NASIONALISME RELIGIUS
Oleh: Ruslani
Kekhawatiran sebagian
masyarakat Indonesia
terhadap munculnya kembali ideologi komunisme-marxisme-leninisme di Indonesia
menyebabkan kembali terangkatnya wacana tentang nasionalisme religius dalam
kancah politik Indonesia.
Banyak reaksi muncul akibat kekhawatiran hidup kembalinya ajaran-ajaran
komunisme-marxisme-leninisme di Indonesia,
sehingga Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menegaskan, ketiga ideologi itu
tidak boleh diajarkan di Bumi Indonesia.
Sebagian besar rakyat Indonesia
memang tidak menghendaki ajaran-ajaran komunis dihidupkan lagi. Namun, sebagai
sebuah wacana intelektual, kita tidak boleh begitu saja mengharamkan segala
sesuatu yang memiliki dampak negatif secara praktis. Artinya, dalam dataran
teoretis, ajaran-ajaran komunisme- marxisme- leninisme semestinya boleh saja
dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu
masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin mencerdaskan dan
mendewasa-kan bangsa Indonesia.
Komunisme-marxisme-leninisme
tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena
ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut
agama. Karena itu, politik Indonesia
diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai nilai-nilai spiritual-
keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan
nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara kita.
Upaya ini hendaknya tidak dilihat sebagai "pemolitikan agama", yaitu
menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan
dan semacamnya, tetapi lebih pada "pengagamaan politik", yaitu upaya
menjadikan agama sebagai "pengawas" para pelaku politik agar tidak
terjebak dalam politik machiavelianisme yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan.
Pengagamaan politik
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengakomodasi mereka yang memiliki kepentingan
agama sekaligus kepentingan politik. Memahami perspektif kelompok ini merupakan
sebuah upaya mengkaji, baik dalam perbandingan agama maupun perbandingan
politik, karena mereka tampaknya berupaya merespons situasi politik dari
kacamata agama. Namun, banyak di antara mereka sependapat dengan konsep
"tidak ada perbedaan antara agama dan politik". Pembedaan agama dan
politik-atau lebih dikenal dengan istilah caesaropapisme-adalah khas jalan
pemikiran Barat. Selain itu, mereka melihat kekurangan dalam masyarakat yang
bersifat religius dan politis, sesuatu yang menuntut respons agama maupun
politik. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut sebagai kaum
"nasionalis religius".
Sekalipun mereka menolak
ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak menolak sama sekali politik
sekular, termasuk politik negara-bangsa (nation-state) modern, sejauh
negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangaan di mana otoritas negara
secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan, baik melalui
jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral
dijustifikasi konsep nasionalisme, tidak hanya sebagai patriotisme xenofobik,
tetapi juga sebagai ekspresi identitas yang lebih lunak, yang didasarkan pada
asumsi-asumsi bersama mengenai mengapa suatu komunitas menjadi sebuah bangsa
dan mengapa negara yang mengaturnya sah. Kaum nasionalis religius begitu kuat
menolak nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan
spiritual.
Namun, mengingat Indonesia
bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan politik tidak bisa
harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah hubungan yang
bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi menuntut
pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu.
Namun, berdasar pemahaman
mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia
yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah sistem
sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum
nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egali-tarianisme, dan
partisipasi.
Agama, baik secara teologis
maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung pendemokrasian politik, ekonomi,
dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang berasal dari tradisi Ibrahimi
(Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang dengan misi untuk
melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Pengaktualan dari nilai
kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan
terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-hak asasinya.
Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi niscaya bagi
terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia.
Dengan demikian, meskipun
agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama memberikan
etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan yang
demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa hanya dilihat
dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor
politis-sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif,
maka akan jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan
upaya pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari
agama bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih
dengan pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak
asasi manusia.
Dengan demikian, agama
selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner, transformatif, dan liberatif.
Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan data pada kita bahwa agama
merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah kering untuk melahirkan
gerakan antikezaliman, antitirani, antipenindasan, dan sejenisnya. Pendeknya,
meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun organisasi keagamaan,
agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya pendemokrasian. Pada tataran
ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan
spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan
pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.
Dengan logika inilah, barangkali istilah yang lebih pas dari model ketiga ini
adalah "Teo-Demokrasi", yaitu demokrasi yang mempertimbangkan
nilai-nilai transendental.
Upaya untuk menjadikan agama
sebagai sumber moral politik dan kekuatan pendemokrasian tidak boleh melenceng
menjadi praktik penggunaan agama sebagai sumber perpecahan, dan agama
disalahgunakan untuk memperkuat
kedudukan penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, kita
harus meningkatkan religiusitas, keimanan, dan ketakwaan kita sebagai esensi dari
fenomena manusia religius. Kita harus lebih menjadi being religious ketimbang
sekadar having religion, Karena, religiusitas bersifat inklusif sehingga siapa
pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan religiusitas dalam diri
manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang transenden yang
akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka damai dan
saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas ilmiah
maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya.
Bangsa kita adalah bangsa
yang ingin maju dan karenanya, tidak boleh takut dengan wacana ilmiah apa pun,
tetapi bangsa kita tetap bangsa yang bersila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita
harus menjadi bangsa yang kritis tanpa harus memeluk skeptisisme sekularistik
yang pernah menjadi induk dari tata dunia yang sampai saat ini masih kita
rasakan penuh ketidakadilan, kekejaman modern dan dekadensi moral.
Mencuatnya kembali protes
dan kekhawatiran akan muncul dan kembali-nya ideologi Komunisme-Marxisme-Leninisme
dapat kita jadikan pelajaran untuk lebih mendalami berbagai per-masalahan
penting dan menentukan yang tengah dan akan dihadapi bangsa kita, seperti
kemanusiaan, demokrasi, pendidikan, serta tragedi-tragedi yang menimpa bangsa
manusia. Kita perlu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, baik
dalam tubuh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, demi pencarian kita meraih
kebenaran dan kemanusiaan. Sudah saatnya kita merespons semua masalah kita
dengan suasana hati yang terbuka, namun tetap dengan pemikiran yang kritis dan
mendalam, tanpa perlu bersikap emosional, apalagi anarkis.
Anggota adalah
pengemban dan pengutara Amanat Rakyat yang berbudi pekerti luhur serta setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
(Tatib
MPR, Bab III Pasal 5)
Oleh: Ruslani
Kekhawatiran sebagian
masyarakat Indonesia
terhadap munculnya kembali ideologi komunisme-marxisme-leninisme di Indonesia
menyebabkan kembali terangkatnya wacana tentang nasionalisme religius dalam
kancah politik Indonesia.
Banyak reaksi muncul akibat kekhawatiran hidup kembalinya ajaran-ajaran
komunisme-marxisme-leninisme di Indonesia,
sehingga Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menegaskan, ketiga ideologi itu
tidak boleh diajarkan di Bumi Indonesia.
Sebagian besar rakyat Indonesia
memang tidak menghendaki ajaran-ajaran komunis dihidupkan lagi. Namun, sebagai
sebuah wacana intelektual, kita tidak boleh begitu saja mengharamkan segala
sesuatu yang memiliki dampak negatif secara praktis. Artinya, dalam dataran
teoretis, ajaran-ajaran komunisme- marxisme- leninisme semestinya boleh saja
dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu
masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin mencerdaskan dan
mendewasa-kan bangsa Indonesia.
Komunisme-marxisme-leninisme
tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena
ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut
agama. Karena itu, politik Indonesia
diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai nilai-nilai spiritual-
keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan
nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara kita.
Upaya ini hendaknya tidak dilihat sebagai "pemolitikan agama", yaitu
menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan
dan semacamnya, tetapi lebih pada "pengagamaan politik", yaitu upaya
menjadikan agama sebagai "pengawas" para pelaku politik agar tidak
terjebak dalam politik machiavelianisme yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan.
Pengagamaan politik
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengakomodasi mereka yang memiliki kepentingan
agama sekaligus kepentingan politik. Memahami perspektif kelompok ini merupakan
sebuah upaya mengkaji, baik dalam perbandingan agama maupun perbandingan
politik, karena mereka tampaknya berupaya merespons situasi politik dari
kacamata agama. Namun, banyak di antara mereka sependapat dengan konsep
"tidak ada perbedaan antara agama dan politik". Pembedaan agama dan
politik-atau lebih dikenal dengan istilah caesaropapisme-adalah khas jalan
pemikiran Barat. Selain itu, mereka melihat kekurangan dalam masyarakat yang
bersifat religius dan politis, sesuatu yang menuntut respons agama maupun
politik. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut sebagai kaum
"nasionalis religius".
Sekalipun mereka menolak
ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak menolak sama sekali politik
sekular, termasuk politik negara-bangsa (nation-state) modern, sejauh
negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangaan di mana otoritas negara
secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan, baik melalui
jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral
dijustifikasi konsep nasionalisme, tidak hanya sebagai patriotisme xenofobik,
tetapi juga sebagai ekspresi identitas yang lebih lunak, yang didasarkan pada
asumsi-asumsi bersama mengenai mengapa suatu komunitas menjadi sebuah bangsa
dan mengapa negara yang mengaturnya sah. Kaum nasionalis religius begitu kuat
menolak nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan
spiritual.
Namun, mengingat Indonesia
bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan politik tidak bisa
harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah hubungan yang
bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi menuntut
pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu.
Namun, berdasar pemahaman
mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia
yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah sistem
sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum
nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egali-tarianisme, dan
partisipasi.
Agama, baik secara teologis
maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung pendemokrasian politik, ekonomi,
dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang berasal dari tradisi Ibrahimi
(Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang dengan misi untuk
melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Pengaktualan dari nilai
kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan
terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-hak asasinya.
Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi niscaya bagi
terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia.
Dengan demikian, meskipun
agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama memberikan
etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan yang
demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa hanya dilihat
dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor
politis-sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif,
maka akan jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan
upaya pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari
agama bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih
dengan pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak
asasi manusia.
Dengan demikian, agama
selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner, transformatif, dan liberatif.
Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan data pada kita bahwa agama
merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah kering untuk melahirkan
gerakan antikezaliman, antitirani, antipenindasan, dan sejenisnya. Pendeknya,
meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun organisasi keagamaan,
agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya pendemokrasian. Pada tataran
ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan
spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan
pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.
Dengan logika inilah, barangkali istilah yang lebih pas dari model ketiga ini
adalah "Teo-Demokrasi", yaitu demokrasi yang mempertimbangkan
nilai-nilai transendental.
Upaya untuk menjadikan agama
sebagai sumber moral politik dan kekuatan pendemokrasian tidak boleh melenceng
menjadi praktik penggunaan agama sebagai sumber perpecahan, dan agama
disalahgunakan untuk memperkuat
kedudukan penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, kita
harus meningkatkan religiusitas, keimanan, dan ketakwaan kita sebagai esensi dari
fenomena manusia religius. Kita harus lebih menjadi being religious ketimbang
sekadar having religion, Karena, religiusitas bersifat inklusif sehingga siapa
pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan religiusitas dalam diri
manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang transenden yang
akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka damai dan
saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas ilmiah
maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya.
Bangsa kita adalah bangsa
yang ingin maju dan karenanya, tidak boleh takut dengan wacana ilmiah apa pun,
tetapi bangsa kita tetap bangsa yang bersila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita
harus menjadi bangsa yang kritis tanpa harus memeluk skeptisisme sekularistik
yang pernah menjadi induk dari tata dunia yang sampai saat ini masih kita
rasakan penuh ketidakadilan, kekejaman modern dan dekadensi moral.
Mencuatnya kembali protes
dan kekhawatiran akan muncul dan kembali-nya ideologi Komunisme-Marxisme-Leninisme
dapat kita jadikan pelajaran untuk lebih mendalami berbagai per-masalahan
penting dan menentukan yang tengah dan akan dihadapi bangsa kita, seperti
kemanusiaan, demokrasi, pendidikan, serta tragedi-tragedi yang menimpa bangsa
manusia. Kita perlu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, baik
dalam tubuh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, demi pencarian kita meraih
kebenaran dan kemanusiaan. Sudah saatnya kita merespons semua masalah kita
dengan suasana hati yang terbuka, namun tetap dengan pemikiran yang kritis dan
mendalam, tanpa perlu bersikap emosional, apalagi anarkis.
Anggota adalah
pengemban dan pengutara Amanat Rakyat yang berbudi pekerti luhur serta setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
(Tatib
MPR, Bab III Pasal 5)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as