ANDAIKATA SIMPANSE
PUNYA PITA SUARA
Jika
begitu, binatang primata ini bisa bicara seperti manusia. Tapi apakah binatang
memiliki inteligensia? Banyak orang meragukannya. Namun kalau menilik beberapa
kenyataan yang disuguhkan oleh pasangan Gardner dengan simpansenya, mau tidak
mau kita harus rela menangguhkan keraguan bahwa manusia tampaknya bukan
satu-satunya makhluk yang memiliki inteligensia.
Petugas
kebun binatang kecil di Idaho
kebingungan. Beberapa ekor binatang hilang sementara tapi muncul kembali di
suatu tempat. Konon mereka ditangkap oleh pengunjung yang tak kasat mata yang
bukan berasal dari bumi kita (dan tak dapat membaca peta) dalam rangka program
pengembangbiakan.
Sama misteriusnya
dengan kasus raibnya beberapa binatang, pemberi informasinya juga unik. Sophie,
seekor gorila betina, bercerita dalam bahasa isyarat kepada penyelia kebun
binatang, Willa Ambrose.
Ini memang fenomena
unik. Saat manusia masih membahas masalah inteligensia, makhluk lain di luar
ras manusia seperti makhluk ET (extra-terrestrial) justru memperlihatkan
inteligensia yang luar biasa. Itu dikisahkan dalam film Fearful Symmetry,
salah satu judul serial TV The X-files.
Tak punya pita
suara
Untuk membuktikannya,
pada 21 Juni 1966 dua ilmuwan dari Universitas Nevada, Allen dan Beatrix
Gardner, lalu mengadakan penelitian. Seekor simpanse berusia 14 bulan bernama
Washoe ditaruh di sebuah kandang di halaman belakang rumah Gardner. Ia diberi
makan, mainan, pohon untuk memanjat, dan teman saat terjaga. Terakhir, ia
diajari berbahasa meskipun bahasa itu berupa bahasa isyarat standar Amerika (ASL).
Sebelumnya, beberapa
ahli telah mencoba mengajari kera besar untuk berbicara. Sayangnya,
konsentrasinya saat itu pada bahasa lisan. Padahal, mana mungkin, sebab bangsa
primata ini tak memiliki pita suara.
Inovasi Gardner
mengajari Washoe bahasa isyarat tentulah akan dikritik dan dikupas habis-habisan
oleh para ilmuwan. Maka tak heran bila Gardner mendesain parameter yang ketat
untuk memonitor perkembangan Washoe. Catatan harian secara detail dibuat.
Patokannya, kata yang dianggap dikuasai harus bisa digunakan Washoe secara
spontan dan dipakai paling tidak sekali sehari dalam 15 hari.
Kata "lagi"
(more) dikuasai setelah tujuh bulan berlatih. Pada bulan ke-22, ia telah
menguasai 34 isyarat, dan dalam 40 bulan menguasai 92 isyarat. Kecepatan
belajarnya pun makin hari makin meningkat.
Saat baru menguasai
delapan isyarat, ia mulai menemukan kombinasi, misalnya kombinasi kata
"buka-makan-minum" untuk makna "kulkas". Washoe juga
menemukan isyarat baru. Ia menggoreskan jemarinya di dada, meniru skema kain
penadah liur untuk menyatakan "kain tadah liur". Ternyata isyaratnya
itu memang sudah ada dalam perbendaharaan kata ASL.
Ia menanyakan nama seorang pengunjung, dan ketika si pengunjung mengatakan ia
tak mempunyai isyarat buat namanya, Washoe membuatkan isyaratnya.
Ternyata Washoe juga
memiliki daya duga yang baik berdasarkan contoh-contoh yang pernah diajarkan di
kelas. Ia langsung mengisyaratkan "anjing" jika ia melihat gambar
anjing atau mendengar suara gonggongannya.
Makin hari Washoe
makin baik mempergunakan bahasa isyarat sampai-sampai pengetes yang tidak
tahu-menahu soal proyek ilmiah yang meneliti Washoe tapi ahli ASL, dapat mengerti semua isyarat yang dikemukakan
Simpanse ini. Padahal Washoe belajar bahasa isyarat agak terlambat dan dari
guru yang benar-benar kurang profesional dalam bahasa isyarat.
Washoe tidak sama
dengan anjing yang bisa duduk saat diperintah. Ia memiliki kecerdasan. Ini
memang terobosan besar yang seharusnya mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan.
Sayangnya, kenyataan bahwa simpanse dan kera besar memang berperasaan, punya
warna favorit, suka menggoda, bisa bersedih hati, tak juga diakui oleh dunia
ilmu pengetahuan. Mereka lebih suka memperlakukan simpanse sebagai hewan
eksperimen. Ironisnya, justru karena mereka dipandang amat mirip dengan
manusia.
Simpanse bersih
Meskipun demikian
dana untuk proyek ini menemui banyak hambatan. Tahun 1970 dananya habis. Nasib
Washoe terancam. Bagi dunia luar, primata yang telah menguasai paling sedikit
130 isyarat ini hanyalah seekor "simpanse bersih". Maksudnya, belum
dicemari penyakit atau diinjeksi toksin atau racun. Itu berarti ia potensial untuk
dijadikan kelinci percobaan biomedis!
Pasangan Gardner
berusaha keras mencari tempat berteduh yang aman bagi Washoe. Setelah mengalami
berbagai macam ketidakpastian (Washoe bahkan pernah hampir jadi penghuni kebun
binatang), ia akhirnya masuk Institut Studi Primata pada Universitas Oklahoma
untuk diamati oleh Roger dan Debbie Fouts.
Di situ ia dicampur
dengan 15 ekor simpanse yang lain untuk diamati bagaimana ia berkomunikasi
dengan bahasa isyarat. Sayang sekali usahanya sering nihil. Pernah ia berada di
sebuah pulau bersama beberapa simpanse. Tiba-tiba ada seekor ular muncul dan
membuat mereka lari cerai-berai kecuali seekor simpanse. Washoe memberi isyarat
"mari-cepat-dear" kepada simpanse itu, namun usahanya sia-sia.
Washoe juga
memperlihatkan rasa jengkel terhadap kera-kera rhesus yang tak paham
bahasa isyarat dengan menyebut mereka dirty monkey alias kera kotor.
Kata dirty sebelumnya digunakan hanya untuk tinja dan barang-barang yang
kotor lainnya. Kini ia mempergunakannya dalam berbagai situasi, termasuk hal-hal
yang tak "berkenan" di hatinya.
Perkembangan
selanjutnya dari proyek membahasakan Washoe tampaknya tidak hanya membuatnya
bisa berkomunikasi, tetapi juga mengajarkan yang lain untuk bisa berkomunikasi
dengannya.
Saat bersama keluarga
Gardner, Washoe suka sekali bermain boneka, mencuci, mencium, bahkan
"mengobrol" dengan bahasa isyarat pada boneka-bonekanya. Setelah
meninggalkan Universitas Nevada, ia sempat dua kali melahirkan anak, tetapi
anaknya meninggal tidak lama setelah lahir.
Saat melahirkan anak
kedua, bayinya sempat dibawa ke ruang gawat darurat untuk diberi pertolongan
medis namun tetap tak tertolong. Roger Fouts menceritakan bagaimana upayanya
memberi tahu berita sedih tersebut kepada Washoe.
"Saya
menengoknya pada keesokan harinya. Washoe kelihatan amat sedih dan merasa
kesepian. Sebelumnya ia tidak berkomunikasi dengan siapa pun. Begitu saya
masuk, ia mendekati saya. Matanya bersinar. Ia mendekati saya sambil
berisyarat, 'bayi-gendong- gendong'. Kata itu merupakan pertanyaan. Secara baku
ia bertanya, "Di mana bayiku?" Saya pun mengatakan padanya bahwa
anaknya sudah meninggal. Bersamaan dengan berita itu, tangan yang
mengisyaratkan 'bayi' pelan-pelan turun ke pangkuannya. Kepalanya ditundukkan
dan ia berjalan gontai ke pojok ruangan dan tak mau berkomunikasi lagi,"
cerita Roger Fouts.
"Oleh karena
itulah kami lalu mencari penggantinya. Sepuluh hari sejak kematian anak Washoe,
kami baru menemukan penggantinya. Simpanse jantan bernama Loulis, usianya 10
bulan."
Keesokan harinya
Roger ke tempat Washoe dan memberi isyarat "punya bayi". Segera
Washoe bangkit dan dengan antusias memberi isyarat, "Bayi, bayi,
bayi." Ia bertepuk tangan, berdiri di atas dua kaki, bulunya berdiri, amat
gembira.
Ketika ia memberi
isyarat "bayiku", Roger sadar Washoe salah paham. Roger keluar
ruangan untuk mengambil Loulis. Roger masuk ke tempat Washoe sambil
menggendongnya. Washoe pelan-pelan mendekat. Pada jarak dua atau tiga kaki, ia
tampak mengamati bayi yang dipegang Roger. Ia lalu memberi isyarat, "Bayi,
bayi, bayi, bayi!" Memandang sejenak bayi simpanse itu, tapi ia tetap
duduk. Lalu ia memandang lagi ke atas dan memberi isyarat, "bayi".
Rupanya ia menyadari bahwa itu bukan bayinya! "Mana bayiku?" begitu
ia bertanya.
Ibu asuh yang
mengajari
Tapi malam itu Washoe
berusaha ngeloni Loulis. Tapi tak mudah. Setiap kali Washoe mendekat, ia
menjauh. Akhirnya pada pukul 04.00 dini hari, Washoe bangkit, berjalan di atas
dua kakinya, memukul-mukul jeruji sambil memberi isyarat, "Mari
peluk". Ia juga bertepuk tangan dan membuat keributan. Ternyata Loulis
tanggap juga. Ia langsung meloncat dari tidurnya ke pelukan Washoe! Si ibu mendekapnya
dan menidurkannya. Sejak itu ibu dan anak angkat itu tak terpisahkan.
Loulis lahir di
sebuah kandang pada The Yerkes Regional Primate Center, Georgia, salah satu
tempat penangkaran simpanse untuk kepentingan laboratorium. Induknya dijadikan
binatang eksperimen untuk pencangkokan otak, sehingga tak mampu mengasuhnya.
Meskipun kehilangan
masa kecil yang bahagia, seperti simpanse yang dibesarkan di laboratorium,
Loulis tumbuh baik di bawah asuhan Washoe. Untuk mengevaluasi apakah simpanse
mengajar anaknya berbahasa, para peneliti tidak pernah memakai bahasa isyarat
di hadapan Loulis selama 5 tahun pertama awal kehidupannya.
Delapan hari setelah
bersama Washoe, Louis mulai berkata dengan isyarat. Tidak lama kemudian ia pun
mulai "mengoceh" (dengan bahasa isyarat tentunya) seperti ibu
asuhnya.
Proyek penelitian
membahasakan simpanse ini menemui banyak hambatan. Dana dan penangkaran
simpanse selalu menjadi masalah utama. Beberapa simpanse yang sudah dapat
berbahasa isyarat ada yang malah menjadi binatang percobaan medis lagi.
Lebih-lebih saat AIDS jadi perhatian dunia. Untunglah simpanse kemudian
dianggap tidak cocok untuk tes AIDS setelah ratusan simpanse ditulari HIV namun
tidak juga berkembang menjadi AIDS. Hanya saja, para simpanse yang telah ditulari
HIV itu juga merupakan masalah lagi. Akan dikemanakan mereka?
Ada upaya untuk
melepaskan simpanse ke kehidupan bebas di hutan. Namun muncul beberapa kendala.
Simpanse yang telah ditangkap sudah tak terbiasa hidup mandiri.
Pasangan Fouts yang
prihatin akan masa depan Washoe dan Loulis lalu membawa keduanya pindah pada
tahun 1980 ke Institut Komunikasi Simpanse dan Manusia di Central Washington
University di Ellensberg, Washington.
Lima simpanse dewasa
yang bisa berbahasa isyarat tinggal di tanah seluas 7.000 kaki kuadrat. Para
simpanse, kira-kira bertinggi tubuh lima kaki dengan berat 150 pon kini
dilindungi haknya oleh Yayasan Teman-teman Washoe, sebuah organisasi nirlaba
yang bermaksud memelihara kehidupan simpanse. Mereka beruntung, karena tidak
perlu bergabung dengan 1.400 saudara mereka yang tersebar sebagai binatang
percobaan di Amerika Serikat, yang menanti kematian di kerangkeng sempit atas
nama ilmu pengetahuan.
Eksperimen bahasa
oleh kera besar juga terus dijalankan di Amerika Serikat dan Jepang. Beberapa
mempergunakan ASL, namun ada juga
yang mempergunakan variasi kode bahasa yang lain termasuk komputer dan
leksigram. Washoe dan keluarganya telah membuktikan, ternyata bukan cuma
manusia makhluk cerdas di bumi. (TXF/Als)
PUNYA PITA SUARA
Jika
begitu, binatang primata ini bisa bicara seperti manusia. Tapi apakah binatang
memiliki inteligensia? Banyak orang meragukannya. Namun kalau menilik beberapa
kenyataan yang disuguhkan oleh pasangan Gardner dengan simpansenya, mau tidak
mau kita harus rela menangguhkan keraguan bahwa manusia tampaknya bukan
satu-satunya makhluk yang memiliki inteligensia.
Petugas
kebun binatang kecil di Idaho
kebingungan. Beberapa ekor binatang hilang sementara tapi muncul kembali di
suatu tempat. Konon mereka ditangkap oleh pengunjung yang tak kasat mata yang
bukan berasal dari bumi kita (dan tak dapat membaca peta) dalam rangka program
pengembangbiakan.
Sama misteriusnya
dengan kasus raibnya beberapa binatang, pemberi informasinya juga unik. Sophie,
seekor gorila betina, bercerita dalam bahasa isyarat kepada penyelia kebun
binatang, Willa Ambrose.
Ini memang fenomena
unik. Saat manusia masih membahas masalah inteligensia, makhluk lain di luar
ras manusia seperti makhluk ET (extra-terrestrial) justru memperlihatkan
inteligensia yang luar biasa. Itu dikisahkan dalam film Fearful Symmetry,
salah satu judul serial TV The X-files.
Tak punya pita
suara
Untuk membuktikannya,
pada 21 Juni 1966 dua ilmuwan dari Universitas Nevada, Allen dan Beatrix
Gardner, lalu mengadakan penelitian. Seekor simpanse berusia 14 bulan bernama
Washoe ditaruh di sebuah kandang di halaman belakang rumah Gardner. Ia diberi
makan, mainan, pohon untuk memanjat, dan teman saat terjaga. Terakhir, ia
diajari berbahasa meskipun bahasa itu berupa bahasa isyarat standar Amerika (ASL).
Sebelumnya, beberapa
ahli telah mencoba mengajari kera besar untuk berbicara. Sayangnya,
konsentrasinya saat itu pada bahasa lisan. Padahal, mana mungkin, sebab bangsa
primata ini tak memiliki pita suara.
Inovasi Gardner
mengajari Washoe bahasa isyarat tentulah akan dikritik dan dikupas habis-habisan
oleh para ilmuwan. Maka tak heran bila Gardner mendesain parameter yang ketat
untuk memonitor perkembangan Washoe. Catatan harian secara detail dibuat.
Patokannya, kata yang dianggap dikuasai harus bisa digunakan Washoe secara
spontan dan dipakai paling tidak sekali sehari dalam 15 hari.
Kata "lagi"
(more) dikuasai setelah tujuh bulan berlatih. Pada bulan ke-22, ia telah
menguasai 34 isyarat, dan dalam 40 bulan menguasai 92 isyarat. Kecepatan
belajarnya pun makin hari makin meningkat.
Saat baru menguasai
delapan isyarat, ia mulai menemukan kombinasi, misalnya kombinasi kata
"buka-makan-minum" untuk makna "kulkas". Washoe juga
menemukan isyarat baru. Ia menggoreskan jemarinya di dada, meniru skema kain
penadah liur untuk menyatakan "kain tadah liur". Ternyata isyaratnya
itu memang sudah ada dalam perbendaharaan kata ASL.
Ia menanyakan nama seorang pengunjung, dan ketika si pengunjung mengatakan ia
tak mempunyai isyarat buat namanya, Washoe membuatkan isyaratnya.
Ternyata Washoe juga
memiliki daya duga yang baik berdasarkan contoh-contoh yang pernah diajarkan di
kelas. Ia langsung mengisyaratkan "anjing" jika ia melihat gambar
anjing atau mendengar suara gonggongannya.
Makin hari Washoe
makin baik mempergunakan bahasa isyarat sampai-sampai pengetes yang tidak
tahu-menahu soal proyek ilmiah yang meneliti Washoe tapi ahli ASL, dapat mengerti semua isyarat yang dikemukakan
Simpanse ini. Padahal Washoe belajar bahasa isyarat agak terlambat dan dari
guru yang benar-benar kurang profesional dalam bahasa isyarat.
Washoe tidak sama
dengan anjing yang bisa duduk saat diperintah. Ia memiliki kecerdasan. Ini
memang terobosan besar yang seharusnya mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan.
Sayangnya, kenyataan bahwa simpanse dan kera besar memang berperasaan, punya
warna favorit, suka menggoda, bisa bersedih hati, tak juga diakui oleh dunia
ilmu pengetahuan. Mereka lebih suka memperlakukan simpanse sebagai hewan
eksperimen. Ironisnya, justru karena mereka dipandang amat mirip dengan
manusia.
|
Roger dan Debbie Fouts dengan Tatu, salah simpanse yang belajar bahasa isyarat. (Foto: Repro TXF) |
Simpanse bersih
Meskipun demikian
dana untuk proyek ini menemui banyak hambatan. Tahun 1970 dananya habis. Nasib
Washoe terancam. Bagi dunia luar, primata yang telah menguasai paling sedikit
130 isyarat ini hanyalah seekor "simpanse bersih". Maksudnya, belum
dicemari penyakit atau diinjeksi toksin atau racun. Itu berarti ia potensial untuk
dijadikan kelinci percobaan biomedis!
Pasangan Gardner
berusaha keras mencari tempat berteduh yang aman bagi Washoe. Setelah mengalami
berbagai macam ketidakpastian (Washoe bahkan pernah hampir jadi penghuni kebun
binatang), ia akhirnya masuk Institut Studi Primata pada Universitas Oklahoma
untuk diamati oleh Roger dan Debbie Fouts.
Di situ ia dicampur
dengan 15 ekor simpanse yang lain untuk diamati bagaimana ia berkomunikasi
dengan bahasa isyarat. Sayang sekali usahanya sering nihil. Pernah ia berada di
sebuah pulau bersama beberapa simpanse. Tiba-tiba ada seekor ular muncul dan
membuat mereka lari cerai-berai kecuali seekor simpanse. Washoe memberi isyarat
"mari-cepat-dear" kepada simpanse itu, namun usahanya sia-sia.
Washoe juga
memperlihatkan rasa jengkel terhadap kera-kera rhesus yang tak paham
bahasa isyarat dengan menyebut mereka dirty monkey alias kera kotor.
Kata dirty sebelumnya digunakan hanya untuk tinja dan barang-barang yang
kotor lainnya. Kini ia mempergunakannya dalam berbagai situasi, termasuk hal-hal
yang tak "berkenan" di hatinya.
Perkembangan
selanjutnya dari proyek membahasakan Washoe tampaknya tidak hanya membuatnya
bisa berkomunikasi, tetapi juga mengajarkan yang lain untuk bisa berkomunikasi
dengannya.
Saat bersama keluarga
Gardner, Washoe suka sekali bermain boneka, mencuci, mencium, bahkan
"mengobrol" dengan bahasa isyarat pada boneka-bonekanya. Setelah
meninggalkan Universitas Nevada, ia sempat dua kali melahirkan anak, tetapi
anaknya meninggal tidak lama setelah lahir.
Saat melahirkan anak
kedua, bayinya sempat dibawa ke ruang gawat darurat untuk diberi pertolongan
medis namun tetap tak tertolong. Roger Fouts menceritakan bagaimana upayanya
memberi tahu berita sedih tersebut kepada Washoe.
"Saya
menengoknya pada keesokan harinya. Washoe kelihatan amat sedih dan merasa
kesepian. Sebelumnya ia tidak berkomunikasi dengan siapa pun. Begitu saya
masuk, ia mendekati saya. Matanya bersinar. Ia mendekati saya sambil
berisyarat, 'bayi-gendong- gendong'. Kata itu merupakan pertanyaan. Secara baku
ia bertanya, "Di mana bayiku?" Saya pun mengatakan padanya bahwa
anaknya sudah meninggal. Bersamaan dengan berita itu, tangan yang
mengisyaratkan 'bayi' pelan-pelan turun ke pangkuannya. Kepalanya ditundukkan
dan ia berjalan gontai ke pojok ruangan dan tak mau berkomunikasi lagi,"
cerita Roger Fouts.
"Oleh karena
itulah kami lalu mencari penggantinya. Sepuluh hari sejak kematian anak Washoe,
kami baru menemukan penggantinya. Simpanse jantan bernama Loulis, usianya 10
bulan."
Keesokan harinya
Roger ke tempat Washoe dan memberi isyarat "punya bayi". Segera
Washoe bangkit dan dengan antusias memberi isyarat, "Bayi, bayi,
bayi." Ia bertepuk tangan, berdiri di atas dua kaki, bulunya berdiri, amat
gembira.
Ketika ia memberi
isyarat "bayiku", Roger sadar Washoe salah paham. Roger keluar
ruangan untuk mengambil Loulis. Roger masuk ke tempat Washoe sambil
menggendongnya. Washoe pelan-pelan mendekat. Pada jarak dua atau tiga kaki, ia
tampak mengamati bayi yang dipegang Roger. Ia lalu memberi isyarat, "Bayi,
bayi, bayi, bayi!" Memandang sejenak bayi simpanse itu, tapi ia tetap
duduk. Lalu ia memandang lagi ke atas dan memberi isyarat, "bayi".
Rupanya ia menyadari bahwa itu bukan bayinya! "Mana bayiku?" begitu
ia bertanya.
|
Gajah yang hilang dari kebun binatang. (Foto: Repro TXF) |
Ibu asuh yang
mengajari
Tapi malam itu Washoe
berusaha ngeloni Loulis. Tapi tak mudah. Setiap kali Washoe mendekat, ia
menjauh. Akhirnya pada pukul 04.00 dini hari, Washoe bangkit, berjalan di atas
dua kakinya, memukul-mukul jeruji sambil memberi isyarat, "Mari
peluk". Ia juga bertepuk tangan dan membuat keributan. Ternyata Loulis
tanggap juga. Ia langsung meloncat dari tidurnya ke pelukan Washoe! Si ibu mendekapnya
dan menidurkannya. Sejak itu ibu dan anak angkat itu tak terpisahkan.
Loulis lahir di
sebuah kandang pada The Yerkes Regional Primate Center, Georgia, salah satu
tempat penangkaran simpanse untuk kepentingan laboratorium. Induknya dijadikan
binatang eksperimen untuk pencangkokan otak, sehingga tak mampu mengasuhnya.
Meskipun kehilangan
masa kecil yang bahagia, seperti simpanse yang dibesarkan di laboratorium,
Loulis tumbuh baik di bawah asuhan Washoe. Untuk mengevaluasi apakah simpanse
mengajar anaknya berbahasa, para peneliti tidak pernah memakai bahasa isyarat
di hadapan Loulis selama 5 tahun pertama awal kehidupannya.
Delapan hari setelah
bersama Washoe, Louis mulai berkata dengan isyarat. Tidak lama kemudian ia pun
mulai "mengoceh" (dengan bahasa isyarat tentunya) seperti ibu
asuhnya.
Proyek penelitian
membahasakan simpanse ini menemui banyak hambatan. Dana dan penangkaran
simpanse selalu menjadi masalah utama. Beberapa simpanse yang sudah dapat
berbahasa isyarat ada yang malah menjadi binatang percobaan medis lagi.
Lebih-lebih saat AIDS jadi perhatian dunia. Untunglah simpanse kemudian
dianggap tidak cocok untuk tes AIDS setelah ratusan simpanse ditulari HIV namun
tidak juga berkembang menjadi AIDS. Hanya saja, para simpanse yang telah ditulari
HIV itu juga merupakan masalah lagi. Akan dikemanakan mereka?
Ada upaya untuk
melepaskan simpanse ke kehidupan bebas di hutan. Namun muncul beberapa kendala.
Simpanse yang telah ditangkap sudah tak terbiasa hidup mandiri.
Pasangan Fouts yang
prihatin akan masa depan Washoe dan Loulis lalu membawa keduanya pindah pada
tahun 1980 ke Institut Komunikasi Simpanse dan Manusia di Central Washington
University di Ellensberg, Washington.
Lima simpanse dewasa
yang bisa berbahasa isyarat tinggal di tanah seluas 7.000 kaki kuadrat. Para
simpanse, kira-kira bertinggi tubuh lima kaki dengan berat 150 pon kini
dilindungi haknya oleh Yayasan Teman-teman Washoe, sebuah organisasi nirlaba
yang bermaksud memelihara kehidupan simpanse. Mereka beruntung, karena tidak
perlu bergabung dengan 1.400 saudara mereka yang tersebar sebagai binatang
percobaan di Amerika Serikat, yang menanti kematian di kerangkeng sempit atas
nama ilmu pengetahuan.
Eksperimen bahasa
oleh kera besar juga terus dijalankan di Amerika Serikat dan Jepang. Beberapa
mempergunakan ASL, namun ada juga
yang mempergunakan variasi kode bahasa yang lain termasuk komputer dan
leksigram. Washoe dan keluarganya telah membuktikan, ternyata bukan cuma
manusia makhluk cerdas di bumi. (TXF/Als)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as