Nama:
Asrul Sani
Lahir:
Rao, Pasaman, 10 Juni 1927
Meninggal:
Jakarta, 11 Januari 2004, Pukul 22.15 WIB
Istri:
(1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet
Anak:
Tiga putra, tiga putri, enam cucu
Ayah:
Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang
Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Indonesia (IPB)
Dramaturgi dan sinematografi di University of
Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957
Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun
1951-1952
SLTP hingga SLTA di Jakarta
SD di Rao, Sumatera Barat
Karir Politik:
Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai
Nahdhatul Ulama
Anggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPP
Pendiri :
“Gelanggang Seniman Merdeka”
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)
Kegiatan Pergerakan:
Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di
Bogor
Kegiatan Penerbitan:
Menerbitkan “Suara Bogor”, redaktur majalah
kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan Majalah”
Siasat”, dan wartawan Majalah “Zenith”
Konsep Kebudayaan:
“Surat Kepercayaan Gelanggang”
Penghargaan:
Tokoh Angkatan 45
Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000
Enam buah Piala Citra pada Festifal Film
Indonesia (FFI)
Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun
1970
Karya Puisi:
“Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil Anwar
dan Rivai Apin, “Surat dari Ibu”, “Anak Laut”, 19 buah puisi dan lima buah
cerpen sebelum penerbitan antologi “Tiga Menguak Takdir” tahun 1950, lalu sesudahnya
tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan
drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah
“Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Karya Film:
“Titian Serambut Dibelah Tudjuh”, “Apa yang
Kau Cari Palupi” “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,.
“Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut
Hidup”
Alamat Rumah:
Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No.
4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta Selatan
Asrul
Sani
Seniman Pelopor Angkatan '45
Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain
dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin
meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya
di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman
kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus
menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun
sebelumnya.
Dia adalah pelaku terpenting sejarah
kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar
sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil
Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga
Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950.
Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”,
malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul
Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari
Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948
hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang
menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit
hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya
puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah
cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya
Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan
“Zenith”.
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut
bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun
lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat
kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya
bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan
keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan
semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun
1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya
Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan
telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar
Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara
Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan
“Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah
“Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat
usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan
pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan
Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan
Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami
adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan
dapat dilahirkan’.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera
Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair
adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama
kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara
panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma
kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama,
dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena
keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran
hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari
Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga
1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan
dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.
Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang
berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju
Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas
Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat
pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh
titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi
batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa
kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam
Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri
Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.
Selain karena pendekatan akademis dan romatisme
kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin
menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain
perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor,
seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet
Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani
adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai
kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih
sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film
lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar
Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”,
dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping
beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika
dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali
memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia
pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11
Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani
(56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia
meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan
dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan
detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu
kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia
masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan
sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga
putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan
istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul
enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan
Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara.
Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal
Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya
mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan
Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya
untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan
dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya,
‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.
Meski sudah mulai mengalami kemunduran
kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis
sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar
doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani
bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh
berkembang seturut zamannya. *hp
Asrul Sani
Lahir:
Rao, Pasaman, 10 Juni 1927
Meninggal:
Jakarta, 11 Januari 2004, Pukul 22.15 WIB
Istri:
(1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet
Anak:
Tiga putra, tiga putri, enam cucu
Ayah:
Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang
Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Indonesia (IPB)
Dramaturgi dan sinematografi di University of
Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957
Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun
1951-1952
SLTP hingga SLTA di Jakarta
SD di Rao, Sumatera Barat
Karir Politik:
Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai
Nahdhatul Ulama
Anggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPP
Pendiri :
“Gelanggang Seniman Merdeka”
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)
Kegiatan Pergerakan:
Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di
Bogor
Kegiatan Penerbitan:
Menerbitkan “Suara Bogor”, redaktur majalah
kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan Majalah”
Siasat”, dan wartawan Majalah “Zenith”
Konsep Kebudayaan:
“Surat Kepercayaan Gelanggang”
Penghargaan:
Tokoh Angkatan 45
Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000
Enam buah Piala Citra pada Festifal Film
Indonesia (FFI)
Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun
1970
Karya Puisi:
“Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil Anwar
dan Rivai Apin, “Surat dari Ibu”, “Anak Laut”, 19 buah puisi dan lima buah
cerpen sebelum penerbitan antologi “Tiga Menguak Takdir” tahun 1950, lalu sesudahnya
tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan
drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah
“Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Karya Film:
“Titian Serambut Dibelah Tudjuh”, “Apa yang
Kau Cari Palupi” “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,.
“Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut
Hidup”
Alamat Rumah:
Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No.
4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta Selatan
Asrul
Sani
Seniman Pelopor Angkatan '45
Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain
dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin
meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya
di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman
kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus
menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun
sebelumnya.
Dia adalah pelaku terpenting sejarah
kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar
sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil
Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga
Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950.
Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”,
malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul
Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari
Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948
hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang
menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit
hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya
puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah
cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya
Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan
“Zenith”.
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut
bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun
lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat
kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya
bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan
keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan
semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun
1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya
Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan
telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar
Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara
Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan
“Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah
“Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat
usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan
pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan
Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan
Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami
adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan
dapat dilahirkan’.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera
Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair
adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama
kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara
panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma
kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama,
dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena
keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran
hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari
Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga
1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan
dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.
Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang
berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju
Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas
Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat
pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh
titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi
batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa
kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam
Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri
Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.
Selain karena pendekatan akademis dan romatisme
kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin
menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain
perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor,
seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet
Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani
adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai
kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih
sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film
lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar
Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”,
dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping
beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika
dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali
memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia
pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11
Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani
(56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia
meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan
dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan
detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu
kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia
masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan
sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga
putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan
istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul
enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan
Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara.
Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal
Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya
mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan
Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya
untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan
dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya,
‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.
Meski sudah mulai mengalami kemunduran
kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis
sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar
doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani
bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh
berkembang seturut zamannya. *hp
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as