Anugerah Terindah
Fitri
Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia
mengenakan kemeja putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman
kanak-kanak di dada kiri. Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya
tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.
Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan
hasil origaminya pada wanita yang mungkin ibunya. Seekor burung yang sedikit
kusut dan penyok. Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.
Lihat ibu keretaku yang baru cukup besar untuk ayah
dan ibu roda tiga buatanku sendiri dari kulit buah jeruk bali...'
Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak
sumbang tapi penuh semangat. Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali
asyik memberondong ibunya dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti mengunyah
donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah. Ibunya menyahut
sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak peduli, sementara tangannya
mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk menghalau panas.
Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas
dan kemacetan jalan membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di
kakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan
dapur. Tak heran ia kelihatan sangat letih, mengantuk dan tak begitu
bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.
Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku
dari anak itu. Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana
kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku akan semua
itu. Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi
mau tak mau Khalid singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku.
Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung
Khalid, bidan selalu mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu
aku dan suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid tidak
normal. Ia lahir dengan Down syndrome.
Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh
dokter hanya beberapa menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh
seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang
mampu mengurus dirinya sendiri.
Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada
jantungnya yang harus diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan
tonsil. Hal yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.
Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup
berat hingga aku harus dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan
hingga bahkan tak bisa menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan wanita
pakar penanganan anak Down syndrome. Wanita itu memberikan buku-buku dan brosur
kepada kami.
Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku
tertekan. Sejak dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu
berdoa dan bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan
kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan shalat
agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa tafakur alam ke
tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.
Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya
yang yatim dan papa agar hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku
seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah,
demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin
Walid.
Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf
dalam lembaran mushaf Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan
peci mungilnya dan jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang
berbunga dan berenda
Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang
bening melantunkan ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar.
Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati
Khalid tak mungkin mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam
memohon kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah
kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid.
Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah
amanat-Nya, bukan hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku
berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak lain? Aku
hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta, karena ia dititipkan
Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut dari sisiku. Bukan tugasku
menilai apakah Khalid layak jadi anakku atau tidak. Setelah itu aku kembali
menemukan ketenangan.
Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat
menyakitkan. Tiap kubawa Khalid ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi
seumur Khalid, aku kembali terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau
untuk diriku sendiri.
Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai
tertawa dan mengeluarkan suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang
kosong ke depan.
Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang
otaknya dengan mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru
menunjukkan reaksi saat usianya hampir delapan bulan.
Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun.
Bicaranya tak pernah selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas.
Ia tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun.
Ia harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan
terakhir ini.
Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya
buang air di kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama
delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.
Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin.
Khalid hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal
bacaannya.
Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami
dan mulai dari awal sekali. Mengakrabkan Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu
yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Khalid.
'Di belakang rumah ada pohon jambuu...' suara lantang
bocah berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang
kocak. Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri. Iri pada ibu
yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang dimilikinya. Ada kegeraman dan
rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.
Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak
tahu apakah harus menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari
angkot.
Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat
burung-burungan kertas itu gepeng. Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku
kabur oleh air mata. Khalid tak bisa melukis dengan krayon atau membuat
origami. Koordinasi tangannya lemah sekali.
Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu
kuremas menjadi gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan
suara tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun, walaupun
rumahku masih jauh.
Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas
dalam-dalam dan mengeringkan air mata. Saat aku menengadah mataku tertambat
pada papan putih di seberang jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah
teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua rakaat. Air
mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman...
Anisykurlillahi....
Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang
sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai.
Lalu satu- satu fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan
gambaran muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan kecil yang
mengimbangi dan melengkapi hidupnya.
Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan
menghafal lirik, tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan
musik adalah keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu
ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan jika dimarahi,
cepat kembali ceria.
Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat
tahun lalu. Kami sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya.
Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati Khalid
duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona yang tak
terlukiskan.
Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima
abangnya tanpa syarat. Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur
di hatiku dan ayah mereka. Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan
kegigihan ekstra dibandingkan mengasuh anak biasa. Tapi Khalid memang bukan
anak biasa.
Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa
pamrih yang hakiki. Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif;
tercantik, terpandai, tergesit, anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak
mungkin menjadi teknolog, ekonom atau da'i tersohor.
Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya?
Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh
dan sepele orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan
ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan
terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi, mungkin pada
Fatimah.
Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya.
Kami hanya mencintainya. Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan
riang menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara
abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.
'Ibu bawa apa, bawa apa?' tanya Fatimah. Ia memekik
ketika kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid
tersenyum. Matanya yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah kesukaannya.
Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah
berpesan pada pembantu untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak.
Saat aku keluar, mereka tidak berada di meja makan.
Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang.
Di depan kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa melihat
abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat jeruji bambu. 'Ayo
kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!' teriak Fatimah. Satu demi
satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar potongan mangga dari
tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih. Sudah lama aku mengamati
keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme
anak seusianya. Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan suamiku,
pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak
bertanggung jawab.
Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira
mengurus semua itu, walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami.
Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucing liar yang sering diberinya
makan atau anak-anak tetangga yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan
buahnya tanpa menuntut balasan apapun.
Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa.
Khalid mungkin tak bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh
kasih sayang. Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya.
Fitri
Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia
mengenakan kemeja putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman
kanak-kanak di dada kiri. Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya
tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.
Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan
hasil origaminya pada wanita yang mungkin ibunya. Seekor burung yang sedikit
kusut dan penyok. Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.
Lihat ibu keretaku yang baru cukup besar untuk ayah
dan ibu roda tiga buatanku sendiri dari kulit buah jeruk bali...'
Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak
sumbang tapi penuh semangat. Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali
asyik memberondong ibunya dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti mengunyah
donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah. Ibunya menyahut
sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak peduli, sementara tangannya
mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk menghalau panas.
Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas
dan kemacetan jalan membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di
kakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan
dapur. Tak heran ia kelihatan sangat letih, mengantuk dan tak begitu
bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.
Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku
dari anak itu. Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana
kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku akan semua
itu. Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi
mau tak mau Khalid singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku.
Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung
Khalid, bidan selalu mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu
aku dan suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid tidak
normal. Ia lahir dengan Down syndrome.
Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh
dokter hanya beberapa menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh
seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang
mampu mengurus dirinya sendiri.
Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada
jantungnya yang harus diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan
tonsil. Hal yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.
Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup
berat hingga aku harus dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan
hingga bahkan tak bisa menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan wanita
pakar penanganan anak Down syndrome. Wanita itu memberikan buku-buku dan brosur
kepada kami.
Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku
tertekan. Sejak dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu
berdoa dan bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan
kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan shalat
agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa tafakur alam ke
tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.
Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya
yang yatim dan papa agar hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku
seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah,
demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin
Walid.
Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf
dalam lembaran mushaf Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan
peci mungilnya dan jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang
berbunga dan berenda
Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang
bening melantunkan ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar.
Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati
Khalid tak mungkin mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam
memohon kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah
kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid.
Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah
amanat-Nya, bukan hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku
berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak lain? Aku
hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta, karena ia dititipkan
Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut dari sisiku. Bukan tugasku
menilai apakah Khalid layak jadi anakku atau tidak. Setelah itu aku kembali
menemukan ketenangan.
Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat
menyakitkan. Tiap kubawa Khalid ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi
seumur Khalid, aku kembali terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau
untuk diriku sendiri.
Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai
tertawa dan mengeluarkan suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang
kosong ke depan.
Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang
otaknya dengan mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru
menunjukkan reaksi saat usianya hampir delapan bulan.
Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun.
Bicaranya tak pernah selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas.
Ia tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun.
Ia harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan
terakhir ini.
Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya
buang air di kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama
delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.
Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin.
Khalid hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal
bacaannya.
Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami
dan mulai dari awal sekali. Mengakrabkan Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu
yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Khalid.
'Di belakang rumah ada pohon jambuu...' suara lantang
bocah berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang
kocak. Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri. Iri pada ibu
yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang dimilikinya. Ada kegeraman dan
rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.
Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak
tahu apakah harus menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari
angkot.
Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat
burung-burungan kertas itu gepeng. Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku
kabur oleh air mata. Khalid tak bisa melukis dengan krayon atau membuat
origami. Koordinasi tangannya lemah sekali.
Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu
kuremas menjadi gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan
suara tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun, walaupun
rumahku masih jauh.
Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas
dalam-dalam dan mengeringkan air mata. Saat aku menengadah mataku tertambat
pada papan putih di seberang jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah
teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua rakaat. Air
mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman...
Anisykurlillahi....
Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang
sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai.
Lalu satu- satu fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan
gambaran muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan kecil yang
mengimbangi dan melengkapi hidupnya.
Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan
menghafal lirik, tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan
musik adalah keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu
ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan jika dimarahi,
cepat kembali ceria.
Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat
tahun lalu. Kami sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya.
Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati Khalid
duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona yang tak
terlukiskan.
Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima
abangnya tanpa syarat. Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur
di hatiku dan ayah mereka. Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan
kegigihan ekstra dibandingkan mengasuh anak biasa. Tapi Khalid memang bukan
anak biasa.
Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa
pamrih yang hakiki. Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif;
tercantik, terpandai, tergesit, anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak
mungkin menjadi teknolog, ekonom atau da'i tersohor.
Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya?
Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh
dan sepele orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan
ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan
terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi, mungkin pada
Fatimah.
Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya.
Kami hanya mencintainya. Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan
riang menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara
abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.
'Ibu bawa apa, bawa apa?' tanya Fatimah. Ia memekik
ketika kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid
tersenyum. Matanya yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah kesukaannya.
Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah
berpesan pada pembantu untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak.
Saat aku keluar, mereka tidak berada di meja makan.
Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang.
Di depan kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa melihat
abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat jeruji bambu. 'Ayo
kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!' teriak Fatimah. Satu demi
satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar potongan mangga dari
tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih. Sudah lama aku mengamati
keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme
anak seusianya. Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan suamiku,
pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak
bertanggung jawab.
Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira
mengurus semua itu, walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami.
Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucing liar yang sering diberinya
makan atau anak-anak tetangga yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan
buahnya tanpa menuntut balasan apapun.
Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa.
Khalid mungkin tak bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh
kasih sayang. Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as