Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    pelajaran revolusi yang gagal

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    pelajaran revolusi yang gagal Empty pelajaran revolusi yang gagal

    Post by admin Mon May 17, 2010 2:16 pm

    Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang gagal)
    1968



    Oleh Doug Lorimer









    Revolusi Prancis di tahun 1968 dimulai pada bulan Desember
    1967 dengan pemogokan delapan sekolah tinggi/lanjutan (setingkat SLTA) untuk
    mendukung sebuah demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang memotong
    anggaran jaminan sosial. Aksi tersebut diiukuti oleh sekolah-sekolah lainnya di
    bulan Januari 1968, mereka (para demonstran), di aksi lanjutan ini, melakukan
    protes atas dikeluarkannya para aktivis dari sekolah.



    Para siswa yang dikeluarkan adalah anggota dari The
    Jeunesses Communistes Revolutionnaires (JCR), sebuah organisasi pemuda sosialis
    revolusioner yang bergabung dengan Internasionale ke Empat.



    JCR, yang mengadakan konferensi yang di hadiri 120 aktivis
    kampus dan sekolahan di bulan April 1966, adalah sebuah kekuatan politik
    sentral dalam radikalisasi di kalangan mahasiswa dan pelajar (selanjutnya
    disebut studen) Prancis.



    Radikalisasi ini dipenuhi dengan membesarnya perasaan tidak
    puas atas sistem pendidikan yang ada.



    Dalam tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ada perkembangan
    yang cukup mencolok dari mahasiswa yang ada di Universitas-universitas di
    Prancis: dari 123.000 di tahun 1946 menjadi 514.000 ditahun 1968. Dalam buku Revolusi Prancis 1968 yang
    diterbitkan di tahun yang sama, jurnalis koran
    London Observer Patrick Seale dan Maureen McConville menjelaskan
    konsekuensi dari hal tersebut:



    “Jumlah tekanan yang besar (the
    sheer persure of number) menghapuskan segalanya. Dibawah beban,
    universitas-universitas, dan terutama sekali Sorbonne, mengubah karakter mereka
    dari klub kecil yang elitis menjadi inefisien, pabrik yang jorok dari
    pendidikan, dimana semuanya dikorbankan untuk problem kecil yang melibatkan
    semua orang…”


    Ketika kondisi ini menjadi basis untuk pembesaran dari
    ketidakpuasan, ada sikap oposisi terhadap perang yang dilakukan imperialis
    untuk melawan revolusi Vietnam, yang mana hal tersebut merubah
    ketidakpuasan-ketidakpuasan menjadi sebuah radikalisasi yang massif melawan
    masyarakat borjuis sebagai kesatuan.



    Seale dan McConville memberikan penjelasan yang sangat
    gamblang atas peranan Gerakan Anti Perang Vietnam dalam perkembangan aktivitas
    politik para studen. Mereka menulis:



    “Salah satu dari pemandangan yang mengejutkan dari Revolusi
    Mei adalah ketika para studen meneriakkan slogan: KEKUASAAN ADA DI JALANAN
    BUKAN DI PARLEMEN! Ini adalah sebuah fenomena yang membuat pemerintahan barat
    menggigil: ini semua adalah sebuah penolakan atas institusi-institusi politik
    yang sangat elitis dan nilai-nilai yang di tanamkan oleh orang tua mereka…”


    “Dari bulan Desember 1966, serombongan Comites Vietnam
    lyceens (CVLs) – Komite Sekolah untuk Vietnam--dibentuk di Prancis. Mereka
    adalah bagian kecil dari kelompok (yang) berselisih dengan organisasi
    sekolahan Partai Komunis Prancis
    (CPF)…karena mereka berpendapat kebijakan CPF atas Vietnam sangat jinak atau
    moderat sekali…”


    Partai Komunis (selanjutnya kita sebut CP), seperti Partai
    Stalinis lainnya di dunia, berpihak pada sikap “perdamaian”yang abstrak atau
    negosiasi, dari pada menyuruh para
    imperialis untuk minggat dan membiarkan penduduk Vietnam untutk menentukan
    nasibnya sendiri.



    Seale and McConville menuliskan bahwa CVLs telah diinisiasi
    dan di gabungkan kedalam Committee Vietnam National (CVN):



    Pada musim gugur tahun 1966, JCR dan sekutu-sekutunya,
    seperti beberapa “Castrois”, the Parti Socialiste Unifie (PSU), dan sebuah
    kelompok sayap kiri yang melepaskan diri dari grup sosialis, membentuk sebuah
    organisasi front Vietnam yang bertujuan untuk mendapatkan opini publik yang
    lebih besar. Organisasi tersebut bernama Committee Vietnam National
    (CVN)…beberapa (a litter) komite CVN tumbuh di sekolah dan, meskipun beroposisi
    dengan kepala sekolah, mereka mampu membuktikan kesuksesan-nya dalam
    pemobilisasian massa. Karena hal tersebutlah kubu politik sayap kiri memutuskan
    untuk memobilisasi mereka dalam setiap aksi-aksi politik.



    Dari komite-komite sekolah untuk Vietnam itulah CALs
    (semacam serikat pelajar radikal)
    terbentuk. “CVLs”, dijelaskan oleh Seale dan Mconville, ”menyediakan
    infrastruktur bagi pembangunan CALs, dari protest mengenai Vietnam menjadi
    aksi-aksi terhadap persoalan-persoalan yang ada di Prancis secara
    spesifik”.



    Berikut penjelasan dari proses ini:


    “Serikat Buruh Prancis, UNEF (serikat mahasiswa nasional) dan serikat pelajar
    mengadakan aksi mogok pada 13 Desember 1967. Aksi ini dilakukan untuk memprotes
    kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan sosial. Yang mengejutkan
    dalam aksi ini adalah bergabungnya hampir separo penduduk kota Paris…Di bulan
    Januari 1968, Roman Goupil-seorang pelajar yang masih berumur 16 tahun- yang
    mengorganisir aksi di Lycee Condorcet,
    dikeluarkan dari sekolah dengan alasan dia telah menghasut
    kawan-kawannya agar meninggalkan kelas dan bergabung dalam aksi..para pemimpin
    dari CVLs berdiskusi melalui telepon dan membahas rencana mereka selanjutnya
    untuk menyikapi kasus ini. Mereka
    memutuskan untuk mengadakan aksi,
    ratusan massa berpartisipasi dalam aksi tersebut dan meriakkan yel-yel
    tuntutan tentang kekebasan dalam berekspresi (Freedom of expression in the
    lycees), yang tampaknya yel-yel tersebut sangat mudah untuk dipahami seperti
    yang diyakini oleh para pemimpin komite…”


    Tanggal 22 Maret 1968 polisi menangkap lima orang aktivis
    anti-perang setelah peristiwa pemboman Bank Amerika di Paris. Dan di siang yang
    sama ratusan mahasiswa menduduki gedung admisnistrasi di Nanterre untuk
    memprotes penahanan tersebut. Kemudian Dekan merespon itu semua dengan
    menghentikan semua kegiatan perkuliahan. Semenjak kejadian itu tiada hari tanpa
    aksi dan demonstrasi di Nanterre.



    Sebuah kampanye untuk memboikot ujian di luncurkan. Tanggal
    2 dan 3 Mei direncanakan sebagai “Hari Studi Anti-Imperialis”di Nanterre.
    Sekali lagi, penguasa kampus mengalami kepanikan dan akhirnya mereka menutp
    kampus.



    Tanggal 3 Mei, para mahasiswa di Sorbonne dan CALs di
    beberapa sekolah atas di Paris menyatakan solidaritasnya atas kejadian yang
    menimpa kawan-kawan mereka di Nanterre. Dan di sore yang sama ratusan mahasiswa
    dan pelajar yang melakukan demonstrasi harus berlarian untuk menghindari
    tindakan brutal dari polisi.



    Seale dan McConville menulis:


    “Pertempuran jalanan di 3 Mei, yang mengikuti invasi dari
    polisi ke Sorbonne, mengakibatkan effek yang sangat hebat bagi orang-orang
    muda. Kegiatan di kelas-kelas menjadi terhenti karena para pemuda itu ingin
    mendiskusikan situasi yang sedang terjadi, kemudian mereka mulai menggabungkan
    diri dengan demonstrasi-demonstrasi yang ada, walaupun banyak juga yang terluka
    setelah berpartisipasi dalam demo-demo tersebut. Tanggal 10 May CALs mengadakan
    aksi mogok serentak seharian penuh di Paris. Aksi ini diikuti kurang lebih 8-9
    ribu partisipan, mereka berjalan untuk menemui senior mereka yang sudah lebih
    dulu melakukan aksi besar dan berakhir pada barikade…”


    “Setelah Sorbonne diduduki, CALs mengambil alih Grand
    Amphitheathre untuk rapat umum di 19 Mei. Dan setelah pertemuan tersebut mereka
    memutuskan untuk mengadakan aksi mogok serentak dan menduduki sekolah-sekolah.
    Hari selanjutnya gerakan ini diikuti dengan massa yang lebih besar lagi,
    guru-guru mulai bergabung dan menghabiskan malam-malam mereka bersama-sama
    dengan para demonstran. Komite-komite juga mengdakan diskusi-diskusi yang tidak hanya membahas tentang problem sekolah
    dan kampus saja tapi juga membahas permasalahan-permasalahan politik, dengan
    topik-topik seperti perjuangan studen di eropa, aturan-aturan kampus di
    masyarakat, jaringan buruh-studen, dll…”


    Hasil yang sama juga didapatkan oleh para pemimpin-pemimpin
    mempunyai political advanced di kampus selama pendudukan itu.



    Tapi sebagaimana Seale dan McConville berkomentar di
    bukunya:



    “Para buruh tidak bergabung dengan aksi protes nasional yang
    dilakukan oleh studen, meskipun kejadian Mei mempunyai effek yang sangat
    signifikan bagi ledakan-ledakan studen di Berlin, Roma atau Buemos Aires.
    Benar-benar situasi yang sangat kontradiktif…dimana para studen memberikan
    sesuatu yang dicontoh secara cepat oleh kawan-kawan mereka di lain negara,
    membawa krisis ini ke level yang lebih tinggi. Akan tetapi para pekerja tetap
    dengan tenang bekerja dan menunci gerbang mereka rapat-rapat…”


    Di tanggal 7 Mei, 30.000 menduduki jalan-jalan di kota Paris
    selama lima jam penuh, menuntut agar kampus dibuka kembali dan para aktivis
    yang ditahan di bebaskan.



    Sebuah pelajaran bagi massa aksi berhasil dipetik di tanggal
    9 Mei di daerah Latin Quarter, daerah sekitar Sorbonne. Ketika itu massa
    memaksa untuk bertahan sampai besok, jumat 10 Mei, dan kejadian itu menjadi
    terkenal dengan sebutan malam barikade-barikade (night of barricades) ketika
    35.000 demonstran merusak barikade dan terjadi perang batu dengan CRS (polisi
    anti huru-hara Prancis).



    Sekitar 400 studen masuk rumah sakit. Dan banyak lainnya
    yang terluka akibat tindakan CRS. Meskipun begitu, para studen tidak kalah.
    Masyarakat mengecam tindakan brutal polis-yang ditayangkan oleh stasiun
    televisi- dan mendesak pemerintah untuk memenuhi tuntutan studen.



    Tanggal 11 Mei, para pemimpin buruh dari tiga konfederasi
    serikat buruh merespon opni publik yang sedang berkembang atas tindakan
    represif yang dilakukan polisi, dan mereka merencanakan aksi mogok nasional
    selam 24 jam penuh yang akan diadakan pada hari senin tanggal 13 Mei.



    Di hari itu sekitar satu juta buruh dan studen berjalan
    menuju kota Paris. Kontingen studen secara eksplisit menyatakan untuk
    mengakhiri kepemimpinan rezim semi bonarpatis Charles de Gaulle sambil
    menyanyikan lagu “sepuluh hari sudah cukup”. Bendera Tricolore diturunkan dari
    gedung-gedung pemerintahan dan diganti dengan bendera MERAH. Akan tetapi aksi
    di 13 Mei ini tidak direspon lebih lanjut oleh para aristokrat-aristokrat
    serikat buruh dan mereka pun kecuali perintah untuk membubarkan diri.



    Bagaimanapun, aksi para pekerja tersebut telah membesarkan
    hati para studen, dan sekita 20-25 ribu buruh bertemu dan memutuskan untuk
    bergabung dengan para studen dan menguasi Sorbonne.



    Tanggal 14 Mei para pekerja kembali ke pabriknya
    masing-masing, tapi mereka kembali dengan rasa percaya terhadap kekuatan dari
    mobilisasi massa. Kejadian ini terutama sekali dialami para buruh-buruh muda,
    yang banyak dari mereka telah bergabung dalam aksi protes studen mulai tanggal
    3-10 dan ikut bertempur bersama studen di malam barikade.



    Secara spontan, para pekerja mulai mengambil alih pabrik. Di
    14 Mei para pekerja pabrik SudAviation di Nanterre mengunci manajer di ruang
    kerjanya dan menyatakan mereka telah mengambil alih pabrik.



    Dihari yang sama, para pekerja pabrik Renault meninggalkan
    peralatannya dan mendeklarasikan perebutan pabrik. Besoknya mogok menjalar ke
    dua pabrik Renault l;ainnya dan sorenya pabrik terbesar Renault di Parisian
    suburban dari Biliancout tidak bisa menjalankan prose produksi karena 30 ribu
    pekerjanya melakukan aksi mogok.



    Dari kejadian tersebut, aksi mogok terjadi di hampir seluruh
    daerah di Perancis. Sebagaimana yang dikatakan seorang buruh muda Renault:
    “Para student memulai kereta berjalan, dan kita berterima kasih. Ketika
    kita melihat kereta berhenti dan akan mulai berjalan lagi, kami mulai
    berelompatan unutuk naik”



    Dalam waktu seminggu aksi mogok ini telah melibatkan 10 juta
    dari 15 juta pekerja yang ada di Prancis.



    Perlawanan massa studen berperan sebagai sebuah detonator
    dalam sebuah pemberontakan massif para pekerja. Tapi sebuah detonator tidak
    akan bekerja kecuali ada bahan yang berpotensi sebagai bahan peledak. Apakah
    bahan yang berpotensial sebagai bahan peledak itu?



    Ketika negara-negara industri kapitalis mempunyai pengalaman
    sedikitnya selama dua dekade dari pemtumbuhan ekonomi yang berlangsung secara
    pesat, kesenjangan sosialpun semakin lebar. Sebanyak satu juta orang dan hampir
    separo dari penduduk Prancis yang mempunyai pendapatan, dibayar dengan upah
    yang sangat rendah yang mana pendapatan tersbut hanya mencapai satu level
    diatas level subsistensi.



    Selain itu, di 1968 lebih dari satu juta orang tidak
    mempunyai pekerjaan atau menganggur, kesemuanya itu memukul perasaan
    buruh-buruh muda. Di Burgundi, sebagai contoh kecil, 25 % pemuda di bawah usia
    25 th menjadi pengangguran.



    Hak berserikat di pabrik-pabrik diabaikan. Satu-satunya jalan
    untuk mengekspresikan ketidakpuasan adalah melalui aksi-aksi massa. Tahun 1967,
    di pabrik Renault di Le Mann dan Caen terjadi perang batu dengan polisi selama
    terjadi pemogokan.



    Sebagaimana diamati oleh Seale dan Mc Convile: “Para pekerja
    menolak untuk mengadakan negosiasi, dan menggunakan cara-cara yang lebih keras.
    Ini berarti sebuah upaya pengambilalihan…”



    Ketika mengambil metode aksi massa, para pekerja
    menggerakkan sebuah revolusi sosial yang masih yang mana mereka mempunyai
    potensi revolusioner yang jernih.



    Ini semua adalah hasil dari fomat-format yang dibikin oleh
    komite-komite aksi massa yang ada di Paris. Mereka tidak hanya bermunculan di
    sekolah-sekolah, universitas-universitas, kantor-kantor pemerintahan, asosiasi
    profesional, dan tempat-tempat kerja, tapi juga di daerah-daerah
    pemukiman.



    Menurut Seale dan Mc Conville, “Apa yang menjadi gambaran
    umum mereka…adalah sebuah ide tentang revolusi yang harus kamu lakukan sendiri,
    tanpa harus meninggalkan yang lainnya. Itu semua adalah keinginan untuk
    terpimpin dalam aksi-aksi ekstraparlementer”



    Gerakan ini mencapai puncaknya di minggu terakhir di bulan Mei, ketika terdapat
    sekitar 450 komite yang ada di Paris (belum daerah lainnya). Bagaimanapun,
    mereka tetap terlokalisir dan hanya kehilangan koordinasi di kota-kota yang
    mempunyai basis besar.



    Di luar Paris perkembangan yang sama juga terjadi. Yang
    paliang bagus adalah apa yang terjadi di Nantes, utara Brittany di 23 Mei.
    Sebuah komite sentrak pemogokan- yang terdiri dari serikat buruh, petani dan
    studen-mengadakan aksi di balai kota, dan mendeklarasikan dirinya sebagai
    penguaa baru kota praja tersebut.



    Dan di gedung-gedung sentral pemerintahan, terutama di kota
    Paris, sudah ditinggalkan oleh para penghuninya, hanya ada para penjaga pintu dan
    polisi yang kekuatannya sangat kecil.



    Atas perkembangan ini, Sean dan Mc Conville menulis:
    “Pemogokan yang terjadi di Nantes berubah dari yang awalnya sebuah aksi protes
    menjadi aksi revolusi. Disana muncul embrio-embrio pengganti institusi tua
    masyarakat borjuis, yang mana itu semua diparalelkan dengan aksi mogok…”



    Selama seminggu, dari 24-30 Mei, pemerintahan De Gaulle
    mengalami kegoncangan yang cukup hebat. Akan tetai sayangnya CP dan
    pemimpin-pemimpin serikat buruh menolak untuk melakukan penggantian-atau sebuah
    insureksi-pemerintahan.



    Dan yang lebih parah lagi, ketika 10 juta pekerja sedang
    menjalankan aksi mogok, para aristokrat-aristokrat serikat buruh ini menolak
    rancangan diadakannnya sebuah aksi mogok nasional.Mereka membatasi diri hanya
    pada tuntutan ekonomis seperti kenaikan upah, jam kerja yang lebih pendek, dll.
    Bahkan mereka bekerja sama dengan rezim De Gaulle dengan mengatakan
    studen-studen yang radikal sebagai provokator.



    Di 29 Mei, CP dan pemimpin federasi serikat buruh (CGT)
    membuat aksi sejuta massa di jalan-jalan kota Paris dimana, untuk pertama
    kalinya, pemimpin-pemimpin Stalinis mengikuti slogan-slogan politik yang ada.
    Mereka juga berada di barisan yang sama dengan para demonstran yang menuntut
    sebuah Pemerintahan Rakyat.



    Dan di saat-saat terakhir, para bangsawan-bangsawan CGT itu
    memerintahkan massa untuk membubarkan diri. Tidak ada lagi rally, tidak ada
    lagi speakers…



    Malam itu De Gaulle berkonsultasi dengan para
    jendralnya. Sebuah rencana telah berhasil disusun, dan para tentara yang paling
    loyal kepadanya telah di mobilisasi. Markas besar oprasi militer mengambil
    tempat di Verdun. Besoknya pada pukul 04.30 pm, muncul di televisi dengan
    mengabarkan bahwa pertemuan nasional yang terjadi tidak berhasil menghasilkan
    solusi dan menawarkan pemilu untuk memilih anggota parlemen di tanggal 23
    Juni.


    Melihat hal itu, birokrat-birokrat CP menerima dengan
    antusias tawaran dari De Gaulle. Seminggu sebelum pemilihan,mereka (CP)
    berlomba-lomba dengan kubu Gaullis dan dengan yakin mengatakan bahwa merekalah
    penguasa baru Prancis. Seminggu setelah pidato De Gaulle, para pekerja mencapai
    kata sepakat dengan para bangsawan serikat buruh. Dan pada pemilu, para
    pendukung De Gaulle meningkatkan support mereka terhadap pimpinannya.



    Dari pertengahan Mei sampai pertengahan jni 1968, Prancis di
    cengkeram oleh pemberontakan buruh yang hebat di dalam sejarahnya, tapi
    sayangnya semua itu harus di akhiri dengan pemilu yang malah memperkuat
    Partai-partai yang berkuasa, Banyak orang-orang kiri revolusioner menjuluki CPF
    sebagai pengkhianat. Tapi bagaimana sebenarnya birokrat-birokrat CPF bisa
    melakuakan pengkhianatan dan dari 10 juta massa yang ada hanya sedikit yang
    mengambil sikap oposisi?



    Inilah pelajaran yang berharga dari Mei-Juni 1968. Ketika kelas
    pekerja Prancis ambil bagian dalam aksi, dimana (peranan kelas pekerja itu)
    menjadi sebuah potensi dinamis revolusioner bagi mereka (kelas pekerja), tapi
    mayoritas kelas pekerja Prancis tidak mampu secara cepat untuk melewati batasan
    antara tuntutan-tuntutan mendesak yang bersifat ekonomis dan perubahan
    masyarakat secara radikal.



    Ada kesenjangan kesadaran revolusiner di antara mayoritas
    kelas pekerja, dan mampu dimanfaatkan oleh bangsawan-bangsawan serikat buruh
    reformis untuk di giring ke ilusi pemilu parlementer.



    Revolusi-dalam skala dan militansi yang hebat- sebagai mana
    di ekspresikan oleh Lenin di tahun 1902 dalam pamplet Apa yang harus
    dikerjakan: ”Sejarah semua negeri menunjukkan bahwa kelas pekerja, dengan
    kemampuan yang mereka miliki, mampu untuk mengembangkan kesadaran serikat
    buruh…”



    Kesadaran sosialis revolusioner, sebagaimana ditekankan oleh
    Lenin, hanya dapat dipasokkan ke kelas
    pekerja dari luar, ketika terjadi
    perlawanan spontan antara kelas pekerja
    dengan pemerintah, melalui ideologi yang membaja dan kerja-kerja organisasi
    dari sebuah Partai Marxis Revolusioner.



    Kekuatan marxis revolusioner Prancis di Mei-Juni 1968 hanya
    berjumlah sekitar 300-400 orang. Mereka tidak punya kekuatan untuk menantang
    hegemoni ideologis yang dilakukuan para
    pemimpin buruh reformis.



    Daniel Bensaid, dulunya adalah salah seorang pimpinan JCR
    dan sekarang menjadi anggota pimpinan dari Ligue Communiste Revolutionnare,
    juga mengungkapkan hal yang sama. Dia mengatakan:



    “Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa itu (kejadian di
    Mei-Juni’68) adalah aksi mogok besar terakhir di abad ke sembilan belas ini.
    Tapi mungkin juga menjadi aksi mogok besar pertama di abad ke-21. Kita tidak
    tahu dan itu semua tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini…”


    “…kelas pekerja telah di format sedemikian rupa selama
    bertahun-tahun oleh kemakmuran dan expansi dari welfarestate, seperti hak-hak
    yang demokratis. Tahun 1968 bukanlah sebuah krisis revolusiner seperti di
    1920an, 1930an..”


    “Ya, memang terdapat
    sebuah gerakan yang mendalam dari kelas pekerja yang mampu mengguncang
    borjuasi, tapi tidak terdapat faktor subyektif, tidak ada kepemimpinan
    revolusioner yang mengakar di kelas pekerja. Kekuatan dari birokrasi membuat
    kita harus melakukan sesuatu dengan tingkat kesadaran mayoritas massa kelas
    pekerja. Kita dapat melihatnya sekarang lebih baik..”


    Sebagaiman disimpulkan oleh Bensaid, ”Ada sebuah usaha untuk
    mendepolitisasi interpretasi atas kejadian
    tahun 1968. Kita harus mempertahankan makna politis yang sebenarnya dan
    dinamisasi di tahun 1968, tidak hanya merayakannya tapi juga harus mampu
    memberikan arti yang politis..”



    Bagi kita sekarang, itu semua berarti melakukan rededikasi
    diri kita untuk memperkuat kekuatan revolusioner yang sadar di negeri ini agar
    kita dapat mempersiapkan secara lebih baik transformasi gerakan spontan kelas
    pekerja, yang mana mampu mengguncang para kapitalis, ke dalam sebuah perlawanan
    revolusioner untuk kekuasaan kelas pekerja dan sosialisme.

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 8:12 pm