Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    peniup seruling

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    peniup seruling Empty peniup seruling

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:19 pm

    Peniup Seruling


    Ratna Indraswari Ibrahim





    AKU sudah
    merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari tempat
    yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, "Kami tetap berdiri
    di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan
    dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur
    adalah orang-orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir
    (pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai
    pendamping anak-anak pelacur."



    APA pun kata
    Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu.
    Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang
    bisa membawa anak- anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena
    itu, aku menerima tawaran Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk
    bekerja sebagai pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang
    terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, "Tujuan
    pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak."



    "Mas,
    anak-anak dari pelacur-pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari lingkaran
    setan, ibu-ibu mereka, menjadi anak baik-baik! Seharusnya, itu kerja maksimal
    kita."



    Mas Obet cuma
    tertawa dan bilang, "Mbak Gita, sebaiknya segera observasi, dengan dua
    orang teman lain, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan."



    Aku merasa
    hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan sekian puluh anak
    dari kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai dengan observasiku, yang
    diterima oleh ibu-ibu pelacur ini dengan tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu
    juga dengan seorang perempuan, Tini, namanya, yang sedikit mau bicara denganku.
    "Mbak tahu, hidup ini harus jalan terus. Siapa sih yang tidak ingin
    membesarkan anak, bukan di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat
    ini. Ketika baru sehari di sini, orang-orang di sini sudah bilang, ’Para
    pelacur berutang transportasi sampai ke sini, baju, make up dan lain-lainnya’.
    Aku betul-betul perawan ketika laki-laki yang tidak kukenal itu
    meniduriku."



    "Mengapa
    Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan bohong, bilang kepada
    Mbak, akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran."



    Tini tertawa
    lebar. "Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di sini, sudah
    hampir sepuluh tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak perempuanku yang
    terkecil pincang, dia tidak bisa jadi pelacur karena cacat. Apa ada tempat
    yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini bisa sekolah, dan tidak
    membebani kami."



    "Lantas,
    bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang cantik, apa kamu tidak
    berpikir untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang kepadaku, ingin menjadi guru SD
    seperti gurunya."



    Tini
    tersenyum, "Ah, anak-anak tidak mengerti susahnya orangtua, terlampau jauh
    kalau jadi guru, paling-paling tujuh tahun lagi, dia akan jadi pelacur di
    tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit, mencuri make up dan
    lipstikku."



    Aku terkejut,
    sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku tidak pernah
    membayangkan hal seperti ini. Papaku seorang psikiater dan Mama seorang akuntan
    yang hebat. Namun, aku dan adikku hidup dengan norma yang diberikan oleh eyang.
    (Eyang putri serumah dengan kami sampai beliau meninggal tiga bulan yang
    lampau). Yah, sepanjang waktu, aku hidup bersama eyang, berkasih sayang,
    bertengkar, sebel, cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah
    bayang-bayang di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah,
    tidak sempat berbicara panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu Mas
    Obet di kampus, aku tidak pernah bayangkan kehidupan pelacur lebih dari yang
    diceritakan eyang. "Pelacur adalah perempuan yang menjual diri karena
    malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan ekonomi."



    AKU tidak bisa
    mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini yang punya kiwir (yaitu
    pelindungnya, suami, makelar) yang mengantarnya ke tempat orang-orang yang
    membeli, kemudian mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain,
    pelacur atau tempatnya ibu-ibu dari anak-anak pelacur itu, tidak semuanya suka
    aku ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, "Saya mau bicara
    dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu-tamu yang lain.
    Atau saya bisa meladeni sesama perempuan kok, ha-ha-ha...."



    Aku merasa
    terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting bagaimana
    anak-anak pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang, "Jadilah
    pendengar yang baik."



    Dan aku
    membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita yang pada awalnya
    tidak diminati oleh anak-anak. Kebanyakan mereka lebih suka main game dengan PC
    yang disewa di seputar kompleks ini.



    Rasanya memang
    aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk kamar dengan seseorang yang
    bukan bapaknya, mereka biasa-biasa saja. Bahkan anak-anak itu sudah bisa bicara
    dengan kata-kata tentang seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks
    ini, mereka anak-anak biasa, ada yang lucu, malas, pintar, jahat, dan baik
    hati. Yah, seperti pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada
    tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur seperti
    orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun di daerah ini,
    menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pihak sekolah sudah mengupayakan, agar mereka
    tidak menjadi pelacur, setidak-tidaknya pada usia muda. Kita tidak bisa
    melihatnya secara romantis. Misalnya para pelacur di sini diberi keterampilan
    menjahit, dan akhirnya menjadi penjahit profesional. Tentu saja ada satu, dua,
    dari sekian ratus pelacur yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir
    sebagian besar terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan
    kematian. Aku melihat, ada tiga generasi yang sudah menjadi pelacur di tempat
    ini. Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal, generasi ketiga adalah
    Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh anaknya."



    KALA pulang,
    di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si peniup seruling, yang
    akan membawa anak-anak keluar dari kompleks ini. Padahal, Mama barusan meneleponku
    dan bilang, "Gita, maaf aku tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat,
    kamu diterima di perusahaan multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu
    secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan booking-kan tiket pesawat
    buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang pernah kita impikan
    bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia. Sebaiknya, kau bilang pada Mas
    Obet untuk memutuskan hubungan kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang
    pengacara. Yah, Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju,
    karena kau akan berkantor di sebuah apartemen yang megah, di mana ada banyak
    perempuan cantik berseliweran. Di antara mereka, ada engkau putri kami."



    Mama yang
    pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa rikuh. Lantas, sampai
    siang ini, aku tidak menata koper untuk pulang ke Malang, atau menelepon Mas
    Obet, untuk menceritakan aku akan menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih
    atas kesempatannya. Entahlah, berat buatku untuk meninggalkan Diti, Sini, dan
    ibunya, Tini. Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak-anak Tini, aku
    sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan yang baru
    berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun keadaannya). Aku
    berharap tetap bisa keluar dari tempat ini dengan sekian anak, walaupun menurut
    beberapa orang, impianku tidak masuk akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan
    anak-anak di tempat pelacuran ini dilarang bermimpi, menjadi orang baik-baik!
    Kalau mereka besar, menjadi orangtua baik-baik, tanpa dicemoohkan, kalau mereka
    berada di pasar, di kampungnya, di tempat-tempat ibadah. Sebab, aku tahu
    perempuan-perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya suka mengambil hati
    Tini, dengan memuji kecantikannya yang masih awet, tapi selepas dari mata Tini,
    penjaja itu akan berkata dan bergurau jorok dengan temannya, tentang Tini.
    "Semalam, Tini mendapat kakap mungkin, kok belanjanya boros. Semalam, baru
    dapat teri mungkin kok belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus dimintanya
    kembali."



    Aku tidak
    senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan-ucapan seperti itu sejak awal
    kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar. Mereka sering mengucapkan
    kata-kata jorok, yang berbau seks. Bahkan pelacur-pelacur itu maupun orang yang
    di kompleks ini terbiasa bergurau dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya
    di depanku. Tini tidak pernah mengucapkan kata-kata jorok itu, yah sekalipun
    penampilannya sama dengan pelacur-pelacur lain. Semakin jauh aku kenal Tini,
    aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti kebanyakan ibu yang
    ada di seluruh negeri ini. Tini akan membelikan makanan yang sekiranya bisa
    membangkitkan selera makan anaknya di saat sakit.



    AKU semakin
    akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain teater, menggambar,
    bernyanyi. Dan mas Obet bilang, "Itu sudah keberhasilan kita, melihat
    anak-anak di kompleks ini masih bisa menikmati masa anak-anaknya."



    Aku tidak
    paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering bercerita kepada
    akan-anak di kompleks ini, tentang sebuah tempat yang indah, lebih indah dari
    tempat ini. Sering aku bilang kepada mereka, kehidupan tidak harus di tempat
    ini. "Kita seharusnya berada di tempat lain, kalau sudah besar."



    Ada satu hal
    yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet, bahwa aku mengajari
    anak-anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal yang sangat tidak disukai oleh
    mereka, seolah aku sudah melempar pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang
    mendengar ucapan mereka, aku cuma kepingin anak-anak bermain dan tidak
    berperilaku seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka sudah besar. Mas
    Obet sekali lagi bilang kepadaku, "Mbak Gita, jangan romantis, target kita
    bukan memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang baik. Tapi
    mencegah mereka agar tidak menjadi pelacur anak-anak. Kata ibu-ibu, sejak kehadiran
    Mbak Gita, anak-anak suka tidak percaya pada omongan orangtuanya. Mereka mulai
    bermimpi untuk tidak menjadi seperti orangtuanya. Beberapa orang bilang, mereka
    akan menjadi orang baik-baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita sudah
    terlampau jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan
    ini, kita akan diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini tidak akan
    mengenakkan kita semua kan."



    Aku merasa
    tidak paham lagi dengan Obet dan kawan-kawannya. Aku tidak paham, bagaimana dia
    menggarisbawahi pekerjaannya, hanya sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak
    mencegah ketika ada satu, dua, anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur.
    Obet berkata, "Kita cuma bisa mencegah, kalau, mereka sudah jadi pelacur,
    ada banyak masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita harus siap dipukul
    kalau terlampau dekat dengan ikatan itu."



    Diam-diam aku
    tidak sepakat, dan diam-diam aku cuma menganggap suatu hari kelak, aku akan
    membawa anak-anak keluar dari tempat ini. Namun, satu per satu mereka tidak
    muncul untuk bermain, menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang,
    ibu-ibu mereka melarang untuk belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang
    kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya mencari uang.



    "Kalau
    Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang dan akan sulit laku
    sebagai pelacur."



    Aku merasa ada
    kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang, anak-anak bimbinganku,
    semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku mengerti ketika Obet berkata,
    "Mbak Gita harus menghentikan proyek itu sampai di sini. Saya bisa bantu
    Mbak Gita kalau ingin bekerja di tempat bimbingan lain, misalnya bimbingan
    petani."



    Malam itu, aku
    merasa diusir. Ketika aku harus betul-betul keluar dari pekerjaan ini, aku
    mencoba membicarakan hal itu pada Tini. "Yah, hidup kami memang sudah
    terbelit oleh utang, sampai hari ini utang saya terhadap orang-orang itu
    semakin banyak. Tak mungkin semudah itu keluar dari tempat ini, seandainya saya
    mau. Mereka akan menghalang-halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak bisa
    dengan kekerasan, mereka akan mengguna-gunai saya, sampai saya sakit dan mati.
    Kalau utang saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini
    mungkin yang akan menggantikan saya," katanya sambil menyedot rokoknya.



    "Diti
    memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi pelacur. Oleh karena
    itu, apakah Mbak bisa menolong mencarikan penitipan anak cacat yang tidak
    membayar."



    Aku mungkin
    cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini! Ketika aku keluar dari
    kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak-anak binaanku ikut menangis, kala
    melihatku, menangis!



    Di Jakarta,
    aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang megah itu (di daerah
    Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar, aku sebaiknya berada di sini saja,
    di antara perempuan yang terhormat, berbau wangi, berbaju seragam cantik!***






    Malang,
    2005



    Sumber:
    Kompas, Edisi 03/13/2005

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 9:12 am