Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    aa navis penjaga surau kami

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    aa navis penjaga surau kami Empty aa navis penjaga surau kami

    Post by admin Fri May 21, 2010 11:53 pm

    Nama:
    Haji
    Ali Akbar Navis (AA Navis)
    Lahir:
    Kampung
    Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924
    Meninggal:
    Padang,
    22 Maret 2003
    Agama:
    Islam
    Profesi:
    Sastrawan
    Isteri:
    Aksari
    Yasin (dinikahi tahun 1957)
    Anak:
    Dini
    Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda dan
    Rika Anggraini
    Cucu (2003):
    13 orang
    Pendidikan:
    INS
    Kayutanam (1932-1943)
    Pekerjaan:
    Sastrawan
    Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumbar di Bukittinggi
    (1952-1955)
    Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972)
    Dosen parttimer Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi
    Minangkabau (1983-1985)
    Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS Kayutanam sejak tahun 1968
    Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat
    Karya
    Terkenal:
    Robohnya
    Surau Kami (1955)
    Bianglala (1963)
    Hujan Panas (1964)
    Kemarau (1967)
    Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970)
    Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
    Di Lintasan Mendung (1983)
    Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
    Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
    Jodoh (1998).
    Penghargaan:
    Hadiah
    seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
    Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
    Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990)
    Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
    Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
    Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
    Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
    Alamat:
    Jalan
    Bengkuang Nomor 5, Padang









    Ali Akbar Navis (In Memoriam)


    Sastrawan,
    Sang Kepala Pencemoh




    Ia salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Haji
    Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan sastrawan
    digelari sebagai kepala pencemooh. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan
    satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya. Sosoknya menjadi simbol
    energi sastrawan yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.
    Penulis ‘Robohnya Surau Kami’ dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa
    dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00,
    Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang. Indonesia
    kehilangan sastrawan fenomenal.

    Sang Pencemooh kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924,ini
    adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik
    sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar
    hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih
    itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Maka
    pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam
    kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk
    menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan,
    ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

    Kini, ia telah pergi. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang
    sastrawan besar. Ia meninggalkan satu orang isteri Aksari Yasin yang dinikahi
    tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika,
    Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini serta sejumlah 13 cucu.
    Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

    Gemala Ranti, kepada Wartawan Tokoh Indonesia mengatakan sastrawan
    besar ini telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari
    sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya itu untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa tidak bisa ikut
    Kongres di Bali pada Mei nanti. Serta minta
    dikirimkan surat
    balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.

    Sebelum dikebumikan sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademis dan
    masyarakat umum, melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya
    Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal
    Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan
    Basri Durin serta penyair Rusli Marzuki Sariah.

    Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini
    menjulang dalam sastra Indonesia
    sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari
    tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai
    sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana
    seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya,
    orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.

    Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya
    Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu
    bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di
    negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan
    jujur pada dirinya sendiri.

    Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup
    kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia
    seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan
    pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis
    berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya
    sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara
    radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan
    biografi.

    Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru
    mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah
    menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis
    22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi
    luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis
    di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku ‘Yang Berjalan Sepanjang
    Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
    pada 2002.

    Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah
    Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam
    Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983),
    Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan
    Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).

    Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja
    menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta
    atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado
    ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada
    17 November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang
    ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas
    Radio Nederland Wereldemroep 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina
    Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina 1979), Kisah Seorang
    Pengantin, Maria, Nora dan Ibu. Ada
    yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an.

    Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran
    serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam
    sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan
    sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan
    dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa
    harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu
    termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun lalu.

    Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan,
    karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam
    kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua.
    Mengapa? ”Soalnya, senjata saya hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah
    salah satu alat dalam kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok
    untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis
    novel. Ada mood
    menulis cerpen, ya menulis cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7
    Desember 1997.

    Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan
    harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga
    pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah
    pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki
    pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi
    sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.

    Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi
    seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta
    api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku
    menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.

    Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD
    sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang
    mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena
    menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca
    itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang
    tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan
    terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

    Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang
    merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap,
    strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya pikir itu
    kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu
    apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang
    Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan
    apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka
    supaya tidak bodoh lagi,” katanya.

    Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra.
    ”Sekarang sastra itu fungsinya apa?” tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah
    pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami
    konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh
    orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan
    yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan,
    tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di
    Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak
    tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak
    kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra
    supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.

    Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia
    diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih
    adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar
    bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, ”semua orang
    tidak suka ada orang yang menyikat koruptor,” katanya seperti pesimis tentang
    kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

    Ia juga melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. Dulu si pengarang
    itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang
    banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan
    sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental,
    yang aneh memang banyak.

    Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada yang
    mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia mengatakan
    sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir),
    ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di
    atas, terkurung maunya di luar). Itulah AA Navis Sang Kepala Pencemooh.

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 2:27 pm