Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    holistikasi edukasi

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    holistikasi edukasi Empty holistikasi edukasi

    Post by ratri Tue Jun 01, 2010 6:44 pm

    Holistikasi Pendidikan Indonesia di Masa
    Depan


    Oleh: Jon Kartago Lamida


    Prolog


    Dia adalah Forrest Gump. Seorang anak
    lelaki yang tidak terlalu pintar dan agak terbelakang. IQ Forrest tidak sampai
    100. Pada awalnya bisa saja orang berpikir kelak Forrest hanya akan menjadi
    orang idiot yang tidak punya masa depan. Tapi kenyataannya kemudian ternyata
    berbeda.


    Forrest memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Ibu yang
    membela saat Forrest dilecehkan. Ibu yang selalu menemaninya menjelang tidur
    dengan membacakan buku cerita. Ibu yang mengantarkan menemani anaknya menunggu
    bus sekolah. Ibu yang menolak dengan tegas saat Forrest harus dipindahkan ke
    sekolah khusus karena dianggap idiot. Ibu yang tak pernah bosan mendukung dan
    mendorong. Ibu yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.


    Masa depan Forrest pun ternyata tidak berjalan sesuai
    dengan apa yang ditakutkan. Forrest bisa bisa lulus kuliah, mengikuti dinas
    militer dan mempunyai bisnis penangkapan udang. Meskipun kisah itu hanya cerita
    film yang diangkat dari novel berjudul sama, Forrest Gump, ada sebuah pesan
    kuat yang bisa diambil. Pentingnya pendidikan holistik bagi setiap manusia.


    Tidak ada yang meragukan urgensi pendidikan bagi dalam
    membentuk manusia berkualitas. Manusia yang dengan kualitasnya tersebut mampu
    menyumbangkan pemikiran untuk lingkungan sekitar dan meningkatkan kesejahteraan
    diri dan lingkungannya. Manusia yang dengan kualitasnya mampu menjadi sumber
    daya manusia yang bisa mengembangkan kehidupan, mempelajari sains dan
    teknologi, mendalami kebudayaan sebagai tuntutan, kebutuhan dan upaya untuk
    meningkatkan martabat bangsa dan juga menjadi anggota masyarakat yang baik.
    Manusia yang mampu memanusiakan dirinya sendiri.


    Meski berkesan sangat berorientasi ekonomi, peningkatan
    kesejahteraan dalam upaya meningkatkan martabat bangsa tadi adalah tujuan dasar
    yang sangat bisa dicapai dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Tidak kurang,
    lebih dari 30 tahun lalu E.F Schumacher seorang pakar ekonomi kerakyatan
    Inggris menyatakan bahwa sumber daya terbesar tidak lain adalah pendidikan.[1] Belum lama juga, Gary S. Becker salah seorang
    pemenang nobel ekonomi menekankan bahwa masa sekarang ini adalah The Age of Human Capital[2]. Sekarang adalah masa manusia
    sebagai sumber daya, manusialah sumber daya terbesar. Sumber daya yang baik
    bisa dicapai hanya jika dipupuk dengan pendidikan yang baik. Pendidikan yang
    tidak sekedar mengembangkan kepintaran tapi juga karakter. Pendidikan holistik
    yang memanusiakan manusia.


    Penyakit Pendidikan di Indonesia saat ini


    Melihat kondisi pendidikan di Indonesia
    seperti melihat dagelan alias lawak. Seperti lawak, skenario jalannya pendidikan
    seperti berjalan tanpa ada arahan jelas. Semuanya bebas berimprovisasi dengan
    banyolan-banyolan slapstik. Pemeo yang kemudian menjadi sangat terkenal adalah
    “ganti menteri ganti kebijakan”. Kurikulum pun sering berubah-rubah, buku
    pelajaran sekolah juga ikut berubah-ubah, label nama tingkat pendidikan tidak
    bosan berganti-ganti, namun tetap kondisi pendidikan belum banyak bergerak
    menuju posisi yang lebih baik. Pendidikan di Indonesia sedang sakit. Penyakit
    jika tidak diobati akan menjadi parah. Jika sudah parah bukan hal yang tak
    mungkin pendidikan pun akan meninggal.


    Dalam mengidentifikasi gejala penyakit pendidikan di
    Indonesia, penulis mengutip 8 masalah pendidikan yang pernah disampaikan oleh
    HAR Tilaar.[3] Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan
    pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu
    pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan.


    Kebijakan pendidikan adalah hal yang sangat
    kompleks. Kebijakan pendidikan melibatkan pemerintah sebagai regulator dan
    penelur kebijakan, masyarakat sebagai subjek pendidikan dan lembaga pendidikan
    sebagai institusi penyelenggara. Regulator yang diinginkan masyarakat adalah
    regulator yang bisa mengeluarkan kebijakan yang membela kualitas pemdidikan dan
    hak masyarakat untuk mendapat pendidikan. Beberapa kebijakan yang belakangan
    menjadi sorotan diantaranya adalah masalah Ujian Akhir Nasional (UAN/UN) di
    sekolah dan kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP) di perguruan tinggi. Pada
    dasarnya tidak semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah buruk namun
    saat tiba pada tahap implementasi tidak jarang terjadi penyimpangan yang
    berujung kekecewaan masyarakat.


    Berikutnya, melompat pada permasalahan guru.
    Guru adalah elemen penting dalam setiap sistem pendidikan. Hal yang harus
    disyukuri, peran guru sebagai fasilitator dua arah sudah banyak disadari. Guru
    sebagai orang yang dianggap selalu benar tentunya sudah tidak bisa diterima
    lagi sekarang. Apalagi dengan kondisi aliran informasi yang sangat pesat
    sekarang, bukanlah hal yang tidak mungkin murid bisa lebih tahu lebih dulu dari
    guru. Dulu, seperti kata Soe Hok Gie, mungkin murid bisa dianggap seperti kerbau
    yang dicucuk hidungnya lalu mau diperintah apapun. Tapi, sekarang semua sudah
    berubah sedikit ke arah yang lebih baik.


    Turunan permasalahan seputar guru ada pada
    kualitas guru, lembaga pendidikan keguruan dan penyebaran guru. Pemerintah
    belakangan ini sangat bersemangat untuk menggenjot kualitas guru, misal dengan
    mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru. Harus ditanggapi positif meski sekali
    lagi, tahap penerapan harus menjadi tahapan yang benar-benar harus dikritisi.


    Kedua, transformasi beberapa institusi keguruan
    menjadi universitas sempat membuat kekhawatiran beberapa pakar pendidikan.
    Pengurangan institusi khusus penghasil guru ditakutkan menjadi bumerang yang
    akan berbalik saat nanti tuntutan kebutuhan guru yang berkualitas akan semakin
    tinggi.


    Permasalahan seputar guru yang ketiga adalah
    penyebaran guru. Sekarang, semua orang akan mempertimbangkan kemungkinan untuk
    menggeluti profesi guru. Apalagi jika mendapat kesempatan mengajar di kota-kota
    besar seperti Jakarta. Kesejahteraan yang dulu sekedar impian kini sudah
    terlihat di depan mata dan juga sudah bisa dirasakan. Tapi bagaimana untuk
    guru-guru di daerah? Sejenak penulis teringat pada Butet Manurung, seorang
    wanita lulusan S3 yang justru kemudian mengabdikan hidupnya untuk mengajar Suku
    Anak Dalam di pedalaman provinsi Jambi. Permasalahan penyebaran ini harus
    benar-benar menjadi perhatian regulator pendidikan.


    Penyakit pendidikan Indonesia berikutnya adalah
    masalah relevansi pendidikan. Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dalam salah satu
    seminar menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan lulusan
    yang siap kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan.[4] Dalam kesempatan yang sama, karena penasaran,
    penulis mengajukan pertanyaan dalam forum tanya jawab. “Apa fungsi pendidikan
    jika kemudian tidak bisa menghasilkan lulusan yang siap? Berarti materi yang
    diajarkan harus benar-benar dipertanyakan relevansi dalam kehidupan.”


    Dalam jawaban panjang lebarnya, Dorodjatun menyatakan
    bahwa tantangan berat untuk bisa mengahasilkan lulusan yang siap seluruhnya. Ia
    pun membenarkan bahwa ada yang harus dipertanyakan megenai materi pendidikan
    dengan relevansinya. Pada kesimpulannya, Dorodjatun menekankan, meski untuk
    sampai pada tahap siap kerja atau siap menciptakan pekerjaan cukup berat,
    setidaknya lulusan pendidikan bisa menjadi lulusan yang siap dilatih. Relevansi
    ini ternyata berkaitan dengan masalah kebijakan, mutu dan guru.


    Penyakit berikutnya adalah masalah mutu. Barangkali karena
    mutu ini pula relevansi pendidikan di Indonesia banyak dipertanyakan. Di satu
    sisi banyak sekali siswa Indonesia yang bisa berprestasi di kancah kompetisi
    akademik internasional seperti olimpiade sains atau lomba sejenis. Tentu hal
    ini adalah kebanggaan besar bagi bangsa. Tapi di sisi lain juga banyak
    ketidakadilan harus dialami orang Indonesia. Tidak semua orang Indonesia bisa
    mengecap pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan dengan guru yang
    benar-benar bisa digugu dan ditiru, pendidikan dengan fasilitas belajar
    memadai, sumber bacaan yang luas dan seterusnya.


    Membicarakan mutu di atas akan berkaitan dengan dua
    penyakit berikutnya yaitu masalah pemerataaan dan pembiayaan pendidikan.
    Pemerataan pendidikan adalah tugas yang berat. Penduduk Indonesia jumlahnya
    sangat banyak dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Wilayah Indonesia pun
    sangat luas. Mengatur pemerataan pendidikan adalah mengatur pemerataan hak
    mendapat pendidikan yang bermutu untuk penduduk Indonesia yang banyak baik kaya
    maupun miskin dalam wilayah yang luas, dari sabang samapai merauke. Fakta yang
    ada sekarang justru bertolak belakang dengan keadaan itu. Di satu sisi mulai
    menjamur berbagai sekolah internasional dengan mutu yang tinggi dengan biaya
    yang tidak pernah terbayangkan sekalipun bagi kebanyakan masyarakat Indonesia
    karena mahalnya. Di sisi lain ada banyak sekolah yang hampir roboh kekurangan
    guru dan buku dengan kondisi keluarga murid yang serba miskin. Sesuai dengan
    UUD 1945, hak memperoleh pendidikan harus dapat dijamin pemerintah. Pemenuhan
    hal tersebut juga harus dipenuhi secara adil. Adil disini bukan berarti sama
    rata, namun menempatkan setiap hal pada posisi dan proporsi yang tepat.


    Penyakit terakhir yang penulis bahas adalah masalah
    pembiayaan pendidikan. Dari sini biasa dianggap segala permasalahan pendidikan
    berpangkal. Banyak orang berpikir masalah pemerataan, masalah mutu dan masalah
    guru bisa dihilangkan seandainya persoalan pembiayaan bisa dipecahkan. Tidak
    sepenuhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Biaya memang memegang peranan
    penting dalam pendidikan. Namun membebankan pembiayaan pendidikan pada
    masyarakat adalah keputusan yang tidak adil. Sementara wacana meningkatkan
    anggaran pendidikan ternyata masih saja menjadi wacana.


    Menuju Pendidikan Holistik: Ekspektasi Pendidikan Indonesia Masa Depan


    Holistik berarti menyeluruh. Pendidikan
    holistik adalah pendidikan yang menyentuh semua aspek pada manusia secara
    menyeluruh. Tidak sekedar mementingkan transfer ilmu pengetahuan dan
    keterampilan, namun juga memperhatikan pengembangan sikap dan karakter manusia.
    Keluaran dari pendidikan holistik adalah individu yang siap memerankan hidup.
    Individu yang bisa memanusiakan dirinya sendiri tadi.


    Uraian di atas adalah ekspektasi penulis tehadap
    pendidikan Indonesia di masa depan. Ekpektasi yang harus dibayangkan dalam
    kepala secara detail lalu dilukiskan secara indah menjadi realita. Realita
    berupa lukisan harapan pendidikan Indonesia hari esok yang membanggakan.
    Pendidikan yang bisa menghasilkan sumber daya yang berkualitas tidak secara
    kepintaran saja tetapi seluruh aspek kemanusiaannya.


    Dalam upaya melukis harapan indah tersebut, hal pertama
    yang harus dilakukan adalah menyembuhkan penyakit-penyakit yang diidap oleh
    pendidikan yang sudah diuraikan tadi. Pertama adalah perbaikan kebijakan.
    Masyarakat harus bisa lebih kritis terhadap pemerintah dalam hal kebijakan
    pendidikan. Kedua memperhatikan kembali kualitas guru. Upayanya adalah dengan
    penjaminan kesejahteraan dan perbaikan kualitas lembaga pencetak guru. Ketiga
    meningkatkan relevansi pendidikan. Keempat meningkatkan mutu pendidikan dan
    Kelima memikirkan alternatif pembiayaan pendidikan yang tidak terlalu membebani
    masyarakat.


    Langkah selanjutnya dalam upaya menyembuhkan penyakit
    diatas, penulis berpikir mengenai 3 hal yang harus diperhatikan dalam upaya
    melakukan holistikasi pendidikan. Pertama adalah meningkatkan peran keluarga
    dalam pendidikan. Meskipun pendidikan secara formal dilakukan di sekolah. Peran
    keluarga tetap menjadi hal yang tidak terbantahkan. Dari keluargalah anak
    mendapat porsi pendidikan paling banyak. Dari keluarga juga pendidikan terjadi
    tidak sekedar pemindahan pengetahuan namun juga dilakukan pengembangan
    nilai-nilai lain seperti sikap dan karakter. Di keluarga, pendidikan holistik
    bisa dimulai dan paling banyak terjadi. Keluarga yang mampu melakoni peran
    dalam mendidik anak secara baik, akan mampu mengahasilkan anak yang lebih siap
    dididik di bangku pendidikan formal dan lebih termanusiakan.


    Hal kedua yang harus menjadi perhatian penulis adalah
    masalah harga buku. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat belakangan ini,
    buku sebagai sebuah benda yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu tetap menjadi
    media paling efektif dalam transfer informasi. Tantangan terbesar masalah
    perbukuan di Indonesia adalah harga buku yang sangat mahal sementara daya beli
    masyarakat sangat rendah. Padahal, membaca buku adalah aktivitas yang sangat
    penting dalam pendidikan. Menurut Hernowo, membaca adalah berpikir menggunakan
    gagasan si penulis. Dengan membaca sebenarnya pembaca melakukan diskusi
    imaginasi dengan penulis. Penulis yakin, jika harga buku bisa ditekan dan jika
    perlu dibuat gratis pasti akan ada perbaikan yang cukup signifikan terhadap
    kualitas sumber daya hasil dari pendidikan.


    Hal ketiga yang penulis perhatikan adalah masalah
    pemanfaatan internet dalam pertukaran informasi. Pada awal pengembangannya,
    internet sudah digunakan sebagai media pertukaran informasi yang berkaitan
    dengan kegiatan-kegiatan akademik dan pendidikan. Sejak dulu internet menjadi
    media pertukaran informasi antar kampus, media publikasi hasil penelitian atau
    sekedar media untuk berdiskusi jarak jauh. Baru kemudian, dalam perkembangan
    yang lebih lanjut peran-peran lain internet seperti media hiburan, media
    ekonomi dan perdagangan muncul belakangan.


    Secara radikal, penulis membayangkan, jika hanya sekedar
    mengejar kemampuan kognitif dan ilmu pengetahuan yang siap pakai, orang tidak
    memerlukan sekolah sama sekali. Terlepas dari dampak negatifnya, saat ini,
    dengan menggunakan internet orang bisa mendapatkan informasi apa pun termasuk
    yang berkaitan dengan proses pembelajaran, ilmu-ilmu praktis dan
    pengetahuan-pengetahuan umum. Keunggulan internet yang bisa menjangkau willayah
    yang sangat luas bisa mereduksi beberapa penyakit pendidikan yang sempat diuraikan
    di atas, yaitu masalah pemerataan, relevansi dan tidak perlu lagi memusingkan
    masalah kebijakan pendidikan. Namun, tentunya peran bangku pendidikan formal
    tidak akan pernah bisa dihilangkan. Di sekolah pelajar tidak sekedar menerima
    transfer pengetahuan. Pelajar juga belajar berinteraksi dengan lingkungannya.
    Pelajar belajar menjadi masyarakat dalam lingkungan miniatur bernama sekolah.


    Epilog


    Sebelum melukis, pelukis membayangkan gambaran yang akan
    ia lukis. Penulis membayangkan uraian harapan di atas sebagai gambaran yang
    ingin dilukis untuk kondisi pendidikan Indonesia ke depan. Setelah bayangan itu
    cukup kuat di benak, proses melukis pun dimulai. Dalam hal ini proses melukis
    tersebut adalah tahapan implementasi, mewujudkan gagasan-gagasan di atas secara
    nyata.


    Dalam proses implementasi mewujudkan ekspektasi ini
    diperlukan keterlibatan yang ekstensif dari pemerintah, masyarakat dan
    institusi pendidikan. Dengan menyadari betul peran pentingnya, dampaknya dan
    manfaatnya, perbaikan pendidikan harus dilakukan dengan cepat, mulai dari saat
    ini juga.


    Pendidikan bukan sekedar wadah yang memindahkan
    pengetahuan belaka. Seperti telah disebutkan juga, ada elemen-elemen lain dari
    manusia yang justru lebih diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Elemen-elemen
    semisal pengelolaan emosi, kemampuan bersosialisasi, karakter yang kuat dan
    seterusnya.


    Dengan terciptanya manusia dengan elemen tersebut,
    diharapkan manusia itu adalah manusia yang lebih berkarakter dan lebih bisa
    menjadi manusia. Tinggal kita nantikan saja, seperti apa bentuk lukisan
    tersebut saat ia selesai dibuat.









    [1] E.F Schumacher, Kecil Itu Indah, Jakarta:LP3ES, 1981


    [2]
    Edward P. Lazear, Education
    in 21st Century



    [3] Kompas 24 Oktober 2004


    [4]
    Workshop Wirausaha Muda Mandiri, Hotel Nikko Jakarta 14 -15 November
    2007

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 11:08 am