Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    nasionalisme religius

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    nasionalisme religius Empty nasionalisme religius

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 9:05 pm

    NASIONALISME RELIGIUS


    Oleh: Ruslani








    Kekhawatiran sebagian
    masyarakat Indonesia
    terhadap munculnya kembali ideologi komunisme-marxisme-leninisme di Indonesia
    menyebabkan kembali terangkatnya wacana tentang nasionalisme religius dalam
    kancah politik Indonesia.
    Banyak reaksi muncul akibat kekhawatiran hidup kembalinya ajaran-ajaran
    komunisme-marxisme-leninisme di Indonesia,
    sehingga Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menegaskan, ketiga ideologi itu
    tidak boleh diajarkan di Bumi Indonesia.



    Sebagian besar rakyat Indonesia
    memang tidak menghendaki ajaran-ajaran komunis dihidupkan lagi. Namun, sebagai
    sebuah wacana intelektual, kita tidak boleh begitu saja mengharamkan segala
    sesuatu yang memiliki dampak negatif secara praktis. Artinya, dalam dataran
    teoretis, ajaran-ajaran komunisme- marxisme- leninisme semestinya boleh saja
    dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu
    masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin mencerdaskan dan
    mendewasa-kan bangsa Indonesia.


    Komunisme-marxisme-leninisme
    tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena
    ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut
    agama. Karena itu, politik Indonesia
    diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai nilai-nilai spiritual-
    keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan
    nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara kita.
    Upaya ini hendaknya tidak dilihat sebagai "pemolitikan agama", yaitu
    menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan
    dan semacamnya, tetapi lebih pada "pengagamaan politik", yaitu upaya
    menjadikan agama sebagai "pengawas" para pelaku politik agar tidak
    terjebak dalam politik machiavelianisme yang menghalalkan segala cara untuk
    mencapai tujuan.


    Pengagamaan politik
    dimaksudkan sebagai upaya untuk mengakomodasi mereka yang memiliki kepentingan
    agama sekaligus kepentingan politik. Memahami perspektif kelompok ini merupakan
    sebuah upaya mengkaji, baik dalam perbandingan agama maupun perbandingan
    politik, karena mereka tampaknya berupaya merespons situasi politik dari
    kacamata agama. Namun, banyak di antara mereka sependapat dengan konsep
    "tidak ada perbedaan antara agama dan politik". Pembedaan agama dan
    politik-atau lebih dikenal dengan istilah caesaropapisme-adalah khas jalan
    pemikiran Barat. Selain itu, mereka melihat kekurangan dalam masyarakat yang
    bersifat religius dan politis, sesuatu yang menuntut respons agama maupun
    politik. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut sebagai kaum
    "nasionalis religius".


    Sekalipun mereka menolak
    ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak menolak sama sekali politik
    sekular, termasuk politik negara-bangsa (nation-state) modern, sejauh
    negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangaan di mana otoritas negara
    secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan, baik melalui
    jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral
    dijustifikasi konsep nasionalisme, tidak hanya sebagai patriotisme xenofobik,
    tetapi juga sebagai ekspresi identitas yang lebih lunak, yang didasarkan pada
    asumsi-asumsi bersama mengenai mengapa suatu komunitas menjadi sebuah bangsa
    dan mengapa negara yang mengaturnya sah. Kaum nasionalis religius begitu kuat
    menolak nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan
    spiritual.


    Namun, mengingat Indonesia
    bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan politik tidak bisa
    harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah hubungan yang
    bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi menuntut
    pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu.


    Namun, berdasar pemahaman
    mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia
    yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah sistem
    sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum
    nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egali-tarianisme, dan
    partisipasi.


    Agama, baik secara teologis
    maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung pendemokrasian politik, ekonomi,
    dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang berasal dari tradisi Ibrahimi
    (Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang dengan misi untuk
    melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Pengaktualan dari nilai
    kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan
    terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-hak asasinya.
    Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi niscaya bagi
    terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia.


    Dengan demikian, meskipun
    agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama memberikan
    etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan yang
    demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa hanya dilihat
    dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor
    politis-sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif,
    maka akan jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan
    upaya pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari
    agama bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih
    dengan pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak
    asasi manusia.


    Dengan demikian, agama
    selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner, transformatif, dan liberatif.
    Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan data pada kita bahwa agama
    merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah kering untuk melahirkan
    gerakan antikezaliman, antitirani, antipenindasan, dan sejenisnya. Pendeknya,
    meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun organisasi keagamaan,
    agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya pendemokrasian. Pada tataran
    ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan
    spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan
    pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.
    Dengan logika inilah, barangkali istilah yang lebih pas dari model ketiga ini
    adalah "Teo-Demokrasi", yaitu demokrasi yang mempertimbangkan
    nilai-nilai transendental.


    Upaya untuk menjadikan agama
    sebagai sumber moral politik dan kekuatan pendemokrasian tidak boleh melenceng
    menjadi praktik penggunaan agama sebagai sumber perpecahan, dan agama
    disalahgunakan untuk memperkuat
    kedudukan penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, kita
    harus meningkatkan religiusitas, keimanan, dan ketakwaan kita sebagai esensi dari
    fenomena manusia religius. Kita harus lebih menjadi being religious ketimbang
    sekadar having religion, Karena, religiusitas bersifat inklusif sehingga siapa
    pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan religiusitas dalam diri
    manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang transenden yang
    akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka damai dan
    saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas ilmiah
    maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya.


    Bangsa kita adalah bangsa
    yang ingin maju dan karenanya, tidak boleh takut dengan wacana ilmiah apa pun,
    tetapi bangsa kita tetap bangsa yang bersila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita
    harus menjadi bangsa yang kritis tanpa harus memeluk skeptisisme sekularistik
    yang pernah menjadi induk dari tata dunia yang sampai saat ini masih kita
    rasakan penuh ketidakadilan, kekejaman modern dan dekadensi moral.


    Mencuatnya kembali protes
    dan kekhawatiran akan muncul dan kembali-nya ideologi Komunisme-Marxisme-Leninisme
    dapat kita jadikan pelajaran untuk lebih mendalami berbagai per-masalahan
    penting dan menentukan yang tengah dan akan dihadapi bangsa kita, seperti
    kemanusiaan, demokrasi, pendidikan, serta tragedi-tragedi yang menimpa bangsa
    manusia. Kita perlu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, baik
    dalam tubuh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, demi pencarian kita meraih
    kebenaran dan kemanusiaan. Sudah saatnya kita merespons semua masalah kita
    dengan suasana hati yang terbuka, namun tetap dengan pemikiran yang kritis dan
    mendalam, tanpa perlu bersikap emosional, apalagi anarkis.








    Anggota adalah
    pengemban dan pengutara Amanat Rakyat yang berbudi pekerti luhur serta setia
    kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945


    (Tatib
    MPR, Bab III Pasal 5)

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 10:58 am