Nama:
Haji
Ali Akbar Navis (AA Navis)
Lahir:
Kampung
Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924
Meninggal:
Padang,
22 Maret 2003
Agama:
Islam
Profesi:
Sastrawan
Isteri:
Aksari
Yasin (dinikahi tahun 1957)
Anak:
Dini
Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda dan
Rika Anggraini
Cucu (2003):
13 orang
Pendidikan:
INS
Kayutanam (1932-1943)
Pekerjaan:
Sastrawan
Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumbar di Bukittinggi
(1952-1955)
Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972)
Dosen parttimer Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi
Minangkabau (1983-1985)
Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS Kayutanam sejak tahun 1968
Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat
Karya
Terkenal:
Robohnya
Surau Kami (1955)
Bianglala (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970)
Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
Di Lintasan Mendung (1983)
Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
Jodoh (1998).
Penghargaan:
Hadiah
seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990)
Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
Alamat:
Jalan
Bengkuang Nomor 5, Padang
Ali Akbar Navis (In Memoriam)
Sastrawan,
Sang Kepala Pencemoh
Ia salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Haji
Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan sastrawan
digelari sebagai kepala pencemooh. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan
satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya. Sosoknya menjadi simbol
energi sastrawan yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.
Penulis ‘Robohnya Surau Kami’ dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa
dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00,
Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang. Indonesia
kehilangan sastrawan fenomenal.
Sang Pencemooh kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924,ini
adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik
sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar
hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih
itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Maka
pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam
kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk
menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan,
ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Kini, ia telah pergi. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang
sastrawan besar. Ia meninggalkan satu orang isteri Aksari Yasin yang dinikahi
tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika,
Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini serta sejumlah 13 cucu.
Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
Gemala Ranti, kepada Wartawan Tokoh Indonesia mengatakan sastrawan
besar ini telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari
sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya itu untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa tidak bisa ikut
Kongres di Bali pada Mei nanti. Serta minta
dikirimkan surat
balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.
Sebelum dikebumikan sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademis dan
masyarakat umum, melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal
Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan
Basri Durin serta penyair Rusli Marzuki Sariah.
Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini
menjulang dalam sastra Indonesia
sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari
tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai
sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana
seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya,
orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya
Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu
bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di
negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan
jujur pada dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup
kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia
seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan
pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis
berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya
sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara
radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan
biografi.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru
mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah
menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis
22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi
luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis
di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku ‘Yang Berjalan Sepanjang
Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah
Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam
Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983),
Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan
Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).
Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja
menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta
atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado
ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada
17 November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang
ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas
Radio Nederland Wereldemroep 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina
Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina 1979), Kisah Seorang
Pengantin, Maria, Nora dan Ibu. Ada
yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran
serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam
sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan
sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan
dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa
harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu
termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun lalu.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan,
karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam
kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua.
Mengapa? ”Soalnya, senjata saya hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah
salah satu alat dalam kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok
untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis
novel. Ada mood
menulis cerpen, ya menulis cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7
Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan
harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga
pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah
pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki
pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi
sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi
seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta
api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku
menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD
sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang
mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena
menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca
itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang
tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan
terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.
Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang
merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap,
strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya pikir itu
kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu
apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang
Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan
apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka
supaya tidak bodoh lagi,” katanya.
Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra.
”Sekarang sastra itu fungsinya apa?” tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah
pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami
konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh
orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan
yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan,
tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di
Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak
tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak
kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra
supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia
diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih
adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar
bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, ”semua orang
tidak suka ada orang yang menyikat koruptor,” katanya seperti pesimis tentang
kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Ia juga melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. Dulu si pengarang
itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang
banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan
sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental,
yang aneh memang banyak.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada yang
mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia mengatakan
sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir),
ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di
atas, terkurung maunya di luar). Itulah AA Navis Sang Kepala Pencemooh.
Haji
Ali Akbar Navis (AA Navis)
Lahir:
Kampung
Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924
Meninggal:
Padang,
22 Maret 2003
Agama:
Islam
Profesi:
Sastrawan
Isteri:
Aksari
Yasin (dinikahi tahun 1957)
Anak:
Dini
Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda dan
Rika Anggraini
Cucu (2003):
13 orang
Pendidikan:
INS
Kayutanam (1932-1943)
Pekerjaan:
Sastrawan
Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumbar di Bukittinggi
(1952-1955)
Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972)
Dosen parttimer Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi
Minangkabau (1983-1985)
Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS Kayutanam sejak tahun 1968
Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat
Karya
Terkenal:
Robohnya
Surau Kami (1955)
Bianglala (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970)
Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
Di Lintasan Mendung (1983)
Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
Jodoh (1998).
Penghargaan:
Hadiah
seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990)
Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
Alamat:
Jalan
Bengkuang Nomor 5, Padang
Ali Akbar Navis (In Memoriam)
Sastrawan,
Sang Kepala Pencemoh
Ia salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Haji
Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan sastrawan
digelari sebagai kepala pencemooh. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan
satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya. Sosoknya menjadi simbol
energi sastrawan yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.
Penulis ‘Robohnya Surau Kami’ dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa
dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00,
Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang. Indonesia
kehilangan sastrawan fenomenal.
Sang Pencemooh kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924,ini
adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik
sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar
hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih
itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Maka
pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam
kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk
menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan,
ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Kini, ia telah pergi. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang
sastrawan besar. Ia meninggalkan satu orang isteri Aksari Yasin yang dinikahi
tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika,
Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini serta sejumlah 13 cucu.
Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
Gemala Ranti, kepada Wartawan Tokoh Indonesia mengatakan sastrawan
besar ini telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari
sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya itu untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa tidak bisa ikut
Kongres di Bali pada Mei nanti. Serta minta
dikirimkan surat
balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.
Sebelum dikebumikan sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademis dan
masyarakat umum, melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal
Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan
Basri Durin serta penyair Rusli Marzuki Sariah.
Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini
menjulang dalam sastra Indonesia
sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari
tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai
sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana
seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya,
orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya
Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu
bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di
negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan
jujur pada dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup
kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia
seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan
pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis
berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya
sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara
radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan
biografi.
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru
mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah
menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis
22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi
luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis
di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku ‘Yang Berjalan Sepanjang
Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah
Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam
Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983),
Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan
Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).
Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja
menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta
atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado
ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada
17 November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang
ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas
Radio Nederland Wereldemroep 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina
Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina 1979), Kisah Seorang
Pengantin, Maria, Nora dan Ibu. Ada
yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran
serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam
sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan
sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan
dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa
harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu
termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun lalu.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan,
karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam
kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua.
Mengapa? ”Soalnya, senjata saya hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah
salah satu alat dalam kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok
untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis
novel. Ada mood
menulis cerpen, ya menulis cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7
Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan
harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga
pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah
pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki
pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi
sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi
seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta
api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku
menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD
sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang
mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena
menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca
itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang
tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan
terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.
Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang
merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap,
strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya pikir itu
kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu
apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang
Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan
apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka
supaya tidak bodoh lagi,” katanya.
Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra.
”Sekarang sastra itu fungsinya apa?” tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah
pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami
konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh
orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan
yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan,
tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di
Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak
tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak
kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra
supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia
diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih
adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar
bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, ”semua orang
tidak suka ada orang yang menyikat koruptor,” katanya seperti pesimis tentang
kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Ia juga melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. Dulu si pengarang
itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang
banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan
sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental,
yang aneh memang banyak.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada yang
mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia mengatakan
sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir),
ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di
atas, terkurung maunya di luar). Itulah AA Navis Sang Kepala Pencemooh.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as