Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Model Tutorial
Widodo Hs.
CIS – BIPA UM
Pendahuluan
Dari berbagai permasalahan tentang program BIPA, perihal instruksional (pembelajaran) merupakan isu yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan tersendiri. Pentingnya isu pembelajaran ini tidak hanya karena cukup dominannya dibahas pada berbagai forum pertemuan BIPA, melainkan persoalan pembelajaran memang memiliki peran cukup esensial dan strategis dalam program BIPA. Peranan pembelajaran terutama terkait dengan upaya penciptaan dan pengkondisian belajar BIPA. Dalam program BIPA, pengkondisian belajar berhubungan secara langsung dengan proses belajar mengajar yang dapat diamati mekanisme serta hasilnya (Long, 1987; Rodgers, 1990; Baradja, 1991). Bahkan, secara empiris dinyatakan, bahwa problematik yang sering muncul dalam penyelenggaraan program BIPA banyak bersumber pada persoalan pembelajaran (Kartomihardjo, 1996).
Sebagaimana diketahui, bahwa penyelenggaran program BIPA di satu lembaga berbeda dengan penyelenggaraan di lembaga lain. Perbedaan ini dari satu segi memang menggambarkan hal yang positif, terutama bagi kepentingan pengembangan program BIPA. Namun, dari segi instruksional, tampaknya perbedaan tersebut menjadi persoalan spesifik tersendiri. Perbedaan tersebut secara jelas memberikan gambaran, bahwa program BIPA masih belum memiliki pola acuan dan parameter yang jelas untuk kepentingan penentuan kualifikasi keterukuran sebuah pembelajaran BIPA. Padahal, sebagai sebuah sistem, pembelajaran BIPA selayaknya memiliki pola acuan dan karakteristik spesifik yang menandai entitas sebuah pembelajaran BIPA. Dari entitas inilah dapat dibedakan secara jelas antara pembelajaran BIPA dengan bentuk pembelajaran yang lain.
Bagi sebuah penyelenggaraan program BIPA, pola acuan yang berupa prinsip dasar pembelajaran BIPA sebagaimana yang dimaksud memang bukanlah sesuatu yang harus baku adanya. Namun, jika akan mewujudkan bentuk pembelajaran BIPA sesuai dengan prosedur yang benar, tentunya pola acuan pembelajaran tersebut menjadi persyaratan urgen dan semestinya dipenuhi (Stern, 1987). Apa pun yang direncanakan dan dilaksanakan dalam pembelajaran BIPA tidak dapat terlepas dari rambu-rambu yang menjadi dasar acuannya. Peranan dan fungsi pola acuan pembelajaran BIPA tidak hanya sebagai penanda program, melainkan juga untuk kepentingan landasan pengembangan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa model pembelajaran BIPA merupakan perwujudan dari prinsip dasar pembelajaran yang dipilih dan dijadikan sebagai acuannya. Dalam kaitannya dengan model pembelajaran in, adanya sejumlah faktor yang melatarbelakangi penyelenggaraan pembelajaran BIPA juga memberikan kemungkinan berbedanya model pembelajaran BIPA yang ada di lembaga yang satu dengan yang lain.
Sesuai dengan judulnya, permasalahan pokok yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang model pembelajaran BIPA, yaitu model tutorial. Sebagai salah satu model pembelajaran BIPA, model ini telah diterapkan di program BIPA, Center for Indonesian Studies, Universitas Negeri Malang sejak tahun 1990. Karena itu deskripsi bahasan dalam tulisan ini antara lain juga bersumber dari informasi dan fakta empiris pelaksanaan pembelajaran BIPA tersebut. Selanjutnya, bagaimana sosok dan seluk-beluk pembelajaran BIPA model tutorial ini, kiranya dapat dipahami dari butir-butir paparan berikut ini.
Hal Esensial dalam Pembelajaran BIPA
Pembelajaran BIPA model tutorial pada dasarnya merupakan pembelajaran BIPA yang memiliki karakteristik tersendiri. Namun, bagaimanapun spesifikasinya perwujudan pembelajaran tersebut juga tidak dapat lepas dari hal-hal esensial yang selayaknya ada dalam pembelajaran BIPA pada umumnya. Hal esensial yang dimaksud antara lain menyangkut komponen, prinsip, dan kaidah mendasar pembelajaran BIPA. Karena itu, untuk kepentingan pembahasan pembelajaran BIPA model tutorial sangat diperlukan pemahaman yang cukup tentang hal esensial tersebut. Lebih lanjut, pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dan mendudukkan secara tepat perspektif model tutorial tersebut dari berbagai segi, terutama dari segi kelayakan penerapannya.
Pembelajaran BIPA dapat disikapi sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah komponen pendukung, yaitu komponen instruksional dan non-instruksional. Hubungan dan interaksi fungsional antarkomponen tersebut akan menciptakan proses belajar mengajar dan hasil belajar (Winkel, 1987; Richards dan Rodger, 1986). Dalam pembelajaran BIPA keberadaan dan peran pembelajar merupakan komponen yang menonjol. Dapat dikatakan, komponen pembelajar ini pulalah yang membedakan secara signifikan antara pembelajaran BIPA dengan pembelajaran bahasa Indonesia yang lain. Sosok pembelajar BIPA sebagai penutur asing bahasa Indonesia memiliki karakteristik tertentu, terutama tampak pada (1) ciri personal, (2) latar belakang asal, (3) bidang, (4) pengetahuan/kemampuan, (5) minat, (6) tujuan belajar, (7) strategi belajar, dan ( waktu belajar. Keberadaan dan kondisi pembelajar tersebut akan berimplikasi pada peranan serta hubungannya dengan komponen instruksional lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Lebih lanjut, karakteristik pembelajar juga menjadi bahan yang harus dipertimbangkan sebagai variabel yang berpengaruh dan ikut menentukan dalam pembelajaran BIPA (Stern 1987).
Pembelajaran BIPA memiliki target tertentu, yaitu membentuk pembelajar berkemampuan berbahasa secara wajar. Dalam pengertian yang lebih luas, kewajaran ini terkait dengan hal-hal lain, termasuk di dalamnya budaya yang senantiasa melekat dalam substansi bahasa (Rivers, 1981). Karena itu di samping persoalan karakteristik personal pembelajar, persoalan budaya juga ikut terlibat dalam penciptaan pembelajaran BIPA (Stern, 1987; Surajaya, 1996). Terlebih lagi, jika pembelajaran BIPA diselenggarakan di Indonesia, maka pertimbangan dari segi sosiokultural menjadi semakin penting. Dikatakan demikian, karena pertimbangan tersebut sekaligus akan menjadi wahana dan kebutuhan pembelajar dalam berkomunikasi secara langsung dan faktual.
Pembelajaran BIPA sebagai sebuah program, tentu memiliki pijakan yang jelas sebagaimana tampak pada prinsip dasar pembelajaran pada umumnya. Demikian pula, sebagai bentuk pembelajaran bahasa sudah semestinya juga mendasarkan pada kaidah konseptual pembelajaran bahasa asing yang menjadi landasan pendekatannya. Kaidah konseptual yang dimaksud terutama bersumber pada teori bahasa dan teori pembelajaran bahasa (Spolsky, 1980; Stern, 1987). Secara aspektual, spesifikasi pembelajaran BIPA antara lain tampak pada (1) tujuan pembelajaran, (2) sasaran pembelajaran, (3) tatanan materi, (4) pemilihan metode, (5) pemanfaatan sumber/media, (6) kegiatan pembelajaran, (7) evaluasi pembelajaran, dan ( problematik pembelajarannya. Mengingat perwujudan aspek-aspek pembelajaran tersebut merupakan hal yang cukup kompleks, maka diperlukan landasan konseptual pembelajaran BIPA yang jelas. Tanpa kejelasan acuan sangat dimungkinkan arah pembelajaran BIPA menjadi bias dan berpengaruh negatif pada produktivitasnya.
Gambaran tentang pembelajaran BIPA sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA merupakan perihal yang kompleks. Kekomplekannya tidak hanya tampak pada komponen instruksionalnya saja, melainkan juga pada keterkaitannya dengan faktor lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Untuk mewujudkan pembelajaran BIPA yang memadai tentunya perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut secara seksama dan menyeluruh. Ditinjau dari segi pola organisasi dan pengelolaan, pembelajaran BIPA hendaknya (1) mampu menumbuhkembangkan motivasi belajar, serta (2) mampu memberikan kemudahan bagi pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara wajar. Sasaran tersebut harus dipetakan dan diwujudkan dalam sebuah bentuk atau model pembelajaran BIPA yang spesifik dan jelas.
Dilihat dari segi kegiatannya pada dasarnya pembelajaran BIPA merupakan suatu proses pemolaan perilaku belajar yang mengarah pada pembangkitan dan pengkondisian motivasi pembelajar dalam berbahasa Indonesia. Hal esensial yang perlu mendapatkan prioritas dan perhatian khusus adalah bagaimana mengembangkan pembelajaran sedemikian rupa, sehingga dapat mengkondisikan dan memberikan kemudahan kepada pembelajar untuk mau dan mampu berbahasa Indonesia secara wajar (Richards dan Nunan, 1990).
Upaya tersebut memerlukan suatu sistem pengelolaan pembelajaran secara khusus, terutama dengan memperhatikan mekanisme belajar yang efektif, accommodative, kondusif, dan berorientasi pada kebutuhan/kepentingan pembelajar. Artinya, perencanaan dan proses pembelajaran hendaknya dikembangkan secara sistematis, seksama, serta dijangkaukan untuk menumbuhkembangkan motivasi dan kesadaran pembelajar pada target pembelajaran yang jelas. Di samping itu, bertitik tolak pada keberadaan bahasa sebagai subsistem perilaku, kiranya perlu pula dikembangkan pola pembelajaran yang dapat menciptakan mood belajar ke arah pembiasaan berbahasa Indonesia dalam bentuk pengalaman faktual. Dalam penguasaan bahasa asing, pengalaman faktual memiliki peranan amat penting, terutama dalam perwujudan input dan pencapaian output (Krashen, 1985; Baradja, 1990; Cook, 1994). Ilustrasi tentang pola pembelajaran BIPA tersebut dapat divisualisasikan sebagaimana pada gambar berikut ini.
Pada gambar tersebut tampak bagaimana keberadaan aspek-aspek pembelajaran BIPA berperan dan harus didudukkan secara fungsional dan proporsional dalam kebijakan penyelenggaraan BIPA. Aspek yang dimaksud tampak pada (1) latar belakang individu pembelajar, (2) motivasi pembelajar, (3) pengelolaan kelas (dalam dan luar) melalui elaborasi materi dan kolaborasi kegiatan, (4) lingkungan penggunaan bahasa di masyarakat, dan (5) pengalaman faktual (pajanan berbahasa dan problematiknya). Kesemuanya akan mengarah kepada sikap pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara wajar sebagai wujud output pembelajaran.
Ihwal Pembelajaran BIPA Model Tutorial
Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing memang bukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembelajaran BIPA, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun di negara lain. Namun, perlu disadari, bahwa secara objektif, pembelajaran BIPA di Indonesia berbeda dengan di negara lain, perbedaan ini terutama tampak pada aspek instrumental eksternal. Beberapa aspek instrumental eksternal yang dimaksud, antara lain adalah (1) banyaknya ragam bahasa Indonesia, (2) beragamnya penutur bahasa Indonesia, baik dilihat dari matra etnografis, geografis, maupun sosial, dan (3) kondisi bahasa Indonesia yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Subyakto, 1988; Alwasilah, 1996, Moeliono, 1998).
Dalam beberapa hal, kondisi bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dapat dianggap dan dimanfaatkan bagi kepentingan pengayaan wawasan pembelajar. Namun, jika kondisi tersebut tidak dipertimbangkan dan diantisipasi secara seksama, maka akan menjadi hambatan yang amat berarti bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Selaras dengan keterangan tersebut, pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia memiliki spesifikasi yang tampak pada aspek instrumental eksternal. Aspek inilah yang mewarnai iklim berbahasa masyarakat Indonesia, dan aspek ini juga perlu diperhitungkan sebagai variabel dalam pembelajaran BIPA. Pembelajar Asing yang sedang belajar bahasa Indonesia mau tidak mau harus menghadapi fakta lingkungan berbahasa yang demikian beragam. Kekhususannya yang terkait dengan ragam daerah (dialek), sosiolek, dan situasi tuturan seperti alih kode dan diglosia menjadi fakta yang tidak dapat dihindari dalam komunikasi faktual di masyarakat. Di samping itu, patut disadari, bahwa secara objektif pengalaman yang diterima dan atau diperoleh pembelajar di dalam kelas tidak seluruhnya dapat berkorespondensi secara langsung dengan fakta empiris bahasa yang terdapat di masyarakat. Bahkan, tidak jarang pembelajar asing menjumpai banyak fenomena penggunaan bahasa di masyarakat yang dirasakan berbeda dengan apa yang dipelajari di dalam kelas (Kartomihardjo, 1996). Fenomena ini pasti dijumpai oleh setiap pembelajar BIPA yang sering disikapi sebagai problematik tersendiri dalam pembelajaran BIPA.
Terhadap gambaran keadaan penggunaan bahasa Indonesia tersebut secara psikologis dapat mengakibatkan pembelajar asing menjadi bingung, frustrasi, bahkan merasa takut untuk menggunakan bahasa Indonesianya. Perasaan takut salah ini selanjutnya dapat memunculkan perasaan baru yang dapat mengganjal keseluruhan proses dan hasil pembelajaran BIPA, yaitu perasaan tidak akan bisa berbahasa Indonesia (Widodo. 1994). Mengingat keadaan lingkungan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana digambarkan, dan kondisi serta kualifikasi pembelajar asing, kiranya perlu dikembangkan bentuk atau model pembelajaran BIPA yang mampu mengakomodasikan variabel tersebut. Salah satu bentuk pembelajaran BIPA yang dimaksud adalah pembelajaran BIPA model tutorial.
Konsep Dasar
Gambaran tentang faktor-faktor signifikan yang terkait dengan kondisi pembelajar BIPA (baik kondisi internal maupun eksternal) di atas telah menyarankan adanya tuntutan khusus yang harus dipertimbangkan dalam mewujudkan pembelajaran BIPA. Dalam hal ini tuntutan kasus yang dimaksud dapat terwadahi dan terakomodasikan dalam pembelajaran BIPA model tutorial. Secara konseptual dapat dikatakan, bahwa pembelajaran BIPA model tutorial merupakan bentuk spesifik pembelajaran BIPA yang mengandalkan aktivitas tutorial dan peran tutor dalam proses belajar mengajarnya.
Sebagai sebuah model, karakteristik pembelajaran BIPA model tutorial tampak pada (1) pendekatan yang dijadikan acuan, dan (2) strategi pembelajaran yang digunakan sebagai pijakan. Sedangkan sebagai sebuah sistem pengelolaan, karakteristik pembelajaran BIPA model tutorial tampak pada bentuk pemberdayaan komponen pembelajaran yang terwujud dalam (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) evaluasi, dan (4) penanganan problematik pembelajarannya.
Pembelajaran BIPA model tutorial, di samping menekankan pada pemberdayaan komponen instruksional yang ada di dalam kelas secara optimal, juga dikembangkan kegiatan pembelajaran yang bersifat komplementer dan diproyeksikan untuk kepentingan aplikasi praktis berbahasa Indonesia secara faktual. Kegiatan yang dimaksud antara lain dalam bentuk pembelajaran kelas luar yang menekankan pada pemajanan berbahasa Indonesia secara alamiah dan aktual sesuai dengan budaya masyarakat. Di samping itu kondisi dan potensi pembelajar, termasuk problematik yang dialaminya tetap menjadi perhatian pengajar dan tutor selama pembelajaran berlangsung. Hal yang spesifik dalam pembelajaran BIPA model tutorial ini antara lain tampak pada pengelolaan kelas dan kegiatan belajar.
Kelas Pembelajaran
Kelas pembelajaran BIPA model tutorial dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelas dalam dan kelas luar. Kelas dalam yang dimaksud, identik dengan pengertian kelas pembelajaran sebagaimana lazimnya. Dalam pengertian ini kelas tersebut tentu berupa ruang yang di dalamnya terdapat pengajar, pembelajar, dan komponen pembelajaran lain, serta mekanisme belajar yang diatur dalam pengelelolaan kelas. Sedangkan kelas luar mengacu pada pengertian pengelolaan pembelajaran yang dilakukan di luar (di luar kelas dalam). Kegiatan kelas luar ini dalam pengertian khusus juga disebut kegiatan tutorial, meskipun kegiatan kelas luar tidak selalu berupa kegiatan tutorial.
Gambaran pembelajaran BIPA yang dilakukan di kelas dalam antara lain dapat dipahami melalui penjelasan pada hal-hal spesifik berikut.
(1) Kapasitas kelas terdiri atas 5 sampai 10 orang (pembelajar)
(2) Kelas yang kecil dimaksudkan untuk kepentingan intensitas perhatian, penggiliran latihan, dan penanganan kasus.
(3) Dengan kelas yang kecil diasumsikan akan lebih mudah bagi pengajar dalam mengelola kelas secara kondusif.
(4) Pembelajaran dilakukan secara terpadu, maksudnya sajian materi keterampilan berbahasa, kosakata, dan catatan budaya tidak dilakukan secara terpisah.
(5) Kompetensi berbahasa yang dibentuk melalui kelas dalam lebih diarahkan pada penguasaan dan pemantapan kaidah dasar.
(6) Bahasa pengantar yang digunakan dalam pembelajaran sedapat mungkin bahasa target. Bahasa ibu pembelajar hanya digunakan jika benar-benar diperlukan.
(7) Pengajar merupakan tim teaching yang selalu berkoordinasi dan berkolaborasi satu dengan yang lain, termasuk dengan tutor dan pembelajar.
Kegiatan Tutorial
Dalam pengertian khusus, tutorial merupakan kegiatan pembelajaran komplementer yang bersifat individual. Maksudnya, tutorial merupakan bagian integral dari pembelajaran BIPA yang dilaksanakan di luar kelas dan diproyeksikan sebagai ajang atau media penerapan dan pajanan kemampuan berbahasa Indonesia (Widodo, 1994). Kegiatan tutorial lebih bersifat bebas dan rekreaktif, tanpa mengabaikan peranan dan fungsi instruksional.
Secara teknis, tutorial dilaksanakan dengan cara mengarahkan aktivitas-praktis berbahasa Indonesia setiap pembelajar pada fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena situasional yang memungkinkan terjadinya proses dan interaksi berbahasa. Layanan kegiatan diupayakan secara individual; jadi, setiap pembelajar dipasangkan dengan seorang tutor pendamping.
Tujuan
Kegiatan tutorial ini memiliki tujuan antara lain:
(1) memberikan kemudahan bagi pembelajar untuk melakukan pemajanan bahasa Indonesia secara langsung, variatif, dan terbimbing,
(2) mengenal dan memahami berbagai varian model penutur dan ragam pakai bahasa Indonesia,
(3) meningkatkan keberanian, kemauan, kelancaran, dan ketepatan berbahasa Indonesia,
(4) mengidentifikasi kelemahan, dan ‘error’ bahasa pembelajar serta prediksi penyebabnya, dan
(5) mengembangkan variasi dan suasana belajar melalui pelatihan secara kreatif-rekreatif.
Kegiatan tutorial diefektifkan sejak minggu-minggu awal pembelajaran dan lebih difokuskan pada objek, fakta dan fenomena yang langsung berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan pembelajar, misalnya ke kantor pos, ke bank, ke pasar, bertamu, ke tempat-tempat 'kerumunan massa', industri rumah tangga, dan lain-lain.
Prinsip Dasar
Prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kegiatan tutorial, antara lain:
(1) kesesuaian isi materi dan topik pembelajaran dengan kegiatan pelatihan di kelas;
(2) ketepatan pemilihan dan penetapan tutor pendamping, terutama dalam visi, spesialisasi bidang dan minat, serta usia dan karakter;
(3) ketepatan pemilihan objek dan situasi kebahasaan;
(4) ketepatan penetapan bentuk dan ragam pemakaian bahasa Indonesia;
(5) kecukupan pelatihan selama kegiatan, baik dalam jumlah maupun intensitasnya; dan
(6) keberterimaan perilaku dan sikap tutor terhadap pembelajar
Persyaratan Tutor
Ditinjau dari karakteristik kegiatan tutorial, tutor memiliki peran dan fungsi yang sangat penting, antara lain:
(1) sebagai teman yang dapat menjadi orang terdekat dalam belajar;
(2) sebagai motivator dalam pembelajaran dan pelatihan;
(3) sebagai fasilitator pelatihan khususnya dan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya;
(4) sebagai acuan atau model dalam aktualisasi berbahasa Indonesia; dan
(5) sebagai pengendali proses, dan pengatur irama pembelajaran bahasa Indonesia.
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa tugas tutor memerlukan persyaratan khusus. Oleh karena itu, dalam pengembangan kegiatan tutorial, pemilihan tutor harus benar-benar dipertimbangkan secara seksama, terlebih dalam penentuan pasangan pembelajarnya. Beberapa hal ideal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tutor pendamping ini, antara lain:
(a) kepekaan dan kepedulian terhadap bahasa Indonesia, terutama dalam pemakaiannya;
(b) kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang 'mumpuni' dan seksama, baik kemampuan reseptif maupun produktif;
(c) kemampuan mengakomodasi karakteristik pembelajar dan pembelajaran;
(d) pemilikan pengetahuan dan wawasan dasar tentang pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing; dan
(e) pemilikan pemahaman dan wawasan yang luas tentang kebudayaan dan kehidupan berbangsa, bernegara, atau bermasyarakat.
Untuk memenuhi persyaratan dan kualifikasi tutorial tersebut dapat dilakukan dengan menyelenggarakan ‘training’.
Penetapan Objek
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa program tutorial merupakan kegiatan terencana yang dimaksudkan sebagai wahana pajanan bahasa Indonesia secara aktual. Oleh karena itu, objek-objek yang dirancang untuk ditetapkan harus dipilih secara masak-masak. Objek-objek tutorial harus diseleksi dan dipertimbangkan nilai fungsionalnya bagi kepentingan pemajanan. Hal-hal prinsip yang menjadi prioritas pertimbangan dalam penetapan objek ini adalah (1) memungkinkan terjadinya komunikasi dalam bahasa Indonesia, (2) memungkinkan adanya variasi interaksi dan pengembangannya, (3) memiliki keterkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan pembelajar, dan (4) memungkinkan pengenalan dan pengembangan wawasan pembelajar terhadap kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan
Setelah pasangan pembelajar-tutor ditentukan, objek-objek tutorial ditetapkan, dan sasaran latihan kebahasaan dipastikan; kegiatan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah pra-tutorial. Pratutorial adalah kegiatan persiapan yang dimaksudkan untuk mengkondisikan dan menyelaraskan isi dengan bentuk latihan dalam tutorial. Pada kegiatan ini pula dilakukan koordinasi dan kolaborasi pengajar dengan tutor.
Agar masing-masing tutor memiliki wawasan yang lebih jelas terhadap tugas yang harus dilakukan selama kegiatan, pratutorial ini dapat dilengkapi dengan simulasi. Selanjutnya, perekaman proses dan hasil kegiatan tutorial dituangkan dalam bentuk format khusus yaitu format tutorial.
Balikan
Sesuai dengan keberadaan dan kapasitasnya dalam keseluruhan program pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, bahwa program tutorial merupakan kegiatan komplementer bagi pembelajaran formal di kelas, maka hasil kegiatan tutorial yang sudah diinventarisasikan dalam format khusus tersebut ditelaah dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan masukan dan bahan balikan. Kegiatan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan balikan ini sangat beragam, bergantung pada bentuk dan jenis yang dilakukan oleh pembelajar, misalnya menceritakan kembali secara individu, model diskusi dan tanya jawab, simulasi, latihan membuat kalimat, menulis 'jurnal' dan buku harian.
Manfaat
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan tutorial, antara lain:
(1) pembelajar merasa lebih nyaman karena mereka mempunyai teman yang siap membantu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi;
(2) pembelajar dapat memperoleh berbagai pengalaman melalui sumber asli secara langsung;
(3) pembelajar dapat belajar secara fleksibel sambil berekreasi;
(4) masalah-masalah yang mengganggu kegiatan pembelajaran, baik masalah kebahasaan maupun non-kebahasaan dapat diketahui dan dicarikan alternatif pemecahannya dengan segera;
(5) meningkatkan percepatan penguasaan bahasa Indonesia melalui pajanan alamiah;
(6) pengelolaan pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, dan kepentingan pembelajar; dan
(7) memberikan kesan pembelajaran BIPA yang intensif karena proses belajar dilakukan secara interaktif dan melibatkan rasa bahasa dan budaya.
Penutup
Paparan di atas telah memberikan gambaran tentang bagaimana sosok dan perwujudan pembelajaran BIPA model tutorial. Sebagai penutup, dapatlah dikemukakan catatan berikut.
Pembelajaran BIPA model tutorial merupakan salah satu bentuk pembelajaran BIPA yang memiliki karakteristik tersendiri. Kekhususannya terutama tampak pada prinsip dasar dan implementasi pembelajarannya.
Untuk menerapkan pembelajaran BIPA model tutorial tentunya perlu memperhatikan persyaratan dan prosedur yang ada. Hal yang dimaksud terutama tentang tutor dan penciptaan mekanisme belajar secara tutorial.
Beberapa informasi dan fakta empiris pelaksanaan pembelajaran BIPA model tutorial (di program CIS – UM), telah memberikan gambaran tentang kelayakan penerapannya, termasuk manfaat yang dapat diperoleh dari model tersebut.
Bagaimanapun pembelajaran BIPA model tutorial merupakan fenomena yang terkait dengan perkembangan pembelajaran BIPA secara menyeluruh. Karena itu fenomena tersebut juga merupakan persoalan pembelajaran BIPA yang selayaknya perlu terus dikaji, terutama dimaksudkan bagi kepentingan pengembangan program BIPA selanjutnya.
Sumber Acuan
Alwasilah, Chaedar A. 1998. “Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta, 26-30 Oktober 1998.
Baradja, M.F. 1994. Why The Communicative Language Teaching? Makalah Seminar on Communicative Approach in Foreign Language Teaching in Indonesia. FPBS IKIP Malang, 14 November.
Brooks, J.G dan M.G. Brooks. 1999. In Search of Understanding, The Case of Constructivist Classrooms. Virginia USA: ASCD.
Chaudron, Craig. 1990. Second Language Classroom: Research on Teaching and Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Cook, Vivian. 1994. Linguistic and Second Language Acquisition. London: The Macmilan Press Ltd.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1993. “Peningkatan Peran Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: 28 Oktober – 2 November 1993.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1996. Masalah dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing di Indonesia: dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Jakarta: FS UI.
Kartomihardjo, Soeseno. 1996. Penyelenggaraan BIPA: Beberapa Hambatan dan Usaha Penanggulangannya. Kumpulan Makalah Kongres Internasional BIPA. Jakarta: Listakwarta Putra.
Krashen, S.D. dan Terrel. Tracey. D. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon Press.
Moeliono, Anton M. 1998. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta. 26-30 Oktober 1998.
Nunan, David. 1993. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Sneddon, James. 1994. “Pengajaran Bahasa Indonesia dengan Metode Imersi di Park Ridge Brisbane Australia”. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Subyakto N, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: PT PPLPTK.
Sudjana, Nana. 1989. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.
Richards, Jack C. dan Rodgers, Theodore S. 1986. Approach and Methods in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Widodo Hs. 1994. “Meningkatkan Motivasi dan Pajanan Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing”. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW.
Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
Widodo Hs.
CIS BIPA UM Malang
Agustus 2001
Widodo Hs.
CIS – BIPA UM
Pendahuluan
Dari berbagai permasalahan tentang program BIPA, perihal instruksional (pembelajaran) merupakan isu yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan tersendiri. Pentingnya isu pembelajaran ini tidak hanya karena cukup dominannya dibahas pada berbagai forum pertemuan BIPA, melainkan persoalan pembelajaran memang memiliki peran cukup esensial dan strategis dalam program BIPA. Peranan pembelajaran terutama terkait dengan upaya penciptaan dan pengkondisian belajar BIPA. Dalam program BIPA, pengkondisian belajar berhubungan secara langsung dengan proses belajar mengajar yang dapat diamati mekanisme serta hasilnya (Long, 1987; Rodgers, 1990; Baradja, 1991). Bahkan, secara empiris dinyatakan, bahwa problematik yang sering muncul dalam penyelenggaraan program BIPA banyak bersumber pada persoalan pembelajaran (Kartomihardjo, 1996).
Sebagaimana diketahui, bahwa penyelenggaran program BIPA di satu lembaga berbeda dengan penyelenggaraan di lembaga lain. Perbedaan ini dari satu segi memang menggambarkan hal yang positif, terutama bagi kepentingan pengembangan program BIPA. Namun, dari segi instruksional, tampaknya perbedaan tersebut menjadi persoalan spesifik tersendiri. Perbedaan tersebut secara jelas memberikan gambaran, bahwa program BIPA masih belum memiliki pola acuan dan parameter yang jelas untuk kepentingan penentuan kualifikasi keterukuran sebuah pembelajaran BIPA. Padahal, sebagai sebuah sistem, pembelajaran BIPA selayaknya memiliki pola acuan dan karakteristik spesifik yang menandai entitas sebuah pembelajaran BIPA. Dari entitas inilah dapat dibedakan secara jelas antara pembelajaran BIPA dengan bentuk pembelajaran yang lain.
Bagi sebuah penyelenggaraan program BIPA, pola acuan yang berupa prinsip dasar pembelajaran BIPA sebagaimana yang dimaksud memang bukanlah sesuatu yang harus baku adanya. Namun, jika akan mewujudkan bentuk pembelajaran BIPA sesuai dengan prosedur yang benar, tentunya pola acuan pembelajaran tersebut menjadi persyaratan urgen dan semestinya dipenuhi (Stern, 1987). Apa pun yang direncanakan dan dilaksanakan dalam pembelajaran BIPA tidak dapat terlepas dari rambu-rambu yang menjadi dasar acuannya. Peranan dan fungsi pola acuan pembelajaran BIPA tidak hanya sebagai penanda program, melainkan juga untuk kepentingan landasan pengembangan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa model pembelajaran BIPA merupakan perwujudan dari prinsip dasar pembelajaran yang dipilih dan dijadikan sebagai acuannya. Dalam kaitannya dengan model pembelajaran in, adanya sejumlah faktor yang melatarbelakangi penyelenggaraan pembelajaran BIPA juga memberikan kemungkinan berbedanya model pembelajaran BIPA yang ada di lembaga yang satu dengan yang lain.
Sesuai dengan judulnya, permasalahan pokok yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang model pembelajaran BIPA, yaitu model tutorial. Sebagai salah satu model pembelajaran BIPA, model ini telah diterapkan di program BIPA, Center for Indonesian Studies, Universitas Negeri Malang sejak tahun 1990. Karena itu deskripsi bahasan dalam tulisan ini antara lain juga bersumber dari informasi dan fakta empiris pelaksanaan pembelajaran BIPA tersebut. Selanjutnya, bagaimana sosok dan seluk-beluk pembelajaran BIPA model tutorial ini, kiranya dapat dipahami dari butir-butir paparan berikut ini.
Hal Esensial dalam Pembelajaran BIPA
Pembelajaran BIPA model tutorial pada dasarnya merupakan pembelajaran BIPA yang memiliki karakteristik tersendiri. Namun, bagaimanapun spesifikasinya perwujudan pembelajaran tersebut juga tidak dapat lepas dari hal-hal esensial yang selayaknya ada dalam pembelajaran BIPA pada umumnya. Hal esensial yang dimaksud antara lain menyangkut komponen, prinsip, dan kaidah mendasar pembelajaran BIPA. Karena itu, untuk kepentingan pembahasan pembelajaran BIPA model tutorial sangat diperlukan pemahaman yang cukup tentang hal esensial tersebut. Lebih lanjut, pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dan mendudukkan secara tepat perspektif model tutorial tersebut dari berbagai segi, terutama dari segi kelayakan penerapannya.
Pembelajaran BIPA dapat disikapi sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah komponen pendukung, yaitu komponen instruksional dan non-instruksional. Hubungan dan interaksi fungsional antarkomponen tersebut akan menciptakan proses belajar mengajar dan hasil belajar (Winkel, 1987; Richards dan Rodger, 1986). Dalam pembelajaran BIPA keberadaan dan peran pembelajar merupakan komponen yang menonjol. Dapat dikatakan, komponen pembelajar ini pulalah yang membedakan secara signifikan antara pembelajaran BIPA dengan pembelajaran bahasa Indonesia yang lain. Sosok pembelajar BIPA sebagai penutur asing bahasa Indonesia memiliki karakteristik tertentu, terutama tampak pada (1) ciri personal, (2) latar belakang asal, (3) bidang, (4) pengetahuan/kemampuan, (5) minat, (6) tujuan belajar, (7) strategi belajar, dan ( waktu belajar. Keberadaan dan kondisi pembelajar tersebut akan berimplikasi pada peranan serta hubungannya dengan komponen instruksional lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Lebih lanjut, karakteristik pembelajar juga menjadi bahan yang harus dipertimbangkan sebagai variabel yang berpengaruh dan ikut menentukan dalam pembelajaran BIPA (Stern 1987).
Pembelajaran BIPA memiliki target tertentu, yaitu membentuk pembelajar berkemampuan berbahasa secara wajar. Dalam pengertian yang lebih luas, kewajaran ini terkait dengan hal-hal lain, termasuk di dalamnya budaya yang senantiasa melekat dalam substansi bahasa (Rivers, 1981). Karena itu di samping persoalan karakteristik personal pembelajar, persoalan budaya juga ikut terlibat dalam penciptaan pembelajaran BIPA (Stern, 1987; Surajaya, 1996). Terlebih lagi, jika pembelajaran BIPA diselenggarakan di Indonesia, maka pertimbangan dari segi sosiokultural menjadi semakin penting. Dikatakan demikian, karena pertimbangan tersebut sekaligus akan menjadi wahana dan kebutuhan pembelajar dalam berkomunikasi secara langsung dan faktual.
Pembelajaran BIPA sebagai sebuah program, tentu memiliki pijakan yang jelas sebagaimana tampak pada prinsip dasar pembelajaran pada umumnya. Demikian pula, sebagai bentuk pembelajaran bahasa sudah semestinya juga mendasarkan pada kaidah konseptual pembelajaran bahasa asing yang menjadi landasan pendekatannya. Kaidah konseptual yang dimaksud terutama bersumber pada teori bahasa dan teori pembelajaran bahasa (Spolsky, 1980; Stern, 1987). Secara aspektual, spesifikasi pembelajaran BIPA antara lain tampak pada (1) tujuan pembelajaran, (2) sasaran pembelajaran, (3) tatanan materi, (4) pemilihan metode, (5) pemanfaatan sumber/media, (6) kegiatan pembelajaran, (7) evaluasi pembelajaran, dan ( problematik pembelajarannya. Mengingat perwujudan aspek-aspek pembelajaran tersebut merupakan hal yang cukup kompleks, maka diperlukan landasan konseptual pembelajaran BIPA yang jelas. Tanpa kejelasan acuan sangat dimungkinkan arah pembelajaran BIPA menjadi bias dan berpengaruh negatif pada produktivitasnya.
Gambaran tentang pembelajaran BIPA sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA merupakan perihal yang kompleks. Kekomplekannya tidak hanya tampak pada komponen instruksionalnya saja, melainkan juga pada keterkaitannya dengan faktor lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Untuk mewujudkan pembelajaran BIPA yang memadai tentunya perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut secara seksama dan menyeluruh. Ditinjau dari segi pola organisasi dan pengelolaan, pembelajaran BIPA hendaknya (1) mampu menumbuhkembangkan motivasi belajar, serta (2) mampu memberikan kemudahan bagi pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara wajar. Sasaran tersebut harus dipetakan dan diwujudkan dalam sebuah bentuk atau model pembelajaran BIPA yang spesifik dan jelas.
Dilihat dari segi kegiatannya pada dasarnya pembelajaran BIPA merupakan suatu proses pemolaan perilaku belajar yang mengarah pada pembangkitan dan pengkondisian motivasi pembelajar dalam berbahasa Indonesia. Hal esensial yang perlu mendapatkan prioritas dan perhatian khusus adalah bagaimana mengembangkan pembelajaran sedemikian rupa, sehingga dapat mengkondisikan dan memberikan kemudahan kepada pembelajar untuk mau dan mampu berbahasa Indonesia secara wajar (Richards dan Nunan, 1990).
Upaya tersebut memerlukan suatu sistem pengelolaan pembelajaran secara khusus, terutama dengan memperhatikan mekanisme belajar yang efektif, accommodative, kondusif, dan berorientasi pada kebutuhan/kepentingan pembelajar. Artinya, perencanaan dan proses pembelajaran hendaknya dikembangkan secara sistematis, seksama, serta dijangkaukan untuk menumbuhkembangkan motivasi dan kesadaran pembelajar pada target pembelajaran yang jelas. Di samping itu, bertitik tolak pada keberadaan bahasa sebagai subsistem perilaku, kiranya perlu pula dikembangkan pola pembelajaran yang dapat menciptakan mood belajar ke arah pembiasaan berbahasa Indonesia dalam bentuk pengalaman faktual. Dalam penguasaan bahasa asing, pengalaman faktual memiliki peranan amat penting, terutama dalam perwujudan input dan pencapaian output (Krashen, 1985; Baradja, 1990; Cook, 1994). Ilustrasi tentang pola pembelajaran BIPA tersebut dapat divisualisasikan sebagaimana pada gambar berikut ini.
Pada gambar tersebut tampak bagaimana keberadaan aspek-aspek pembelajaran BIPA berperan dan harus didudukkan secara fungsional dan proporsional dalam kebijakan penyelenggaraan BIPA. Aspek yang dimaksud tampak pada (1) latar belakang individu pembelajar, (2) motivasi pembelajar, (3) pengelolaan kelas (dalam dan luar) melalui elaborasi materi dan kolaborasi kegiatan, (4) lingkungan penggunaan bahasa di masyarakat, dan (5) pengalaman faktual (pajanan berbahasa dan problematiknya). Kesemuanya akan mengarah kepada sikap pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara wajar sebagai wujud output pembelajaran.
Ihwal Pembelajaran BIPA Model Tutorial
Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing memang bukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembelajaran BIPA, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun di negara lain. Namun, perlu disadari, bahwa secara objektif, pembelajaran BIPA di Indonesia berbeda dengan di negara lain, perbedaan ini terutama tampak pada aspek instrumental eksternal. Beberapa aspek instrumental eksternal yang dimaksud, antara lain adalah (1) banyaknya ragam bahasa Indonesia, (2) beragamnya penutur bahasa Indonesia, baik dilihat dari matra etnografis, geografis, maupun sosial, dan (3) kondisi bahasa Indonesia yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Subyakto, 1988; Alwasilah, 1996, Moeliono, 1998).
Dalam beberapa hal, kondisi bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dapat dianggap dan dimanfaatkan bagi kepentingan pengayaan wawasan pembelajar. Namun, jika kondisi tersebut tidak dipertimbangkan dan diantisipasi secara seksama, maka akan menjadi hambatan yang amat berarti bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Selaras dengan keterangan tersebut, pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia memiliki spesifikasi yang tampak pada aspek instrumental eksternal. Aspek inilah yang mewarnai iklim berbahasa masyarakat Indonesia, dan aspek ini juga perlu diperhitungkan sebagai variabel dalam pembelajaran BIPA. Pembelajar Asing yang sedang belajar bahasa Indonesia mau tidak mau harus menghadapi fakta lingkungan berbahasa yang demikian beragam. Kekhususannya yang terkait dengan ragam daerah (dialek), sosiolek, dan situasi tuturan seperti alih kode dan diglosia menjadi fakta yang tidak dapat dihindari dalam komunikasi faktual di masyarakat. Di samping itu, patut disadari, bahwa secara objektif pengalaman yang diterima dan atau diperoleh pembelajar di dalam kelas tidak seluruhnya dapat berkorespondensi secara langsung dengan fakta empiris bahasa yang terdapat di masyarakat. Bahkan, tidak jarang pembelajar asing menjumpai banyak fenomena penggunaan bahasa di masyarakat yang dirasakan berbeda dengan apa yang dipelajari di dalam kelas (Kartomihardjo, 1996). Fenomena ini pasti dijumpai oleh setiap pembelajar BIPA yang sering disikapi sebagai problematik tersendiri dalam pembelajaran BIPA.
Terhadap gambaran keadaan penggunaan bahasa Indonesia tersebut secara psikologis dapat mengakibatkan pembelajar asing menjadi bingung, frustrasi, bahkan merasa takut untuk menggunakan bahasa Indonesianya. Perasaan takut salah ini selanjutnya dapat memunculkan perasaan baru yang dapat mengganjal keseluruhan proses dan hasil pembelajaran BIPA, yaitu perasaan tidak akan bisa berbahasa Indonesia (Widodo. 1994). Mengingat keadaan lingkungan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana digambarkan, dan kondisi serta kualifikasi pembelajar asing, kiranya perlu dikembangkan bentuk atau model pembelajaran BIPA yang mampu mengakomodasikan variabel tersebut. Salah satu bentuk pembelajaran BIPA yang dimaksud adalah pembelajaran BIPA model tutorial.
Konsep Dasar
Gambaran tentang faktor-faktor signifikan yang terkait dengan kondisi pembelajar BIPA (baik kondisi internal maupun eksternal) di atas telah menyarankan adanya tuntutan khusus yang harus dipertimbangkan dalam mewujudkan pembelajaran BIPA. Dalam hal ini tuntutan kasus yang dimaksud dapat terwadahi dan terakomodasikan dalam pembelajaran BIPA model tutorial. Secara konseptual dapat dikatakan, bahwa pembelajaran BIPA model tutorial merupakan bentuk spesifik pembelajaran BIPA yang mengandalkan aktivitas tutorial dan peran tutor dalam proses belajar mengajarnya.
Sebagai sebuah model, karakteristik pembelajaran BIPA model tutorial tampak pada (1) pendekatan yang dijadikan acuan, dan (2) strategi pembelajaran yang digunakan sebagai pijakan. Sedangkan sebagai sebuah sistem pengelolaan, karakteristik pembelajaran BIPA model tutorial tampak pada bentuk pemberdayaan komponen pembelajaran yang terwujud dalam (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) evaluasi, dan (4) penanganan problematik pembelajarannya.
Pembelajaran BIPA model tutorial, di samping menekankan pada pemberdayaan komponen instruksional yang ada di dalam kelas secara optimal, juga dikembangkan kegiatan pembelajaran yang bersifat komplementer dan diproyeksikan untuk kepentingan aplikasi praktis berbahasa Indonesia secara faktual. Kegiatan yang dimaksud antara lain dalam bentuk pembelajaran kelas luar yang menekankan pada pemajanan berbahasa Indonesia secara alamiah dan aktual sesuai dengan budaya masyarakat. Di samping itu kondisi dan potensi pembelajar, termasuk problematik yang dialaminya tetap menjadi perhatian pengajar dan tutor selama pembelajaran berlangsung. Hal yang spesifik dalam pembelajaran BIPA model tutorial ini antara lain tampak pada pengelolaan kelas dan kegiatan belajar.
Kelas Pembelajaran
Kelas pembelajaran BIPA model tutorial dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelas dalam dan kelas luar. Kelas dalam yang dimaksud, identik dengan pengertian kelas pembelajaran sebagaimana lazimnya. Dalam pengertian ini kelas tersebut tentu berupa ruang yang di dalamnya terdapat pengajar, pembelajar, dan komponen pembelajaran lain, serta mekanisme belajar yang diatur dalam pengelelolaan kelas. Sedangkan kelas luar mengacu pada pengertian pengelolaan pembelajaran yang dilakukan di luar (di luar kelas dalam). Kegiatan kelas luar ini dalam pengertian khusus juga disebut kegiatan tutorial, meskipun kegiatan kelas luar tidak selalu berupa kegiatan tutorial.
Gambaran pembelajaran BIPA yang dilakukan di kelas dalam antara lain dapat dipahami melalui penjelasan pada hal-hal spesifik berikut.
(1) Kapasitas kelas terdiri atas 5 sampai 10 orang (pembelajar)
(2) Kelas yang kecil dimaksudkan untuk kepentingan intensitas perhatian, penggiliran latihan, dan penanganan kasus.
(3) Dengan kelas yang kecil diasumsikan akan lebih mudah bagi pengajar dalam mengelola kelas secara kondusif.
(4) Pembelajaran dilakukan secara terpadu, maksudnya sajian materi keterampilan berbahasa, kosakata, dan catatan budaya tidak dilakukan secara terpisah.
(5) Kompetensi berbahasa yang dibentuk melalui kelas dalam lebih diarahkan pada penguasaan dan pemantapan kaidah dasar.
(6) Bahasa pengantar yang digunakan dalam pembelajaran sedapat mungkin bahasa target. Bahasa ibu pembelajar hanya digunakan jika benar-benar diperlukan.
(7) Pengajar merupakan tim teaching yang selalu berkoordinasi dan berkolaborasi satu dengan yang lain, termasuk dengan tutor dan pembelajar.
Kegiatan Tutorial
Dalam pengertian khusus, tutorial merupakan kegiatan pembelajaran komplementer yang bersifat individual. Maksudnya, tutorial merupakan bagian integral dari pembelajaran BIPA yang dilaksanakan di luar kelas dan diproyeksikan sebagai ajang atau media penerapan dan pajanan kemampuan berbahasa Indonesia (Widodo, 1994). Kegiatan tutorial lebih bersifat bebas dan rekreaktif, tanpa mengabaikan peranan dan fungsi instruksional.
Secara teknis, tutorial dilaksanakan dengan cara mengarahkan aktivitas-praktis berbahasa Indonesia setiap pembelajar pada fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena situasional yang memungkinkan terjadinya proses dan interaksi berbahasa. Layanan kegiatan diupayakan secara individual; jadi, setiap pembelajar dipasangkan dengan seorang tutor pendamping.
Tujuan
Kegiatan tutorial ini memiliki tujuan antara lain:
(1) memberikan kemudahan bagi pembelajar untuk melakukan pemajanan bahasa Indonesia secara langsung, variatif, dan terbimbing,
(2) mengenal dan memahami berbagai varian model penutur dan ragam pakai bahasa Indonesia,
(3) meningkatkan keberanian, kemauan, kelancaran, dan ketepatan berbahasa Indonesia,
(4) mengidentifikasi kelemahan, dan ‘error’ bahasa pembelajar serta prediksi penyebabnya, dan
(5) mengembangkan variasi dan suasana belajar melalui pelatihan secara kreatif-rekreatif.
Kegiatan tutorial diefektifkan sejak minggu-minggu awal pembelajaran dan lebih difokuskan pada objek, fakta dan fenomena yang langsung berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan pembelajar, misalnya ke kantor pos, ke bank, ke pasar, bertamu, ke tempat-tempat 'kerumunan massa', industri rumah tangga, dan lain-lain.
Prinsip Dasar
Prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kegiatan tutorial, antara lain:
(1) kesesuaian isi materi dan topik pembelajaran dengan kegiatan pelatihan di kelas;
(2) ketepatan pemilihan dan penetapan tutor pendamping, terutama dalam visi, spesialisasi bidang dan minat, serta usia dan karakter;
(3) ketepatan pemilihan objek dan situasi kebahasaan;
(4) ketepatan penetapan bentuk dan ragam pemakaian bahasa Indonesia;
(5) kecukupan pelatihan selama kegiatan, baik dalam jumlah maupun intensitasnya; dan
(6) keberterimaan perilaku dan sikap tutor terhadap pembelajar
Persyaratan Tutor
Ditinjau dari karakteristik kegiatan tutorial, tutor memiliki peran dan fungsi yang sangat penting, antara lain:
(1) sebagai teman yang dapat menjadi orang terdekat dalam belajar;
(2) sebagai motivator dalam pembelajaran dan pelatihan;
(3) sebagai fasilitator pelatihan khususnya dan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya;
(4) sebagai acuan atau model dalam aktualisasi berbahasa Indonesia; dan
(5) sebagai pengendali proses, dan pengatur irama pembelajaran bahasa Indonesia.
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa tugas tutor memerlukan persyaratan khusus. Oleh karena itu, dalam pengembangan kegiatan tutorial, pemilihan tutor harus benar-benar dipertimbangkan secara seksama, terlebih dalam penentuan pasangan pembelajarnya. Beberapa hal ideal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tutor pendamping ini, antara lain:
(a) kepekaan dan kepedulian terhadap bahasa Indonesia, terutama dalam pemakaiannya;
(b) kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang 'mumpuni' dan seksama, baik kemampuan reseptif maupun produktif;
(c) kemampuan mengakomodasi karakteristik pembelajar dan pembelajaran;
(d) pemilikan pengetahuan dan wawasan dasar tentang pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing; dan
(e) pemilikan pemahaman dan wawasan yang luas tentang kebudayaan dan kehidupan berbangsa, bernegara, atau bermasyarakat.
Untuk memenuhi persyaratan dan kualifikasi tutorial tersebut dapat dilakukan dengan menyelenggarakan ‘training’.
Penetapan Objek
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa program tutorial merupakan kegiatan terencana yang dimaksudkan sebagai wahana pajanan bahasa Indonesia secara aktual. Oleh karena itu, objek-objek yang dirancang untuk ditetapkan harus dipilih secara masak-masak. Objek-objek tutorial harus diseleksi dan dipertimbangkan nilai fungsionalnya bagi kepentingan pemajanan. Hal-hal prinsip yang menjadi prioritas pertimbangan dalam penetapan objek ini adalah (1) memungkinkan terjadinya komunikasi dalam bahasa Indonesia, (2) memungkinkan adanya variasi interaksi dan pengembangannya, (3) memiliki keterkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan pembelajar, dan (4) memungkinkan pengenalan dan pengembangan wawasan pembelajar terhadap kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan
Setelah pasangan pembelajar-tutor ditentukan, objek-objek tutorial ditetapkan, dan sasaran latihan kebahasaan dipastikan; kegiatan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah pra-tutorial. Pratutorial adalah kegiatan persiapan yang dimaksudkan untuk mengkondisikan dan menyelaraskan isi dengan bentuk latihan dalam tutorial. Pada kegiatan ini pula dilakukan koordinasi dan kolaborasi pengajar dengan tutor.
Agar masing-masing tutor memiliki wawasan yang lebih jelas terhadap tugas yang harus dilakukan selama kegiatan, pratutorial ini dapat dilengkapi dengan simulasi. Selanjutnya, perekaman proses dan hasil kegiatan tutorial dituangkan dalam bentuk format khusus yaitu format tutorial.
Balikan
Sesuai dengan keberadaan dan kapasitasnya dalam keseluruhan program pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, bahwa program tutorial merupakan kegiatan komplementer bagi pembelajaran formal di kelas, maka hasil kegiatan tutorial yang sudah diinventarisasikan dalam format khusus tersebut ditelaah dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan masukan dan bahan balikan. Kegiatan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan balikan ini sangat beragam, bergantung pada bentuk dan jenis yang dilakukan oleh pembelajar, misalnya menceritakan kembali secara individu, model diskusi dan tanya jawab, simulasi, latihan membuat kalimat, menulis 'jurnal' dan buku harian.
Manfaat
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan tutorial, antara lain:
(1) pembelajar merasa lebih nyaman karena mereka mempunyai teman yang siap membantu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi;
(2) pembelajar dapat memperoleh berbagai pengalaman melalui sumber asli secara langsung;
(3) pembelajar dapat belajar secara fleksibel sambil berekreasi;
(4) masalah-masalah yang mengganggu kegiatan pembelajaran, baik masalah kebahasaan maupun non-kebahasaan dapat diketahui dan dicarikan alternatif pemecahannya dengan segera;
(5) meningkatkan percepatan penguasaan bahasa Indonesia melalui pajanan alamiah;
(6) pengelolaan pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, dan kepentingan pembelajar; dan
(7) memberikan kesan pembelajaran BIPA yang intensif karena proses belajar dilakukan secara interaktif dan melibatkan rasa bahasa dan budaya.
Penutup
Paparan di atas telah memberikan gambaran tentang bagaimana sosok dan perwujudan pembelajaran BIPA model tutorial. Sebagai penutup, dapatlah dikemukakan catatan berikut.
Pembelajaran BIPA model tutorial merupakan salah satu bentuk pembelajaran BIPA yang memiliki karakteristik tersendiri. Kekhususannya terutama tampak pada prinsip dasar dan implementasi pembelajarannya.
Untuk menerapkan pembelajaran BIPA model tutorial tentunya perlu memperhatikan persyaratan dan prosedur yang ada. Hal yang dimaksud terutama tentang tutor dan penciptaan mekanisme belajar secara tutorial.
Beberapa informasi dan fakta empiris pelaksanaan pembelajaran BIPA model tutorial (di program CIS – UM), telah memberikan gambaran tentang kelayakan penerapannya, termasuk manfaat yang dapat diperoleh dari model tersebut.
Bagaimanapun pembelajaran BIPA model tutorial merupakan fenomena yang terkait dengan perkembangan pembelajaran BIPA secara menyeluruh. Karena itu fenomena tersebut juga merupakan persoalan pembelajaran BIPA yang selayaknya perlu terus dikaji, terutama dimaksudkan bagi kepentingan pengembangan program BIPA selanjutnya.
Sumber Acuan
Alwasilah, Chaedar A. 1998. “Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta, 26-30 Oktober 1998.
Baradja, M.F. 1994. Why The Communicative Language Teaching? Makalah Seminar on Communicative Approach in Foreign Language Teaching in Indonesia. FPBS IKIP Malang, 14 November.
Brooks, J.G dan M.G. Brooks. 1999. In Search of Understanding, The Case of Constructivist Classrooms. Virginia USA: ASCD.
Chaudron, Craig. 1990. Second Language Classroom: Research on Teaching and Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Cook, Vivian. 1994. Linguistic and Second Language Acquisition. London: The Macmilan Press Ltd.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1993. “Peningkatan Peran Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: 28 Oktober – 2 November 1993.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1996. Masalah dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing di Indonesia: dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Jakarta: FS UI.
Kartomihardjo, Soeseno. 1996. Penyelenggaraan BIPA: Beberapa Hambatan dan Usaha Penanggulangannya. Kumpulan Makalah Kongres Internasional BIPA. Jakarta: Listakwarta Putra.
Krashen, S.D. dan Terrel. Tracey. D. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon Press.
Moeliono, Anton M. 1998. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta. 26-30 Oktober 1998.
Nunan, David. 1993. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Sneddon, James. 1994. “Pengajaran Bahasa Indonesia dengan Metode Imersi di Park Ridge Brisbane Australia”. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Subyakto N, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: PT PPLPTK.
Sudjana, Nana. 1989. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.
Richards, Jack C. dan Rodgers, Theodore S. 1986. Approach and Methods in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Widodo Hs. 1994. “Meningkatkan Motivasi dan Pajanan Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing”. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW.
Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
Widodo Hs.
CIS BIPA UM Malang
Agustus 2001
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as