Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    si rangka

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    si rangka Empty si rangka

    Post by sumanto Tue Aug 10, 2010 1:09 pm

    Si
    Rangka



    Riyono Pratikto





    "AKU sudah berkali-kali berkata,
    lebih baik kita pindah saja dari rumah ini," kata Suriah kepada suaminya.
    Mukanya bersungguh-sungguh, badannya agak lesu.






    "Aku sendiri tidak mengerti dengan
    kemauanmu itu, Yah. Rumah ini telah aku buat, sedang rencana-rencananya adalah
    juga menurut desain ataupun kehendak-kehendakmu."






    Di luar, alam mulai gelap, sebentar
    lewat sebuah mobil merah, di jalan yang rata, halus, dan tak berdebu. Di dalam
    mobil kelihatan anak-anak bersuka ria. Rumput-rumput di sepanjang jalan itu
    dijadikannya bergerak-gerak perlahan oleh angin yang timbul.






    "Bukanm begitu," kata Suriah.
    "Aku sudah senang dengan hasilmu membangun rumah ini. Jendela-jendelanya
    lebar-lebar, cahaya bisa masuk banyak. Modelnya pun benar menurut model kita
    berdua."






    "Kalau begitu, apa pula yang
    kaujadikan alasan, kita harus meninggalkan rumah ini? Rumah kita ini sudah
    cocok, katamu sesuai dengan angan-angan kita berdua. Dan lagi pula, rumah kita
    ini kepunyaan kita bersama, kita b erdua. kan harus menyewa rumah kalau kita
    pindah. Sedangkan untuk membangun yang baru lagi, rasanya sekarang belum
    mungkin."






    "Engkau bertanya lagi tentang
    alasan?"



    "Ya."


    "Sudah aku katakan
    berkali-kali."



    "Apa lagi?"


    "Bunyi biola itu. Bagaimana?"





    Kedua mereka itu jadi terdiam jika telah
    tiba pada kata-kata Suriah ini. Benyamin menyandarkan badannya pada kursi,
    kakinya direntangkannya. Pikirannya mulai kacau lagi. Berkali-kali istrinya itu
    minta pindah rumah, alasannya karena dia selalu mempunyai perasaan takut-takut
    saja. Malam dia dibangunkan, dan istrinya itu bertanya, "Engkau tidak
    mendengar, Mas?!"



    "Dengar apa?"


    "Biola yang merayu."


    "Aku tak dengar apa-apa!"


    "Aku mendengarnya jelas
    sekali!"



    "Dari mana? Dari arah mana?"


    "Dari tembok, dari arah bawah
    tembok sebelahku ini."






    Dari balik tembok itu ialah kamar kerja
    tempat Benyamin bekerja. Alat-alat dan perkakas mesin gambar, tumpukan
    kertas-kertas tebal, dan buku-buku arsitektur.






    "Aku bekerja di kamar sebelah
    sampai malam, sampai larut malam, tak pernah mendengar suara apa-apa, apalagi
    suara biola."






    "Di sini, Mas, bukan di kamar
    sebelah."



    "Di situ pun aku tak
    mendengarnya."



    "Radio sudah dimatikan?"


    "Sudah tentu, sebelum aku masuk
    tidur."



    "Kalau begitu, itu suara apa,
    Mas?"



    "Heh, heh,'' keluhnya.


    Kediam-diaman sebentar.


    "Mungkin itu hanya pendengaranmu
    saja."






    Suriah merasa kesal dengan jawaban ini.
    Dia merasa jelas sekali telah mendengar bunyi biola itu. Tetapi apa sebab
    suaminya tidak mendengarnya?



    "Engkau benar-benar tidak mendengarnya,
    Mas?"



    "Benar-benar tidak.:


    "Kalau begitu, itu suatu tanda
    adanya makhluk halus."



    "Engkau percaya dengan makhluk
    seperti itu, Dik?"



    "Entahlah."


    "Rumah kita ini 'padang', kalau
    malam pun bisa terang-benderang. Apabila semua lampu dinyalakan. Tidak gelap
    atau menakutkan. Di sebelah kanan rumah kita, bukan lagi lapangan yang
    ditumbuhi alang-alang seperti dulu. Sudah ada rumah baru yang dibangun, rumah
    tetangga kita."






    "Ya, betul."


    "Apa pula yang kautakutkan?"


    "Tapi kadang-kadang aku mempunyai
    suatu perasaan takut."



    'Ah, tidak apa-apa. Nanti akan hilang
    dengan sendirinya."






    Dan dirangkulnya istrinya dengan penuh
    rasa sayang. Tetapi semalaman itu ia tidak dapat tidur.



    Benyamin menjadi kacau pikirannya, jika
    memikirkan kejadian-kejadian seperti pada malam hari begini.



    Digaru-garuknya belakangnya, dan
    diambilnya rokok sebatang dari bungkusnya yang terletak di atas meja. Belum
    sampai dinyalakannya korek apinya, dan diisapnya rokoknya itu dalam-dalam
    sampai hampir keselak.



    Dikumpulkannya asapnya sambil sedikit
    terbatuk-batuk.






    "Nanti malam aku harus pergi,
    Yah."



    "Ah, kemana, Mas?"


    "Ke rumah Diman, diundang. Mau
    mengadakan pertemuan membicarakan dan membahas tentang beberapa bangunan di
    sekitar jembatan yang direncanakan akan dibangun juga."



    "Lama?"


    "Iiiiiya. Tapi mungkin dapat
    dipercepat."



    Pintu belakang terbuka, perempuan
    pembantu masuk. Ia menekan stop kontak, dan lampu menyala.



    "Jendela-jendela ditutupi sekarang
    juga, Mbok. Bapak mau pergi."



    "Saya, Bu."





    Jendela-jendela kaca ditutup. Tetapi di
    luar masih kelihatan remang-remang. Sebentar-sebentar mobil lewat, sebelum itu
    cahaya lampunya yang kelihatan lebih dulu.



    "Engkau tidak makan malam dulu,
    Mas?"



    "Nanti saja pulangnya."


    "Terlalu malam nanti, lebih baik
    sekarang saja."



    "Boleh juga."





    Kepada si mbok Suriah berteriak,
    "Mbok, tata ambeng ya! Bapak mau makan sekarang saja sebelum
    pergi."



    si mbok mnghilang ke belakang.


    "Engkau tidak mandi dulu,'' sahut
    Suriah.



    "Badanku tidak enak rasanya,"
    sahut Suriah.



    "Kalau begitu, aku pergi tidak akan
    lama-lama. Kuusahakan cepat selesai.'






    Dikepulkannya pula asap rokoknya. Dan
    pikirannya melayang pula. Terasa kusut sekali. Sampai malam dia terjaga, belum
    pernah juga olehnya terdengar suara biola seperti yang dikatakan istrinya itu.
    Dan istrinya lesu saja kelihatannya, atau wajahnya cemberut, jika malamnya baru
    mengeluh tentang suara-suara itu.






    Seperempat jam kemudian, mereka berdua
    berdiri, dan berjalan menuju ke kamar makan.



    Tak banyak cakap mereka. Suriah
    kelihatan lesu. Dan makan tidak banyak. Selesai makan, mereka masuk ke kamar
    tidur. Benyamin berganti pakaian bersiap untuk pergi. Suriah duduk di pinggir
    tempat tidur memperhatikan suaminya.



    Benyamin duduk di sisinya.


    "Keadaanmu baik, Ya? Bisa aku
    tinggal sebentar kan?"



    Suriah mengangguk.


    "Ah."


    Dirangkulnya suaminya.


    "Kalau begitu, kita membangun rumah
    baru saja lagi," kata Benyamin setengah berbisik, dan seolah melanjutkan
    pembicaraan, sesuatu yang pada waktu itu tidak disinggung untuk dibicarakan.






    Kepala Suriah tersandar pada bahu
    suaminya, dan tangan Benyamin mengusap-usap rambut istrinya.



    "Tapi kita harus sabar
    sedikit," bisik Benyamin lagi. "kita harus punya cukup uang dulu
    sebelum membangun rumah baru."



    Mata Suriah mulai lembab karena terharu.


    "Apa tidak bisa kita pindah saja
    sekarang? Menyewa atau mengontrak rumah untuk sementara?"



    Diam. Mereka berdua makin merapat
    duduknya.



    "Jika seperti itu kehendakmu,
    baiklah. Tetapi agak sukar juga mencari rumah kosong. Tapi aku akan berusaha
    keras."



    Dan Benyamin berangkat. Suriah tinggal
    di rumah sendirian. Di ruang dapur di belakang, mbok sedang membersihkan
    piring-piring.






    Mereka belum mempunyai anak dan baru
    satu tahun mereka menikah. Hanya mereka bertiga saja penghuni rumah itu,
    Benyamin dan istri, serta si mbok pembantu rumah tangga. Ditambah seorang
    tukang kebun yang pulang ke rumahnya sore hari.






    Suriah tiduran di tempat tidurnya di
    kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, diikuti suara bel
    berbunyi.



    "Tentu ada sesuatu yang lupa,"
    pikir Suriah.



    Dia bangun dengan cepat dan setengah
    lari menuju ke pintu depan. Tetapi mbok sudah sampai lebih dulu, dan dengan
    tergesa-gesa dia kembali menjumpai Suriah.






    "Ada Aden Naryo di depan."


    "Sudah kaukatakan, Bapak tidak di
    rumah?"



    "Sudah, tetapi dia ingin ketemu
    dengan Ibu katanya, jika Bapak tidak di rumah."



    "Oooo."





    Suriah kembali masuk ke kamar tidurnya.
    Setelah sebentar mengganti pakaian dengan yang patut, Suriah keluar untuk
    menemui tamu itu.



    "Oooo, selamat malam, Dimas."


    "Selamat malam. Mas Ben lagi pergi
    ke mana?"



    "Sedang pergi ke rumah saudara
    Diman. Silakan duduk, ada keperluan apa? Bisa saya bantu?"






    Mereka berdua duduk, dan kembali timbul
    suatu perasaan aneh dalam dada Suriah, seperti biasanya apabila dia berhadapan
    dengan Naryo.



    "Ada keperlua apa, Dimas?"
    tanya Suriah satu kali lagi.



    "Ah, hanya sanja-sanja
    saja," jawab Naryo.



    "Tapi tentu kalau Dimas lagi datang
    ke sini, Mas ben sedang pergi."



    Naryo tertawa kecil, dan menyambung
    dengan suara antara ada dan tidak ada.



    "Ah itu hanya tidak
    disengaja."



    Wajahnya dan khususnya mata, bahunya
    persegi, tinggi, dan berisi.



    "Anu, Mbakyu. Saya sedang mencari
    rumah baru. Sebab di rumah yang lama, ya, yang kini ini, terlalu sempit
    seolah-olah saya ditindih atap."






    Perasaan yang aneh yang timbul di dalam
    dada Suriah makin menjadi aneh. Ditatapnya mata tamunya itu, dan tiba-tiba dia
    makin merasa seolah-olah memandang dua luban sumur yang terlalu dalam dan tak
    berair. Dan dasar sumur itu seolah sebuah magnet raksasa yang terus-menerus
    mencoba menarik sebatang besi besar di tepi sumur itu.






    "Lho, sebetulnya di mana rumah Dimas?"


    "Tentang rumah yang lama? Maksud
    saya, yang sekarang?"



    "Ya."


    "Mbakyu akan tahu sendiri
    nanti."



    Kediam-diaman lagi.


    "Dimas, engkau selalu tidak mau
    menunjukkan rumahmum."



    Diam sebentar.


    "Sebetulnya Mbakyu saat ini tidak
    usah mengetahui."



    "Mengapa?"


    "Tidak apa-apa."


    Mereka berdua lagi-lagi diam.


    "Padahal bagiku mencari rumah baru
    itu terlalu sulit, terlalu berat."



    "Memang, mencari rumah sekarang ini
    sulit."



    "Bukan tentang sulitnya mencari
    yang baru, tetapi sukarnya meninggalkan yang lama."






    "Kalau begitu, mengapa mesti
    ditinggalkan?"



    "Sebagai sudah saya katakan tadi,
    Mbakyu, ada lain pihak yang menekan rumahku dan aku merasakan terlalu
    sempit."



    "Siapa pihak lagi itu?"


    "Tidak perlu juga
    kusebut-sebut," jawab sang tamu.



    "Engkau Dimas, terlalu baik
    hati," kata Suriah.






    Mereka menjadi kediam-diaman. Terdengar
    di ruang tengah jam berbunyi menandakan pukul delapan malam.






    "Aku rasa-rasakan hidup di masa ini
    serba aneh," kata sang tamu.



    "Sebetulnya tak ada yan ganeh dalam
    hidup ini. Juga kebetulan dengan hidupku ini."



    "Artinya tidak seperti orang
    biasanya. Itu maksudku."



    Lagi-lagi termenung kediam-diaman.


    Tamu malam itu menyambungi, "Mbakyu
    sebetulnya bisa melihat aku hanya seperti orang biasa."



    "Jarang sekali Dimas
    kelihatan."



    "Aku lebih senang berkubur di
    rumah."



    "Maka itu saya jarang melihat
    Dimas. Rupanya, memang lebih senang di rumah. Dan seperti kata Dimas tadi,
    lebih senang berkubur di rumah. Apa saja sih yang dikerjakan di
    rumah?"






    "Ah, pertanyaan Mbakyu sepertinya
    hanya sambil lalu saja."



    "Bersunyi-sunyi? Ke kantor atau
    tempat kerja Dimas juga Dimas tidak pernah saya lihat. Pagi? Sore? Atau
    malam?""ya."



    "Enak hidup seperti itu?
    Bahagia?"



    "Tak ada yang melebihi
    kesunyian."






    Dalam hati Suriah timbul perasaan
    kasihan terhadapnya. Tetapi bersamaan dengan itu timbul pula kemisterian.
    Bahkan Suriah bergidik.



    "Kalau begitu dolan-dolan
    saja ke sini. Main ke sini Tapi sebaiknya kalahu Mas Ben ada di rumah. Mas Ben
    juga tentu akan merasa senang."






    Setelah itu Suriah menunduk, merasa
    bahwa sebenarnyalah kata-katanya itu sudah terlanjur diucapkan. Dan
    sesungguhnyalah ia merasa menyesal mengucapkannya.






    "Kalau aku? Aku tidak tahan
    kesunyian."



    "Lain dengan diriku, Mbakyu.
    Kesunyian, bagiku, kini telah menjadi sesuatu kekekalan. Suatu keabadian."






    "Apa saja sih yang
    kaukerjakan di rumah?" Sekali lagi terucap hal itu oleh Suriah. Dari tadi
    ia memang menantikan jawabannya.



    "Mbakyu ingin tahu?"


    "Ya."


    "Sungguh?"


    "Ya, Sungguh!"


    "Sepertinya, kok hanya
    pertanyaan sambilan saja. Atau hanya sekadar untuk basa-basi saja."



    "Tidak, bukan untuk basa-basi. Aku
    ingin tahu sungguh."



    "Kalau begitu, nanti sajalah jika
    saya sudah mau pulang, akan aku bisikkan."



    "Rupanya, kok seperti suatu
    hal yang pelik.;



    "Ya..., begitulah memang. Aku kira
    memang juga begitu."



    Di luar terdengar anjing menggonggong.
    Gonggongan ini makin lama makin terasa mengerikan.






    "Mbakyu ingin tahu atau ingin
    mendengar riwayat hidupku?"



    "Apa panjang? Apa panjang
    sekali?"



    "Tidak akan aku ceritakan
    seluruhnya. Nanti terlalu panjang."



    "Tentu bagian yang penting
    bagimu."






    Lagi, Suriah merasa terlanjur menanyakan
    hal itu, sebab sebetulnya ia tidak ingin mendengarkan cerita riwayat tamunya
    ini. Sebab, untuk apa mau mendengarkan riwayat orang lain seperti itu?






    "Betul, Mbakyu. Pandai Mbakyu
    menerka."



    "Biarpun hanya bagian yang penting,
    tapi panjang cerita itu?"



    "Ah, rupanya Mbakyu sudah tidak
    sabar lagi?"






    Memang. Suriah sudah merasa pusing oleh
    perasaan aneh yang selalu timbul jika dia berhadapan dengan Naryo. Yang kini
    menjadi tamunya, dan yang dia anggap sudah waktunya harus pulang. Apalagi
    karena suaminya kebetulan tidak ada di rumah. Jika ditatapnya mata Naryo,
    lubang sumur itu serasa makin mendalam dan kini di dalamnya seolah-olah
    terlihat ular-ular besar saling menggulung-gulung. Dirasakannya tembok tepi
    sumur tempatnya bersandar makin merendah dan badannya seperti makin hendak
    jatuh ke dalam sumur.






    "Kepalaku pusing untuk mendengarkan
    cerita-cerita yang ngeri, yang menyeramkan, yang mendirikan bulu kuduk."



    "Ceritaku tidak mengerikan."


    "Tapi itu suatu bagian yang penting
    dan barangkali yang sangat penting, bahkan terpenting.''



    "Itu betul, Mbakyu."


    "Itu pasti bagian yang terpenting
    dari riwayat hidupmu. Jadi, pasti pelik-pelik."



    "Itu betul, Mbakyu. Tapi ceritaku
    ini tidak panjang. Pendek saja."



    "Ya, kalau begitu saya mencoba
    mendengarkan."






    Agak lama sang tamu itu terdiam sebelum
    memulai ceritanya.



    "Ketika itu," dia memulai
    ceritanya, "keluargaku dalam keadaan baik. Rumah orangtuaku bagus.
    Orangtuaku memang orang yan gkaya. Dan kami semua hidup dalam suasana kemewahan
    serta, yang penting, kebahagiaan."






    Diam sebentar. Setelah menghirup napas
    yang panjang, dilanjutkannya ceritanya. Dengan suara menambah sedikit semangat.



    "Aku masih pemuda. Badanku lebih
    besar daripada sekarang. Aku gemar olahraga. Dan gemar musik. Olahraga dan
    musik, Mbakyu."






    Diam lagi. Menghirup udara agar dapat
    menghirup napas panjang.






    "Perang dengan Jepang pecah, dan
    aku masuk tentara Hindia Belanda. Jepang akhirnya mendarat di tiga tempat di
    pulau Jawa. Jepang datang, Mbakyu. Pertempuran hanya sebentar. Pertempuran yang
    tidak seru, tidak berarti. Tentara Belanda yang sangat dibanggakan kalah dan
    menyerah begitu saja. Tapi aku bisa meloloskan diri. Di suatu tempat, ya, tidak
    jauh dari sini, aku tertangkap oleh satu regu tentara Jepang, meskipun aku
    sudah berusaha penuh untuk melarikan diri dan bersembunyi, ternyata sia-sia
    belaka. Mungkin kalau aku tidak melarikan diri, tetapi menyerah bersama tentara
    induk kami, aku malah selamat. Maksudku, tidak mengalami penyiksaan. Pukulan-pukulan
    bertubi-tubi ke badanku. Penyiksaan yang lain juga aku alami. Disiksa dengan
    kejam.

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 5:11 pm