Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    republik ironi

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    republik ironi Empty republik ironi

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 8:53 pm

    Republik Ironis





    Welcome to the irony of
    society, where every body is the king, where every body rules the way, where
    anarchy is the law, where money is the heavens, where politician is hypocrite,
    while people are the ocean of nothing, helplessly and hopelessly..."


    Tersebutlah sebuah negeri
    yang indah, di untaian khatulistiwa yang gemah ripah nan sentosa. Negeri itu
    terkenal dengan manusianya yang ramah. Mereka cerdas dengan lelaki yang tampan
    dan perempuan yang cantik. Mereka hidup rukun dan saling menghargai satu sama
    lain. Gotong royong adalah budaya yang sangat kental di negeri itu, dimana
    setiap manusianya adalah bagian dari manusia yang lain.


    Tetapi, sayang, semua itu
    hanyalah omong kosong belaka karena manusianya penuh dengan topeng. Topeng dari
    realitas yang berlawanan. Itulah Indonesia, negeri dengan masalah yang sama
    dengan jumlah penduduknya. Negeri yang kaya tapi penduduknya salah satu
    termiskin di dunia. Negeri di mana darah dan tangis tak bermakna lagi. Sebuah
    republik dengan segala ironisme yang pernah ada bagi suatu bangsa.





    Ironisme Ideologi


    Ideologi adalah dasar suatu
    negara di mana cita-cita suatu bangsa ditatah dengan indah dan menjadi dasar
    harapan dalam hidup berkenegaraan. Tetapi, di Indonesia, dari sinilah awal
    ironisme terjadi ketika Pancasila, sang ideologi, menemui realitasnya.


    Pancasila, ciptaan Sukarno,
    memang indah. Entah bagaimana sang proklamator menghasilkan ide kemanusiaan
    yang begitu brilian. Duniapun bahkan tercengang ketika Pancasila pertama kali
    dibacakan di depan PBB. “Mana mungkin ada ide tersebut? Bagaiamana
    implementasinya? Ah, ada-ada saja Sukarno ini...,” begitu kira-kira kata-kata
    yang terlontar dari mulut petinggi negara-negara di sana pada saat itu. Kagum
    sekaligus ragu.


    Tapi itulah Sukarno,
    satu-satunya manusia Indonesia yang pernah membuat rakyat ini bangga sebagai
    bangsa Indonesia. Tapi masalahnya, apa benar bisa terwujud sebuah masyarakat
    yang berketuhanan, berkemanusiaan dan beradab, bersatu, bermusyawarah dan
    berdemokrasi, dan berkeadilan sosial di negeri ini.


    Setelah 55 tahun setelah
    kelahirannya, terbukti sudah Pancasila hanyalah sebuah ide belaka. Yang
    semata-mata dihafalkan siswa SD untuk bisa naik kelas. Yang dibacakan para
    peserta upacara 17 Agustusan. Yang tertulis dalam poster murahan dan dipajang
    di kantor-kantor pemerintah. Yang hanya identik dengan seekor burung Garuda
    yang digantung di ruang-ruang hampa, sebagai suatu hiasan tanpa makna.


    Pancasila adalah makna tanpa
    makna. Di mana berketuhanan adalah 'tak berketuhanan'. Ketika hakikat Tuhan
    bertemu realitas 'tuhan-tuhan' dalam ritual agama, yang menjadi simbol dalam
    berpolitik, simbol dalam mencari kekuasaan, simbol dalam mengumpulkan uang dan
    uang. Dan lebih ironis lagi, simbol untuk menumpahkan darah bagi 'anda yang
    memiliki Tuhan yang berbeda'. Lalu di manakah Tuhan diletakkan, ketika ribuan
    nyawa tercabut atas nama Tuhan masing-masing? Berketuhanankah ketika ratusan
    rumah ibadah dihancurleburkan sambil meneriakkan kata-kata suci? Masih adakah
    Tuhan di hati ketika kepala saudara sendiri ditebas demi kemenangan 'Tuhan'?
    Gugurlah sila pertama.


    Pancasila, hanyalah kumpulan
    sila-sila. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam realitasnya kemanusiaan
    yang sadis dan biadab. Di mana setiap manusia bisa mencabut nyawa yang lain
    atas nama Pancasila itu sendiri. Di mana rasa aman sudah lenyap bersama
    kemanusiaan itu sendiri. Di mana keadilan telah bermetamorfosa menjadi barang
    dagangan dalam bisnis miliaran rupiah dan karenanya hanya untuk kalangan
    pemilik kapital. Keadilan tidak lagi universal. Keadilan tidak lagi untuk semua
    orang. Keadilan adalah hak eksklusif bagi sekelompok orang demi kepentingan
    perut dan nafsu.


    Peradaban telah berwujud
    kebiadaban. Nyawa manusia hanyalah statistik karena hidup mereka bukan urusan
    sang penguasa. Dan karenanya ketika jutaan manusia tewas, lenyap nyaris tanpa
    kubur, adalah lumrah selama kekuasaan aman dan penguasa tenteram dalam gemilang
    nama besar dan harta berlimpah. Itulah peradaban yang dibangun di atas
    kebiadaban dan kekerasan. Dengan fondasi nafsu dan dengan naluri untuk tetap di
    atas. Dan akhirnya sila kedua gugur.


    Pancasila “sama aja bo’ong.”
    Bersatulah rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi atas nama apa dan
    karena apa? Demi keuntungan Jakarta? Demi kesejahteraan Cendana? Atau demi
    perut-perut sang keluarga? Tapi, namanya rakyat tetap rakyat, selalu tak
    berdaya. Bersatu adalah pilihan dari pilihan tanpa pilihan. Mau bagaimana lagi?
    Aceh sudah di-DOM, Riau sudah dikebiri, Kalimantan sudah dikuasai, Papua sudah
    di'nasionalisasi'.


    Dan karenanya, terima kasih
    untuk para tentara atas jasa 'persatuan dan kesatuan'nya dalam menjaga bumi
    pertiwi ini tetap dalam rangkulan sang penguasa. Kini, persatuan menjadi kata
    hambar yang memuakkan karena persatuan tak lain dari penjajahan. Dan jangan
    heran ketika orang-orangpun meneriakkan kata merdeka sebagai harga mati. Sila
    ketigapun musnah sudah.


    Pancasila itu bagai video
    game. Tak lebih dari sebuah mainan dengan seperangkat aturan yang dibuat untuk
    kesenangan sang pemain. Dan permainan itu bertajuk 'demokrasi' dan supaya lebih
    mudah dimainkan, jadilah sebuah game Demokrasi Pancasila. Sebuah game yang bisa
    dikontrol untuk menang dan kalau kalah bisa diset ulang. Jadi, tidak perlu
    takut untuk kalah karena itu semua permainan. Toh demokrasi itu hanyalah mimpi
    para filsuf Yunani klasik nun jauh di sana. Jadi cukup sebatas mimpi saja, jauh
    dari realisasi. Hilanglah sila keempat.


    Pancasila memang memabukkan
    dengan kata penutupnya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua
    bangsa ingin kata-kata ini, tidak peduli kapitalisme atau komunisme. Semua
    ingin keadilan sosial, di mana rakyat tercukupi kebutuhannya dan terjaga
    keamanannya. Sayangnya, dari zaman Sukarno sampai Seoharto, hingga Habibie dan
    Gus Dur, keadilan sosial hanyalah retorika.


    Adilkah jika jutaan penduduk
    harus bertahan hidup tanpa rumah, sementara segelintir orang berumah mewah
    seluas lapangan golf (belum termasuk lapangan golf itu sendiri)? Adilkah jika
    kendaraan-kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah milik para pejabat harus
    ditanggung oleh keringat jutaan para pegawai negeri dalam membayar pajak?
    Adilkah jika ratusan triliun rupiah dengan mudah dikeluarkan untuk satu
    kelompok bisnis koruptor sementara para guru harus rela dengan gaji sebulan
    yang nilainya habis dengan satu kali makan siang para koruptor tersebut?
    Adilkah jika rakyat Papua harus mati kelaparan beberapa ratus meter dari gunung
    emas milik mereka sendiri? Adilkah jika rakyat Aceh terbantai dan miskin ketika
    ladang minyak mereka dihisap habis oleh keluarga yang itu-itu juga? Adilkah
    jika 90% harta negeri ini dimiliki oleh sekumpulan pseudo capitalist yang
    menghabiskan uang rakyat di meja-meja judi? Adilkah..., dan sebagainya dan
    sebagainya. Dan akhirnya, keadilan sosial hanya bagi sekelompok kecil rakyat
    Indonesia.





    Bangkrutnya Republik


    Kini dan nanti, hampir tidak
    ada alasan rasional lagi untuk mempertahankan republik ini jika ironi dan ironi
    tetap lestari oleh suatu sistem yang terkudeta oleh para politisi kelas
    kambing, pemilik kapital serakah, dan pejabat-pekabat bertangan kotor. Rakyat
    sudah jenuh dengan itu semua.


    Sebuah negara, sebuah
    republik tak akan mampu bertahan lagi jika rakyatnya sudah capek untuk
    bernegara, sudah muak untuk berharap, dan sudah jijik dengan kata-kata sang
    'negarawan'. Indonesia adalah republik yang keropos karena gigitan-gigitan
    tikus-tikus sang negarawan selama miliaran detik. Jika itu semua terus terjadi,
    maka berlakulah teori survival of the fittest, di mana hukum rimba dan anarki
    adalah satu-satunya pedoman.


    Apakah kita ingin seperti
    itu? Tentu tidak. Dan karenanya semua harus sadar. Sadar sesadarnya bahwa
    republik ini harus diselamatkan. Bukan semata karena alasan ekonomi, juga bukan
    karena alasan ideologi, terlebih lagi alasan politik. Tetapi karena nilai
    kemanusiaan. Bahwa kita semua berhak menghirup atmosfir ketenteraman dan
    kedamaian. Dan hanya satu yang bisa jadi pedoman: hati nurani. ***

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 7:51 am