pelacur itu, tidak semuanya suka
aku ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, "Saya mau bicara
dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu-tamu yang lain.
Atau saya bisa meladeni sesama perempuan kok, ha-ha-ha...."
Aku merasa
terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting bagaimana
anak-anak pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang, "Jadilah
pendengar yang baik."
Dan aku
membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita yang pada awalnya
tidak diminati oleh anak-anak. Kebanyakan mereka lebih suka main game dengan PC
yang disewa di seputar kompleks ini.
Rasanya memang
aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk kamar dengan seseorang yang
bukan bapaknya, mereka biasa-biasa saja. Bahkan anak-anak itu sudah bisa bicara
dengan kata-kata tentang seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks
ini, mereka anak-anak biasa, ada yang lucu, malas, pintar, jahat, dan baik
hati. Yah, seperti pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada
tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur seperti
orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun di daerah ini,
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pihak sekolah sudah mengupayakan, agar mereka
tidak menjadi pelacur, setidak-tidaknya pada usia muda. Kita tidak bisa
melihatnya secara romantis. Misalnya para pelacur di sini diberi keterampilan
menjahit, dan akhirnya menjadi penjahit profesional. Tentu saja ada satu, dua,
dari sekian ratus pelacur yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir
sebagian besar terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan
kematian. Aku melihat, ada tiga generasi yang sudah menjadi pelacur di tempat
ini. Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal, generasi ketiga adalah
Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh anaknya."
KALA pulang,
di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si peniup seruling, yang
akan membawa anak-anak keluar dari kompleks ini. Padahal, Mama barusan meneleponku
dan bilang, "Gita, maaf aku tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat,
kamu diterima di perusahaan multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu
secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan booking-kan tiket pesawat
buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang pernah kita impikan
bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia. Sebaiknya, kau bilang pada Mas
Obet untuk memutuskan hubungan kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang
pengacara. Yah, Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju,
karena kau akan berkantor di sebuah apartemen yang megah, di mana ada banyak
perempuan cantik berseliweran. Di antara mereka, ada engkau putri kami."
Mama yang
pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa rikuh. Lantas, sampai
siang ini, aku tidak menata koper untuk pulang ke Malang, atau menelepon Mas
Obet, untuk menceritakan aku akan menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih
atas kesempatannya. Entahlah, berat buatku untuk meninggalkan Diti, Sini, dan
ibunya, Tini. Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak-anak Tini, aku
sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan yang baru
berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun keadaannya). Aku
berharap tetap bisa keluar dari tempat ini dengan sekian anak, walaupun menurut
beberapa orang, impianku tidak masuk akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan
anak-anak di tempat pelacuran ini dilarang bermimpi, menjadi orang baik-baik!
Kalau mereka besar, menjadi orangtua baik-baik, tanpa dicemoohkan, kalau mereka
berada di pasar, di kampungnya, di tempat-tempat ibadah. Sebab, aku tahu
perempuan-perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya suka mengambil hati
Tini, dengan memuji kecantikannya yang masih awet, tapi selepas dari mata Tini,
penjaja itu akan berkata dan bergurau jorok dengan temannya, tentang Tini.
"Semalam, Tini mendapat kakap mungkin, kok belanjanya boros. Semalam, baru
dapat teri mungkin kok belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus dimintanya
kembali."
Aku tidak
senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan-ucapan seperti itu sejak awal
kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar. Mereka sering mengucapkan
kata-kata jorok, yang berbau seks. Bahkan pelacur-pelacur itu maupun orang yang
di kompleks ini terbiasa bergurau dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya
di depanku. Tini tidak pernah mengucapkan kata-kata jorok itu, yah sekalipun
penampilannya sama dengan pelacur-pelacur lain. Semakin jauh aku kenal Tini,
aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti kebanyakan ibu yang
ada di seluruh negeri ini. Tini akan membelikan makanan yang sekiranya bisa
membangkitkan selera makan anaknya di saat sakit.
AKU semakin
akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain teater, menggambar,
bernyanyi. Dan mas Obet bilang, "Itu sudah keberhasilan kita, melihat
anak-anak di kompleks ini masih bisa menikmati masa anak-anaknya."
Aku tidak
paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering bercerita kepada
akan-anak di kompleks ini, tentang sebuah tempat yang indah, lebih indah dari
tempat ini. Sering aku bilang kepada mereka, kehidupan tidak harus di tempat
ini. "Kita seharusnya berada di tempat lain, kalau sudah besar."
Ada satu hal
yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet, bahwa aku mengajari
anak-anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal yang sangat tidak disukai oleh
mereka, seolah aku sudah melempar pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang
mendengar ucapan mereka, aku cuma kepingin anak-anak bermain dan tidak
berperilaku seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka sudah besar. Mas
Obet sekali lagi bilang kepadaku, "Mbak Gita, jangan romantis, target kita
bukan memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang baik. Tapi
mencegah mereka agar tidak menjadi pelacur anak-anak. Kata ibu-ibu, sejak kehadiran
Mbak Gita, anak-anak suka tidak percaya pada omongan orangtuanya. Mereka mulai
bermimpi untuk tidak menjadi seperti orangtuanya. Beberapa orang bilang, mereka
akan menjadi orang baik-baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita sudah
terlampau jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan
ini, kita akan diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini tidak akan
mengenakkan kita semua kan."
Aku merasa
tidak paham lagi dengan Obet dan kawan-kawannya. Aku tidak paham, bagaimana dia
menggarisbawahi pekerjaannya, hanya sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak
mencegah ketika ada satu, dua, anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur.
Obet berkata, "Kita cuma bisa mencegah, kalau, mereka sudah jadi pelacur,
ada banyak masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita harus siap dipukul
kalau terlampau dekat dengan ikatan itu."
Diam-diam aku
tidak sepakat, dan diam-diam aku cuma menganggap suatu hari kelak, aku akan
membawa anak-anak keluar dari tempat ini. Namun, satu per satu mereka tidak
muncul untuk bermain, menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang,
ibu-ibu mereka melarang untuk belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang
kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya mencari uang.
"Kalau
Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang dan akan sulit laku
sebagai pelacur."
Aku merasa ada
kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang, anak-anak bimbinganku,
semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku mengerti ketika Obet berkata,
"Mbak Gita harus menghentikan proyek itu sampai di sini. Saya bisa bantu
Mbak Gita kalau ingin bekerja di tempat bimbingan lain, misalnya bimbingan
petani."
Malam itu, aku
merasa diusir. Ketika aku harus betul-betul keluar dari pekerjaan ini, aku
mencoba membicarakan hal itu pada Tini. "Yah, hidup kami memang sudah
terbelit oleh utang, sampai hari ini utang saya terhadap orang-orang itu
semakin banyak. Tak mungkin semudah itu keluar dari tempat ini, seandainya saya
mau. Mereka akan menghalang-halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak bisa
dengan kekerasan, mereka akan mengguna-gunai saya, sampai saya sakit dan mati.
Kalau utang saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini
mungkin yang akan menggantikan saya," katanya sambil menyedot rokoknya.
"Diti
memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi pelacur. Oleh karena
itu, apakah Mbak bisa menolong mencarikan penitipan anak cacat yang tidak
membayar."
Aku mungkin
cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini! Ketika aku keluar dari
kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak-anak binaanku ikut menangis, kala
melihatku, menangis!
Di Jakarta,
aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang megah itu (di daerah
Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar, aku sebaiknya berada di sini saja,
di antara perempuan yang terhormat, berbau wangi, berbaju seragam cantik!***
Malang,
2005
Sumber:
Kompas, Edisi 03/13/2005
Ratna Indraswari Ibrahim
AKU sudah
merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari tempat
yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, "Kami tetap berdiri
di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan
dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur
adalah orang-orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir
(pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai
pendamping anak-anak pelacur."
APA pun kata
Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu.
Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang
bisa membawa anak- anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena
itu, aku menerima tawaran Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk
bekerja sebagai pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang
terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, "Tujuan
pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak."
"Mas,
anak-anak dari pelacur-pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari lingkaran
setan, ibu-ibu mereka, menjadi anak baik-baik! Seharusnya, itu kerja maksimal
kita."
Mas Obet cuma
tertawa dan bilang, "Mbak Gita, sebaiknya segera observasi, dengan dua
orang teman lain, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan."
Aku merasa
hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan sekian puluh anak
dari kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai dengan observasiku, yang
diterima oleh ibu-ibu pelacur ini dengan tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu
juga dengan seorang perempuan, Tini, namanya, yang sedikit mau bicara denganku.
"Mbak tahu, hidup ini harus jalan terus. Siapa sih yang tidak ingin
membesarkan anak, bukan di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat
ini. Ketika baru sehari di sini, orang-orang di sini sudah bilang, ’Para
pelacur berutang transportasi sampai ke sini, baju, make up dan lain-lainnya’.
Aku betul-betul perawan ketika laki-laki yang tidak kukenal itu
meniduriku."
"Mengapa
Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan bohong, bilang kepada
Mbak, akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran."
Tini tertawa
lebar. "Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di sini, sudah
hampir sepuluh tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak perempuanku yang
terkecil pincang, dia tidak bisa jadi pelacur karena cacat. Apa ada tempat
yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini bisa sekolah, dan tidak
membebani kami."
"Lantas,
bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang cantik, apa kamu tidak
berpikir untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang kepadaku, ingin menjadi guru SD
seperti gurunya."
Tini
tersenyum, "Ah, anak-anak tidak mengerti susahnya orangtua, terlampau jauh
kalau jadi guru, paling-paling tujuh tahun lagi, dia akan jadi pelacur di
tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit, mencuri make up dan
lipstikku."
Aku terkejut,
sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku tidak pernah
membayangkan hal seperti ini. Papaku seorang psikiater dan Mama seorang akuntan
yang hebat. Namun, aku dan adikku hidup dengan norma yang diberikan oleh eyang.
(Eyang putri serumah dengan kami sampai beliau meninggal tiga bulan yang
lampau). Yah, sepanjang waktu, aku hidup bersama eyang, berkasih sayang,
bertengkar, sebel, cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah
bayang-bayang di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah,
tidak sempat berbicara panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu Mas
Obet di kampus, aku tidak pernah bayangkan kehidupan pelacur lebih dari yang
diceritakan eyang. "Pelacur adalah perempuan yang menjual diri karena
malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan ekonomi."
AKU tidak bisa
mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini yang punya kiwir (yaitu
pelindungnya, suami, makelar) yang mengantarnya ke tempat orang-orang yang
membeli, kemudian mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain,
pelacur atau tempatnya ibu-ibu dari anak-anak pelacur itu, tidak semuanya suka
aku ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, "Saya mau bicara
dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu-tamu yang lain.
Atau saya bisa meladeni sesama perempuan kok, ha-ha-ha...."
Aku merasa
terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting bagaimana
anak-anak pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang, "Jadilah
pendengar yang baik."
Dan aku
membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita yang pada awalnya
tidak diminati oleh anak-anak. Kebanyakan mereka lebih suka main game dengan PC
yang disewa di seputar kompleks ini.
Rasanya memang
aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk kamar dengan seseorang yang
bukan bapaknya, mereka biasa-biasa saja. Bahkan anak-anak itu sudah bisa bicara
dengan kata-kata tentang seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks
ini, mereka anak-anak biasa, ada yang lucu, malas, pintar, jahat, dan baik
hati. Yah, seperti pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada
tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur seperti
orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun di daerah ini,
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pihak sekolah sudah mengupayakan, agar mereka
tidak menjadi pelacur, setidak-tidaknya pada usia muda. Kita tidak bisa
melihatnya secara romantis. Misalnya para pelacur di sini diberi keterampilan
menjahit, dan akhirnya menjadi penjahit profesional. Tentu saja ada satu, dua,
dari sekian ratus pelacur yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir
sebagian besar terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan
kematian. Aku melihat, ada tiga generasi yang sudah menjadi pelacur di tempat
ini. Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal, generasi ketiga adalah
Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh anaknya."
KALA pulang,
di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si peniup seruling, yang
akan membawa anak-anak keluar dari kompleks ini. Padahal, Mama barusan meneleponku
dan bilang, "Gita, maaf aku tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat,
kamu diterima di perusahaan multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu
secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan booking-kan tiket pesawat
buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang pernah kita impikan
bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia. Sebaiknya, kau bilang pada Mas
Obet untuk memutuskan hubungan kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang
pengacara. Yah, Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju,
karena kau akan berkantor di sebuah apartemen yang megah, di mana ada banyak
perempuan cantik berseliweran. Di antara mereka, ada engkau putri kami."
Mama yang
pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa rikuh. Lantas, sampai
siang ini, aku tidak menata koper untuk pulang ke Malang, atau menelepon Mas
Obet, untuk menceritakan aku akan menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih
atas kesempatannya. Entahlah, berat buatku untuk meninggalkan Diti, Sini, dan
ibunya, Tini. Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak-anak Tini, aku
sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan yang baru
berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun keadaannya). Aku
berharap tetap bisa keluar dari tempat ini dengan sekian anak, walaupun menurut
beberapa orang, impianku tidak masuk akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan
anak-anak di tempat pelacuran ini dilarang bermimpi, menjadi orang baik-baik!
Kalau mereka besar, menjadi orangtua baik-baik, tanpa dicemoohkan, kalau mereka
berada di pasar, di kampungnya, di tempat-tempat ibadah. Sebab, aku tahu
perempuan-perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya suka mengambil hati
Tini, dengan memuji kecantikannya yang masih awet, tapi selepas dari mata Tini,
penjaja itu akan berkata dan bergurau jorok dengan temannya, tentang Tini.
"Semalam, Tini mendapat kakap mungkin, kok belanjanya boros. Semalam, baru
dapat teri mungkin kok belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus dimintanya
kembali."
Aku tidak
senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan-ucapan seperti itu sejak awal
kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar. Mereka sering mengucapkan
kata-kata jorok, yang berbau seks. Bahkan pelacur-pelacur itu maupun orang yang
di kompleks ini terbiasa bergurau dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya
di depanku. Tini tidak pernah mengucapkan kata-kata jorok itu, yah sekalipun
penampilannya sama dengan pelacur-pelacur lain. Semakin jauh aku kenal Tini,
aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti kebanyakan ibu yang
ada di seluruh negeri ini. Tini akan membelikan makanan yang sekiranya bisa
membangkitkan selera makan anaknya di saat sakit.
AKU semakin
akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain teater, menggambar,
bernyanyi. Dan mas Obet bilang, "Itu sudah keberhasilan kita, melihat
anak-anak di kompleks ini masih bisa menikmati masa anak-anaknya."
Aku tidak
paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering bercerita kepada
akan-anak di kompleks ini, tentang sebuah tempat yang indah, lebih indah dari
tempat ini. Sering aku bilang kepada mereka, kehidupan tidak harus di tempat
ini. "Kita seharusnya berada di tempat lain, kalau sudah besar."
Ada satu hal
yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet, bahwa aku mengajari
anak-anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal yang sangat tidak disukai oleh
mereka, seolah aku sudah melempar pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang
mendengar ucapan mereka, aku cuma kepingin anak-anak bermain dan tidak
berperilaku seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka sudah besar. Mas
Obet sekali lagi bilang kepadaku, "Mbak Gita, jangan romantis, target kita
bukan memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang baik. Tapi
mencegah mereka agar tidak menjadi pelacur anak-anak. Kata ibu-ibu, sejak kehadiran
Mbak Gita, anak-anak suka tidak percaya pada omongan orangtuanya. Mereka mulai
bermimpi untuk tidak menjadi seperti orangtuanya. Beberapa orang bilang, mereka
akan menjadi orang baik-baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita sudah
terlampau jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan
ini, kita akan diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini tidak akan
mengenakkan kita semua kan."
Aku merasa
tidak paham lagi dengan Obet dan kawan-kawannya. Aku tidak paham, bagaimana dia
menggarisbawahi pekerjaannya, hanya sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak
mencegah ketika ada satu, dua, anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur.
Obet berkata, "Kita cuma bisa mencegah, kalau, mereka sudah jadi pelacur,
ada banyak masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita harus siap dipukul
kalau terlampau dekat dengan ikatan itu."
Diam-diam aku
tidak sepakat, dan diam-diam aku cuma menganggap suatu hari kelak, aku akan
membawa anak-anak keluar dari tempat ini. Namun, satu per satu mereka tidak
muncul untuk bermain, menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang,
ibu-ibu mereka melarang untuk belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang
kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya mencari uang.
"Kalau
Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang dan akan sulit laku
sebagai pelacur."
Aku merasa ada
kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang, anak-anak bimbinganku,
semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku mengerti ketika Obet berkata,
"Mbak Gita harus menghentikan proyek itu sampai di sini. Saya bisa bantu
Mbak Gita kalau ingin bekerja di tempat bimbingan lain, misalnya bimbingan
petani."
Malam itu, aku
merasa diusir. Ketika aku harus betul-betul keluar dari pekerjaan ini, aku
mencoba membicarakan hal itu pada Tini. "Yah, hidup kami memang sudah
terbelit oleh utang, sampai hari ini utang saya terhadap orang-orang itu
semakin banyak. Tak mungkin semudah itu keluar dari tempat ini, seandainya saya
mau. Mereka akan menghalang-halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak bisa
dengan kekerasan, mereka akan mengguna-gunai saya, sampai saya sakit dan mati.
Kalau utang saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini
mungkin yang akan menggantikan saya," katanya sambil menyedot rokoknya.
"Diti
memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi pelacur. Oleh karena
itu, apakah Mbak bisa menolong mencarikan penitipan anak cacat yang tidak
membayar."
Aku mungkin
cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini! Ketika aku keluar dari
kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak-anak binaanku ikut menangis, kala
melihatku, menangis!
Di Jakarta,
aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang megah itu (di daerah
Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar, aku sebaiknya berada di sini saja,
di antara perempuan yang terhormat, berbau wangi, berbaju seragam cantik!***
Malang,
2005
Sumber:
Kompas, Edisi 03/13/2005
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as