Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    asrul sani .....si nagabonar

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    asrul sani .....si nagabonar Empty asrul sani .....si nagabonar

    Post by admin Fri May 21, 2010 7:29 pm

    Nama:


    Asrul Sani


    Lahir:


    Rao, Pasaman, 10 Juni 1927


    Meninggal:


    Jakarta, 11 Januari 2004, Pukul 22.15 WIB


    Istri:


    (1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet


    Anak:


    Tiga putra, tiga putri, enam cucu


    Ayah:


    Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang
    Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang





    Pendidikan:


    Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
    Indonesia (IPB)


    Dramaturgi dan sinematografi di University of
    Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957


    Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun
    1951-1952


    SLTP hingga SLTA di Jakarta


    SD di Rao, Sumatera Barat





    Karir Politik:


    Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai
    Nahdhatul Ulama


    Anggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPP





    Pendiri :


    “Gelanggang Seniman Merdeka”


    Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)





    Kegiatan Pergerakan:


    Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di
    Bogor





    Kegiatan Penerbitan:


    Menerbitkan “Suara Bogor”, redaktur majalah
    kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan Majalah”
    Siasat”, dan wartawan Majalah “Zenith”


    Konsep Kebudayaan:


    “Surat Kepercayaan Gelanggang”





    Penghargaan:


    Tokoh Angkatan 45


    Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000


    Enam buah Piala Citra pada Festifal Film
    Indonesia (FFI)


    Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun
    1970





    Karya Puisi:


    “Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil Anwar
    dan Rivai Apin, “Surat dari Ibu”, “Anak Laut”, 19 buah puisi dan lima buah
    cerpen sebelum penerbitan antologi “Tiga Menguak Takdir” tahun 1950, lalu sesudahnya
    tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan
    drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah
    “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.





    Karya Film:


    “Titian Serambut Dibelah Tudjuh”, “Apa yang
    Kau Cari Palupi” “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,.
    “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut
    Hidup”





    Alamat Rumah:


    Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No.
    4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta Selatan








    Asrul
    Sani


    Seniman Pelopor Angkatan '45





    Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain
    dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin
    meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya
    di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman
    kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus
    menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun
    sebelumnya.





    Dia adalah pelaku terpenting sejarah
    kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar
    sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil
    Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga
    Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950.
    Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”,
    malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.





    Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul
    Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari
    Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948
    hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang
    menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit
    hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya
    puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah
    cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya
    Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan
    “Zenith”.





    Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut
    bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun
    lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat
    kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya
    bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan
    keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan
    semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.





    Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun
    1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya
    Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan
    telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar
    Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara
    Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan
    “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah
    “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.





    Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat
    usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan
    pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan
    Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan
    Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari
    kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
    Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami
    adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan
    dapat dilahirkan’.





    Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera
    Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair
    adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama
    kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara
    panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma
    kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama,
    dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
    Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena
    keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran
    hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari
    Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga
    1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan
    dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.





    Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang
    berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju
    Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas
    Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat
    pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh
    titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi
    batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa
    kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam
    Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri
    Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.





    Selain karena pendekatan akademis dan romatisme
    kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin
    menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain
    perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional
    Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor,
    seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet
    Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.





    Film pertama yang disutradarai Asrul Sani
    adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai
    kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih
    sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film
    lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar
    Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”,
    dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping
    beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika
    dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali
    memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia
    pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.





    Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11
    Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani
    (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia
    meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan
    dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan
    detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu
    kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia
    masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan
    sinetron.





    Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga
    putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan
    istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul
    enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan
    Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara.
    Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal
    Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.





    Selama hidupnya Asrul Sani hanya
    mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan
    Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak
    dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya
    untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan
    dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya,
    ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.





    Meski sudah mulai mengalami kemunduran
    kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis
    sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar
    doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani
    bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh
    berkembang seturut zamannya. *hp

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 11:38 am