Republik Ironis
Welcome to the irony of
society, where every body is the king, where every body rules the way, where
anarchy is the law, where money is the heavens, where politician is hypocrite,
while people are the ocean of nothing, helplessly and hopelessly..."
Tersebutlah sebuah negeri
yang indah, di untaian khatulistiwa yang gemah ripah nan sentosa. Negeri itu
terkenal dengan manusianya yang ramah. Mereka cerdas dengan lelaki yang tampan
dan perempuan yang cantik. Mereka hidup rukun dan saling menghargai satu sama
lain. Gotong royong adalah budaya yang sangat kental di negeri itu, dimana
setiap manusianya adalah bagian dari manusia yang lain.
Tetapi, sayang, semua itu
hanyalah omong kosong belaka karena manusianya penuh dengan topeng. Topeng dari
realitas yang berlawanan. Itulah Indonesia, negeri dengan masalah yang sama
dengan jumlah penduduknya. Negeri yang kaya tapi penduduknya salah satu
termiskin di dunia. Negeri di mana darah dan tangis tak bermakna lagi. Sebuah
republik dengan segala ironisme yang pernah ada bagi suatu bangsa.
Ironisme Ideologi
Ideologi adalah dasar suatu
negara di mana cita-cita suatu bangsa ditatah dengan indah dan menjadi dasar
harapan dalam hidup berkenegaraan. Tetapi, di Indonesia, dari sinilah awal
ironisme terjadi ketika Pancasila, sang ideologi, menemui realitasnya.
Pancasila, ciptaan Sukarno,
memang indah. Entah bagaimana sang proklamator menghasilkan ide kemanusiaan
yang begitu brilian. Duniapun bahkan tercengang ketika Pancasila pertama kali
dibacakan di depan PBB. “Mana mungkin ada ide tersebut? Bagaiamana
implementasinya? Ah, ada-ada saja Sukarno ini...,” begitu kira-kira kata-kata
yang terlontar dari mulut petinggi negara-negara di sana pada saat itu. Kagum
sekaligus ragu.
Tapi itulah Sukarno,
satu-satunya manusia Indonesia yang pernah membuat rakyat ini bangga sebagai
bangsa Indonesia. Tapi masalahnya, apa benar bisa terwujud sebuah masyarakat
yang berketuhanan, berkemanusiaan dan beradab, bersatu, bermusyawarah dan
berdemokrasi, dan berkeadilan sosial di negeri ini.
Setelah 55 tahun setelah
kelahirannya, terbukti sudah Pancasila hanyalah sebuah ide belaka. Yang
semata-mata dihafalkan siswa SD untuk bisa naik kelas. Yang dibacakan para
peserta upacara 17 Agustusan. Yang tertulis dalam poster murahan dan dipajang
di kantor-kantor pemerintah. Yang hanya identik dengan seekor burung Garuda
yang digantung di ruang-ruang hampa, sebagai suatu hiasan tanpa makna.
Pancasila adalah makna tanpa
makna. Di mana berketuhanan adalah 'tak berketuhanan'. Ketika hakikat Tuhan
bertemu realitas 'tuhan-tuhan' dalam ritual agama, yang menjadi simbol dalam
berpolitik, simbol dalam mencari kekuasaan, simbol dalam mengumpulkan uang dan
uang. Dan lebih ironis lagi, simbol untuk menumpahkan darah bagi 'anda yang
memiliki Tuhan yang berbeda'. Lalu di manakah Tuhan diletakkan, ketika ribuan
nyawa tercabut atas nama Tuhan masing-masing? Berketuhanankah ketika ratusan
rumah ibadah dihancurleburkan sambil meneriakkan kata-kata suci? Masih adakah
Tuhan di hati ketika kepala saudara sendiri ditebas demi kemenangan 'Tuhan'?
Gugurlah sila pertama.
Pancasila, hanyalah kumpulan
sila-sila. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam realitasnya kemanusiaan
yang sadis dan biadab. Di mana setiap manusia bisa mencabut nyawa yang lain
atas nama Pancasila itu sendiri. Di mana rasa aman sudah lenyap bersama
kemanusiaan itu sendiri. Di mana keadilan telah bermetamorfosa menjadi barang
dagangan dalam bisnis miliaran rupiah dan karenanya hanya untuk kalangan
pemilik kapital. Keadilan tidak lagi universal. Keadilan tidak lagi untuk semua
orang. Keadilan adalah hak eksklusif bagi sekelompok orang demi kepentingan
perut dan nafsu.
Peradaban telah berwujud
kebiadaban. Nyawa manusia hanyalah statistik karena hidup mereka bukan urusan
sang penguasa. Dan karenanya ketika jutaan manusia tewas, lenyap nyaris tanpa
kubur, adalah lumrah selama kekuasaan aman dan penguasa tenteram dalam gemilang
nama besar dan harta berlimpah. Itulah peradaban yang dibangun di atas
kebiadaban dan kekerasan. Dengan fondasi nafsu dan dengan naluri untuk tetap di
atas. Dan akhirnya sila kedua gugur.
Pancasila “sama aja bo’ong.”
Bersatulah rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi atas nama apa dan
karena apa? Demi keuntungan Jakarta? Demi kesejahteraan Cendana? Atau demi
perut-perut sang keluarga? Tapi, namanya rakyat tetap rakyat, selalu tak
berdaya. Bersatu adalah pilihan dari pilihan tanpa pilihan. Mau bagaimana lagi?
Aceh sudah di-DOM, Riau sudah dikebiri, Kalimantan sudah dikuasai, Papua sudah
di'nasionalisasi'.
Dan karenanya, terima kasih
untuk para tentara atas jasa 'persatuan dan kesatuan'nya dalam menjaga bumi
pertiwi ini tetap dalam rangkulan sang penguasa. Kini, persatuan menjadi kata
hambar yang memuakkan karena persatuan tak lain dari penjajahan. Dan jangan
heran ketika orang-orangpun meneriakkan kata merdeka sebagai harga mati. Sila
ketigapun musnah sudah.
Pancasila itu bagai video
game. Tak lebih dari sebuah mainan dengan seperangkat aturan yang dibuat untuk
kesenangan sang pemain. Dan permainan itu bertajuk 'demokrasi' dan supaya lebih
mudah dimainkan, jadilah sebuah game Demokrasi Pancasila. Sebuah game yang bisa
dikontrol untuk menang dan kalau kalah bisa diset ulang. Jadi, tidak perlu
takut untuk kalah karena itu semua permainan. Toh demokrasi itu hanyalah mimpi
para filsuf Yunani klasik nun jauh di sana. Jadi cukup sebatas mimpi saja, jauh
dari realisasi. Hilanglah sila keempat.
Pancasila memang memabukkan
dengan kata penutupnya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua
bangsa ingin kata-kata ini, tidak peduli kapitalisme atau komunisme. Semua
ingin keadilan sosial, di mana rakyat tercukupi kebutuhannya dan terjaga
keamanannya. Sayangnya, dari zaman Sukarno sampai Seoharto, hingga Habibie dan
Gus Dur, keadilan sosial hanyalah retorika.
Adilkah jika jutaan penduduk
harus bertahan hidup tanpa rumah, sementara segelintir orang berumah mewah
seluas lapangan golf (belum termasuk lapangan golf itu sendiri)? Adilkah jika
kendaraan-kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah milik para pejabat harus
ditanggung oleh keringat jutaan para pegawai negeri dalam membayar pajak?
Adilkah jika ratusan triliun rupiah dengan mudah dikeluarkan untuk satu
kelompok bisnis koruptor sementara para guru harus rela dengan gaji sebulan
yang nilainya habis dengan satu kali makan siang para koruptor tersebut?
Adilkah jika rakyat Papua harus mati kelaparan beberapa ratus meter dari gunung
emas milik mereka sendiri? Adilkah jika rakyat Aceh terbantai dan miskin ketika
ladang minyak mereka dihisap habis oleh keluarga yang itu-itu juga? Adilkah
jika 90% harta negeri ini dimiliki oleh sekumpulan pseudo capitalist yang
menghabiskan uang rakyat di meja-meja judi? Adilkah..., dan sebagainya dan
sebagainya. Dan akhirnya, keadilan sosial hanya bagi sekelompok kecil rakyat
Indonesia.
Bangkrutnya Republik
Kini dan nanti, hampir tidak
ada alasan rasional lagi untuk mempertahankan republik ini jika ironi dan ironi
tetap lestari oleh suatu sistem yang terkudeta oleh para politisi kelas
kambing, pemilik kapital serakah, dan pejabat-pekabat bertangan kotor. Rakyat
sudah jenuh dengan itu semua.
Sebuah negara, sebuah
republik tak akan mampu bertahan lagi jika rakyatnya sudah capek untuk
bernegara, sudah muak untuk berharap, dan sudah jijik dengan kata-kata sang
'negarawan'. Indonesia adalah republik yang keropos karena gigitan-gigitan
tikus-tikus sang negarawan selama miliaran detik. Jika itu semua terus terjadi,
maka berlakulah teori survival of the fittest, di mana hukum rimba dan anarki
adalah satu-satunya pedoman.
Apakah kita ingin seperti
itu? Tentu tidak. Dan karenanya semua harus sadar. Sadar sesadarnya bahwa
republik ini harus diselamatkan. Bukan semata karena alasan ekonomi, juga bukan
karena alasan ideologi, terlebih lagi alasan politik. Tetapi karena nilai
kemanusiaan. Bahwa kita semua berhak menghirup atmosfir ketenteraman dan
kedamaian. Dan hanya satu yang bisa jadi pedoman: hati nurani. ***
Welcome to the irony of
society, where every body is the king, where every body rules the way, where
anarchy is the law, where money is the heavens, where politician is hypocrite,
while people are the ocean of nothing, helplessly and hopelessly..."
Tersebutlah sebuah negeri
yang indah, di untaian khatulistiwa yang gemah ripah nan sentosa. Negeri itu
terkenal dengan manusianya yang ramah. Mereka cerdas dengan lelaki yang tampan
dan perempuan yang cantik. Mereka hidup rukun dan saling menghargai satu sama
lain. Gotong royong adalah budaya yang sangat kental di negeri itu, dimana
setiap manusianya adalah bagian dari manusia yang lain.
Tetapi, sayang, semua itu
hanyalah omong kosong belaka karena manusianya penuh dengan topeng. Topeng dari
realitas yang berlawanan. Itulah Indonesia, negeri dengan masalah yang sama
dengan jumlah penduduknya. Negeri yang kaya tapi penduduknya salah satu
termiskin di dunia. Negeri di mana darah dan tangis tak bermakna lagi. Sebuah
republik dengan segala ironisme yang pernah ada bagi suatu bangsa.
Ironisme Ideologi
Ideologi adalah dasar suatu
negara di mana cita-cita suatu bangsa ditatah dengan indah dan menjadi dasar
harapan dalam hidup berkenegaraan. Tetapi, di Indonesia, dari sinilah awal
ironisme terjadi ketika Pancasila, sang ideologi, menemui realitasnya.
Pancasila, ciptaan Sukarno,
memang indah. Entah bagaimana sang proklamator menghasilkan ide kemanusiaan
yang begitu brilian. Duniapun bahkan tercengang ketika Pancasila pertama kali
dibacakan di depan PBB. “Mana mungkin ada ide tersebut? Bagaiamana
implementasinya? Ah, ada-ada saja Sukarno ini...,” begitu kira-kira kata-kata
yang terlontar dari mulut petinggi negara-negara di sana pada saat itu. Kagum
sekaligus ragu.
Tapi itulah Sukarno,
satu-satunya manusia Indonesia yang pernah membuat rakyat ini bangga sebagai
bangsa Indonesia. Tapi masalahnya, apa benar bisa terwujud sebuah masyarakat
yang berketuhanan, berkemanusiaan dan beradab, bersatu, bermusyawarah dan
berdemokrasi, dan berkeadilan sosial di negeri ini.
Setelah 55 tahun setelah
kelahirannya, terbukti sudah Pancasila hanyalah sebuah ide belaka. Yang
semata-mata dihafalkan siswa SD untuk bisa naik kelas. Yang dibacakan para
peserta upacara 17 Agustusan. Yang tertulis dalam poster murahan dan dipajang
di kantor-kantor pemerintah. Yang hanya identik dengan seekor burung Garuda
yang digantung di ruang-ruang hampa, sebagai suatu hiasan tanpa makna.
Pancasila adalah makna tanpa
makna. Di mana berketuhanan adalah 'tak berketuhanan'. Ketika hakikat Tuhan
bertemu realitas 'tuhan-tuhan' dalam ritual agama, yang menjadi simbol dalam
berpolitik, simbol dalam mencari kekuasaan, simbol dalam mengumpulkan uang dan
uang. Dan lebih ironis lagi, simbol untuk menumpahkan darah bagi 'anda yang
memiliki Tuhan yang berbeda'. Lalu di manakah Tuhan diletakkan, ketika ribuan
nyawa tercabut atas nama Tuhan masing-masing? Berketuhanankah ketika ratusan
rumah ibadah dihancurleburkan sambil meneriakkan kata-kata suci? Masih adakah
Tuhan di hati ketika kepala saudara sendiri ditebas demi kemenangan 'Tuhan'?
Gugurlah sila pertama.
Pancasila, hanyalah kumpulan
sila-sila. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam realitasnya kemanusiaan
yang sadis dan biadab. Di mana setiap manusia bisa mencabut nyawa yang lain
atas nama Pancasila itu sendiri. Di mana rasa aman sudah lenyap bersama
kemanusiaan itu sendiri. Di mana keadilan telah bermetamorfosa menjadi barang
dagangan dalam bisnis miliaran rupiah dan karenanya hanya untuk kalangan
pemilik kapital. Keadilan tidak lagi universal. Keadilan tidak lagi untuk semua
orang. Keadilan adalah hak eksklusif bagi sekelompok orang demi kepentingan
perut dan nafsu.
Peradaban telah berwujud
kebiadaban. Nyawa manusia hanyalah statistik karena hidup mereka bukan urusan
sang penguasa. Dan karenanya ketika jutaan manusia tewas, lenyap nyaris tanpa
kubur, adalah lumrah selama kekuasaan aman dan penguasa tenteram dalam gemilang
nama besar dan harta berlimpah. Itulah peradaban yang dibangun di atas
kebiadaban dan kekerasan. Dengan fondasi nafsu dan dengan naluri untuk tetap di
atas. Dan akhirnya sila kedua gugur.
Pancasila “sama aja bo’ong.”
Bersatulah rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi atas nama apa dan
karena apa? Demi keuntungan Jakarta? Demi kesejahteraan Cendana? Atau demi
perut-perut sang keluarga? Tapi, namanya rakyat tetap rakyat, selalu tak
berdaya. Bersatu adalah pilihan dari pilihan tanpa pilihan. Mau bagaimana lagi?
Aceh sudah di-DOM, Riau sudah dikebiri, Kalimantan sudah dikuasai, Papua sudah
di'nasionalisasi'.
Dan karenanya, terima kasih
untuk para tentara atas jasa 'persatuan dan kesatuan'nya dalam menjaga bumi
pertiwi ini tetap dalam rangkulan sang penguasa. Kini, persatuan menjadi kata
hambar yang memuakkan karena persatuan tak lain dari penjajahan. Dan jangan
heran ketika orang-orangpun meneriakkan kata merdeka sebagai harga mati. Sila
ketigapun musnah sudah.
Pancasila itu bagai video
game. Tak lebih dari sebuah mainan dengan seperangkat aturan yang dibuat untuk
kesenangan sang pemain. Dan permainan itu bertajuk 'demokrasi' dan supaya lebih
mudah dimainkan, jadilah sebuah game Demokrasi Pancasila. Sebuah game yang bisa
dikontrol untuk menang dan kalau kalah bisa diset ulang. Jadi, tidak perlu
takut untuk kalah karena itu semua permainan. Toh demokrasi itu hanyalah mimpi
para filsuf Yunani klasik nun jauh di sana. Jadi cukup sebatas mimpi saja, jauh
dari realisasi. Hilanglah sila keempat.
Pancasila memang memabukkan
dengan kata penutupnya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua
bangsa ingin kata-kata ini, tidak peduli kapitalisme atau komunisme. Semua
ingin keadilan sosial, di mana rakyat tercukupi kebutuhannya dan terjaga
keamanannya. Sayangnya, dari zaman Sukarno sampai Seoharto, hingga Habibie dan
Gus Dur, keadilan sosial hanyalah retorika.
Adilkah jika jutaan penduduk
harus bertahan hidup tanpa rumah, sementara segelintir orang berumah mewah
seluas lapangan golf (belum termasuk lapangan golf itu sendiri)? Adilkah jika
kendaraan-kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah milik para pejabat harus
ditanggung oleh keringat jutaan para pegawai negeri dalam membayar pajak?
Adilkah jika ratusan triliun rupiah dengan mudah dikeluarkan untuk satu
kelompok bisnis koruptor sementara para guru harus rela dengan gaji sebulan
yang nilainya habis dengan satu kali makan siang para koruptor tersebut?
Adilkah jika rakyat Papua harus mati kelaparan beberapa ratus meter dari gunung
emas milik mereka sendiri? Adilkah jika rakyat Aceh terbantai dan miskin ketika
ladang minyak mereka dihisap habis oleh keluarga yang itu-itu juga? Adilkah
jika 90% harta negeri ini dimiliki oleh sekumpulan pseudo capitalist yang
menghabiskan uang rakyat di meja-meja judi? Adilkah..., dan sebagainya dan
sebagainya. Dan akhirnya, keadilan sosial hanya bagi sekelompok kecil rakyat
Indonesia.
Bangkrutnya Republik
Kini dan nanti, hampir tidak
ada alasan rasional lagi untuk mempertahankan republik ini jika ironi dan ironi
tetap lestari oleh suatu sistem yang terkudeta oleh para politisi kelas
kambing, pemilik kapital serakah, dan pejabat-pekabat bertangan kotor. Rakyat
sudah jenuh dengan itu semua.
Sebuah negara, sebuah
republik tak akan mampu bertahan lagi jika rakyatnya sudah capek untuk
bernegara, sudah muak untuk berharap, dan sudah jijik dengan kata-kata sang
'negarawan'. Indonesia adalah republik yang keropos karena gigitan-gigitan
tikus-tikus sang negarawan selama miliaran detik. Jika itu semua terus terjadi,
maka berlakulah teori survival of the fittest, di mana hukum rimba dan anarki
adalah satu-satunya pedoman.
Apakah kita ingin seperti
itu? Tentu tidak. Dan karenanya semua harus sadar. Sadar sesadarnya bahwa
republik ini harus diselamatkan. Bukan semata karena alasan ekonomi, juga bukan
karena alasan ideologi, terlebih lagi alasan politik. Tetapi karena nilai
kemanusiaan. Bahwa kita semua berhak menghirup atmosfir ketenteraman dan
kedamaian. Dan hanya satu yang bisa jadi pedoman: hati nurani. ***
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as