Remaja Bermasalah,
Tanggung Jawab Siapa?
SEORANG ayah termangu di hadapan kepala sekolah. Putranya yang selama ini ia
anggap "anak manis", terbukti menghancurkan kaca-kaca mobil sang
kepala sekolah. Persoalannya jadi panjang, karena selepas mengumbar aksi
hooligan-nya itu si anak berteriak-teriak lantang, "Ayo... siapa
berani tangkap gue, artinya bakal urusan sama babe gue!”
Ilustrasi di atas menunjukkan betapa "berbahaya"-nya terminologi
babe gue. Memang, ini hanya berlaku bagi anak-anak yang menganggap bahwa
orang tuanya mampu dan akan berbuat apa saja demi kepentingan mereka. Pendek
kata, semakin besar tingkat kesuksesan dan keberpengaruhan seorang ayah atau
ibu, baik karier maupun kasta sosial kemasyarakatan, kian menganga jualah
kemungkinan ke arah pemanfaaan-pemanfaatan yang keliru terhadap istilah babe
gue, terutama bila mereka alpa membangun fondasi ideal.
Faktanya, pada beberapa kasus kenakalan, pelanggaran hukum, atau kejahatan
remaja, kerap dijumpai si pelaku berasal dari keluarga maupun pasangan orang
tua baik-baik.
Makanya, orang tua kerap terkaget-kaget ketika mendapati kelakuan anaknya
ternyata bertolak belakang dengan yang setiap hari mereka lihat.
Belakangan, mencuat fakta bahwa Almarhum Aip Hidayat, tersangka pelaku bom
Bali II, ternyata berasal dari keluarga baik-baik juga. Kedua orang tuanya -
yang begitu taat pada agama - sama sekali tidak menyangka putranya jadi
tersangka teroris (Pikiran Rakyat, 20 November 2005).
Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Lalu, kalau anak telanjur bermasalah,
ini jadi tanggung jawab siapa? Orang tua, guru, ataukah aparat hukum?
**
E. KENT Hayes, dalam bukunya Why Hood Parent Have Bad Kids,
mengemukakan contoh kasus Robert Winston (20). Pria usia remaja ini terkena
hukuman penjara 10 tahun lebih lantaran merampok toko minuman keras dengan
senjata. Padahal, ayah anak tunggal ini seorang eksekutif perusahaan asing yang
sukses, sekaligus anggota dewan direktur universitas almamaternya. Ibunya
seorang aktivis sosial yang rajin berderma.
Kasus lain, seorang remaja yang rajin, taat, dan baik hati, berasal dari
keluarga terpandang, tiba-tiba kedapatan mencuri mobil dan tertangkap. Padahal,
bagi keluarganya mobil bukanlah barang yang sulit dijangkau. Jadi, kenapa ia
nekat menggasak mobil?
Guna melihat sisi lebih dalam dari persoalan ini, ada baiknya kita amati
lebih dulu latar belakang keluarganya. Kalaupun orang tuanya disebut-sebut
sebagai good parents alias orang tua baik-baik, lantas baiknya itu untuk
siapa?
Sebab, sepasang orang tua terhormat, apalagi sukses dan bereputasi baik
masih perlu melihat lagi, apakah perannya terhadap anak-anaknya juga sama
bagusnya. Benarkah mereka telah menjalankan manajemen rumah tangga dengan baik
juga, misalnya?
Pada dasarnya, ada beberapa unsur besar yang sering berpengaruh pada perilaku
anak. Salah satunya adalah kondisi fisik rumah. Terlalu sempit tidak baik,
kelewat luas pun tak menguntungkan, karena mengurangi keakraban. Selain itu,
ada juga faktor fasilitas keluarga. Peralatan dan perlengkapan rumah, idealnya,
jadi sarana belajar dan sumber inspirasi. Bukan sebaliknya, malah menjadikan
anak individual dan tidak memedulikan lingkungan.
Faktor lainnya, ketidakharmonisan manajemen waktu rumah tangga yang mencakup
jadwal kegiatan harian keluarga. Tak sedikit anak dari orang tua yang sangat
sibuk merasa asing di rumah sendiri. Aturan disiplin kurang jelas atau bahkan
tidak ada. Perlakuan orang tua terhadap anak pun, ujung-ujungnya, kelewat
bersandar pada sisi emosional, tanpa keseimbangan antara perasaan dan nalar.
Selain itu, suasana keluarga juga berpengaruh pada perilaku anak. Orang tua
yang kurang mengarahkan suasana pada segi-segi sosial dan kognitif akan
menumbuhkan sisi individualis dan egoisme anak. Sementara hubungan antar
anggota keluarga yang kurang mesra, tidak saling menghargai, tidak menghormati
tanggung jawab pribadi, tidak menciptakan kemandirian, berpotensi membuahkan
karakter negatif anak.
Anak bisa jadi bermasalah bila ia tak mendapatkan kasih sayang, tak punya
kesempatan merasakan pengalaman baru, tak pernah memperoleh penghargaan, serta
tak punya peluang untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab.
Memang, suatu sebab negatif tidak selalu membawa akibat yang sama, lantaran
temperamen pun berbeda-beda. Ada anak pemarah, ada juga anak penyabar. Ada yang
cerdas, ada juga anak berdaya pikir lambat. Ujung-ujungnya, penyesuaian diri
dan keterampilannya saat menghadapi setiap masalah berbeda pula.
Lebih jauh, Kent Hayes membeberkan 12 indikator kecenderungan kenakalan
anak, yakni mencuri lebih dari satu kali, lari dari rumah, sering berbohong,
sengaja membakar sesuatu sampai mengakibatkan kebakaran, membolos dari sekolah,
masuk rumah atau kendaraan orang lain tanpa izin, gemar merusak barang milik
orang lain, kejam secara fisik terhadap binatang maupun teman, memaksa lawan jenis
untuk melakukan aktivitas seksual, sering menggunakan senjata dalam
perkelahian, sering memulai perkelahian, mendorong atau merampok.
**
BAHWA mendidik anak merupakan tanggung jawab utama orang tua, itu sepenuhnya
benar. Lantas, di mana peran lembaga sekolah? Pada intinya, sekolah hanya
membantu orang tua mendidik anak. Sebaliknya, kewajiban utama sekolah adalah
mengajar anak.
Faktanya, lantaran tak mau pusing dan tak punya banyak waktu, banyak orang
tua yang mengalihkan begitu saja tanggung jawab mendidik anak pada sekolah.
Bahkan, jika anaknya kedapatan berperilaku kriminal, tak jarang orang tua
langsung menuding sekolah atau gurunya. Keadaan ini bisa bertambah parah kalau
remaja bermasalah mengetahui bahwa orang tuanya menyalahkan sekolah. Ya,
ujung-ujungnya anak merasa "dibela" orang tuanya, meskipun
jelas-jelas bersalah. Lalu, muncul terminologi "babe gue"
tadi.
Bisa jadi, tudingan pada sekolah muncul lantaran ada kerancuan pengertian
antara mendidik dan mengajar. Padahal, pada hakikatnya, mendidik lebih mengarah
pada pembentukan moral, sedangkan mengajar lebih pada perkembangan
intelektualnya. Makanya, tak tepat kalau orang tua membebankan pada sekolah
sepenuhnya agar si anak jadi pintar sekaligus bermoral sempurna. Sebab, tugas
pendidikan moral sebenarnya merupakan "jatah" orang tua.
Benar, dalam kegiatan belajar mengajar, sekolah menyertakan sisi
pendidikannya. Tapi, itu lebih terarah pada penciptaan suasana belajar. Jadi,
bukan pendidikan moral langsung. Misalnya saja, di rumah anak-anak dididik untuk
menutup mulut kalau sedang makan, agar sopan. Di sekolah, guru mengajar mereka
tutup mulut agar tidak mengganggu kawan-kawannya yang sedang belajar. Lepas
dari urusan sopan atau tidak.
Tak termungkiri, guru utama anak adalah orang tua. Idealnya, proses ini
terjadi pada tahapan infancy, sejak anak di pangkuan.
Masalahnya sekarang, kini banyak orang tua yang sibuk bekerja menetapkan
prinsip kualitas perhatian pada anak lebih penting dibanding kuantitas.
Sebenarnya itu sah-sah saja, meskipun idealnya orang tua tetap bersikap wajar.
Artinya, orang tua tak perlu merasa bersalah lantaran kurang punya waktu lantas
jadi bersikap berlebihan.
Orang tua juga perlu menimbang timing. Kira-kira kapankah saat paling
tepat untuk menumpahkan perhatian pada anak. Sebaiknya, jangan sampai anak
sedang tidur atau asyik bermain, orang tua memaksakan perhatian karena waktunya
cuma sedikit.
Guna memperkecil akibat negatif dari terbatasnya waktu untuk anak, orang tua
bisa menerapkan beberapa hal, antara lain menerapkan disiplin tegas dan
komunikasi efektif. Tegas tidak berarti keras. Misalnya, jika anak pulang
sekolah sementara orang tua belum kembali, beri pengertian agar ia mengambil
sendiri makan siangnya. Jurus lain, buatlah agar anak betah di rumah. Sebab
berada di rumah dan dikunjungi kawan-kawannya, masih lebih baik daripada
sebaliknya.
Akhir kata, sangat menggembirakan jika setiap orang tua mau berusaha agar
tak satu pun dari 12 indikator Kent Hayes tadi muncul pada perilaku anak,
semisal aksi hooligan tadi, terlebih sampai menjadikan babe gue"
sebagai senjata. Jika itu sampai terjadi, sebaiknya orang tua pasang kuda-kuda
dan bersikap (lebih) waspada. (Elsya Tri Ahaddini, SH)***
Tanggung Jawab Siapa?
SEORANG ayah termangu di hadapan kepala sekolah. Putranya yang selama ini ia
anggap "anak manis", terbukti menghancurkan kaca-kaca mobil sang
kepala sekolah. Persoalannya jadi panjang, karena selepas mengumbar aksi
hooligan-nya itu si anak berteriak-teriak lantang, "Ayo... siapa
berani tangkap gue, artinya bakal urusan sama babe gue!”
Ilustrasi di atas menunjukkan betapa "berbahaya"-nya terminologi
babe gue. Memang, ini hanya berlaku bagi anak-anak yang menganggap bahwa
orang tuanya mampu dan akan berbuat apa saja demi kepentingan mereka. Pendek
kata, semakin besar tingkat kesuksesan dan keberpengaruhan seorang ayah atau
ibu, baik karier maupun kasta sosial kemasyarakatan, kian menganga jualah
kemungkinan ke arah pemanfaaan-pemanfaatan yang keliru terhadap istilah babe
gue, terutama bila mereka alpa membangun fondasi ideal.
Faktanya, pada beberapa kasus kenakalan, pelanggaran hukum, atau kejahatan
remaja, kerap dijumpai si pelaku berasal dari keluarga maupun pasangan orang
tua baik-baik.
Makanya, orang tua kerap terkaget-kaget ketika mendapati kelakuan anaknya
ternyata bertolak belakang dengan yang setiap hari mereka lihat.
Belakangan, mencuat fakta bahwa Almarhum Aip Hidayat, tersangka pelaku bom
Bali II, ternyata berasal dari keluarga baik-baik juga. Kedua orang tuanya -
yang begitu taat pada agama - sama sekali tidak menyangka putranya jadi
tersangka teroris (Pikiran Rakyat, 20 November 2005).
Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Lalu, kalau anak telanjur bermasalah,
ini jadi tanggung jawab siapa? Orang tua, guru, ataukah aparat hukum?
**
E. KENT Hayes, dalam bukunya Why Hood Parent Have Bad Kids,
mengemukakan contoh kasus Robert Winston (20). Pria usia remaja ini terkena
hukuman penjara 10 tahun lebih lantaran merampok toko minuman keras dengan
senjata. Padahal, ayah anak tunggal ini seorang eksekutif perusahaan asing yang
sukses, sekaligus anggota dewan direktur universitas almamaternya. Ibunya
seorang aktivis sosial yang rajin berderma.
Kasus lain, seorang remaja yang rajin, taat, dan baik hati, berasal dari
keluarga terpandang, tiba-tiba kedapatan mencuri mobil dan tertangkap. Padahal,
bagi keluarganya mobil bukanlah barang yang sulit dijangkau. Jadi, kenapa ia
nekat menggasak mobil?
Guna melihat sisi lebih dalam dari persoalan ini, ada baiknya kita amati
lebih dulu latar belakang keluarganya. Kalaupun orang tuanya disebut-sebut
sebagai good parents alias orang tua baik-baik, lantas baiknya itu untuk
siapa?
Sebab, sepasang orang tua terhormat, apalagi sukses dan bereputasi baik
masih perlu melihat lagi, apakah perannya terhadap anak-anaknya juga sama
bagusnya. Benarkah mereka telah menjalankan manajemen rumah tangga dengan baik
juga, misalnya?
Pada dasarnya, ada beberapa unsur besar yang sering berpengaruh pada perilaku
anak. Salah satunya adalah kondisi fisik rumah. Terlalu sempit tidak baik,
kelewat luas pun tak menguntungkan, karena mengurangi keakraban. Selain itu,
ada juga faktor fasilitas keluarga. Peralatan dan perlengkapan rumah, idealnya,
jadi sarana belajar dan sumber inspirasi. Bukan sebaliknya, malah menjadikan
anak individual dan tidak memedulikan lingkungan.
Faktor lainnya, ketidakharmonisan manajemen waktu rumah tangga yang mencakup
jadwal kegiatan harian keluarga. Tak sedikit anak dari orang tua yang sangat
sibuk merasa asing di rumah sendiri. Aturan disiplin kurang jelas atau bahkan
tidak ada. Perlakuan orang tua terhadap anak pun, ujung-ujungnya, kelewat
bersandar pada sisi emosional, tanpa keseimbangan antara perasaan dan nalar.
Selain itu, suasana keluarga juga berpengaruh pada perilaku anak. Orang tua
yang kurang mengarahkan suasana pada segi-segi sosial dan kognitif akan
menumbuhkan sisi individualis dan egoisme anak. Sementara hubungan antar
anggota keluarga yang kurang mesra, tidak saling menghargai, tidak menghormati
tanggung jawab pribadi, tidak menciptakan kemandirian, berpotensi membuahkan
karakter negatif anak.
Anak bisa jadi bermasalah bila ia tak mendapatkan kasih sayang, tak punya
kesempatan merasakan pengalaman baru, tak pernah memperoleh penghargaan, serta
tak punya peluang untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab.
Memang, suatu sebab negatif tidak selalu membawa akibat yang sama, lantaran
temperamen pun berbeda-beda. Ada anak pemarah, ada juga anak penyabar. Ada yang
cerdas, ada juga anak berdaya pikir lambat. Ujung-ujungnya, penyesuaian diri
dan keterampilannya saat menghadapi setiap masalah berbeda pula.
Lebih jauh, Kent Hayes membeberkan 12 indikator kecenderungan kenakalan
anak, yakni mencuri lebih dari satu kali, lari dari rumah, sering berbohong,
sengaja membakar sesuatu sampai mengakibatkan kebakaran, membolos dari sekolah,
masuk rumah atau kendaraan orang lain tanpa izin, gemar merusak barang milik
orang lain, kejam secara fisik terhadap binatang maupun teman, memaksa lawan jenis
untuk melakukan aktivitas seksual, sering menggunakan senjata dalam
perkelahian, sering memulai perkelahian, mendorong atau merampok.
**
BAHWA mendidik anak merupakan tanggung jawab utama orang tua, itu sepenuhnya
benar. Lantas, di mana peran lembaga sekolah? Pada intinya, sekolah hanya
membantu orang tua mendidik anak. Sebaliknya, kewajiban utama sekolah adalah
mengajar anak.
Faktanya, lantaran tak mau pusing dan tak punya banyak waktu, banyak orang
tua yang mengalihkan begitu saja tanggung jawab mendidik anak pada sekolah.
Bahkan, jika anaknya kedapatan berperilaku kriminal, tak jarang orang tua
langsung menuding sekolah atau gurunya. Keadaan ini bisa bertambah parah kalau
remaja bermasalah mengetahui bahwa orang tuanya menyalahkan sekolah. Ya,
ujung-ujungnya anak merasa "dibela" orang tuanya, meskipun
jelas-jelas bersalah. Lalu, muncul terminologi "babe gue"
tadi.
Bisa jadi, tudingan pada sekolah muncul lantaran ada kerancuan pengertian
antara mendidik dan mengajar. Padahal, pada hakikatnya, mendidik lebih mengarah
pada pembentukan moral, sedangkan mengajar lebih pada perkembangan
intelektualnya. Makanya, tak tepat kalau orang tua membebankan pada sekolah
sepenuhnya agar si anak jadi pintar sekaligus bermoral sempurna. Sebab, tugas
pendidikan moral sebenarnya merupakan "jatah" orang tua.
Benar, dalam kegiatan belajar mengajar, sekolah menyertakan sisi
pendidikannya. Tapi, itu lebih terarah pada penciptaan suasana belajar. Jadi,
bukan pendidikan moral langsung. Misalnya saja, di rumah anak-anak dididik untuk
menutup mulut kalau sedang makan, agar sopan. Di sekolah, guru mengajar mereka
tutup mulut agar tidak mengganggu kawan-kawannya yang sedang belajar. Lepas
dari urusan sopan atau tidak.
Tak termungkiri, guru utama anak adalah orang tua. Idealnya, proses ini
terjadi pada tahapan infancy, sejak anak di pangkuan.
Masalahnya sekarang, kini banyak orang tua yang sibuk bekerja menetapkan
prinsip kualitas perhatian pada anak lebih penting dibanding kuantitas.
Sebenarnya itu sah-sah saja, meskipun idealnya orang tua tetap bersikap wajar.
Artinya, orang tua tak perlu merasa bersalah lantaran kurang punya waktu lantas
jadi bersikap berlebihan.
Orang tua juga perlu menimbang timing. Kira-kira kapankah saat paling
tepat untuk menumpahkan perhatian pada anak. Sebaiknya, jangan sampai anak
sedang tidur atau asyik bermain, orang tua memaksakan perhatian karena waktunya
cuma sedikit.
Guna memperkecil akibat negatif dari terbatasnya waktu untuk anak, orang tua
bisa menerapkan beberapa hal, antara lain menerapkan disiplin tegas dan
komunikasi efektif. Tegas tidak berarti keras. Misalnya, jika anak pulang
sekolah sementara orang tua belum kembali, beri pengertian agar ia mengambil
sendiri makan siangnya. Jurus lain, buatlah agar anak betah di rumah. Sebab
berada di rumah dan dikunjungi kawan-kawannya, masih lebih baik daripada
sebaliknya.
Akhir kata, sangat menggembirakan jika setiap orang tua mau berusaha agar
tak satu pun dari 12 indikator Kent Hayes tadi muncul pada perilaku anak,
semisal aksi hooligan tadi, terlebih sampai menjadikan babe gue"
sebagai senjata. Jika itu sampai terjadi, sebaiknya orang tua pasang kuda-kuda
dan bersikap (lebih) waspada. (Elsya Tri Ahaddini, SH)***
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as