MENJELAJAH KELUASAN
LANGIT
MENEMBUS KEDALAMAN AL-QUR'AN
Memikirkan
perihal pembentukan, susunan, dan evolusi alam semesta merupakan cara mengenal
kekuasaan Allah yang pada gilirannya akan memperkuat aqidah. Di dalam surat Ali
Imran 190-191 Allah menunjukkan setidaknya empat ciri yang harus dipunyai
seorang Muslim untuk mencapai tingkat ulil albab:
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi (segala fenomena di alam), dan pergantian malam dan
siang (segala prosesnya), terdapat tanda-tanda bagi para cendekia ('ulil
albab'); (yaitu:)
1.
Mereka yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, maupun berbaring (dalam segala aktivitasnya);
2.
Dan selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(tak henti menelaah fenomena alam);
3.
(bila dijumpainya suatu kekaguman mereka berkata) "Tuhan
kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau."
4.
(dan dengan kesadaran bahwapengembaraan intelektualnya
mungkin sesat, mereka senantiasa memohon kepada Allah) "Dan jauhkanlah
kami dari siksa neraka".
Dengan
mengacu ayat-ayat tersebut saya mencoba mengajak menjelajah sekilas lintas
keluasan langit sambil menembus kedalaman Al-Qur'an. Namun hal penting yang
tersirat dari ayat tersebut mengingatkan kita bahwa kemungkinan salah dan sesat
dalam pengembaraan ilmiah bisa saja terjadi. Ini juga mengingatkan bahwa
kebenaran ilmu relatif. Hingga dalam memahami kebenaran mutlak dalam Al-Qur'an
dengan perangkat sains harus kita sadari pula relativitas penafsiran kita.
Apalagi dengan mengingat bahwa laju kedaluwarsaan sains saat ini semakin cepat.
Saya
mulai dengan mengenali bahasa universal dan menggali hakikat langit. Kemudian
menerawang penciptaan alam semesta dan model teoritiknya. Posisi kita di alam
raya dan kemungkinan ada tidaknya kehidupan di luar bumi juga akan kita
telusuri. Akhirnya tinjauan tentang hari kehancuran semesta.
Hakikat Cahaya
Cahaya
adalah satu bagian dari gelombang elektromagnetik (EM). Dalam mekanika quantum
modern, cahaya dan semua spektrum dalam radiasi gelombang elektromagnetik
lainnya (radio, infra merah, ultra violet, sinar-X, dan sinar gamma), dapat
bersifat sebagai partikel dan dalam hal lain bersifat sebagai gelombang. Sifat
dualisme ini sebelumnya di luar anggapan umum. Namun itulah yang teramati dalam
eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Ini adalah hakikat fisik cahaya.
Pengetahuan tentang hakikatnya tersebut digunakan untuk mendeteksi, merekam dan
menafsirkan pesan-pesan yang dibawanya, terutama pesan-pesan dari benda-benda
langit yang jauh di sana. Hakikat fisik cahaya hanya melihat proses fisika
sebagai sebab timbulnya atau terpancarkannya cahaya itu. Namun ada hakikat
lainnya yang kadang-kadang terlupakan, bahwa cahaya adalah pemberian Allah.
Proses fisika hanyalah caranya.
Para
fisikawan pra-Newton menelaah bagaimana kita bisa melihat sesuatu benda. Tetapi
kini telah difahami bahwa karena adanya cahaya terpancarlah kita bisa melihat
sesuatu. Dari mana cahaya itu? Dalam Al-Qur'an surat An-Nur : 35 Allah
menjelaskan bahwa Allah pemberi cahaya bagi langit dan bumi. Cahaya-Nya berlapis-lapis,
cahaya di atas cahaya. Kemudian ketika Allah memberikan perumpamaan tentang
kegelapan yang amat sangat hingga tak ada cahaya sedikit pun dinyatakan-Nya,
"...Bila
dijulurkannya tangannya ke luar tak akan terlihatlah ia...."
Lanjutan ayat tersebut
menegaskan,
"Siapa
yang tak diberi cahaya oleh Allah tak akan bercahayalah ia." (Q.S. An-Nur:40).
"Cahaya" dalam ayat ini sering
ditafsirkan sebagai "cahaya agama" atau hidayah. Namun ini bisa
difahami dari segi harfiahnya secara umum bahwa Allah pemberi cahaya bagi
langit dan bumi (Q.S. An-Nur 35) yang bisa berarti cahaya fisik bagi alam
semesta dan "cahaya agama" atau hidayah bagi manusia. Kalau ini kita
fahami, ini mengandung makna ketauhidan dalam memahami hakikat cahaya. Secara
umum, itu menyatakan bahwa Allah yang memberikan cahaya kepada alam semesta
hingga ia terlihat oleh mata kita atau oleh detektor yang kita buat. Bukan
sekedar proses fisika yang berlaku.
Bahasa Universal
Sebenarnya
cahaya dan gelombang EM lainnya merupakan bahasa universal yang kita gunakan
berkomunikasi dengan makhluk yang jauh di alam semesta. Walaupun baru sebatas
komunikasi satu arah. 'Kisah' tentang keadaan fisik objek langit itu
(strukturnya, komposisi kimia, temperatur, dsb.) serta proses fisik yang
terjadi (reaksi fusi nuklir, aliran materi, dsb.) diterima oleh para
astrofisikawan dalam 'bahasa' gelombang EM tersebut. Tentu saja untuk memahami
'kisah' dalam 'bahasa' gelombang EM itu para astrofisikawan masih memerlukan
'juru bahasa' berupa ilmu fisika, kimia, dan matematika.
Tafakkur
tentang alam semesta sungguh mengasikkan bila kita menguasai fisika, kimia dan
matematika sebagai 'juru bahasa' dalam memahami cerita makhluk Allah yang amat
jauh berupa bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya. Banyak kisah yang
bisa kita dengar dari benda-benda langit itu. Siapa bilang bintang-bintang itu
bisu. Mereka bercerita dengan bahasa universal, dengan gelombang EM.
Embrio-embrio bintang yang masih sangat dingin bercerita dengan gelombang
radio. Benda-benda yang sangat panas berkisah dengan sinar-X. Galaksi-galaksi
yang berlari menjauh memberi tahu kita dengan pergeseran spektrumnya ke arah
merah. Dan banyak kisah lagi bisa kita dengar. Rabbanaa maa kholaqta haadza
baathila subhanak --Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha
Suci Engkau dari segala cela.
Sayangnya,
sebagian besar (mungkin 90% atau lebih) materi di alam semesta tak memancarkan
gelombang EM tersebut. Itulah yang dinamakan "dark matter" (materi
gelap). Allah tak memberikan cahaya kepada mereka. 'Materi gelap' itu mencakup
objek raksasa yang runtuh ke dalam intinya (misalnya Black Hole atau Lubang
Hitam yang menyerap semua cahaya), objek seperti bintang namun bermassa kecil
hingga tak mampu memantik reaksi nuklir di dalamnya (yaitu objek katai coklat),
atau partikel-partikel subelementer.
'Materi
gelap' ini ibarat orang bisu. Kita tak dapat mendengar kisah mereka tetapi kita
yakin mereka ada dihadapan kita. Kita hanya bisa menangkap isyarat-isyarat yang
diberikannya. Isyarat-isyarat tak langsung itulah yang ditangkap oleh para
astrofisikawan untuk mendengar kisah "meteri gelap". Isyarat-isyarat
itu bisa berupa pancaran sinar-X dari bintang yang berpasangan dengan Black
Hole atau dari efek gravitasi pada objek di dekatnya.
Sekedar
contoh, inilah cara Black Hole bercerita bahwa dirinya ada. Pancaran sinar-X
yang kuat bisa bercerita bahwa di sana ada obyek yang sangat panas. Dengan
telaah fisika kemudian diketahui bahwa panas itu terjadi karena ada materi dari
suatu bintang yang sedang disedot oleh benda yang kecil bermassa sangat besar
yang menjadi pasangannya. Materi yang jatuh pada bidang yang sempit di sekitar
benda penyedot itulah menimbulkan panas yang sangat tinggi yang akhirnya
memancarkan sinar-X. Dari isyarat-isyarat lainnya disimpulkan bahwa penyebab
perpindahan materi itu adalah sebuah Black Hole yang sedang menyedot materi
dari bintang pasangannya, seperti teramati pada objek Cygnus X-1.
Hakikat Langit
Di
dalam Al-Qur'an dan hadits sering kita jumpai tentang ungkapan langit,
khususnya dalam ungkapan 'tujuh langit'. Apakah hakikat langit? Apakah langit
biru di atas sana?
Pengetahuan
saat ini menunjukkan bahwa langit biru hanyalah disebabkan oleh hamburan cahaya
matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Di luar atmosfer bumi warna biru tak
ada lagi, yang ada hanya titik-titik cahaya bintang, galaksi, dan benda-benda
langit lainnya. Jadi, langit bukan hanya kubah biru yang di atas sana.
Di dalam Q.S.
Al-Baqarah:29 Allah berfirman:
"...Kemudian
Dia menuju langit, maka disempurnakannya tujuh langit...."
Ada dua hal yang
menarik dalam ayat ini;
(1) 'maka
disempurnakannya' (fasawaahunna)
(2) 'tujuh langit'
(sab'a samawaati).
Pertama
akan dibahas masalah 'tujuh langit'. Pemahaman bilangan 'tujuh' dalam beberapa
hal di dalam Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem
desimal. Hingga ungkapan 'tujuh langit' yang sering digambarkan sebagai 'tujuh
lapis langit' oleh para mufassirin lama (apalagi dalam kisah Isra' Mi'raj)
mesti dikaji ulang. Konsep 'tujuh lapis langit' sering mengacu pada konsep
geosentrik yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta yang dilingkupi oleh
lapisan-lapisan langit. Misalnya dalam salah satu tafsir disebutkan bahwa bulan
berada di langit pertama dan matahari berada di langit ke empat.Di dalam
Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang
tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai yang masing-masingnya
berbuah seratus butir. Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang
dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S.
Luqman:27:
"Jika
seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi
tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat
Allah...."
Jadi
'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit
yang tak terhitung banyaknya. Langit itu sendiri bermakna sesuatu yang di atas
kita, hingga semua benda di luar bumi, yang kita pandang berada di atas kita,
merupakan bagian dari langit.
Kemudian
'penyempurnaan langit', mengandung kesan bahwa langit memang 'belum sempurna',
dalam arti proses pembentukkannya belum berakhir. Saya sengaja memilih kata
'menyempurnakan' untuk 'fasawaahunna' yang sering diartikan 'menjadikan' yang
berkesan langsung jadi. Ini mudah difahami bila kita membandingkan Q.S.79:27-30 ("...dan bumi itu --
sesudah penciptaan langit -- dihamparkan-Nya") dan Q.S.41:9-11
("...kemudian menuju penciptaan langit dan langit itu masih berupa
kabut...."). Ayat yang pertama mengandung kesan bumi diciptakan
sesudah langit. Sedangkan pada yang kedua diungkapkan bahwa langit diciptakan
sesudah bumi. Keduanya tidaklah bertentangan kalau difahami bahwa penciptaan
langit merupakan proses yang berlanjut. Langit (galaksi-galaksi beserta
bintang-bintangnya dan segala komponennya) memang lahir lebih dahulu dari pada
bumi. Tetapi sesudahnya, 'penyempurnaannya' terus berlangsung dengan kelahiran
bintang-bintang baru. Pengamatan astronomi memang mengungkapkan bahwa kelahiran
dan kematian bintang-bintang terus terjadi.
Pengamatan
dan telaah teoritik mengukuhkan bahwa bintang-bintang lahir di dalam awan
molekul raksasa, yang dalam Q.S.41:11 disebut 'dukhan' (kabut). Ukuran awan
antar bintang tersebut sekitar 100 tahun cahaya (1 tahun cahaya adalah jarak
tempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,46 trilyun kilometer; bandingkan
dengan jarak bumi-matahari yang hanya sekitar 8 menit cahaya) dengan massa
totalnya sekitar sejuta kali massa matahari (massa matahari sendiri sekitar
300.000 kali massa bumi).
Dengan
penjelasan di atas, kita fahami bahwa 'tujuh langit' yang berulang kali
diungkapkan di dalam Al-Qur'an mengacu pada tatanan benda-benda langit
(galaksi, bintang, planet, komet, batuan dan gas) yang tak terhitung banyaknya
yang terus berevolusi: lahir, menjadi tua dan akhirnya mati.
Evolusi Bintang
Menarik
bila kita mengkaji sekilas lintas tentang evolusi atau "kehidupan"
bintang, sejak lahirnya sampai matinya.
Di dalam Al-Qur'an
Allah telah mengisyaratkan bahwa langit tercipta dari dukhan (kabut).
"....Kemudian menuju
penciptaan langit dan langit itu masih berupa kabut. Lalu Dia berfirman
kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan
sukarela atau terpaksa.' Keduanya menjawab:'kami datang dengan suka
rela.'" (Q.S.41:11).
Kini
sudah diyakini kebenaran ayat itu berdasarkan banyak pengamatan secara visual,
infra merah, maupun radio. Bintang-bintang lahir dari awan molekul. Teori saat
ini menyatakan kelahiran bintang dimulai dari penggumpalan awan molekul yang.
Partikel-partikel oleh gaya gravitasi runtuh ke intinya membentuk inti yang
akan menjadi bintang. Akibat rotasi gumpalan awan molekul itu sebagian materi
tidak jatuh ke intinya, tetapi ke sekitar inti membentuk piringan. Inti bintang
itu mulai memanas tetapi masih diselimuti debu dan gas yang tebal dan amat
dingin, di bawah minus 200 derajat C. Ibarat kepompong, inti bintang itu tak
terlihat dari luar. Yang teramati hanya selimut debunya. Itu pun hanya pancaran
infra merah dan radio yang bisa terdeteksi.
Embusan
angin bintang lambat laun akan menyingkirkan selimut debu dan gas di sekitar
bintang itu. Mulanya semburan dari arah kedua kutub bintang itu lalu pancaran
angin bintang lambat laun akan menyingkirkan debu dan gas yang menyelimutinya.
Yang tersisa adalah piringan debu dan gas di sekitar ekuatornya. Piringan debu
dan gas di sekitar bintang itu diyakini sebagai cikal bakal planet.Dengan
tersibaknya selimut debu inti bintang mulai tampak secara visual, walau masih amat
redup dan hanya bisa teramati dengan teleskop besar. Kini diketahui banyak
bintang yang masih mempunyai piringan debu dan gas yang umurnya masih beberapa
juta tahun. Matahari kita tergolong bintang "remaja" yang baru
berumur 4,5 milyar tahun.
Inti
yang makin panas itu akhirnya akan memantik reaksi fusi nuklir. Reaksi fusi
nuklir inilah yang menjadi sumber energi bintang --termasuk matahari-- hingga
bersinar. Angin bintang dan tekanan radiasi akhirnya juga akan menyingkirkan
debu-debu di piringan. Kalau di piringan itu terbentuk planet-planet, yang
tersisa adalah planet-planet dan sedikit materi debu-debu antar planet.
Hasil
reaksi fusi nuklir di inti bintang adalah unsur-unsur yang lebih berat.
Akhirnya bintang pun akan mati. Akhir kehidupannya tergantung massa dan keadaan
fisik bintang. Ada bintang yang mengembang lalu akhirnya melepaskan
materi-materinnya ke angkasa. Ada pula yang meledak yang disebut supernova.
Nah, materi-materi yang terlepas ke angkasa itu nantinya akan menjadi bahan
dasar pembentukan bintang baru. Begitulah Allah mendaur-ulangkan materi di alam
ini.
Penciptaan Alam Semesta
Di
bagian 2 telah dibahas masalah penciptaan bintang-bintang dari awan antar
bintang. Kini akan dibahas tentang penciptaan seluruh alam dengan membandingkan
tinjauan astronomi dan Al-Qur'an.
Teori
yang kini banyak pendukungnya menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari
ledakan besar (Big Bang) sekitar 10-20 milyar tahun yang lalu. Semua materi dan
energi yang kini ada di alam terkumpul dalam satu titik tak berdimensi yang
berkerapatan tak berhingga. Tetapi ini jangan dibayangkan seolah-olah titik itu
berada di suatu tempat di alam yang kita kenal sekarang ini. Yang benar,
materi,energi, dan ruang yang ditempatinya seluruhnya bervolume amat kecil,
hanya satu titik tak berdimensi.
Tidak
ada suatu titik pun di alam semesta yang dapat dianggap sebagai pusat ledakan.
Dengan kata lain ledakan besar alam semesta tidak seperti ledakan bom yang
meledak dari satu titik ke segenap penjuru. Hal ini karena pada hakekatnya seluruh
alam turut serta dalam ledakan itu. Lebih tepatnya, seluruh alam semesta
mengembang tiba-tiba secara serentak. Ketika itulah mulainya terbentuk ruang
dan waktu.
Radiasi
yang terpancar pada saat awal pembentukan itu masih berupa cahaya. Namun karena
alam semesta terus mengembang, panjang gelombang radiasi itu pun makin panjang,
sesuai dengan efek Doppler, menjadi gelombang radio. Kini radiasi awal itu yang
dikenal sebagai radiasi latar belakang kosmik (cosmic background radiation)
dapat dideteksi dengan dengan teleskop radio.
Peristiwa
serupa diisyaratkan juga di dalam Al-Qur'an bahwa seluruh materi dan energi di
langit dan bumi berasal dari satu kesatuan pada awal penciptaannya.
"Tidakkah
tahu orang-orang kafir itu bahwa sesungguhnya langit dan bumi berasal dari satu
kesatuan kemudian Kami pisahkan." (Q.S.21:20)
Seperti
telah di bahas terdahulu, langit yang dimaksud di sini adalah seluruh
benda-benda luar angkasa. Semuanya berasal dari satu materi dasar yang berupa
hidrogen. Dari reaksi nuklir (fusi) di dalam bintang terbentuklah unsur-unsur
berat seperti karbon, sampai besi. Kandungan unsur- unsur berat dalam komposisi
materi bintang merupakan salah satu "akte" lahir bintang.
Bintang-bintang yang mengandung banyak unsur berat berarti bintang itu
"generasi muda" yang memanfaatkan materi-materi sisa ledakan
bintang-bintang tua. Materi pembentuk bumi pun diyakini berasal dari debu dan
gas antar bintang yang berasal dari ledakan bintang di masa lalu.
Jadi, seisi alam ini
memang berasal dari satu kesatuan.
Pengembangan Alam
Semesta
Allah
menjelaskan bahwa benda-benda langit tidaklah statis, tetapi terus mengembang
sejak pembentukannya.
"Dan
langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami. Sungguh Kami kuasa
meluaskannya." (Q.S. 51:47)
Memang
demikianlah yang kini teramati. Spektrum galaksi-galaksi yang jauh sebagian
besar menunjukkan bergeser ke arah merah yang dikenal sebagai red shift
(panjang gelombangnya bertambah sesuai dengan efek Doppler). Ini merupakan
petunjuk bahwa galaksi-galaksi itu saling menjauh. Dengan kata lain, alam
semesta ini sedang mengembang.
Sebenarnya
yang terjadi adalah pengembangan ruang. Galaksi-galaksi itu (dalam ukuran alam
semesta hanya dianggap seperti partikel-partikel) dapat dikatakan menempati
kedudukan yang tetap dalam ruang, dan ruang itu sendiri yang sedang
berekspansi. Kita tidak mengenal adanya ruang di luar alam ini. Oleh karenanya
kita tidak bisa menanyakan ada apa di luar semesta ini.
Secara
sederhana, keadaan awal alam semesta dan pengembangannya itu dapat
diilustrasikan dengan pembuatan roti. Materi pembentuk roti itu semula
terkumpul dalam gumpalan kecil. Kemudian mulai mengembang. Dengan kata lain
ruang roti sedang mengembang. Butir-butir partikel di dalam roti itu (analog
dengan galaksi di alam semesta) saling menjauh sejalan dengan pengembangan roti
itu (analog dengan alam).
Dalam
ilustrasi tersebut, kita berada di salah satu partikel di dalam roti itu. Di
luar roti, kita tidak mengenal adanya ruang lain, karena pengetahuan kita, yang
berada di dalam roti itu, terbatas hanya pada ruang roti itu sendiri. Demikian
pulalah, kita tidak mengenal alam fisik lain di luar dimensi
"ruang-waktu" yang kita kenal. Sedangkan informasi alam ghaib sangat
terbatas.
Alam Tidak Berawal?
Walaupun
tidak terlalu banyak pendukungnya, beberapa pakar kosmologi dan fisikawan
teoritis "menggugat" bahwa alam ada awalnya. Beberapa teori lain
menyatakan bahwa tidak ada batas dalam waktu, tidak ada singularitas Big Bang.
Ini misalnya dikemukakan oleh Maddox (1989) dan Levy-Leblond(1989) serta dalam
buku populer Hawking (1989). Mereka berpendapat bahwa tidak ada batas waktu
yang dapat disebut sebagai awal penciptaan alam semesta. Hawking dalam buku
"A Brief History of Time" menyebutnya "No-boundary
conditions". Model matematis itu menyatakan bahwa alam semesta berhingga
ukurannya tetapi tanpa batas dalam ruang dan waktu.
Dengan
menggunakan keadaan tak berbatas (no-boundary conditions) ini, Hawking
menyatakan bahwa alam semesta mulai hanya dengan keacakan minimum yang memenuhi
Prinsip Ketidakpastian. Kemudian alam semesta mulai mengembang dengan pesat.
Dengan Prinsip Ketidakpastian ini, dinyatakan bahwa alam semesta tak mungkin
sepenuhnya seragam, karena di sana sini pasti didapati ketidakpastian posisi
dan kecepatan partikel-partikel. Dalam alam semesta yang sedang mengembang ini
kerapatan (density) suatu tempat akan berbeda dengan tempat lainnya. Gravitasi
menyebabkan daerah yang berkerapatan tinggi makin lambat mengembang dan mulai
memampat (berkontraksi). Pemampatan inilah yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi,
bintang-bintang, dan semua benda-benda langit.
Berdasarkan
model tersebut Hawking menyatakan, "Sejauh anggapan bahwa alam semesta
bermula, kita mengganggap ada Sang Pencipta. Tetapi jika alam semesta
sesungguhnya ada dengan sendirinya, tak berbatas tak bertepi, tanpa awal dan
akhir, lalu di manakah peran Sang Pencipta."
Tentunya
bagi ilmuwan Muslim yang penalarannya berdasarkan iman tak mungkin
mempertanyakan peran Allah Rabbul'alamin. Kita meyakini bahwa Dia adalah
Pencipta semesta ini. Tetapi cara Allah menciptakan alam semesta ini tak
mungkin sama dengan apa yang manusia gambarkan sebagai pencipta.
"Tak
ada suatu pun yang menyamai-Nya."(Q.S.Al-Ikhlas:4)
Kalau
kita cermati penalaran Hawking, dikatakannya bahwa alam mulai hanya dengan
"keacakan minimum". Sebenarnya adanya syarat 'keacakan' itu dan
berbagai hukum dalam sains (termasuk "Prinsip Ketidakpastian" yang
menjadi asal 'keacakan') cukup menjadi bukti bahwa semua itu ada penciptanya,
Allah Rabbul'alamin. Allah "bekerja" dengan caranya, yang mungkin tak
bisa ditelusur dengan sains.
Model Alam Semesta
Dengan
hanya mengandalkan pengamatan, kita tidak mungkin menggambarkan bagaimana ujud
alam semesta ini. Maka diperlukanlah suatu model matematis yang dapat
menjelaskan "bentuk" alam semesta ini termasuk evolusinya. Di bagian
terdahulu telah dibahas sekilas tentang model alam semesta, khususnya tentang
penciptaanya dan pengembangannya. Kini akan dibahas tentang
"geometri" alam semesta.
Dengan
menggunakan solusi kosmologis persamaan Einstein dan Prinsip Kosmologis yang
menganggap bahwa alam semesta homogen di mana pun dan isotropik di setiap titik
di alam, didapatkan dua model alam semesta:
1.
"terbuka"
atau tak berhingga;
2.
"tertutup"
atau berhingga tak berbatas.
Prinsip Kosmologis
tersebut didasarkan hasil pengamatan bahwa alam semesta nampaknya homogen dan
isotropik (galaksi-galaksi nampak tersebar seragam ke segala arah).
Untuk
menentukan model mana yang benar diperlukan informasi tentang massa total alam
semesta ini. Seandainya seluruh materi di alam ini tidak cukup banyak untuk
mengerem pengembangan maka alam semesta akan terus mengembang dan berarti alam
semesta ini "terbuka" atau tak berhingga. Tetapi jika massanya cukup
besar, maka pengembangan alam semesta akan direm, akhirnya berhenti dan mulai
mengerut lagi. Kalau ini yang terbukti berarti alam semesta
"tertutup" atau bersifat "berhingga tak berbatas".
Sifat
alam semesta "berhingga tak berbatas" itu dapat diilustrasikan dalam
dua dimensi pada bola bumi (sesungguhnya alam berdimensi empat, tiga dimensi
ruang dan satu dimensi waktu). Bola itu berhingga ukurannya namun tak berbatas,
tak bertepi. Garis-garis lintang analog dengan "ruang" alam semesta
ini dan garis-garis bujur analog dengan "waktu". Perjalanan
"ruang-waktu" alam ini bermula dari kutub utara menuju kutub selatan.
Kita menelusuri garis bujur. Dengan bertambah jauh kita menelusurinya (atau
bertambah "waktu"-nya) kita akan jumpai lingkaran-lingkaran lintang
yang bertambah besar (atau "ruang" alam semesta mengembang). Setelah
mencapai maksimum di khatulistiwa, kemudian lingkaran lintang pun mulai
mengecil lagi. Seperti itu pula alam semesta mulai mengerut. Bila kita berjalan
sepanjang garis lintang, kita akan kembali ke titik semula. Sama halnya dengan
sifat "ruang" alam semesta yang tak berbatas itu. Cahaya yang kita
pancarkan ke arah mana pun, pada prinsipnya, akan kembali lagi dari arah
belakang kita. Bila model ini benar, pada prinsipnya, kita akan bisa melihat
galaksi Bima Sakti (galaksi kita) berada di antara galaksi-galaksi yang jauh
(galaksi luar).
Sampai
saat ini belum dapat diputuskan model mana yang benar karena belum adanya bukti
observasi yang betul-betul meyakinkan. Pengamatan Deuterium yang dilakukan
satelit Copernicus pada tahun 1973 menghasilkan jumlah Deuterium 0.00002 kali
jumlah Hidrogen. Sebenarnya ini merupakan alasan terkuat yang mendukung model
alam "tak berhingga". Tetapi banyak yang meragukan kecermatan
pengukurannya. Maka sampai saat ini kedua kemungkinan itu masih terbuka. Kita
masih menantikan observasi yang lebih cermat dan teori yang lebih baik untuk
menafsirkannya.
Bagaimanakah
konsep Al-Qur'an dalam model alam semesta ini? Nampaknya sangat mirip dengan
model alam semesta "tertutup". Alam semesta akan berhenti mengembang
dan mulai mengerut. Hal ini akan dibahas dalam bagian mendatang dalam bahasan
hari kehancuran alam.
Posisi Kita di Alam
Semesta
Kita
mulai meninjau posisi kita di alam semesta bukan dari diri manusia yang kadang
merasa besar dengan kesombongannya, tetapi dari bumi kita. Kita akan menyadari kekecilan
planet kita ini bila kita membandingkannya dengan keluasan alam semesta. Dan
pada gilirannya kita akan menyadari kelemahan manusia di hadapan Allah Yang
Maha Kuasa.
Kini
telah diyakini bahwa bumi kita bukanlah pusat alam semesta yang di kelilingi
oleh lapisan-lapisan langit. Bumi kita hanyalah satu planet kecil di tata
surya. Empat planet (Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus) berukuran jauh lebih
besar dari pada planet kita. Jupiter bermassa sekitar 300 kali massa bumi.
Tetapi matahari yang merupakan bintang terdekat dan induk tata surya bermassa
jauh lebih besar lagi, sekitar 300.000 kali massa bumi, dan berukuran lebih
dari sejuta kali besar bumi. Gaya gravitasinya mampu menahan semua anggota tata
surya yang terdiri dari sedikitnya 9 planet, sekitar 42 satelit, ratusan ribu
asteroid (planet kecil), milyaran komet, dan tak berhingga bongkahan batuan,
logam, atau es yang di sebut meteoroid yang bertebaran di ruang antar planet.
Sedangkan
matahari sendiri hanyalah bintang kuning berukuran sedang. Ribuan bintang lagi
bisa kita lihat di langit dan jutaan lagi yang bisa kita lihat dengan teleskop.
Di antaranya bintang-bintang raksasa yang besarnya ratusan kali besar matahari.
Semuanya merupakan anggota dari ratusan milyar bintang yang menghuni galaksi kita,
Bima Sakti.
Galaksi
kita digolongkan sebagai galaksi spiral, berbentuk seperti huruf S dengan
lengan tunggal atau majemuk. Diameternya sekitar 100.000 tahun cahaya, artinya
dari ujung ke ujung akan ditempuh oleh cahaya dalam waktu sekitar 100.000 tahun.
Tata surya kita berjarak sekitar 30.000 tahun cahaya dari pusatnya dan
mengorbit dengan kecepatan sekitar 200-300 km per detik sekali dalam 200 juta
tahun.
Mungkin
sekali di antara ratusan milyar bintang anggota Bima Sakti ada bintang yang
mempunyai tata planet. Namun karena jaraknya yang amat jauh, sulit untuk
menemukan tata planet tersebut. Dengan teropong besar pun bintang-bintang itu
hanya tampak sebagai titik-titik cahaya. Namun akhir-akhir ini telah dijumpai
bintang-bintang yang dikelilingi oleh piringan debu yang diduga mempunyai tata
planet atau setidaknya dalam evolusi membentuk tata planet. Dengan teleskop
optik yang dilengkapi alat khusus, piringan materi di sekitar bintang Beta
Pictoris dapat di amati. Piringan materi itu di duga dalam masa awal
pembentukan tata planet, seperti keadaan tata surya kita sekitar 4,5 milyar
tahun yang lalu atau merupakan awan komet seperti yang ada di tepi tata surya
kita.
Kalau
kita menembus kedalaman langit lebih jauh lagi, kita akan jumpai jutaan,
mungkin milyaran, galaksi-galaksi lain. Galaksi-galaksi itu bagaikan
pulau-pulau yang saling berjauhan yang berpenghuni milyaran bintang pula.
Beberapa galaksi membentuk gugusan galaksi. Kemudian gugusan-gugusan itu dan
galaksi-galaksi mandiri lainnya mengelompok dalam gugusan besar yang disebut
super cluster.
Bima Sakti merupakan
anggota dari gugusan galaksi yang disebut Local Group yang beranggota sekitar
dua puluh galaksi dan berdiameter sekitar 3 juta tahun cahaya. Di luar Local
Group yang terpisah sejauh puluhan atau ratusan juta tahun cahaya dijumpai pula
banyak super cluster yang terdiri ratusan atau ribuan galaksi.Keluasan langit
yang baru saja dijelaskan diungkapkan di dalam Al-Qu'an:
"Allah
yang menciptakan tujuh langit dan bumi sebanyak itu pula. Dia turunkan
perintah-Nya pada keduanya agar kamu tahu bahwa Allah berkuasa atas segala
sesuatu dan sungguh pengetahuan Allah mencakup
segalanya."(Q.S.Ath-Thalaq:12)
'Tujuh
langit' bermakna benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya (lihat bagian
2), mencakup awan antar bintang, meteoroid, asteroid, komet, planet, bintang,
galaksi sampai super cluster yang menghimpun banyak galaksi. Sedangkan 'tujuh
bumi' mengisyaratkan banyaknya planet lain di luar tata surya kita yang mirip
dengan planet bumi. Mungkin pula di sana ada kehidupan.
Adakah Kehidupan di
Luar Bumi?
Mengacu
pada Q.S. Ath-Thalaq:12 pada bagian yang lalu terkandung isyarat adanya banyak
planet yang mirip dengan bumi yang mungkin pula dihuni oleh makhluk hidup.
Isyarat lebih nyata dapat kita jumpai dalam Q.S. Asy-Syura:29:
"Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan makhluk
hidup yang ditebarkan di antara keduanya. Dan Dia berkuasa mengumpulkannya bila
dikehendaki."
Usaha
pencarian makhluk hidup di luar bumi pernah dilakukan, khususnya mencari
makhluk-makhluk cerdas. Maka muncullah SETI (Search for Extra Terrestrial
Intelligence) dan lahirlah cabang ilmu baru, Bioastronomi, hasil perkawinan
Astronomi dan Biologi. International Astronomical Union pun kini mempunyai
komisi khusus yang menangani Bioastronomi ini.
Sebenarnya
kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi, baik kehidupan primitif secara
biologi maupun kehidupan tingkat tinggi, sudah banyak difikirkan oleh para
ilmuwan dan juga orang awam sejak berabad-abad yang lalu. Baru dalam tiga
dasawarsa belakangan ini para ilmuwan mulai memasuki tahap eksperimental dalam
usaha mencari kehidupan di luar bumi.
Beberapa
pesawat antariksa, seperti Apollo, Viking, dan Venera, dikirimkan untuk
mengidentifikasi kemungkinan ada tidaknya kehidupan primitif di bulan dan
planet lain di tata surya. Namun sejauh ini belum dijumpai adanya tanda-tanda
kehidupan itu. Walaupun demikian, data-data yang terkumpul, antara lain
senyawa-senyawa organik bagian unsur kehidupan, amat berharga dalam memahami
evolusi tata surya serta kondisi yang memungkinkannya layak bagi kehidupan.
Beberapa
pesawat diantaranya, Voyager dan Pioneer, dilepas ke luar tata surya memasuki
ruang antar bintang setelah menjenguk beberapa planet. Mereka dibekali pesan
bumi, berisi informasi tentang posisi bumi, kehidupan di bumi, serta rekaman
suara alamnya. Diharapkan di suatu tempat di luar bumi pesawat itu bertemu
dengan makhluk cerdas yang mampu menafsirkan pesan itu. Mungkin nantinya akan
ada hubungan antar peradaban, bukan lagi antar bangsa.
Di
samping pengiriman pesawat antariksa, pencarian juga dilakukan dengan
menggunakan teleskop radio. Seperti dibicarakan di bagian pertama, gelombang
radio juga merupakan bahasa universal yang diharapkan membawa pesan dari
peradaban lain di galaksi kita. Pada prinsipnya, kalau memang ada peradaban
lain di luar bumi, kita bisa berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa
universal itu, gelombang radio. Walau tidak harus berarti komunikasi dua arah.
Akhir Alam Semesta
Pengetahuan
tentang hari kiamat hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia hanya diberi ilmu
yang sedikit. Al-Qur'an hanya memberikan beberapa isyarat tentang hari
kehancuran alam semesta ini. Bagian ini akan membahas beberapa mekanisme hari
kehancuran yang digambarkan oleh Al-Qur'an dan tinjauan astronomisnya, sebatas
perkembangan pengetahuan sampai saat ini.
Ketika menggambarkan
Hari Qiyamat Allah menyatakan:
"Ketika lautan bergolak
mendidih...."(Q.S.81:6)
Kata
'sujjirat' pada ayat itu berarti bergolak, (mendidih) terbakar, dan kering.
Bisa jadi hal ini terjadi ketika matahari kita membengkak menjadi bintang
raksasa merah. Menurut teori evolusi bintang, matahari kita akan membesar
menjadi bintang raksasa merah menjelang kematiannya. Pada saat itu matahari
bersinar sedemikian terangnya hingga lautan akan mendidih dan kering, batuan
akan meleleh, dan kehidupan pun akan punah. Kemudian matahari akan terus
bertambah besar hingga planet-planet disekitarnya, Merkurius, Venus, Bumi dan
Bulan, serta Mars, masuk ke dalam bola gas matahari. Barangkali kejadian inilah
yang diisyaratkan di dalam Al-Qur'an sebagai bersatunya matahari dan bulan.
"Ketika
pemandangan telah kacau balau, dan bulan hilang cahayanya; matahari dan bulan
disatukan...."(Q.S.75:7-9)
Kita
tidak bisa bicara tentang rentang waktu tibanya peristiwa ini sampai akhirnya
kehancuran total alam semesta. Karena, walaupun secara teoritik dapat
diperkirakan kapan matahari akan menjadi bintang raksasa merah, terlalu besar
ketidakpastiannya. Dan memang ilmu tentang saat kiamat hanya Allah yang tahu.
Kehancuran
total nampaknya bermula dari mulai berkontraksinya alam semesta. Kontraksi atau
pengerutan alam semesta yang digambarkan dalam model alam semesta
"tertutup" (Bagian 4) mirip dengan gambaran Al-Qur'an tentang hari
kehancuran semesta.
"Ketikamataharidigulung
danbintang-bintang berjatuhan....(Q.S.81:1-2)
Mungkin
ini menggambarkan ketika alam semesta mulai mengerut. Ketika itulah
galaksi-galaksi mulai saling mendekat dan bintang-bintang, termasuk tata surya,
saling bertumbukan atau dengan kata lain 'jatuh' satu terhadap yang lain. Alam
semesta makin mengecil ukurannya. Dan akhirnya semua materi di alam semesta
akan runtuh kembali menjadi satu kesatuan seperti pada awal penciptaannya.
Inilah yang disebut Big Crunch (keruntuhan besar) sebagai kebalikan dari Big
Bang, ledakan besar saat penciptaan alam semesta. Kejadian inilah yang
nampaknya digambarkan di dalam surat Al-Anbiyya:104 dengan mengumpamakan
pengerutan alam semesta seperti makin mampatnya lembaran kertas yang digulung.
"Pada
hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran buku, sebagaimana Kami
mulai awal penciptaannya akan Kami ulangi seperti itu." (Q.S.21:104)
Penutup
Satu
hal yang kita tunggu pembuktiannya adalah tentang model alam semesta. Dari dua
alternatif model, "terbuka" (alam akan terus mengembang selamanya)
dan "tertutup" (alam mengembang sampai waktu tertentu kemudian
mengembang), sementara ini belum dapat dipastikan mana yang paling kuat
bukti-bukti observasinya. Bahkan sampai kini ini merupakan salah satu masalah
tak terpecahkan dalam astronomi, karena sulitnya mendapatkan bukti
observasional. Sementara itu nampaknya Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa alam
semesta mengembang kemudian akan runtuh seperti digambarkan dalam model
"tertutup". Kita tunggu bukti-bukti itu.
Apa
yang sudah saya bahas di atas menunjukkan bagaimana sains membantu kita
memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Namun sebagaimana disinggung pada pendahuluan,
penafsiran Al-Qur'an yang kebenarannya mutlak dengan perangkat sains yang
kebenarannya relatif perlu kehati-hatian. Saya beristighfar kepada Allah atas
kemungkinan keliru dalam pembahasan ini.
LANGIT
MENEMBUS KEDALAMAN AL-QUR'AN
Memikirkan
perihal pembentukan, susunan, dan evolusi alam semesta merupakan cara mengenal
kekuasaan Allah yang pada gilirannya akan memperkuat aqidah. Di dalam surat Ali
Imran 190-191 Allah menunjukkan setidaknya empat ciri yang harus dipunyai
seorang Muslim untuk mencapai tingkat ulil albab:
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi (segala fenomena di alam), dan pergantian malam dan
siang (segala prosesnya), terdapat tanda-tanda bagi para cendekia ('ulil
albab'); (yaitu:)
1.
Mereka yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, maupun berbaring (dalam segala aktivitasnya);
2.
Dan selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(tak henti menelaah fenomena alam);
3.
(bila dijumpainya suatu kekaguman mereka berkata) "Tuhan
kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau."
4.
(dan dengan kesadaran bahwapengembaraan intelektualnya
mungkin sesat, mereka senantiasa memohon kepada Allah) "Dan jauhkanlah
kami dari siksa neraka".
Dengan
mengacu ayat-ayat tersebut saya mencoba mengajak menjelajah sekilas lintas
keluasan langit sambil menembus kedalaman Al-Qur'an. Namun hal penting yang
tersirat dari ayat tersebut mengingatkan kita bahwa kemungkinan salah dan sesat
dalam pengembaraan ilmiah bisa saja terjadi. Ini juga mengingatkan bahwa
kebenaran ilmu relatif. Hingga dalam memahami kebenaran mutlak dalam Al-Qur'an
dengan perangkat sains harus kita sadari pula relativitas penafsiran kita.
Apalagi dengan mengingat bahwa laju kedaluwarsaan sains saat ini semakin cepat.
Saya
mulai dengan mengenali bahasa universal dan menggali hakikat langit. Kemudian
menerawang penciptaan alam semesta dan model teoritiknya. Posisi kita di alam
raya dan kemungkinan ada tidaknya kehidupan di luar bumi juga akan kita
telusuri. Akhirnya tinjauan tentang hari kehancuran semesta.
Hakikat Cahaya
Cahaya
adalah satu bagian dari gelombang elektromagnetik (EM). Dalam mekanika quantum
modern, cahaya dan semua spektrum dalam radiasi gelombang elektromagnetik
lainnya (radio, infra merah, ultra violet, sinar-X, dan sinar gamma), dapat
bersifat sebagai partikel dan dalam hal lain bersifat sebagai gelombang. Sifat
dualisme ini sebelumnya di luar anggapan umum. Namun itulah yang teramati dalam
eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Ini adalah hakikat fisik cahaya.
Pengetahuan tentang hakikatnya tersebut digunakan untuk mendeteksi, merekam dan
menafsirkan pesan-pesan yang dibawanya, terutama pesan-pesan dari benda-benda
langit yang jauh di sana. Hakikat fisik cahaya hanya melihat proses fisika
sebagai sebab timbulnya atau terpancarkannya cahaya itu. Namun ada hakikat
lainnya yang kadang-kadang terlupakan, bahwa cahaya adalah pemberian Allah.
Proses fisika hanyalah caranya.
Para
fisikawan pra-Newton menelaah bagaimana kita bisa melihat sesuatu benda. Tetapi
kini telah difahami bahwa karena adanya cahaya terpancarlah kita bisa melihat
sesuatu. Dari mana cahaya itu? Dalam Al-Qur'an surat An-Nur : 35 Allah
menjelaskan bahwa Allah pemberi cahaya bagi langit dan bumi. Cahaya-Nya berlapis-lapis,
cahaya di atas cahaya. Kemudian ketika Allah memberikan perumpamaan tentang
kegelapan yang amat sangat hingga tak ada cahaya sedikit pun dinyatakan-Nya,
"...Bila
dijulurkannya tangannya ke luar tak akan terlihatlah ia...."
Lanjutan ayat tersebut
menegaskan,
"Siapa
yang tak diberi cahaya oleh Allah tak akan bercahayalah ia." (Q.S. An-Nur:40).
"Cahaya" dalam ayat ini sering
ditafsirkan sebagai "cahaya agama" atau hidayah. Namun ini bisa
difahami dari segi harfiahnya secara umum bahwa Allah pemberi cahaya bagi
langit dan bumi (Q.S. An-Nur 35) yang bisa berarti cahaya fisik bagi alam
semesta dan "cahaya agama" atau hidayah bagi manusia. Kalau ini kita
fahami, ini mengandung makna ketauhidan dalam memahami hakikat cahaya. Secara
umum, itu menyatakan bahwa Allah yang memberikan cahaya kepada alam semesta
hingga ia terlihat oleh mata kita atau oleh detektor yang kita buat. Bukan
sekedar proses fisika yang berlaku.
Bahasa Universal
Sebenarnya
cahaya dan gelombang EM lainnya merupakan bahasa universal yang kita gunakan
berkomunikasi dengan makhluk yang jauh di alam semesta. Walaupun baru sebatas
komunikasi satu arah. 'Kisah' tentang keadaan fisik objek langit itu
(strukturnya, komposisi kimia, temperatur, dsb.) serta proses fisik yang
terjadi (reaksi fusi nuklir, aliran materi, dsb.) diterima oleh para
astrofisikawan dalam 'bahasa' gelombang EM tersebut. Tentu saja untuk memahami
'kisah' dalam 'bahasa' gelombang EM itu para astrofisikawan masih memerlukan
'juru bahasa' berupa ilmu fisika, kimia, dan matematika.
Tafakkur
tentang alam semesta sungguh mengasikkan bila kita menguasai fisika, kimia dan
matematika sebagai 'juru bahasa' dalam memahami cerita makhluk Allah yang amat
jauh berupa bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya. Banyak kisah yang
bisa kita dengar dari benda-benda langit itu. Siapa bilang bintang-bintang itu
bisu. Mereka bercerita dengan bahasa universal, dengan gelombang EM.
Embrio-embrio bintang yang masih sangat dingin bercerita dengan gelombang
radio. Benda-benda yang sangat panas berkisah dengan sinar-X. Galaksi-galaksi
yang berlari menjauh memberi tahu kita dengan pergeseran spektrumnya ke arah
merah. Dan banyak kisah lagi bisa kita dengar. Rabbanaa maa kholaqta haadza
baathila subhanak --Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha
Suci Engkau dari segala cela.
Sayangnya,
sebagian besar (mungkin 90% atau lebih) materi di alam semesta tak memancarkan
gelombang EM tersebut. Itulah yang dinamakan "dark matter" (materi
gelap). Allah tak memberikan cahaya kepada mereka. 'Materi gelap' itu mencakup
objek raksasa yang runtuh ke dalam intinya (misalnya Black Hole atau Lubang
Hitam yang menyerap semua cahaya), objek seperti bintang namun bermassa kecil
hingga tak mampu memantik reaksi nuklir di dalamnya (yaitu objek katai coklat),
atau partikel-partikel subelementer.
'Materi
gelap' ini ibarat orang bisu. Kita tak dapat mendengar kisah mereka tetapi kita
yakin mereka ada dihadapan kita. Kita hanya bisa menangkap isyarat-isyarat yang
diberikannya. Isyarat-isyarat tak langsung itulah yang ditangkap oleh para
astrofisikawan untuk mendengar kisah "meteri gelap". Isyarat-isyarat
itu bisa berupa pancaran sinar-X dari bintang yang berpasangan dengan Black
Hole atau dari efek gravitasi pada objek di dekatnya.
Sekedar
contoh, inilah cara Black Hole bercerita bahwa dirinya ada. Pancaran sinar-X
yang kuat bisa bercerita bahwa di sana ada obyek yang sangat panas. Dengan
telaah fisika kemudian diketahui bahwa panas itu terjadi karena ada materi dari
suatu bintang yang sedang disedot oleh benda yang kecil bermassa sangat besar
yang menjadi pasangannya. Materi yang jatuh pada bidang yang sempit di sekitar
benda penyedot itulah menimbulkan panas yang sangat tinggi yang akhirnya
memancarkan sinar-X. Dari isyarat-isyarat lainnya disimpulkan bahwa penyebab
perpindahan materi itu adalah sebuah Black Hole yang sedang menyedot materi
dari bintang pasangannya, seperti teramati pada objek Cygnus X-1.
Hakikat Langit
Di
dalam Al-Qur'an dan hadits sering kita jumpai tentang ungkapan langit,
khususnya dalam ungkapan 'tujuh langit'. Apakah hakikat langit? Apakah langit
biru di atas sana?
Pengetahuan
saat ini menunjukkan bahwa langit biru hanyalah disebabkan oleh hamburan cahaya
matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Di luar atmosfer bumi warna biru tak
ada lagi, yang ada hanya titik-titik cahaya bintang, galaksi, dan benda-benda
langit lainnya. Jadi, langit bukan hanya kubah biru yang di atas sana.
Di dalam Q.S.
Al-Baqarah:29 Allah berfirman:
"...Kemudian
Dia menuju langit, maka disempurnakannya tujuh langit...."
Ada dua hal yang
menarik dalam ayat ini;
(1) 'maka
disempurnakannya' (fasawaahunna)
(2) 'tujuh langit'
(sab'a samawaati).
Pertama
akan dibahas masalah 'tujuh langit'. Pemahaman bilangan 'tujuh' dalam beberapa
hal di dalam Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem
desimal. Hingga ungkapan 'tujuh langit' yang sering digambarkan sebagai 'tujuh
lapis langit' oleh para mufassirin lama (apalagi dalam kisah Isra' Mi'raj)
mesti dikaji ulang. Konsep 'tujuh lapis langit' sering mengacu pada konsep
geosentrik yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta yang dilingkupi oleh
lapisan-lapisan langit. Misalnya dalam salah satu tafsir disebutkan bahwa bulan
berada di langit pertama dan matahari berada di langit ke empat.Di dalam
Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang
tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai yang masing-masingnya
berbuah seratus butir. Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang
dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S.
Luqman:27:
"Jika
seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi
tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat
Allah...."
Jadi
'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit
yang tak terhitung banyaknya. Langit itu sendiri bermakna sesuatu yang di atas
kita, hingga semua benda di luar bumi, yang kita pandang berada di atas kita,
merupakan bagian dari langit.
Kemudian
'penyempurnaan langit', mengandung kesan bahwa langit memang 'belum sempurna',
dalam arti proses pembentukkannya belum berakhir. Saya sengaja memilih kata
'menyempurnakan' untuk 'fasawaahunna' yang sering diartikan 'menjadikan' yang
berkesan langsung jadi. Ini mudah difahami bila kita membandingkan Q.S.79:27-30 ("...dan bumi itu --
sesudah penciptaan langit -- dihamparkan-Nya") dan Q.S.41:9-11
("...kemudian menuju penciptaan langit dan langit itu masih berupa
kabut...."). Ayat yang pertama mengandung kesan bumi diciptakan
sesudah langit. Sedangkan pada yang kedua diungkapkan bahwa langit diciptakan
sesudah bumi. Keduanya tidaklah bertentangan kalau difahami bahwa penciptaan
langit merupakan proses yang berlanjut. Langit (galaksi-galaksi beserta
bintang-bintangnya dan segala komponennya) memang lahir lebih dahulu dari pada
bumi. Tetapi sesudahnya, 'penyempurnaannya' terus berlangsung dengan kelahiran
bintang-bintang baru. Pengamatan astronomi memang mengungkapkan bahwa kelahiran
dan kematian bintang-bintang terus terjadi.
Pengamatan
dan telaah teoritik mengukuhkan bahwa bintang-bintang lahir di dalam awan
molekul raksasa, yang dalam Q.S.41:11 disebut 'dukhan' (kabut). Ukuran awan
antar bintang tersebut sekitar 100 tahun cahaya (1 tahun cahaya adalah jarak
tempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,46 trilyun kilometer; bandingkan
dengan jarak bumi-matahari yang hanya sekitar 8 menit cahaya) dengan massa
totalnya sekitar sejuta kali massa matahari (massa matahari sendiri sekitar
300.000 kali massa bumi).
Dengan
penjelasan di atas, kita fahami bahwa 'tujuh langit' yang berulang kali
diungkapkan di dalam Al-Qur'an mengacu pada tatanan benda-benda langit
(galaksi, bintang, planet, komet, batuan dan gas) yang tak terhitung banyaknya
yang terus berevolusi: lahir, menjadi tua dan akhirnya mati.
Evolusi Bintang
Menarik
bila kita mengkaji sekilas lintas tentang evolusi atau "kehidupan"
bintang, sejak lahirnya sampai matinya.
Di dalam Al-Qur'an
Allah telah mengisyaratkan bahwa langit tercipta dari dukhan (kabut).
"....Kemudian menuju
penciptaan langit dan langit itu masih berupa kabut. Lalu Dia berfirman
kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan
sukarela atau terpaksa.' Keduanya menjawab:'kami datang dengan suka
rela.'" (Q.S.41:11).
Kini
sudah diyakini kebenaran ayat itu berdasarkan banyak pengamatan secara visual,
infra merah, maupun radio. Bintang-bintang lahir dari awan molekul. Teori saat
ini menyatakan kelahiran bintang dimulai dari penggumpalan awan molekul yang.
Partikel-partikel oleh gaya gravitasi runtuh ke intinya membentuk inti yang
akan menjadi bintang. Akibat rotasi gumpalan awan molekul itu sebagian materi
tidak jatuh ke intinya, tetapi ke sekitar inti membentuk piringan. Inti bintang
itu mulai memanas tetapi masih diselimuti debu dan gas yang tebal dan amat
dingin, di bawah minus 200 derajat C. Ibarat kepompong, inti bintang itu tak
terlihat dari luar. Yang teramati hanya selimut debunya. Itu pun hanya pancaran
infra merah dan radio yang bisa terdeteksi.
Embusan
angin bintang lambat laun akan menyingkirkan selimut debu dan gas di sekitar
bintang itu. Mulanya semburan dari arah kedua kutub bintang itu lalu pancaran
angin bintang lambat laun akan menyingkirkan debu dan gas yang menyelimutinya.
Yang tersisa adalah piringan debu dan gas di sekitar ekuatornya. Piringan debu
dan gas di sekitar bintang itu diyakini sebagai cikal bakal planet.Dengan
tersibaknya selimut debu inti bintang mulai tampak secara visual, walau masih amat
redup dan hanya bisa teramati dengan teleskop besar. Kini diketahui banyak
bintang yang masih mempunyai piringan debu dan gas yang umurnya masih beberapa
juta tahun. Matahari kita tergolong bintang "remaja" yang baru
berumur 4,5 milyar tahun.
Inti
yang makin panas itu akhirnya akan memantik reaksi fusi nuklir. Reaksi fusi
nuklir inilah yang menjadi sumber energi bintang --termasuk matahari-- hingga
bersinar. Angin bintang dan tekanan radiasi akhirnya juga akan menyingkirkan
debu-debu di piringan. Kalau di piringan itu terbentuk planet-planet, yang
tersisa adalah planet-planet dan sedikit materi debu-debu antar planet.
Hasil
reaksi fusi nuklir di inti bintang adalah unsur-unsur yang lebih berat.
Akhirnya bintang pun akan mati. Akhir kehidupannya tergantung massa dan keadaan
fisik bintang. Ada bintang yang mengembang lalu akhirnya melepaskan
materi-materinnya ke angkasa. Ada pula yang meledak yang disebut supernova.
Nah, materi-materi yang terlepas ke angkasa itu nantinya akan menjadi bahan
dasar pembentukan bintang baru. Begitulah Allah mendaur-ulangkan materi di alam
ini.
Penciptaan Alam Semesta
Di
bagian 2 telah dibahas masalah penciptaan bintang-bintang dari awan antar
bintang. Kini akan dibahas tentang penciptaan seluruh alam dengan membandingkan
tinjauan astronomi dan Al-Qur'an.
Teori
yang kini banyak pendukungnya menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari
ledakan besar (Big Bang) sekitar 10-20 milyar tahun yang lalu. Semua materi dan
energi yang kini ada di alam terkumpul dalam satu titik tak berdimensi yang
berkerapatan tak berhingga. Tetapi ini jangan dibayangkan seolah-olah titik itu
berada di suatu tempat di alam yang kita kenal sekarang ini. Yang benar,
materi,energi, dan ruang yang ditempatinya seluruhnya bervolume amat kecil,
hanya satu titik tak berdimensi.
Tidak
ada suatu titik pun di alam semesta yang dapat dianggap sebagai pusat ledakan.
Dengan kata lain ledakan besar alam semesta tidak seperti ledakan bom yang
meledak dari satu titik ke segenap penjuru. Hal ini karena pada hakekatnya seluruh
alam turut serta dalam ledakan itu. Lebih tepatnya, seluruh alam semesta
mengembang tiba-tiba secara serentak. Ketika itulah mulainya terbentuk ruang
dan waktu.
Radiasi
yang terpancar pada saat awal pembentukan itu masih berupa cahaya. Namun karena
alam semesta terus mengembang, panjang gelombang radiasi itu pun makin panjang,
sesuai dengan efek Doppler, menjadi gelombang radio. Kini radiasi awal itu yang
dikenal sebagai radiasi latar belakang kosmik (cosmic background radiation)
dapat dideteksi dengan dengan teleskop radio.
Peristiwa
serupa diisyaratkan juga di dalam Al-Qur'an bahwa seluruh materi dan energi di
langit dan bumi berasal dari satu kesatuan pada awal penciptaannya.
"Tidakkah
tahu orang-orang kafir itu bahwa sesungguhnya langit dan bumi berasal dari satu
kesatuan kemudian Kami pisahkan." (Q.S.21:20)
Seperti
telah di bahas terdahulu, langit yang dimaksud di sini adalah seluruh
benda-benda luar angkasa. Semuanya berasal dari satu materi dasar yang berupa
hidrogen. Dari reaksi nuklir (fusi) di dalam bintang terbentuklah unsur-unsur
berat seperti karbon, sampai besi. Kandungan unsur- unsur berat dalam komposisi
materi bintang merupakan salah satu "akte" lahir bintang.
Bintang-bintang yang mengandung banyak unsur berat berarti bintang itu
"generasi muda" yang memanfaatkan materi-materi sisa ledakan
bintang-bintang tua. Materi pembentuk bumi pun diyakini berasal dari debu dan
gas antar bintang yang berasal dari ledakan bintang di masa lalu.
Jadi, seisi alam ini
memang berasal dari satu kesatuan.
Pengembangan Alam
Semesta
Allah
menjelaskan bahwa benda-benda langit tidaklah statis, tetapi terus mengembang
sejak pembentukannya.
"Dan
langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami. Sungguh Kami kuasa
meluaskannya." (Q.S. 51:47)
Memang
demikianlah yang kini teramati. Spektrum galaksi-galaksi yang jauh sebagian
besar menunjukkan bergeser ke arah merah yang dikenal sebagai red shift
(panjang gelombangnya bertambah sesuai dengan efek Doppler). Ini merupakan
petunjuk bahwa galaksi-galaksi itu saling menjauh. Dengan kata lain, alam
semesta ini sedang mengembang.
Sebenarnya
yang terjadi adalah pengembangan ruang. Galaksi-galaksi itu (dalam ukuran alam
semesta hanya dianggap seperti partikel-partikel) dapat dikatakan menempati
kedudukan yang tetap dalam ruang, dan ruang itu sendiri yang sedang
berekspansi. Kita tidak mengenal adanya ruang di luar alam ini. Oleh karenanya
kita tidak bisa menanyakan ada apa di luar semesta ini.
Secara
sederhana, keadaan awal alam semesta dan pengembangannya itu dapat
diilustrasikan dengan pembuatan roti. Materi pembentuk roti itu semula
terkumpul dalam gumpalan kecil. Kemudian mulai mengembang. Dengan kata lain
ruang roti sedang mengembang. Butir-butir partikel di dalam roti itu (analog
dengan galaksi di alam semesta) saling menjauh sejalan dengan pengembangan roti
itu (analog dengan alam).
Dalam
ilustrasi tersebut, kita berada di salah satu partikel di dalam roti itu. Di
luar roti, kita tidak mengenal adanya ruang lain, karena pengetahuan kita, yang
berada di dalam roti itu, terbatas hanya pada ruang roti itu sendiri. Demikian
pulalah, kita tidak mengenal alam fisik lain di luar dimensi
"ruang-waktu" yang kita kenal. Sedangkan informasi alam ghaib sangat
terbatas.
Alam Tidak Berawal?
Walaupun
tidak terlalu banyak pendukungnya, beberapa pakar kosmologi dan fisikawan
teoritis "menggugat" bahwa alam ada awalnya. Beberapa teori lain
menyatakan bahwa tidak ada batas dalam waktu, tidak ada singularitas Big Bang.
Ini misalnya dikemukakan oleh Maddox (1989) dan Levy-Leblond(1989) serta dalam
buku populer Hawking (1989). Mereka berpendapat bahwa tidak ada batas waktu
yang dapat disebut sebagai awal penciptaan alam semesta. Hawking dalam buku
"A Brief History of Time" menyebutnya "No-boundary
conditions". Model matematis itu menyatakan bahwa alam semesta berhingga
ukurannya tetapi tanpa batas dalam ruang dan waktu.
Dengan
menggunakan keadaan tak berbatas (no-boundary conditions) ini, Hawking
menyatakan bahwa alam semesta mulai hanya dengan keacakan minimum yang memenuhi
Prinsip Ketidakpastian. Kemudian alam semesta mulai mengembang dengan pesat.
Dengan Prinsip Ketidakpastian ini, dinyatakan bahwa alam semesta tak mungkin
sepenuhnya seragam, karena di sana sini pasti didapati ketidakpastian posisi
dan kecepatan partikel-partikel. Dalam alam semesta yang sedang mengembang ini
kerapatan (density) suatu tempat akan berbeda dengan tempat lainnya. Gravitasi
menyebabkan daerah yang berkerapatan tinggi makin lambat mengembang dan mulai
memampat (berkontraksi). Pemampatan inilah yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi,
bintang-bintang, dan semua benda-benda langit.
Berdasarkan
model tersebut Hawking menyatakan, "Sejauh anggapan bahwa alam semesta
bermula, kita mengganggap ada Sang Pencipta. Tetapi jika alam semesta
sesungguhnya ada dengan sendirinya, tak berbatas tak bertepi, tanpa awal dan
akhir, lalu di manakah peran Sang Pencipta."
Tentunya
bagi ilmuwan Muslim yang penalarannya berdasarkan iman tak mungkin
mempertanyakan peran Allah Rabbul'alamin. Kita meyakini bahwa Dia adalah
Pencipta semesta ini. Tetapi cara Allah menciptakan alam semesta ini tak
mungkin sama dengan apa yang manusia gambarkan sebagai pencipta.
"Tak
ada suatu pun yang menyamai-Nya."(Q.S.Al-Ikhlas:4)
Kalau
kita cermati penalaran Hawking, dikatakannya bahwa alam mulai hanya dengan
"keacakan minimum". Sebenarnya adanya syarat 'keacakan' itu dan
berbagai hukum dalam sains (termasuk "Prinsip Ketidakpastian" yang
menjadi asal 'keacakan') cukup menjadi bukti bahwa semua itu ada penciptanya,
Allah Rabbul'alamin. Allah "bekerja" dengan caranya, yang mungkin tak
bisa ditelusur dengan sains.
Model Alam Semesta
Dengan
hanya mengandalkan pengamatan, kita tidak mungkin menggambarkan bagaimana ujud
alam semesta ini. Maka diperlukanlah suatu model matematis yang dapat
menjelaskan "bentuk" alam semesta ini termasuk evolusinya. Di bagian
terdahulu telah dibahas sekilas tentang model alam semesta, khususnya tentang
penciptaanya dan pengembangannya. Kini akan dibahas tentang
"geometri" alam semesta.
Dengan
menggunakan solusi kosmologis persamaan Einstein dan Prinsip Kosmologis yang
menganggap bahwa alam semesta homogen di mana pun dan isotropik di setiap titik
di alam, didapatkan dua model alam semesta:
1.
"terbuka"
atau tak berhingga;
2.
"tertutup"
atau berhingga tak berbatas.
Prinsip Kosmologis
tersebut didasarkan hasil pengamatan bahwa alam semesta nampaknya homogen dan
isotropik (galaksi-galaksi nampak tersebar seragam ke segala arah).
Untuk
menentukan model mana yang benar diperlukan informasi tentang massa total alam
semesta ini. Seandainya seluruh materi di alam ini tidak cukup banyak untuk
mengerem pengembangan maka alam semesta akan terus mengembang dan berarti alam
semesta ini "terbuka" atau tak berhingga. Tetapi jika massanya cukup
besar, maka pengembangan alam semesta akan direm, akhirnya berhenti dan mulai
mengerut lagi. Kalau ini yang terbukti berarti alam semesta
"tertutup" atau bersifat "berhingga tak berbatas".
Sifat
alam semesta "berhingga tak berbatas" itu dapat diilustrasikan dalam
dua dimensi pada bola bumi (sesungguhnya alam berdimensi empat, tiga dimensi
ruang dan satu dimensi waktu). Bola itu berhingga ukurannya namun tak berbatas,
tak bertepi. Garis-garis lintang analog dengan "ruang" alam semesta
ini dan garis-garis bujur analog dengan "waktu". Perjalanan
"ruang-waktu" alam ini bermula dari kutub utara menuju kutub selatan.
Kita menelusuri garis bujur. Dengan bertambah jauh kita menelusurinya (atau
bertambah "waktu"-nya) kita akan jumpai lingkaran-lingkaran lintang
yang bertambah besar (atau "ruang" alam semesta mengembang). Setelah
mencapai maksimum di khatulistiwa, kemudian lingkaran lintang pun mulai
mengecil lagi. Seperti itu pula alam semesta mulai mengerut. Bila kita berjalan
sepanjang garis lintang, kita akan kembali ke titik semula. Sama halnya dengan
sifat "ruang" alam semesta yang tak berbatas itu. Cahaya yang kita
pancarkan ke arah mana pun, pada prinsipnya, akan kembali lagi dari arah
belakang kita. Bila model ini benar, pada prinsipnya, kita akan bisa melihat
galaksi Bima Sakti (galaksi kita) berada di antara galaksi-galaksi yang jauh
(galaksi luar).
Sampai
saat ini belum dapat diputuskan model mana yang benar karena belum adanya bukti
observasi yang betul-betul meyakinkan. Pengamatan Deuterium yang dilakukan
satelit Copernicus pada tahun 1973 menghasilkan jumlah Deuterium 0.00002 kali
jumlah Hidrogen. Sebenarnya ini merupakan alasan terkuat yang mendukung model
alam "tak berhingga". Tetapi banyak yang meragukan kecermatan
pengukurannya. Maka sampai saat ini kedua kemungkinan itu masih terbuka. Kita
masih menantikan observasi yang lebih cermat dan teori yang lebih baik untuk
menafsirkannya.
Bagaimanakah
konsep Al-Qur'an dalam model alam semesta ini? Nampaknya sangat mirip dengan
model alam semesta "tertutup". Alam semesta akan berhenti mengembang
dan mulai mengerut. Hal ini akan dibahas dalam bagian mendatang dalam bahasan
hari kehancuran alam.
Posisi Kita di Alam
Semesta
Kita
mulai meninjau posisi kita di alam semesta bukan dari diri manusia yang kadang
merasa besar dengan kesombongannya, tetapi dari bumi kita. Kita akan menyadari kekecilan
planet kita ini bila kita membandingkannya dengan keluasan alam semesta. Dan
pada gilirannya kita akan menyadari kelemahan manusia di hadapan Allah Yang
Maha Kuasa.
Kini
telah diyakini bahwa bumi kita bukanlah pusat alam semesta yang di kelilingi
oleh lapisan-lapisan langit. Bumi kita hanyalah satu planet kecil di tata
surya. Empat planet (Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus) berukuran jauh lebih
besar dari pada planet kita. Jupiter bermassa sekitar 300 kali massa bumi.
Tetapi matahari yang merupakan bintang terdekat dan induk tata surya bermassa
jauh lebih besar lagi, sekitar 300.000 kali massa bumi, dan berukuran lebih
dari sejuta kali besar bumi. Gaya gravitasinya mampu menahan semua anggota tata
surya yang terdiri dari sedikitnya 9 planet, sekitar 42 satelit, ratusan ribu
asteroid (planet kecil), milyaran komet, dan tak berhingga bongkahan batuan,
logam, atau es yang di sebut meteoroid yang bertebaran di ruang antar planet.
Sedangkan
matahari sendiri hanyalah bintang kuning berukuran sedang. Ribuan bintang lagi
bisa kita lihat di langit dan jutaan lagi yang bisa kita lihat dengan teleskop.
Di antaranya bintang-bintang raksasa yang besarnya ratusan kali besar matahari.
Semuanya merupakan anggota dari ratusan milyar bintang yang menghuni galaksi kita,
Bima Sakti.
Galaksi
kita digolongkan sebagai galaksi spiral, berbentuk seperti huruf S dengan
lengan tunggal atau majemuk. Diameternya sekitar 100.000 tahun cahaya, artinya
dari ujung ke ujung akan ditempuh oleh cahaya dalam waktu sekitar 100.000 tahun.
Tata surya kita berjarak sekitar 30.000 tahun cahaya dari pusatnya dan
mengorbit dengan kecepatan sekitar 200-300 km per detik sekali dalam 200 juta
tahun.
Mungkin
sekali di antara ratusan milyar bintang anggota Bima Sakti ada bintang yang
mempunyai tata planet. Namun karena jaraknya yang amat jauh, sulit untuk
menemukan tata planet tersebut. Dengan teropong besar pun bintang-bintang itu
hanya tampak sebagai titik-titik cahaya. Namun akhir-akhir ini telah dijumpai
bintang-bintang yang dikelilingi oleh piringan debu yang diduga mempunyai tata
planet atau setidaknya dalam evolusi membentuk tata planet. Dengan teleskop
optik yang dilengkapi alat khusus, piringan materi di sekitar bintang Beta
Pictoris dapat di amati. Piringan materi itu di duga dalam masa awal
pembentukan tata planet, seperti keadaan tata surya kita sekitar 4,5 milyar
tahun yang lalu atau merupakan awan komet seperti yang ada di tepi tata surya
kita.
Kalau
kita menembus kedalaman langit lebih jauh lagi, kita akan jumpai jutaan,
mungkin milyaran, galaksi-galaksi lain. Galaksi-galaksi itu bagaikan
pulau-pulau yang saling berjauhan yang berpenghuni milyaran bintang pula.
Beberapa galaksi membentuk gugusan galaksi. Kemudian gugusan-gugusan itu dan
galaksi-galaksi mandiri lainnya mengelompok dalam gugusan besar yang disebut
super cluster.
Bima Sakti merupakan
anggota dari gugusan galaksi yang disebut Local Group yang beranggota sekitar
dua puluh galaksi dan berdiameter sekitar 3 juta tahun cahaya. Di luar Local
Group yang terpisah sejauh puluhan atau ratusan juta tahun cahaya dijumpai pula
banyak super cluster yang terdiri ratusan atau ribuan galaksi.Keluasan langit
yang baru saja dijelaskan diungkapkan di dalam Al-Qu'an:
"Allah
yang menciptakan tujuh langit dan bumi sebanyak itu pula. Dia turunkan
perintah-Nya pada keduanya agar kamu tahu bahwa Allah berkuasa atas segala
sesuatu dan sungguh pengetahuan Allah mencakup
segalanya."(Q.S.Ath-Thalaq:12)
'Tujuh
langit' bermakna benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya (lihat bagian
2), mencakup awan antar bintang, meteoroid, asteroid, komet, planet, bintang,
galaksi sampai super cluster yang menghimpun banyak galaksi. Sedangkan 'tujuh
bumi' mengisyaratkan banyaknya planet lain di luar tata surya kita yang mirip
dengan planet bumi. Mungkin pula di sana ada kehidupan.
Adakah Kehidupan di
Luar Bumi?
Mengacu
pada Q.S. Ath-Thalaq:12 pada bagian yang lalu terkandung isyarat adanya banyak
planet yang mirip dengan bumi yang mungkin pula dihuni oleh makhluk hidup.
Isyarat lebih nyata dapat kita jumpai dalam Q.S. Asy-Syura:29:
"Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan makhluk
hidup yang ditebarkan di antara keduanya. Dan Dia berkuasa mengumpulkannya bila
dikehendaki."
Usaha
pencarian makhluk hidup di luar bumi pernah dilakukan, khususnya mencari
makhluk-makhluk cerdas. Maka muncullah SETI (Search for Extra Terrestrial
Intelligence) dan lahirlah cabang ilmu baru, Bioastronomi, hasil perkawinan
Astronomi dan Biologi. International Astronomical Union pun kini mempunyai
komisi khusus yang menangani Bioastronomi ini.
Sebenarnya
kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi, baik kehidupan primitif secara
biologi maupun kehidupan tingkat tinggi, sudah banyak difikirkan oleh para
ilmuwan dan juga orang awam sejak berabad-abad yang lalu. Baru dalam tiga
dasawarsa belakangan ini para ilmuwan mulai memasuki tahap eksperimental dalam
usaha mencari kehidupan di luar bumi.
Beberapa
pesawat antariksa, seperti Apollo, Viking, dan Venera, dikirimkan untuk
mengidentifikasi kemungkinan ada tidaknya kehidupan primitif di bulan dan
planet lain di tata surya. Namun sejauh ini belum dijumpai adanya tanda-tanda
kehidupan itu. Walaupun demikian, data-data yang terkumpul, antara lain
senyawa-senyawa organik bagian unsur kehidupan, amat berharga dalam memahami
evolusi tata surya serta kondisi yang memungkinkannya layak bagi kehidupan.
Beberapa
pesawat diantaranya, Voyager dan Pioneer, dilepas ke luar tata surya memasuki
ruang antar bintang setelah menjenguk beberapa planet. Mereka dibekali pesan
bumi, berisi informasi tentang posisi bumi, kehidupan di bumi, serta rekaman
suara alamnya. Diharapkan di suatu tempat di luar bumi pesawat itu bertemu
dengan makhluk cerdas yang mampu menafsirkan pesan itu. Mungkin nantinya akan
ada hubungan antar peradaban, bukan lagi antar bangsa.
Di
samping pengiriman pesawat antariksa, pencarian juga dilakukan dengan
menggunakan teleskop radio. Seperti dibicarakan di bagian pertama, gelombang
radio juga merupakan bahasa universal yang diharapkan membawa pesan dari
peradaban lain di galaksi kita. Pada prinsipnya, kalau memang ada peradaban
lain di luar bumi, kita bisa berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa
universal itu, gelombang radio. Walau tidak harus berarti komunikasi dua arah.
Akhir Alam Semesta
Pengetahuan
tentang hari kiamat hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia hanya diberi ilmu
yang sedikit. Al-Qur'an hanya memberikan beberapa isyarat tentang hari
kehancuran alam semesta ini. Bagian ini akan membahas beberapa mekanisme hari
kehancuran yang digambarkan oleh Al-Qur'an dan tinjauan astronomisnya, sebatas
perkembangan pengetahuan sampai saat ini.
Ketika menggambarkan
Hari Qiyamat Allah menyatakan:
"Ketika lautan bergolak
mendidih...."(Q.S.81:6)
Kata
'sujjirat' pada ayat itu berarti bergolak, (mendidih) terbakar, dan kering.
Bisa jadi hal ini terjadi ketika matahari kita membengkak menjadi bintang
raksasa merah. Menurut teori evolusi bintang, matahari kita akan membesar
menjadi bintang raksasa merah menjelang kematiannya. Pada saat itu matahari
bersinar sedemikian terangnya hingga lautan akan mendidih dan kering, batuan
akan meleleh, dan kehidupan pun akan punah. Kemudian matahari akan terus
bertambah besar hingga planet-planet disekitarnya, Merkurius, Venus, Bumi dan
Bulan, serta Mars, masuk ke dalam bola gas matahari. Barangkali kejadian inilah
yang diisyaratkan di dalam Al-Qur'an sebagai bersatunya matahari dan bulan.
"Ketika
pemandangan telah kacau balau, dan bulan hilang cahayanya; matahari dan bulan
disatukan...."(Q.S.75:7-9)
Kita
tidak bisa bicara tentang rentang waktu tibanya peristiwa ini sampai akhirnya
kehancuran total alam semesta. Karena, walaupun secara teoritik dapat
diperkirakan kapan matahari akan menjadi bintang raksasa merah, terlalu besar
ketidakpastiannya. Dan memang ilmu tentang saat kiamat hanya Allah yang tahu.
Kehancuran
total nampaknya bermula dari mulai berkontraksinya alam semesta. Kontraksi atau
pengerutan alam semesta yang digambarkan dalam model alam semesta
"tertutup" (Bagian 4) mirip dengan gambaran Al-Qur'an tentang hari
kehancuran semesta.
"Ketikamataharidigulung
danbintang-bintang berjatuhan....(Q.S.81:1-2)
Mungkin
ini menggambarkan ketika alam semesta mulai mengerut. Ketika itulah
galaksi-galaksi mulai saling mendekat dan bintang-bintang, termasuk tata surya,
saling bertumbukan atau dengan kata lain 'jatuh' satu terhadap yang lain. Alam
semesta makin mengecil ukurannya. Dan akhirnya semua materi di alam semesta
akan runtuh kembali menjadi satu kesatuan seperti pada awal penciptaannya.
Inilah yang disebut Big Crunch (keruntuhan besar) sebagai kebalikan dari Big
Bang, ledakan besar saat penciptaan alam semesta. Kejadian inilah yang
nampaknya digambarkan di dalam surat Al-Anbiyya:104 dengan mengumpamakan
pengerutan alam semesta seperti makin mampatnya lembaran kertas yang digulung.
"Pada
hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran buku, sebagaimana Kami
mulai awal penciptaannya akan Kami ulangi seperti itu." (Q.S.21:104)
Penutup
Satu
hal yang kita tunggu pembuktiannya adalah tentang model alam semesta. Dari dua
alternatif model, "terbuka" (alam akan terus mengembang selamanya)
dan "tertutup" (alam mengembang sampai waktu tertentu kemudian
mengembang), sementara ini belum dapat dipastikan mana yang paling kuat
bukti-bukti observasinya. Bahkan sampai kini ini merupakan salah satu masalah
tak terpecahkan dalam astronomi, karena sulitnya mendapatkan bukti
observasional. Sementara itu nampaknya Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa alam
semesta mengembang kemudian akan runtuh seperti digambarkan dalam model
"tertutup". Kita tunggu bukti-bukti itu.
Apa
yang sudah saya bahas di atas menunjukkan bagaimana sains membantu kita
memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Namun sebagaimana disinggung pada pendahuluan,
penafsiran Al-Qur'an yang kebenarannya mutlak dengan perangkat sains yang
kebenarannya relatif perlu kehati-hatian. Saya beristighfar kepada Allah atas
kemungkinan keliru dalam pembahasan ini.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as