Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    anugerah terindah

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    anugerah terindah Empty anugerah terindah

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:23 am

    Anugerah Terindah


    Fitri





    Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia
    mengenakan kemeja putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman
    kanak-kanak di dada kiri. Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya
    tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.



    Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan
    hasil origaminya pada wanita yang mungkin ibunya. Seekor burung yang sedikit
    kusut dan penyok. Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.



    Lihat ibu keretaku yang baru cukup besar untuk ayah
    dan ibu roda tiga buatanku sendiri dari kulit buah jeruk bali...'



    Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak
    sumbang tapi penuh semangat. Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali
    asyik memberondong ibunya dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti mengunyah
    donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah. Ibunya menyahut
    sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak peduli, sementara tangannya
    mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk menghalau panas.



    Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas
    dan kemacetan jalan membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di
    kakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan
    dapur. Tak heran ia kelihatan sangat letih, mengantuk dan tak begitu
    bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.



    Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku
    dari anak itu. Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana
    kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku akan semua
    itu. Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi
    mau tak mau Khalid singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku.



    Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung
    Khalid, bidan selalu mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu
    aku dan suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid tidak
    normal. Ia lahir dengan Down syndrome.



    Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh
    dokter hanya beberapa menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh
    seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang
    mampu mengurus dirinya sendiri.



    Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada
    jantungnya yang harus diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan
    tonsil. Hal yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.



    Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup
    berat hingga aku harus dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan
    hingga bahkan tak bisa menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan wanita
    pakar penanganan anak Down syndrome. Wanita itu memberikan buku-buku dan brosur
    kepada kami.



    Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku
    tertekan. Sejak dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu
    berdoa dan bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan
    kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan shalat
    agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa tafakur alam ke
    tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.



    Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya
    yang yatim dan papa agar hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku
    seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah,
    demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin
    Walid.



    Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf
    dalam lembaran mushaf Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan
    peci mungilnya dan jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang
    berbunga dan berenda



    Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang
    bening melantunkan ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar.



    Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati
    Khalid tak mungkin mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam
    memohon kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah
    kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid.



    Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah
    amanat-Nya, bukan hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku
    berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak lain? Aku
    hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta, karena ia dititipkan
    Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut dari sisiku. Bukan tugasku
    menilai apakah Khalid layak jadi anakku atau tidak. Setelah itu aku kembali
    menemukan ketenangan.



    Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat
    menyakitkan. Tiap kubawa Khalid ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi
    seumur Khalid, aku kembali terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau
    untuk diriku sendiri.



    Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai
    tertawa dan mengeluarkan suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang
    kosong ke depan.



    Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang
    otaknya dengan mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru
    menunjukkan reaksi saat usianya hampir delapan bulan.



    Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun.
    Bicaranya tak pernah selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas.
    Ia tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun.
    Ia harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan
    terakhir ini.



    Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya
    buang air di kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama
    delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.



    Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin.
    Khalid hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal
    bacaannya.



    Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami
    dan mulai dari awal sekali. Mengakrabkan Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu
    yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Khalid.



    'Di belakang rumah ada pohon jambuu...' suara lantang
    bocah berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang
    kocak. Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri. Iri pada ibu
    yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang dimilikinya. Ada kegeraman dan
    rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.



    Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak
    tahu apakah harus menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari
    angkot.



    Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat
    burung-burungan kertas itu gepeng. Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku
    kabur oleh air mata. Khalid tak bisa melukis dengan krayon atau membuat
    origami. Koordinasi tangannya lemah sekali.



    Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu
    kuremas menjadi gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan
    suara tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun, walaupun
    rumahku masih jauh.



    Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas
    dalam-dalam dan mengeringkan air mata. Saat aku menengadah mataku tertambat
    pada papan putih di seberang jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah
    teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua rakaat. Air
    mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman...
    Anisykurlillahi....



    Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang
    sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai.
    Lalu satu- satu fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan
    gambaran muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan kecil yang
    mengimbangi dan melengkapi hidupnya.



    Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan
    menghafal lirik, tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan
    musik adalah keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu
    ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan jika dimarahi,
    cepat kembali ceria.



    Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat
    tahun lalu. Kami sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya.
    Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati Khalid
    duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona yang tak
    terlukiskan.



    Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima
    abangnya tanpa syarat. Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur
    di hatiku dan ayah mereka. Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan
    kegigihan ekstra dibandingkan mengasuh anak biasa. Tapi Khalid memang bukan
    anak biasa.



    Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa
    pamrih yang hakiki. Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif;
    tercantik, terpandai, tergesit, anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak
    mungkin menjadi teknolog, ekonom atau da'i tersohor.



    Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya?
    Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh
    dan sepele orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan
    ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan
    terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi, mungkin pada
    Fatimah.



    Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya.
    Kami hanya mencintainya. Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan
    riang menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara
    abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.



    'Ibu bawa apa, bawa apa?' tanya Fatimah. Ia memekik
    ketika kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid
    tersenyum. Matanya yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah kesukaannya.



    Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah
    berpesan pada pembantu untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak.
    Saat aku keluar, mereka tidak berada di meja makan.



    Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang.
    Di depan kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa melihat
    abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat jeruji bambu. 'Ayo
    kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!' teriak Fatimah. Satu demi
    satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar potongan mangga dari
    tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih. Sudah lama aku mengamati
    keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme
    anak seusianya. Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan suamiku,
    pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak
    bertanggung jawab.



    Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira
    mengurus semua itu, walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami.
    Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucing liar yang sering diberinya
    makan atau anak-anak tetangga yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan
    buahnya tanpa menuntut balasan apapun.



    Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa.
    Khalid mungkin tak bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh
    kasih sayang. Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya.

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 8:21 am