Holistikasi Pendidikan Indonesia di Masa
Depan
Oleh: Jon Kartago Lamida
Prolog
Dia adalah Forrest Gump. Seorang anak
lelaki yang tidak terlalu pintar dan agak terbelakang. IQ Forrest tidak sampai
100. Pada awalnya bisa saja orang berpikir kelak Forrest hanya akan menjadi
orang idiot yang tidak punya masa depan. Tapi kenyataannya kemudian ternyata
berbeda.
Forrest memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Ibu yang
membela saat Forrest dilecehkan. Ibu yang selalu menemaninya menjelang tidur
dengan membacakan buku cerita. Ibu yang mengantarkan menemani anaknya menunggu
bus sekolah. Ibu yang menolak dengan tegas saat Forrest harus dipindahkan ke
sekolah khusus karena dianggap idiot. Ibu yang tak pernah bosan mendukung dan
mendorong. Ibu yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.
Masa depan Forrest pun ternyata tidak berjalan sesuai
dengan apa yang ditakutkan. Forrest bisa bisa lulus kuliah, mengikuti dinas
militer dan mempunyai bisnis penangkapan udang. Meskipun kisah itu hanya cerita
film yang diangkat dari novel berjudul sama, Forrest Gump, ada sebuah pesan
kuat yang bisa diambil. Pentingnya pendidikan holistik bagi setiap manusia.
Tidak ada yang meragukan urgensi pendidikan bagi dalam
membentuk manusia berkualitas. Manusia yang dengan kualitasnya tersebut mampu
menyumbangkan pemikiran untuk lingkungan sekitar dan meningkatkan kesejahteraan
diri dan lingkungannya. Manusia yang dengan kualitasnya mampu menjadi sumber
daya manusia yang bisa mengembangkan kehidupan, mempelajari sains dan
teknologi, mendalami kebudayaan sebagai tuntutan, kebutuhan dan upaya untuk
meningkatkan martabat bangsa dan juga menjadi anggota masyarakat yang baik.
Manusia yang mampu memanusiakan dirinya sendiri.
Meski berkesan sangat berorientasi ekonomi, peningkatan
kesejahteraan dalam upaya meningkatkan martabat bangsa tadi adalah tujuan dasar
yang sangat bisa dicapai dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Tidak kurang,
lebih dari 30 tahun lalu E.F Schumacher seorang pakar ekonomi kerakyatan
Inggris menyatakan bahwa sumber daya terbesar tidak lain adalah pendidikan.[1] Belum lama juga, Gary S. Becker salah seorang
pemenang nobel ekonomi menekankan bahwa masa sekarang ini adalah The Age of Human Capital[2]. Sekarang adalah masa manusia
sebagai sumber daya, manusialah sumber daya terbesar. Sumber daya yang baik
bisa dicapai hanya jika dipupuk dengan pendidikan yang baik. Pendidikan yang
tidak sekedar mengembangkan kepintaran tapi juga karakter. Pendidikan holistik
yang memanusiakan manusia.
Penyakit Pendidikan di Indonesia saat ini
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia
seperti melihat dagelan alias lawak. Seperti lawak, skenario jalannya pendidikan
seperti berjalan tanpa ada arahan jelas. Semuanya bebas berimprovisasi dengan
banyolan-banyolan slapstik. Pemeo yang kemudian menjadi sangat terkenal adalah
“ganti menteri ganti kebijakan”. Kurikulum pun sering berubah-rubah, buku
pelajaran sekolah juga ikut berubah-ubah, label nama tingkat pendidikan tidak
bosan berganti-ganti, namun tetap kondisi pendidikan belum banyak bergerak
menuju posisi yang lebih baik. Pendidikan di Indonesia sedang sakit. Penyakit
jika tidak diobati akan menjadi parah. Jika sudah parah bukan hal yang tak
mungkin pendidikan pun akan meninggal.
Dalam mengidentifikasi gejala penyakit pendidikan di
Indonesia, penulis mengutip 8 masalah pendidikan yang pernah disampaikan oleh
HAR Tilaar.[3] Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan
pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu
pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan.
Kebijakan pendidikan adalah hal yang sangat
kompleks. Kebijakan pendidikan melibatkan pemerintah sebagai regulator dan
penelur kebijakan, masyarakat sebagai subjek pendidikan dan lembaga pendidikan
sebagai institusi penyelenggara. Regulator yang diinginkan masyarakat adalah
regulator yang bisa mengeluarkan kebijakan yang membela kualitas pemdidikan dan
hak masyarakat untuk mendapat pendidikan. Beberapa kebijakan yang belakangan
menjadi sorotan diantaranya adalah masalah Ujian Akhir Nasional (UAN/UN) di
sekolah dan kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) di perguruan tinggi. Pada
dasarnya tidak semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah buruk namun
saat tiba pada tahap implementasi tidak jarang terjadi penyimpangan yang
berujung kekecewaan masyarakat.
Berikutnya, melompat pada permasalahan guru.
Guru adalah elemen penting dalam setiap sistem pendidikan. Hal yang harus
disyukuri, peran guru sebagai fasilitator dua arah sudah banyak disadari. Guru
sebagai orang yang dianggap selalu benar tentunya sudah tidak bisa diterima
lagi sekarang. Apalagi dengan kondisi aliran informasi yang sangat pesat
sekarang, bukanlah hal yang tidak mungkin murid bisa lebih tahu lebih dulu dari
guru. Dulu, seperti kata Soe Hok Gie, mungkin murid bisa dianggap seperti kerbau
yang dicucuk hidungnya lalu mau diperintah apapun. Tapi, sekarang semua sudah
berubah sedikit ke arah yang lebih baik.
Turunan permasalahan seputar guru ada pada
kualitas guru, lembaga pendidikan keguruan dan penyebaran guru. Pemerintah
belakangan ini sangat bersemangat untuk menggenjot kualitas guru, misal dengan
mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru. Harus ditanggapi positif meski sekali
lagi, tahap penerapan harus menjadi tahapan yang benar-benar harus dikritisi.
Kedua, transformasi beberapa institusi keguruan
menjadi universitas sempat membuat kekhawatiran beberapa pakar pendidikan.
Pengurangan institusi khusus penghasil guru ditakutkan menjadi bumerang yang
akan berbalik saat nanti tuntutan kebutuhan guru yang berkualitas akan semakin
tinggi.
Permasalahan seputar guru yang ketiga adalah
penyebaran guru. Sekarang, semua orang akan mempertimbangkan kemungkinan untuk
menggeluti profesi guru. Apalagi jika mendapat kesempatan mengajar di kota-kota
besar seperti Jakarta. Kesejahteraan yang dulu sekedar impian kini sudah
terlihat di depan mata dan juga sudah bisa dirasakan. Tapi bagaimana untuk
guru-guru di daerah? Sejenak penulis teringat pada Butet Manurung, seorang
wanita lulusan S3 yang justru kemudian mengabdikan hidupnya untuk mengajar Suku
Anak Dalam di pedalaman provinsi Jambi. Permasalahan penyebaran ini harus
benar-benar menjadi perhatian regulator pendidikan.
Penyakit pendidikan Indonesia berikutnya adalah
masalah relevansi pendidikan. Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dalam salah satu
seminar menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan lulusan
yang siap kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan.[4] Dalam kesempatan yang sama, karena penasaran,
penulis mengajukan pertanyaan dalam forum tanya jawab. “Apa fungsi pendidikan
jika kemudian tidak bisa menghasilkan lulusan yang siap? Berarti materi yang
diajarkan harus benar-benar dipertanyakan relevansi dalam kehidupan.”
Dalam jawaban panjang lebarnya, Dorodjatun menyatakan
bahwa tantangan berat untuk bisa mengahasilkan lulusan yang siap seluruhnya. Ia
pun membenarkan bahwa ada yang harus dipertanyakan megenai materi pendidikan
dengan relevansinya. Pada kesimpulannya, Dorodjatun menekankan, meski untuk
sampai pada tahap siap kerja atau siap menciptakan pekerjaan cukup berat,
setidaknya lulusan pendidikan bisa menjadi lulusan yang siap dilatih. Relevansi
ini ternyata berkaitan dengan masalah kebijakan, mutu dan guru.
Penyakit berikutnya adalah masalah mutu. Barangkali karena
mutu ini pula relevansi pendidikan di Indonesia banyak dipertanyakan. Di satu
sisi banyak sekali siswa Indonesia yang bisa berprestasi di kancah kompetisi
akademik internasional seperti olimpiade sains atau lomba sejenis. Tentu hal
ini adalah kebanggaan besar bagi bangsa. Tapi di sisi lain juga banyak
ketidakadilan harus dialami orang Indonesia. Tidak semua orang Indonesia bisa
mengecap pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan dengan guru yang
benar-benar bisa digugu dan ditiru, pendidikan dengan fasilitas belajar
memadai, sumber bacaan yang luas dan seterusnya.
Membicarakan mutu di atas akan berkaitan dengan dua
penyakit berikutnya yaitu masalah pemerataaan dan pembiayaan pendidikan.
Pemerataan pendidikan adalah tugas yang berat. Penduduk Indonesia jumlahnya
sangat banyak dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Wilayah Indonesia pun
sangat luas. Mengatur pemerataan pendidikan adalah mengatur pemerataan hak
mendapat pendidikan yang bermutu untuk penduduk Indonesia yang banyak baik kaya
maupun miskin dalam wilayah yang luas, dari sabang samapai merauke. Fakta yang
ada sekarang justru bertolak belakang dengan keadaan itu. Di satu sisi mulai
menjamur berbagai sekolah internasional dengan mutu yang tinggi dengan biaya
yang tidak pernah terbayangkan sekalipun bagi kebanyakan masyarakat Indonesia
karena mahalnya. Di sisi lain ada banyak sekolah yang hampir roboh kekurangan
guru dan buku dengan kondisi keluarga murid yang serba miskin. Sesuai dengan
UUD 1945, hak memperoleh pendidikan harus dapat dijamin pemerintah. Pemenuhan
hal tersebut juga harus dipenuhi secara adil. Adil disini bukan berarti sama
rata, namun menempatkan setiap hal pada posisi dan proporsi yang tepat.
Penyakit terakhir yang penulis bahas adalah masalah
pembiayaan pendidikan. Dari sini biasa dianggap segala permasalahan pendidikan
berpangkal. Banyak orang berpikir masalah pemerataan, masalah mutu dan masalah
guru bisa dihilangkan seandainya persoalan pembiayaan bisa dipecahkan. Tidak
sepenuhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Biaya memang memegang peranan
penting dalam pendidikan. Namun membebankan pembiayaan pendidikan pada
masyarakat adalah keputusan yang tidak adil. Sementara wacana meningkatkan
anggaran pendidikan ternyata masih saja menjadi wacana.
Menuju Pendidikan Holistik: Ekspektasi Pendidikan Indonesia Masa Depan
Holistik berarti menyeluruh. Pendidikan
holistik adalah pendidikan yang menyentuh semua aspek pada manusia secara
menyeluruh. Tidak sekedar mementingkan transfer ilmu pengetahuan dan
keterampilan, namun juga memperhatikan pengembangan sikap dan karakter manusia.
Keluaran dari pendidikan holistik adalah individu yang siap memerankan hidup.
Individu yang bisa memanusiakan dirinya sendiri tadi.
Uraian di atas adalah ekspektasi penulis tehadap
pendidikan Indonesia di masa depan. Ekpektasi yang harus dibayangkan dalam
kepala secara detail lalu dilukiskan secara indah menjadi realita. Realita
berupa lukisan harapan pendidikan Indonesia hari esok yang membanggakan.
Pendidikan yang bisa menghasilkan sumber daya yang berkualitas tidak secara
kepintaran saja tetapi seluruh aspek kemanusiaannya.
Dalam upaya melukis harapan indah tersebut, hal pertama
yang harus dilakukan adalah menyembuhkan penyakit-penyakit yang diidap oleh
pendidikan yang sudah diuraikan tadi. Pertama adalah perbaikan kebijakan.
Masyarakat harus bisa lebih kritis terhadap pemerintah dalam hal kebijakan
pendidikan. Kedua memperhatikan kembali kualitas guru. Upayanya adalah dengan
penjaminan kesejahteraan dan perbaikan kualitas lembaga pencetak guru. Ketiga
meningkatkan relevansi pendidikan. Keempat meningkatkan mutu pendidikan dan
Kelima memikirkan alternatif pembiayaan pendidikan yang tidak terlalu membebani
masyarakat.
Langkah selanjutnya dalam upaya menyembuhkan penyakit
diatas, penulis berpikir mengenai 3 hal yang harus diperhatikan dalam upaya
melakukan holistikasi pendidikan. Pertama adalah meningkatkan peran keluarga
dalam pendidikan. Meskipun pendidikan secara formal dilakukan di sekolah. Peran
keluarga tetap menjadi hal yang tidak terbantahkan. Dari keluargalah anak
mendapat porsi pendidikan paling banyak. Dari keluarga juga pendidikan terjadi
tidak sekedar pemindahan pengetahuan namun juga dilakukan pengembangan
nilai-nilai lain seperti sikap dan karakter. Di keluarga, pendidikan holistik
bisa dimulai dan paling banyak terjadi. Keluarga yang mampu melakoni peran
dalam mendidik anak secara baik, akan mampu mengahasilkan anak yang lebih siap
dididik di bangku pendidikan formal dan lebih termanusiakan.
Hal kedua yang harus menjadi perhatian penulis adalah
masalah harga buku. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat belakangan ini,
buku sebagai sebuah benda yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu tetap menjadi
media paling efektif dalam transfer informasi. Tantangan terbesar masalah
perbukuan di Indonesia adalah harga buku yang sangat mahal sementara daya beli
masyarakat sangat rendah. Padahal, membaca buku adalah aktivitas yang sangat
penting dalam pendidikan. Menurut Hernowo, membaca adalah berpikir menggunakan
gagasan si penulis. Dengan membaca sebenarnya pembaca melakukan diskusi
imaginasi dengan penulis. Penulis yakin, jika harga buku bisa ditekan dan jika
perlu dibuat gratis pasti akan ada perbaikan yang cukup signifikan terhadap
kualitas sumber daya hasil dari pendidikan.
Hal ketiga yang penulis perhatikan adalah masalah
pemanfaatan internet dalam pertukaran informasi. Pada awal pengembangannya,
internet sudah digunakan sebagai media pertukaran informasi yang berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan akademik dan pendidikan. Sejak dulu internet menjadi
media pertukaran informasi antar kampus, media publikasi hasil penelitian atau
sekedar media untuk berdiskusi jarak jauh. Baru kemudian, dalam perkembangan
yang lebih lanjut peran-peran lain internet seperti media hiburan, media
ekonomi dan perdagangan muncul belakangan.
Secara radikal, penulis membayangkan, jika hanya sekedar
mengejar kemampuan kognitif dan ilmu pengetahuan yang siap pakai, orang tidak
memerlukan sekolah sama sekali. Terlepas dari dampak negatifnya, saat ini,
dengan menggunakan internet orang bisa mendapatkan informasi apa pun termasuk
yang berkaitan dengan proses pembelajaran, ilmu-ilmu praktis dan
pengetahuan-pengetahuan umum. Keunggulan internet yang bisa menjangkau willayah
yang sangat luas bisa mereduksi beberapa penyakit pendidikan yang sempat diuraikan
di atas, yaitu masalah pemerataan, relevansi dan tidak perlu lagi memusingkan
masalah kebijakan pendidikan. Namun, tentunya peran bangku pendidikan formal
tidak akan pernah bisa dihilangkan. Di sekolah pelajar tidak sekedar menerima
transfer pengetahuan. Pelajar juga belajar berinteraksi dengan lingkungannya.
Pelajar belajar menjadi masyarakat dalam lingkungan miniatur bernama sekolah.
Epilog
Sebelum melukis, pelukis membayangkan gambaran yang akan
ia lukis. Penulis membayangkan uraian harapan di atas sebagai gambaran yang
ingin dilukis untuk kondisi pendidikan Indonesia ke depan. Setelah bayangan itu
cukup kuat di benak, proses melukis pun dimulai. Dalam hal ini proses melukis
tersebut adalah tahapan implementasi, mewujudkan gagasan-gagasan di atas secara
nyata.
Dalam proses implementasi mewujudkan ekspektasi ini
diperlukan keterlibatan yang ekstensif dari pemerintah, masyarakat dan
institusi pendidikan. Dengan menyadari betul peran pentingnya, dampaknya dan
manfaatnya, perbaikan pendidikan harus dilakukan dengan cepat, mulai dari saat
ini juga.
Pendidikan bukan sekedar wadah yang memindahkan
pengetahuan belaka. Seperti telah disebutkan juga, ada elemen-elemen lain dari
manusia yang justru lebih diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Elemen-elemen
semisal pengelolaan emosi, kemampuan bersosialisasi, karakter yang kuat dan
seterusnya.
Dengan terciptanya manusia dengan elemen tersebut,
diharapkan manusia itu adalah manusia yang lebih berkarakter dan lebih bisa
menjadi manusia. Tinggal kita nantikan saja, seperti apa bentuk lukisan
tersebut saat ia selesai dibuat.
[1] E.F Schumacher, Kecil Itu Indah, Jakarta:LP3ES, 1981
[2]
Edward P. Lazear, Education
in 21st Century
[3] Kompas 24 Oktober 2004
[4]
Workshop Wirausaha Muda Mandiri, Hotel Nikko Jakarta 14 -15 November
2007
Depan
Oleh: Jon Kartago Lamida
Prolog
Dia adalah Forrest Gump. Seorang anak
lelaki yang tidak terlalu pintar dan agak terbelakang. IQ Forrest tidak sampai
100. Pada awalnya bisa saja orang berpikir kelak Forrest hanya akan menjadi
orang idiot yang tidak punya masa depan. Tapi kenyataannya kemudian ternyata
berbeda.
Forrest memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Ibu yang
membela saat Forrest dilecehkan. Ibu yang selalu menemaninya menjelang tidur
dengan membacakan buku cerita. Ibu yang mengantarkan menemani anaknya menunggu
bus sekolah. Ibu yang menolak dengan tegas saat Forrest harus dipindahkan ke
sekolah khusus karena dianggap idiot. Ibu yang tak pernah bosan mendukung dan
mendorong. Ibu yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.
Masa depan Forrest pun ternyata tidak berjalan sesuai
dengan apa yang ditakutkan. Forrest bisa bisa lulus kuliah, mengikuti dinas
militer dan mempunyai bisnis penangkapan udang. Meskipun kisah itu hanya cerita
film yang diangkat dari novel berjudul sama, Forrest Gump, ada sebuah pesan
kuat yang bisa diambil. Pentingnya pendidikan holistik bagi setiap manusia.
Tidak ada yang meragukan urgensi pendidikan bagi dalam
membentuk manusia berkualitas. Manusia yang dengan kualitasnya tersebut mampu
menyumbangkan pemikiran untuk lingkungan sekitar dan meningkatkan kesejahteraan
diri dan lingkungannya. Manusia yang dengan kualitasnya mampu menjadi sumber
daya manusia yang bisa mengembangkan kehidupan, mempelajari sains dan
teknologi, mendalami kebudayaan sebagai tuntutan, kebutuhan dan upaya untuk
meningkatkan martabat bangsa dan juga menjadi anggota masyarakat yang baik.
Manusia yang mampu memanusiakan dirinya sendiri.
Meski berkesan sangat berorientasi ekonomi, peningkatan
kesejahteraan dalam upaya meningkatkan martabat bangsa tadi adalah tujuan dasar
yang sangat bisa dicapai dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Tidak kurang,
lebih dari 30 tahun lalu E.F Schumacher seorang pakar ekonomi kerakyatan
Inggris menyatakan bahwa sumber daya terbesar tidak lain adalah pendidikan.[1] Belum lama juga, Gary S. Becker salah seorang
pemenang nobel ekonomi menekankan bahwa masa sekarang ini adalah The Age of Human Capital[2]. Sekarang adalah masa manusia
sebagai sumber daya, manusialah sumber daya terbesar. Sumber daya yang baik
bisa dicapai hanya jika dipupuk dengan pendidikan yang baik. Pendidikan yang
tidak sekedar mengembangkan kepintaran tapi juga karakter. Pendidikan holistik
yang memanusiakan manusia.
Penyakit Pendidikan di Indonesia saat ini
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia
seperti melihat dagelan alias lawak. Seperti lawak, skenario jalannya pendidikan
seperti berjalan tanpa ada arahan jelas. Semuanya bebas berimprovisasi dengan
banyolan-banyolan slapstik. Pemeo yang kemudian menjadi sangat terkenal adalah
“ganti menteri ganti kebijakan”. Kurikulum pun sering berubah-rubah, buku
pelajaran sekolah juga ikut berubah-ubah, label nama tingkat pendidikan tidak
bosan berganti-ganti, namun tetap kondisi pendidikan belum banyak bergerak
menuju posisi yang lebih baik. Pendidikan di Indonesia sedang sakit. Penyakit
jika tidak diobati akan menjadi parah. Jika sudah parah bukan hal yang tak
mungkin pendidikan pun akan meninggal.
Dalam mengidentifikasi gejala penyakit pendidikan di
Indonesia, penulis mengutip 8 masalah pendidikan yang pernah disampaikan oleh
HAR Tilaar.[3] Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan
pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu
pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan.
Kebijakan pendidikan adalah hal yang sangat
kompleks. Kebijakan pendidikan melibatkan pemerintah sebagai regulator dan
penelur kebijakan, masyarakat sebagai subjek pendidikan dan lembaga pendidikan
sebagai institusi penyelenggara. Regulator yang diinginkan masyarakat adalah
regulator yang bisa mengeluarkan kebijakan yang membela kualitas pemdidikan dan
hak masyarakat untuk mendapat pendidikan. Beberapa kebijakan yang belakangan
menjadi sorotan diantaranya adalah masalah Ujian Akhir Nasional (UAN/UN) di
sekolah dan kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) di perguruan tinggi. Pada
dasarnya tidak semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah buruk namun
saat tiba pada tahap implementasi tidak jarang terjadi penyimpangan yang
berujung kekecewaan masyarakat.
Berikutnya, melompat pada permasalahan guru.
Guru adalah elemen penting dalam setiap sistem pendidikan. Hal yang harus
disyukuri, peran guru sebagai fasilitator dua arah sudah banyak disadari. Guru
sebagai orang yang dianggap selalu benar tentunya sudah tidak bisa diterima
lagi sekarang. Apalagi dengan kondisi aliran informasi yang sangat pesat
sekarang, bukanlah hal yang tidak mungkin murid bisa lebih tahu lebih dulu dari
guru. Dulu, seperti kata Soe Hok Gie, mungkin murid bisa dianggap seperti kerbau
yang dicucuk hidungnya lalu mau diperintah apapun. Tapi, sekarang semua sudah
berubah sedikit ke arah yang lebih baik.
Turunan permasalahan seputar guru ada pada
kualitas guru, lembaga pendidikan keguruan dan penyebaran guru. Pemerintah
belakangan ini sangat bersemangat untuk menggenjot kualitas guru, misal dengan
mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru. Harus ditanggapi positif meski sekali
lagi, tahap penerapan harus menjadi tahapan yang benar-benar harus dikritisi.
Kedua, transformasi beberapa institusi keguruan
menjadi universitas sempat membuat kekhawatiran beberapa pakar pendidikan.
Pengurangan institusi khusus penghasil guru ditakutkan menjadi bumerang yang
akan berbalik saat nanti tuntutan kebutuhan guru yang berkualitas akan semakin
tinggi.
Permasalahan seputar guru yang ketiga adalah
penyebaran guru. Sekarang, semua orang akan mempertimbangkan kemungkinan untuk
menggeluti profesi guru. Apalagi jika mendapat kesempatan mengajar di kota-kota
besar seperti Jakarta. Kesejahteraan yang dulu sekedar impian kini sudah
terlihat di depan mata dan juga sudah bisa dirasakan. Tapi bagaimana untuk
guru-guru di daerah? Sejenak penulis teringat pada Butet Manurung, seorang
wanita lulusan S3 yang justru kemudian mengabdikan hidupnya untuk mengajar Suku
Anak Dalam di pedalaman provinsi Jambi. Permasalahan penyebaran ini harus
benar-benar menjadi perhatian regulator pendidikan.
Penyakit pendidikan Indonesia berikutnya adalah
masalah relevansi pendidikan. Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dalam salah satu
seminar menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan lulusan
yang siap kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan.[4] Dalam kesempatan yang sama, karena penasaran,
penulis mengajukan pertanyaan dalam forum tanya jawab. “Apa fungsi pendidikan
jika kemudian tidak bisa menghasilkan lulusan yang siap? Berarti materi yang
diajarkan harus benar-benar dipertanyakan relevansi dalam kehidupan.”
Dalam jawaban panjang lebarnya, Dorodjatun menyatakan
bahwa tantangan berat untuk bisa mengahasilkan lulusan yang siap seluruhnya. Ia
pun membenarkan bahwa ada yang harus dipertanyakan megenai materi pendidikan
dengan relevansinya. Pada kesimpulannya, Dorodjatun menekankan, meski untuk
sampai pada tahap siap kerja atau siap menciptakan pekerjaan cukup berat,
setidaknya lulusan pendidikan bisa menjadi lulusan yang siap dilatih. Relevansi
ini ternyata berkaitan dengan masalah kebijakan, mutu dan guru.
Penyakit berikutnya adalah masalah mutu. Barangkali karena
mutu ini pula relevansi pendidikan di Indonesia banyak dipertanyakan. Di satu
sisi banyak sekali siswa Indonesia yang bisa berprestasi di kancah kompetisi
akademik internasional seperti olimpiade sains atau lomba sejenis. Tentu hal
ini adalah kebanggaan besar bagi bangsa. Tapi di sisi lain juga banyak
ketidakadilan harus dialami orang Indonesia. Tidak semua orang Indonesia bisa
mengecap pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan dengan guru yang
benar-benar bisa digugu dan ditiru, pendidikan dengan fasilitas belajar
memadai, sumber bacaan yang luas dan seterusnya.
Membicarakan mutu di atas akan berkaitan dengan dua
penyakit berikutnya yaitu masalah pemerataaan dan pembiayaan pendidikan.
Pemerataan pendidikan adalah tugas yang berat. Penduduk Indonesia jumlahnya
sangat banyak dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Wilayah Indonesia pun
sangat luas. Mengatur pemerataan pendidikan adalah mengatur pemerataan hak
mendapat pendidikan yang bermutu untuk penduduk Indonesia yang banyak baik kaya
maupun miskin dalam wilayah yang luas, dari sabang samapai merauke. Fakta yang
ada sekarang justru bertolak belakang dengan keadaan itu. Di satu sisi mulai
menjamur berbagai sekolah internasional dengan mutu yang tinggi dengan biaya
yang tidak pernah terbayangkan sekalipun bagi kebanyakan masyarakat Indonesia
karena mahalnya. Di sisi lain ada banyak sekolah yang hampir roboh kekurangan
guru dan buku dengan kondisi keluarga murid yang serba miskin. Sesuai dengan
UUD 1945, hak memperoleh pendidikan harus dapat dijamin pemerintah. Pemenuhan
hal tersebut juga harus dipenuhi secara adil. Adil disini bukan berarti sama
rata, namun menempatkan setiap hal pada posisi dan proporsi yang tepat.
Penyakit terakhir yang penulis bahas adalah masalah
pembiayaan pendidikan. Dari sini biasa dianggap segala permasalahan pendidikan
berpangkal. Banyak orang berpikir masalah pemerataan, masalah mutu dan masalah
guru bisa dihilangkan seandainya persoalan pembiayaan bisa dipecahkan. Tidak
sepenuhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Biaya memang memegang peranan
penting dalam pendidikan. Namun membebankan pembiayaan pendidikan pada
masyarakat adalah keputusan yang tidak adil. Sementara wacana meningkatkan
anggaran pendidikan ternyata masih saja menjadi wacana.
Menuju Pendidikan Holistik: Ekspektasi Pendidikan Indonesia Masa Depan
Holistik berarti menyeluruh. Pendidikan
holistik adalah pendidikan yang menyentuh semua aspek pada manusia secara
menyeluruh. Tidak sekedar mementingkan transfer ilmu pengetahuan dan
keterampilan, namun juga memperhatikan pengembangan sikap dan karakter manusia.
Keluaran dari pendidikan holistik adalah individu yang siap memerankan hidup.
Individu yang bisa memanusiakan dirinya sendiri tadi.
Uraian di atas adalah ekspektasi penulis tehadap
pendidikan Indonesia di masa depan. Ekpektasi yang harus dibayangkan dalam
kepala secara detail lalu dilukiskan secara indah menjadi realita. Realita
berupa lukisan harapan pendidikan Indonesia hari esok yang membanggakan.
Pendidikan yang bisa menghasilkan sumber daya yang berkualitas tidak secara
kepintaran saja tetapi seluruh aspek kemanusiaannya.
Dalam upaya melukis harapan indah tersebut, hal pertama
yang harus dilakukan adalah menyembuhkan penyakit-penyakit yang diidap oleh
pendidikan yang sudah diuraikan tadi. Pertama adalah perbaikan kebijakan.
Masyarakat harus bisa lebih kritis terhadap pemerintah dalam hal kebijakan
pendidikan. Kedua memperhatikan kembali kualitas guru. Upayanya adalah dengan
penjaminan kesejahteraan dan perbaikan kualitas lembaga pencetak guru. Ketiga
meningkatkan relevansi pendidikan. Keempat meningkatkan mutu pendidikan dan
Kelima memikirkan alternatif pembiayaan pendidikan yang tidak terlalu membebani
masyarakat.
Langkah selanjutnya dalam upaya menyembuhkan penyakit
diatas, penulis berpikir mengenai 3 hal yang harus diperhatikan dalam upaya
melakukan holistikasi pendidikan. Pertama adalah meningkatkan peran keluarga
dalam pendidikan. Meskipun pendidikan secara formal dilakukan di sekolah. Peran
keluarga tetap menjadi hal yang tidak terbantahkan. Dari keluargalah anak
mendapat porsi pendidikan paling banyak. Dari keluarga juga pendidikan terjadi
tidak sekedar pemindahan pengetahuan namun juga dilakukan pengembangan
nilai-nilai lain seperti sikap dan karakter. Di keluarga, pendidikan holistik
bisa dimulai dan paling banyak terjadi. Keluarga yang mampu melakoni peran
dalam mendidik anak secara baik, akan mampu mengahasilkan anak yang lebih siap
dididik di bangku pendidikan formal dan lebih termanusiakan.
Hal kedua yang harus menjadi perhatian penulis adalah
masalah harga buku. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat belakangan ini,
buku sebagai sebuah benda yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu tetap menjadi
media paling efektif dalam transfer informasi. Tantangan terbesar masalah
perbukuan di Indonesia adalah harga buku yang sangat mahal sementara daya beli
masyarakat sangat rendah. Padahal, membaca buku adalah aktivitas yang sangat
penting dalam pendidikan. Menurut Hernowo, membaca adalah berpikir menggunakan
gagasan si penulis. Dengan membaca sebenarnya pembaca melakukan diskusi
imaginasi dengan penulis. Penulis yakin, jika harga buku bisa ditekan dan jika
perlu dibuat gratis pasti akan ada perbaikan yang cukup signifikan terhadap
kualitas sumber daya hasil dari pendidikan.
Hal ketiga yang penulis perhatikan adalah masalah
pemanfaatan internet dalam pertukaran informasi. Pada awal pengembangannya,
internet sudah digunakan sebagai media pertukaran informasi yang berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan akademik dan pendidikan. Sejak dulu internet menjadi
media pertukaran informasi antar kampus, media publikasi hasil penelitian atau
sekedar media untuk berdiskusi jarak jauh. Baru kemudian, dalam perkembangan
yang lebih lanjut peran-peran lain internet seperti media hiburan, media
ekonomi dan perdagangan muncul belakangan.
Secara radikal, penulis membayangkan, jika hanya sekedar
mengejar kemampuan kognitif dan ilmu pengetahuan yang siap pakai, orang tidak
memerlukan sekolah sama sekali. Terlepas dari dampak negatifnya, saat ini,
dengan menggunakan internet orang bisa mendapatkan informasi apa pun termasuk
yang berkaitan dengan proses pembelajaran, ilmu-ilmu praktis dan
pengetahuan-pengetahuan umum. Keunggulan internet yang bisa menjangkau willayah
yang sangat luas bisa mereduksi beberapa penyakit pendidikan yang sempat diuraikan
di atas, yaitu masalah pemerataan, relevansi dan tidak perlu lagi memusingkan
masalah kebijakan pendidikan. Namun, tentunya peran bangku pendidikan formal
tidak akan pernah bisa dihilangkan. Di sekolah pelajar tidak sekedar menerima
transfer pengetahuan. Pelajar juga belajar berinteraksi dengan lingkungannya.
Pelajar belajar menjadi masyarakat dalam lingkungan miniatur bernama sekolah.
Epilog
Sebelum melukis, pelukis membayangkan gambaran yang akan
ia lukis. Penulis membayangkan uraian harapan di atas sebagai gambaran yang
ingin dilukis untuk kondisi pendidikan Indonesia ke depan. Setelah bayangan itu
cukup kuat di benak, proses melukis pun dimulai. Dalam hal ini proses melukis
tersebut adalah tahapan implementasi, mewujudkan gagasan-gagasan di atas secara
nyata.
Dalam proses implementasi mewujudkan ekspektasi ini
diperlukan keterlibatan yang ekstensif dari pemerintah, masyarakat dan
institusi pendidikan. Dengan menyadari betul peran pentingnya, dampaknya dan
manfaatnya, perbaikan pendidikan harus dilakukan dengan cepat, mulai dari saat
ini juga.
Pendidikan bukan sekedar wadah yang memindahkan
pengetahuan belaka. Seperti telah disebutkan juga, ada elemen-elemen lain dari
manusia yang justru lebih diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Elemen-elemen
semisal pengelolaan emosi, kemampuan bersosialisasi, karakter yang kuat dan
seterusnya.
Dengan terciptanya manusia dengan elemen tersebut,
diharapkan manusia itu adalah manusia yang lebih berkarakter dan lebih bisa
menjadi manusia. Tinggal kita nantikan saja, seperti apa bentuk lukisan
tersebut saat ia selesai dibuat.
[1] E.F Schumacher, Kecil Itu Indah, Jakarta:LP3ES, 1981
[2]
Edward P. Lazear, Education
in 21st Century
[3] Kompas 24 Oktober 2004
[4]
Workshop Wirausaha Muda Mandiri, Hotel Nikko Jakarta 14 -15 November
2007
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as