Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    Mochtar Lubis .....harimau wartawan

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    Mochtar Lubis .....harimau wartawan Empty Mochtar Lubis .....harimau wartawan

    Post by admin Fri May 21, 2010 7:27 pm

    Nama :


    :: Mochtar Lubis


    Lahir :


    :: Padang, 7 Maret 1922


    Agama :


    :: Islam


    Meninggal:


    Jakarta, 2 Juli 2004





    Isteri:


    :: Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27
    Agustus 2001


    Karir :


    :: Sastrawan


    :: Wartawan KBN Antara


    :: Pemred Harian Indonesia Raya


    :: Pendiri majalah sastra Horison


    :: Direktur Yayasan Obor Indonesia


    Pendidikan :


    :: HIS di Sungai Penuh


    Organisasi :


    :: Press Foundation of Asia


    Penghargaan :


    :: Magsaysay Award untuk jurnalistik dan
    kesusastraan


    Novel :


    :: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan
    Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.


    Alamat :


    :: Jakarta Mochtar
    Lubis (1922-2004)


    Pahlawan di Pentas Jurnalistik





    Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini
    meninggal dunia di RS Medistra, Jakarta pukul 19.15 WIB Jumat 2 Juli 2004.
    Selain sebagai wartawan, penerima Magsaysay Award untuk jurnalistik dan
    kesusastraan, ini juga dikenal sebagai sastrawan. Pandai pula melukis dan
    membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan
    tokoh karikatural si Djamal, kemudian menulis novel. Di antara novelnya:
    Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam
    Rimba.





    Disemayamkan di rumah duka, kemudian siang
    usai salat Zuhur, almarhum dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan,
    Sabtu 3 Juli 2004. Dia meninggalkan tiga anak, yakni Indrawan Lubis, 58, Arman
    Lubis, 52, dan Yana Zamin Lubis, 50 serta 8 cucu. Istrinya, Halimah, sudah lebih
    dulu tutup usia pada 27 Agustus 2001.
    Sejak kehilangan orang yang sangat dicintainya, kesehatan Mochtar tterus
    merosot. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan sering bertanya, "Di
    mana Ibu?"





    Menurut puteranya, Arman, ayahnya memang sudah
    lama menderita sakit. Beberapa penyakit yang dideritanya antara lain, penyakit
    kanker prostat dan alzheimer. Bahkan, tiga tahun terakhir ini sudah tidak bisa
    berkomunikasi lagi dengan anak-cucunya."





    Sepekan sebelum meninggal, dia sesak napas,
    kerongkongannya penuh lendir, lalu dibawa ke rumah sakit Medistra 23 Juni 2004
    dan masuk ruang unit perawatan intensif. Sudah hampir dua tahun dia menderita
    penyakit alzheimer. Beberapa bulan terakhir nyaris tak lagi mengenal orang yang
    terdekat dengannya.





    Ia pernah dipenjara karena karya-karya
    jurnalistiknya. Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret
    1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia
    melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya
    tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.





    Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai
    Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda
    yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala
    Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang
    ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.





    Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota
    tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar
    lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor
    pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu
    tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks
    perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin
    sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie
    di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian
    Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari
    Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan Mochtar Lubis. Pada masa
    itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di
    Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77 tahun, 27
    Agustus 2001).





    Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor
    berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali.
    Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara
    aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai
    berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang
    tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents
    yang bule-bule.





    Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda
    kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim
    Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah harian
    Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah
    Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun
    terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950,
    ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal
    journalism. Maka, Moctar Lubis adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu
    pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di
    Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman.





    Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan
    tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan
    Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita,
    yang disebut "affair".





    Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami
    Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P
    & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu,
    melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba "serem". Tidak saja
    Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita asyik
    tentang sang Don Juan Sudarsono.





    Kedua, affair Hartini ketika terungkap
    hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan
    Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.





    Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13
    Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin
    Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de
    Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu
    ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada
    Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu.
    Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali
    Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal
    14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan
    Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat
    intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan
    bisa berangkat ke luar negeri.





    Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno
    yang tengah mewujudkan konsep politiknya --kelak menjelma sebagai demokrasi
    terpimpin Orde Lama-- marah-marah terhadap Lubis dan Indonesia Raya. Kolonel
    A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956,
    International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia
    dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara.
    Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar
    diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan".
    Mereka diminta untuk stand by terus, namun tidak mereka indahkan.





    Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar
    serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih
    dari sebulan mereka berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air.
    Kemudian mereka kembali dan di bandara diberitahu, mereka tidak akan ditangkap
    oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak
    lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari
    rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke
    penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem,
    Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain.
    Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas.
    Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh
    Soekarno-Nasution.





    Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga
    dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari
    keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si
    Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya
    dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung,
    Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan
    kesusastraan.





    Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan
    terbit kembali, Lubis melancarkan "perang salibnya" terhadap korupsi
    di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot
    dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama
    Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya
    tidak dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik,
    itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan
    hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana
    sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil.
    "Hero-complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam
    tindak-tanduknya.





    Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974
    dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar
    Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan.
    Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya,
    Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan selama dua bulan.





    Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak
    aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation
    of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi
    Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu,
    baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal
    landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari
    Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas Mochtar Lubis ialah PR
    (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu
    cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya
    menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.





    Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9
    Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi,
    menamakan Mochtar sebagai "person of character", insan nan berwatak.
    Di negeri kita sekarang, makin langka "person of character" itu. Bung
    Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar
    tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan
    dan memerlukan banyak "person of character".





    Maka, tutur wartawan senior H. Rosihan Anwar,
    dalam kolomnya di Majalah Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang
    menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita menghormati wartawan
    Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan
    Bintang Mahaputra oleh Presiden RI." ►tsl, dari berbagai sumber

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 1:39 pm