Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    remaja bermasalah tanggungjawab siapa

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    remaja bermasalah tanggungjawab siapa Empty remaja bermasalah tanggungjawab siapa

    Post by ratri Thu Jun 03, 2010 9:27 pm

    Remaja Bermasalah,
    Tanggung Jawab Siapa?


    SEORANG ayah termangu di hadapan kepala sekolah. Putranya yang selama ini ia
    anggap "anak manis", terbukti menghancurkan kaca-kaca mobil sang
    kepala sekolah. Persoalannya jadi panjang, karena selepas mengumbar aksi
    hooligan-
    nya itu si anak berteriak-teriak lantang, "Ayo... siapa
    berani tangkap gue, artinya bakal urusan sama babe gue!”

    Ilustrasi di atas menunjukkan betapa "berbahaya"-nya terminologi
    babe gue.
    Memang, ini hanya berlaku bagi anak-anak yang menganggap bahwa
    orang tuanya mampu dan akan berbuat apa saja demi kepentingan mereka. Pendek
    kata, semakin besar tingkat kesuksesan dan keberpengaruhan seorang ayah atau
    ibu, baik karier maupun kasta sosial kemasyarakatan, kian menganga jualah
    kemungkinan ke arah pemanfaaan-pemanfaatan yang keliru terhadap istilah babe
    gue,
    terutama bila mereka alpa membangun fondasi ideal.

    Faktanya, pada beberapa kasus kenakalan, pelanggaran hukum, atau kejahatan
    remaja, kerap dijumpai si pelaku berasal dari keluarga maupun pasangan orang
    tua baik-baik.

    Makanya, orang tua kerap terkaget-kaget ketika mendapati kelakuan anaknya
    ternyata bertolak belakang dengan yang setiap hari mereka lihat.

    Belakangan, mencuat fakta bahwa Almarhum Aip Hidayat, tersangka pelaku bom
    Bali II, ternyata berasal dari keluarga baik-baik juga. Kedua orang tuanya -
    yang begitu taat pada agama - sama sekali tidak menyangka putranya jadi
    tersangka teroris (Pikiran Rakyat, 20 November 2005).

    Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Lalu, kalau anak telanjur bermasalah,
    ini jadi tanggung jawab siapa? Orang tua, guru, ataukah aparat hukum?


    **

    E. KENT Hayes, dalam bukunya Why Hood Parent Have Bad Kids,
    mengemukakan contoh kasus Robert Winston (20). Pria usia remaja ini terkena
    hukuman penjara 10 tahun lebih lantaran merampok toko minuman keras dengan
    senjata. Padahal, ayah anak tunggal ini seorang eksekutif perusahaan asing yang
    sukses, sekaligus anggota dewan direktur universitas almamaternya. Ibunya
    seorang aktivis sosial yang rajin berderma.

    Kasus lain, seorang remaja yang rajin, taat, dan baik hati, berasal dari
    keluarga terpandang, tiba-tiba kedapatan mencuri mobil dan tertangkap. Padahal,
    bagi keluarganya mobil bukanlah barang yang sulit dijangkau. Jadi, kenapa ia
    nekat menggasak mobil?

    Guna melihat sisi lebih dalam dari persoalan ini, ada baiknya kita amati
    lebih dulu latar belakang keluarganya. Kalaupun orang tuanya disebut-sebut
    sebagai good parents alias orang tua baik-baik, lantas baiknya itu untuk
    siapa?

    Sebab, sepasang orang tua terhormat, apalagi sukses dan bereputasi baik
    masih perlu melihat lagi, apakah perannya terhadap anak-anaknya juga sama
    bagusnya. Benarkah mereka telah menjalankan manajemen rumah tangga dengan baik
    juga, misalnya?

    Pada dasarnya, ada beberapa unsur besar yang sering berpengaruh pada perilaku
    anak. Salah satunya adalah kondisi fisik rumah. Terlalu sempit tidak baik,
    kelewat luas pun tak menguntungkan, karena mengurangi keakraban. Selain itu,
    ada juga faktor fasilitas keluarga. Peralatan dan perlengkapan rumah, idealnya,
    jadi sarana belajar dan sumber inspirasi. Bukan sebaliknya, malah menjadikan
    anak individual dan tidak memedulikan lingkungan.

    Faktor lainnya, ketidakharmonisan manajemen waktu rumah tangga yang mencakup
    jadwal kegiatan harian keluarga. Tak sedikit anak dari orang tua yang sangat
    sibuk merasa asing di rumah sendiri. Aturan disiplin kurang jelas atau bahkan
    tidak ada. Perlakuan orang tua terhadap anak pun, ujung-ujungnya, kelewat
    bersandar pada sisi emosional, tanpa keseimbangan antara perasaan dan nalar.

    Selain itu, suasana keluarga juga berpengaruh pada perilaku anak. Orang tua
    yang kurang mengarahkan suasana pada segi-segi sosial dan kognitif akan
    menumbuhkan sisi individualis dan egoisme anak. Sementara hubungan antar
    anggota keluarga yang kurang mesra, tidak saling menghargai, tidak menghormati
    tanggung jawab pribadi, tidak menciptakan kemandirian, berpotensi membuahkan
    karakter negatif anak.

    Anak bisa jadi bermasalah bila ia tak mendapatkan kasih sayang, tak punya
    kesempatan merasakan pengalaman baru, tak pernah memperoleh penghargaan, serta
    tak punya peluang untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab.

    Memang, suatu sebab negatif tidak selalu membawa akibat yang sama, lantaran
    temperamen pun berbeda-beda. Ada anak pemarah, ada juga anak penyabar. Ada yang
    cerdas, ada juga anak berdaya pikir lambat. Ujung-ujungnya, penyesuaian diri
    dan keterampilannya saat menghadapi setiap masalah berbeda pula.

    Lebih jauh, Kent Hayes membeberkan 12 indikator kecenderungan kenakalan
    anak, yakni mencuri lebih dari satu kali, lari dari rumah, sering berbohong,
    sengaja membakar sesuatu sampai mengakibatkan kebakaran, membolos dari sekolah,
    masuk rumah atau kendaraan orang lain tanpa izin, gemar merusak barang milik
    orang lain, kejam secara fisik terhadap binatang maupun teman, memaksa lawan jenis
    untuk melakukan aktivitas seksual, sering menggunakan senjata dalam
    perkelahian, sering memulai perkelahian, mendorong atau merampok.


    **

    BAHWA mendidik anak merupakan tanggung jawab utama orang tua, itu sepenuhnya
    benar. Lantas, di mana peran lembaga sekolah? Pada intinya, sekolah hanya
    membantu orang tua mendidik anak. Sebaliknya, kewajiban utama sekolah adalah
    mengajar anak.

    Faktanya, lantaran tak mau pusing dan tak punya banyak waktu, banyak orang
    tua yang mengalihkan begitu saja tanggung jawab mendidik anak pada sekolah.
    Bahkan, jika anaknya kedapatan berperilaku kriminal, tak jarang orang tua
    langsung menuding sekolah atau gurunya. Keadaan ini bisa bertambah parah kalau
    remaja bermasalah mengetahui bahwa orang tuanya menyalahkan sekolah. Ya,
    ujung-ujungnya anak merasa "dibela" orang tuanya, meskipun
    jelas-jelas bersalah. Lalu, muncul terminologi "babe gue"
    tadi.

    Bisa jadi, tudingan pada sekolah muncul lantaran ada kerancuan pengertian
    antara mendidik dan mengajar. Padahal, pada hakikatnya, mendidik lebih mengarah
    pada pembentukan moral, sedangkan mengajar lebih pada perkembangan
    intelektualnya. Makanya, tak tepat kalau orang tua membebankan pada sekolah
    sepenuhnya agar si anak jadi pintar sekaligus bermoral sempurna. Sebab, tugas
    pendidikan moral sebenarnya merupakan "jatah" orang tua.

    Benar, dalam kegiatan belajar mengajar, sekolah menyertakan sisi
    pendidikannya. Tapi, itu lebih terarah pada penciptaan suasana belajar. Jadi,
    bukan pendidikan moral langsung. Misalnya saja, di rumah anak-anak dididik untuk
    menutup mulut kalau sedang makan, agar sopan. Di sekolah, guru mengajar mereka
    tutup mulut agar tidak mengganggu kawan-kawannya yang sedang belajar. Lepas
    dari urusan sopan atau tidak.

    Tak termungkiri, guru utama anak adalah orang tua. Idealnya, proses ini
    terjadi pada tahapan infancy, sejak anak di pangkuan.

    Masalahnya sekarang, kini banyak orang tua yang sibuk bekerja menetapkan
    prinsip kualitas perhatian pada anak lebih penting dibanding kuantitas.
    Sebenarnya itu sah-sah saja, meskipun idealnya orang tua tetap bersikap wajar.
    Artinya, orang tua tak perlu merasa bersalah lantaran kurang punya waktu lantas
    jadi bersikap berlebihan.

    Orang tua juga perlu menimbang timing. Kira-kira kapankah saat paling
    tepat untuk menumpahkan perhatian pada anak. Sebaiknya, jangan sampai anak
    sedang tidur atau asyik bermain, orang tua memaksakan perhatian karena waktunya
    cuma sedikit.

    Guna memperkecil akibat negatif dari terbatasnya waktu untuk anak, orang tua
    bisa menerapkan beberapa hal, antara lain menerapkan disiplin tegas dan
    komunikasi efektif. Tegas tidak berarti keras. Misalnya, jika anak pulang
    sekolah sementara orang tua belum kembali, beri pengertian agar ia mengambil
    sendiri makan siangnya. Jurus lain, buatlah agar anak betah di rumah. Sebab
    berada di rumah dan dikunjungi kawan-kawannya, masih lebih baik daripada
    sebaliknya.

    Akhir kata, sangat menggembirakan jika setiap orang tua mau berusaha agar
    tak satu pun dari 12 indikator Kent Hayes tadi muncul pada perilaku anak,
    semisal aksi hooligan tadi, terlebih sampai menjadikan babe gue"
    sebagai senjata. Jika itu sampai terjadi, sebaiknya orang tua pasang kuda-kuda
    dan bersikap (lebih) waspada. (Elsya Tri Ahaddini, SH)***

      Waktu sekarang Wed Nov 27, 2024 2:50 pm