Sutan Takdir Alisjahbana
Andaikan Masih Hidup
Alangkah beruntungnya kita jika Sutan Takdir
Alisjahbana (STA) masih hidup sekarang. Kita bisa banyak bertanya soal arah
kebudayaan bangsa ini. Soal budaya yang hari-hari ini menjadi isu sangat
relevan dalam kehidupan kita saat media massa sibuk memberitakan perdebatan
mengenai RUU Pornografi dan Pornoaksi.
Bukankah STA adalah pemuja modernitas dari
Barat? Mungkin kalimat itu yang bisa dilontarkan jika kita mengasumsikan
pornografi adalah anak kandung modernitas dari Barat. Asumsi itu bisa jadi
terlampau menyederhanakan masalah kebudayaan dan soal yang berkaitan dengan
dunia syahwat.
Lepas dari perdebatan itu dan yang tak mungkin
bisa dilupakan dari sosok STA ialah idenya yang berani soal arah kemajuan
budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke
Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan
idenya itu pada usia 27 tahun.
Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya
mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya
seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya
mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus
dipertahankan Indonesia mendatang.
Memikat sekali untuk mencermati catatan
almarhum Mochtar Lubis tentang STA. Menurut bapak jurnalis Indonesia itu,
sumbangan utama STA yang harus tercatat dalam sejarah kebudayaan Indonesia
ialah polemiknya yang penuh gairah menghadapi intelektual seniornya yang hendak
mempertahankan nilai kebudayaan lama sebagai landasan kemajuan Indonesia.
Perdebatan antara STA dengan para penentangnya belakangan dikenal dengan
istilah Polemik Kebudayaan.
Jika dikaitkan dengan persoalan arah budaya
Indonesia mendatang, termasuk perdebatan keras di masyarakat mengenai bagaimana
negara mengatur soal pornografi, maka peluncuran buku Sang Pujangga, 70 Tahun
Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana di Taman Ismail
Marzuki (TIM), Selasa (21/2) malam menjadi sangat relevan. Buku yang disunting
A Abdul Karim Mashad bukan hanya berisi informasi mengenai karya tulis STA.
Buku itu memuat juga sejumlah tulisan budayawan Indonesia yang mengkritisi
pemikiran STA.
Hadir dalam peluncuran buku itu sastrawan
Abdul Hadi, sejarawan Asvi Warman Adam dan para mahasiswa dan budayawan yang
tampaknya sangat antusias mendiskusikan pikiran STA. Ratna Sarumpaet sempat
pula membawakan puisi karya STA berjudul Menuju Ke Laut. "Kami telah
meninggalkan engkau, Tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang
rimbun dari angin dan topan...''
Karya STA yang dibacakan Ketua Dewan Kesenian
Jakarta itu seolah menunjukkan sikap STA yang tegas untuk meninggalkan tradisi
budaya di Indonesia yang menurutnya antiintelektual dan antimaterialisme. Bisa
jadi pendapat STA soal antiintelektual ini tepat untuk menggambarkan wajah
budaya Indonesia saat ini. Wajah yang kebingungan untuk menentukan arah budaya
Indonesia hingga soal pornografi pun harus diatur secara khusus dalam sebuah
Undang Undang (UU), sementara UU yang sudah ada dan mengatur masalah itu tidak
digunakan dengan maksimal. (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)
Pemikiran Rasional STA
Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang
Islam sangat relevan dan kontekstual dalam perkembangan Islam sekarang ini. Ia
menginginkan umat Islam bisa mencapai kemajuan dan keluar dari keterbelakangan.
”Ia mengembangkan sikap rasional, memahami
agama dengan cara yang rasional, mengembangkan pemikiran yang rasional. Jadi
bukan pemahaman yang literal,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pada diskusi ”Menyongsong Satu Abad
Sutan Takdir Alisjahbana” yang kerap disebut STA di Jakarta, Selasa (21/2).
Menurut Azyumardi, ada kecenderungan sekarang
ini orang memahami agama secara literal, secara hitam putih. Sikap literal
itulah yang menurut STA tidak kondusif untuk mencapai kemajuan.
STA menekankan pentingnya bagi orang Islam
untuk mengembangkan i’tijad, berpikir secara independen untuk menjawab
masalah-masalah yang ada. Meskipun STA sangat menekankan distingsi Islam, ia
juga sangat menekankan bahwa Islam amat mementingkan solidaritas antarmanusia
sehingga dengan begitu umat Islam bisa terhindar dari keislaman yang
chauvinistik. Ia melihat dalam sejarah Islam bahwa kaum Muslimin dalam banyak
hal tak segan-segan bekerja sama dengan golongan-golongan (agama) lain. Menurut
STA, dalam dunia yang menjadi kecil sekarang (globalisasi), tidak boleh tidak
kerja sama antarmanusia mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, melihat pemikiran STA lebih banyak memprovokasi
kita supaya melihat ke Barat. ”Sutan Takdir Alisjahbana menganggap nilai-nilai
Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang
penting sebagai api. Dia mengibaratkan orang masak nasi, jadi jangan dipadamkan
apinya. Kalau di Barat, nasi (itu) sudah hampir masak, jadi api tak perlu
diperbesar. Di Indonesia api itu diperlukan,” kata Asvi.
Untuk konteks masa kini, melihat atau
mengambil sesuatu yang positif dari Barat, dipandang Asvi, masih sangat
relevan.
Menurut Asvi, STA bersama Muhammad Yamin
adalah dua pujangga yang saling melengkapi. STA menghadap ke depan dengan
menyatakan kita harus mencontoh Barat untuk mengambil yang positif dari Barat,
sedangkan Yamin mengajak kita kembali ke belakang saat kita pernah mengalami
kejayaan pada masa lampau.
Andaikan Masih Hidup
Alangkah beruntungnya kita jika Sutan Takdir
Alisjahbana (STA) masih hidup sekarang. Kita bisa banyak bertanya soal arah
kebudayaan bangsa ini. Soal budaya yang hari-hari ini menjadi isu sangat
relevan dalam kehidupan kita saat media massa sibuk memberitakan perdebatan
mengenai RUU Pornografi dan Pornoaksi.
Bukankah STA adalah pemuja modernitas dari
Barat? Mungkin kalimat itu yang bisa dilontarkan jika kita mengasumsikan
pornografi adalah anak kandung modernitas dari Barat. Asumsi itu bisa jadi
terlampau menyederhanakan masalah kebudayaan dan soal yang berkaitan dengan
dunia syahwat.
Lepas dari perdebatan itu dan yang tak mungkin
bisa dilupakan dari sosok STA ialah idenya yang berani soal arah kemajuan
budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke
Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan
idenya itu pada usia 27 tahun.
Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya
mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya
seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya
mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus
dipertahankan Indonesia mendatang.
Memikat sekali untuk mencermati catatan
almarhum Mochtar Lubis tentang STA. Menurut bapak jurnalis Indonesia itu,
sumbangan utama STA yang harus tercatat dalam sejarah kebudayaan Indonesia
ialah polemiknya yang penuh gairah menghadapi intelektual seniornya yang hendak
mempertahankan nilai kebudayaan lama sebagai landasan kemajuan Indonesia.
Perdebatan antara STA dengan para penentangnya belakangan dikenal dengan
istilah Polemik Kebudayaan.
Jika dikaitkan dengan persoalan arah budaya
Indonesia mendatang, termasuk perdebatan keras di masyarakat mengenai bagaimana
negara mengatur soal pornografi, maka peluncuran buku Sang Pujangga, 70 Tahun
Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana di Taman Ismail
Marzuki (TIM), Selasa (21/2) malam menjadi sangat relevan. Buku yang disunting
A Abdul Karim Mashad bukan hanya berisi informasi mengenai karya tulis STA.
Buku itu memuat juga sejumlah tulisan budayawan Indonesia yang mengkritisi
pemikiran STA.
Hadir dalam peluncuran buku itu sastrawan
Abdul Hadi, sejarawan Asvi Warman Adam dan para mahasiswa dan budayawan yang
tampaknya sangat antusias mendiskusikan pikiran STA. Ratna Sarumpaet sempat
pula membawakan puisi karya STA berjudul Menuju Ke Laut. "Kami telah
meninggalkan engkau, Tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang
rimbun dari angin dan topan...''
Karya STA yang dibacakan Ketua Dewan Kesenian
Jakarta itu seolah menunjukkan sikap STA yang tegas untuk meninggalkan tradisi
budaya di Indonesia yang menurutnya antiintelektual dan antimaterialisme. Bisa
jadi pendapat STA soal antiintelektual ini tepat untuk menggambarkan wajah
budaya Indonesia saat ini. Wajah yang kebingungan untuk menentukan arah budaya
Indonesia hingga soal pornografi pun harus diatur secara khusus dalam sebuah
Undang Undang (UU), sementara UU yang sudah ada dan mengatur masalah itu tidak
digunakan dengan maksimal. (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)
Pemikiran Rasional STA
Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang
Islam sangat relevan dan kontekstual dalam perkembangan Islam sekarang ini. Ia
menginginkan umat Islam bisa mencapai kemajuan dan keluar dari keterbelakangan.
”Ia mengembangkan sikap rasional, memahami
agama dengan cara yang rasional, mengembangkan pemikiran yang rasional. Jadi
bukan pemahaman yang literal,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pada diskusi ”Menyongsong Satu Abad
Sutan Takdir Alisjahbana” yang kerap disebut STA di Jakarta, Selasa (21/2).
Menurut Azyumardi, ada kecenderungan sekarang
ini orang memahami agama secara literal, secara hitam putih. Sikap literal
itulah yang menurut STA tidak kondusif untuk mencapai kemajuan.
STA menekankan pentingnya bagi orang Islam
untuk mengembangkan i’tijad, berpikir secara independen untuk menjawab
masalah-masalah yang ada. Meskipun STA sangat menekankan distingsi Islam, ia
juga sangat menekankan bahwa Islam amat mementingkan solidaritas antarmanusia
sehingga dengan begitu umat Islam bisa terhindar dari keislaman yang
chauvinistik. Ia melihat dalam sejarah Islam bahwa kaum Muslimin dalam banyak
hal tak segan-segan bekerja sama dengan golongan-golongan (agama) lain. Menurut
STA, dalam dunia yang menjadi kecil sekarang (globalisasi), tidak boleh tidak
kerja sama antarmanusia mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, melihat pemikiran STA lebih banyak memprovokasi
kita supaya melihat ke Barat. ”Sutan Takdir Alisjahbana menganggap nilai-nilai
Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang
penting sebagai api. Dia mengibaratkan orang masak nasi, jadi jangan dipadamkan
apinya. Kalau di Barat, nasi (itu) sudah hampir masak, jadi api tak perlu
diperbesar. Di Indonesia api itu diperlukan,” kata Asvi.
Untuk konteks masa kini, melihat atau
mengambil sesuatu yang positif dari Barat, dipandang Asvi, masih sangat
relevan.
Menurut Asvi, STA bersama Muhammad Yamin
adalah dua pujangga yang saling melengkapi. STA menghadap ke depan dengan
menyatakan kita harus mencontoh Barat untuk mengambil yang positif dari Barat,
sedangkan Yamin mengajak kita kembali ke belakang saat kita pernah mengalami
kejayaan pada masa lampau.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as