Si
Rangka
Riyono Pratikto
"AKU sudah berkali-kali berkata,
lebih baik kita pindah saja dari rumah ini," kata Suriah kepada suaminya.
Mukanya bersungguh-sungguh, badannya agak lesu.
"Aku sendiri tidak mengerti dengan
kemauanmu itu, Yah. Rumah ini telah aku buat, sedang rencana-rencananya adalah
juga menurut desain ataupun kehendak-kehendakmu."
Di luar, alam mulai gelap, sebentar
lewat sebuah mobil merah, di jalan yang rata, halus, dan tak berdebu. Di dalam
mobil kelihatan anak-anak bersuka ria. Rumput-rumput di sepanjang jalan itu
dijadikannya bergerak-gerak perlahan oleh angin yang timbul.
"Bukanm begitu," kata Suriah.
"Aku sudah senang dengan hasilmu membangun rumah ini. Jendela-jendelanya
lebar-lebar, cahaya bisa masuk banyak. Modelnya pun benar menurut model kita
berdua."
"Kalau begitu, apa pula yang
kaujadikan alasan, kita harus meninggalkan rumah ini? Rumah kita ini sudah
cocok, katamu sesuai dengan angan-angan kita berdua. Dan lagi pula, rumah kita
ini kepunyaan kita bersama, kita b erdua. kan harus menyewa rumah kalau kita
pindah. Sedangkan untuk membangun yang baru lagi, rasanya sekarang belum
mungkin."
"Engkau bertanya lagi tentang
alasan?"
"Ya."
"Sudah aku katakan
berkali-kali."
"Apa lagi?"
"Bunyi biola itu. Bagaimana?"
Kedua mereka itu jadi terdiam jika telah
tiba pada kata-kata Suriah ini. Benyamin menyandarkan badannya pada kursi,
kakinya direntangkannya. Pikirannya mulai kacau lagi. Berkali-kali istrinya itu
minta pindah rumah, alasannya karena dia selalu mempunyai perasaan takut-takut
saja. Malam dia dibangunkan, dan istrinya itu bertanya, "Engkau tidak
mendengar, Mas?!"
"Dengar apa?"
"Biola yang merayu."
"Aku tak dengar apa-apa!"
"Aku mendengarnya jelas
sekali!"
"Dari mana? Dari arah mana?"
"Dari tembok, dari arah bawah
tembok sebelahku ini."
Dari balik tembok itu ialah kamar kerja
tempat Benyamin bekerja. Alat-alat dan perkakas mesin gambar, tumpukan
kertas-kertas tebal, dan buku-buku arsitektur.
"Aku bekerja di kamar sebelah
sampai malam, sampai larut malam, tak pernah mendengar suara apa-apa, apalagi
suara biola."
"Di sini, Mas, bukan di kamar
sebelah."
"Di situ pun aku tak
mendengarnya."
"Radio sudah dimatikan?"
"Sudah tentu, sebelum aku masuk
tidur."
"Kalau begitu, itu suara apa,
Mas?"
"Heh, heh,'' keluhnya.
Kediam-diaman sebentar.
"Mungkin itu hanya pendengaranmu
saja."
Suriah merasa kesal dengan jawaban ini.
Dia merasa jelas sekali telah mendengar bunyi biola itu. Tetapi apa sebab
suaminya tidak mendengarnya?
"Engkau benar-benar tidak mendengarnya,
Mas?"
"Benar-benar tidak.:
"Kalau begitu, itu suatu tanda
adanya makhluk halus."
"Engkau percaya dengan makhluk
seperti itu, Dik?"
"Entahlah."
"Rumah kita ini 'padang', kalau
malam pun bisa terang-benderang. Apabila semua lampu dinyalakan. Tidak gelap
atau menakutkan. Di sebelah kanan rumah kita, bukan lagi lapangan yang
ditumbuhi alang-alang seperti dulu. Sudah ada rumah baru yang dibangun, rumah
tetangga kita."
"Ya, betul."
"Apa pula yang kautakutkan?"
"Tapi kadang-kadang aku mempunyai
suatu perasaan takut."
'Ah, tidak apa-apa. Nanti akan hilang
dengan sendirinya."
Dan dirangkulnya istrinya dengan penuh
rasa sayang. Tetapi semalaman itu ia tidak dapat tidur.
Benyamin menjadi kacau pikirannya, jika
memikirkan kejadian-kejadian seperti pada malam hari begini.
Digaru-garuknya belakangnya, dan
diambilnya rokok sebatang dari bungkusnya yang terletak di atas meja. Belum
sampai dinyalakannya korek apinya, dan diisapnya rokoknya itu dalam-dalam
sampai hampir keselak.
Dikumpulkannya asapnya sambil sedikit
terbatuk-batuk.
"Nanti malam aku harus pergi,
Yah."
"Ah, kemana, Mas?"
"Ke rumah Diman, diundang. Mau
mengadakan pertemuan membicarakan dan membahas tentang beberapa bangunan di
sekitar jembatan yang direncanakan akan dibangun juga."
"Lama?"
"Iiiiiya. Tapi mungkin dapat
dipercepat."
Pintu belakang terbuka, perempuan
pembantu masuk. Ia menekan stop kontak, dan lampu menyala.
"Jendela-jendela ditutupi sekarang
juga, Mbok. Bapak mau pergi."
"Saya, Bu."
Jendela-jendela kaca ditutup. Tetapi di
luar masih kelihatan remang-remang. Sebentar-sebentar mobil lewat, sebelum itu
cahaya lampunya yang kelihatan lebih dulu.
"Engkau tidak makan malam dulu,
Mas?"
"Nanti saja pulangnya."
"Terlalu malam nanti, lebih baik
sekarang saja."
"Boleh juga."
Kepada si mbok Suriah berteriak,
"Mbok, tata ambeng ya! Bapak mau makan sekarang saja sebelum
pergi."
si mbok mnghilang ke belakang.
"Engkau tidak mandi dulu,'' sahut
Suriah.
"Badanku tidak enak rasanya,"
sahut Suriah.
"Kalau begitu, aku pergi tidak akan
lama-lama. Kuusahakan cepat selesai.'
Dikepulkannya pula asap rokoknya. Dan
pikirannya melayang pula. Terasa kusut sekali. Sampai malam dia terjaga, belum
pernah juga olehnya terdengar suara biola seperti yang dikatakan istrinya itu.
Dan istrinya lesu saja kelihatannya, atau wajahnya cemberut, jika malamnya baru
mengeluh tentang suara-suara itu.
Seperempat jam kemudian, mereka berdua
berdiri, dan berjalan menuju ke kamar makan.
Tak banyak cakap mereka. Suriah
kelihatan lesu. Dan makan tidak banyak. Selesai makan, mereka masuk ke kamar
tidur. Benyamin berganti pakaian bersiap untuk pergi. Suriah duduk di pinggir
tempat tidur memperhatikan suaminya.
Benyamin duduk di sisinya.
"Keadaanmu baik, Ya? Bisa aku
tinggal sebentar kan?"
Suriah mengangguk.
"Ah."
Dirangkulnya suaminya.
"Kalau begitu, kita membangun rumah
baru saja lagi," kata Benyamin setengah berbisik, dan seolah melanjutkan
pembicaraan, sesuatu yang pada waktu itu tidak disinggung untuk dibicarakan.
Kepala Suriah tersandar pada bahu
suaminya, dan tangan Benyamin mengusap-usap rambut istrinya.
"Tapi kita harus sabar
sedikit," bisik Benyamin lagi. "kita harus punya cukup uang dulu
sebelum membangun rumah baru."
Mata Suriah mulai lembab karena terharu.
"Apa tidak bisa kita pindah saja
sekarang? Menyewa atau mengontrak rumah untuk sementara?"
Diam. Mereka berdua makin merapat
duduknya.
"Jika seperti itu kehendakmu,
baiklah. Tetapi agak sukar juga mencari rumah kosong. Tapi aku akan berusaha
keras."
Dan Benyamin berangkat. Suriah tinggal
di rumah sendirian. Di ruang dapur di belakang, mbok sedang membersihkan
piring-piring.
Mereka belum mempunyai anak dan baru
satu tahun mereka menikah. Hanya mereka bertiga saja penghuni rumah itu,
Benyamin dan istri, serta si mbok pembantu rumah tangga. Ditambah seorang
tukang kebun yang pulang ke rumahnya sore hari.
Suriah tiduran di tempat tidurnya di
kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, diikuti suara bel
berbunyi.
"Tentu ada sesuatu yang lupa,"
pikir Suriah.
Dia bangun dengan cepat dan setengah
lari menuju ke pintu depan. Tetapi mbok sudah sampai lebih dulu, dan dengan
tergesa-gesa dia kembali menjumpai Suriah.
"Ada Aden Naryo di depan."
"Sudah kaukatakan, Bapak tidak di
rumah?"
"Sudah, tetapi dia ingin ketemu
dengan Ibu katanya, jika Bapak tidak di rumah."
"Oooo."
Suriah kembali masuk ke kamar tidurnya.
Setelah sebentar mengganti pakaian dengan yang patut, Suriah keluar untuk
menemui tamu itu.
"Oooo, selamat malam, Dimas."
"Selamat malam. Mas Ben lagi pergi
ke mana?"
"Sedang pergi ke rumah saudara
Diman. Silakan duduk, ada keperluan apa? Bisa saya bantu?"
Mereka berdua duduk, dan kembali timbul
suatu perasaan aneh dalam dada Suriah, seperti biasanya apabila dia berhadapan
dengan Naryo.
"Ada keperlua apa, Dimas?"
tanya Suriah satu kali lagi.
"Ah, hanya sanja-sanja
saja," jawab Naryo.
"Tapi tentu kalau Dimas lagi datang
ke sini, Mas ben sedang pergi."
Naryo tertawa kecil, dan menyambung
dengan suara antara ada dan tidak ada.
"Ah itu hanya tidak
disengaja."
Wajahnya dan khususnya mata, bahunya
persegi, tinggi, dan berisi.
"Anu, Mbakyu. Saya sedang mencari
rumah baru. Sebab di rumah yang lama, ya, yang kini ini, terlalu sempit
seolah-olah saya ditindih atap."
Perasaan yang aneh yang timbul di dalam
dada Suriah makin menjadi aneh. Ditatapnya mata tamunya itu, dan tiba-tiba dia
makin merasa seolah-olah memandang dua luban sumur yang terlalu dalam dan tak
berair. Dan dasar sumur itu seolah sebuah magnet raksasa yang terus-menerus
mencoba menarik sebatang besi besar di tepi sumur itu.
"Lho, sebetulnya di mana rumah Dimas?"
"Tentang rumah yang lama? Maksud
saya, yang sekarang?"
"Ya."
"Mbakyu akan tahu sendiri
nanti."
Kediam-diaman lagi.
"Dimas, engkau selalu tidak mau
menunjukkan rumahmum."
Diam sebentar.
"Sebetulnya Mbakyu saat ini tidak
usah mengetahui."
"Mengapa?"
"Tidak apa-apa."
Mereka berdua lagi-lagi diam.
"Padahal bagiku mencari rumah baru
itu terlalu sulit, terlalu berat."
"Memang, mencari rumah sekarang ini
sulit."
"Bukan tentang sulitnya mencari
yang baru, tetapi sukarnya meninggalkan yang lama."
"Kalau begitu, mengapa mesti
ditinggalkan?"
"Sebagai sudah saya katakan tadi,
Mbakyu, ada lain pihak yang menekan rumahku dan aku merasakan terlalu
sempit."
"Siapa pihak lagi itu?"
"Tidak perlu juga
kusebut-sebut," jawab sang tamu.
"Engkau Dimas, terlalu baik
hati," kata Suriah.
Mereka menjadi kediam-diaman. Terdengar
di ruang tengah jam berbunyi menandakan pukul delapan malam.
"Aku rasa-rasakan hidup di masa ini
serba aneh," kata sang tamu.
"Sebetulnya tak ada yan ganeh dalam
hidup ini. Juga kebetulan dengan hidupku ini."
"Artinya tidak seperti orang
biasanya. Itu maksudku."
Lagi-lagi termenung kediam-diaman.
Tamu malam itu menyambungi, "Mbakyu
sebetulnya bisa melihat aku hanya seperti orang biasa."
"Jarang sekali Dimas
kelihatan."
"Aku lebih senang berkubur di
rumah."
"Maka itu saya jarang melihat
Dimas. Rupanya, memang lebih senang di rumah. Dan seperti kata Dimas tadi,
lebih senang berkubur di rumah. Apa saja sih yang dikerjakan di
rumah?"
"Ah, pertanyaan Mbakyu sepertinya
hanya sambil lalu saja."
"Bersunyi-sunyi? Ke kantor atau
tempat kerja Dimas juga Dimas tidak pernah saya lihat. Pagi? Sore? Atau
malam?""ya."
"Enak hidup seperti itu?
Bahagia?"
"Tak ada yang melebihi
kesunyian."
Dalam hati Suriah timbul perasaan
kasihan terhadapnya. Tetapi bersamaan dengan itu timbul pula kemisterian.
Bahkan Suriah bergidik.
"Kalau begitu dolan-dolan
saja ke sini. Main ke sini Tapi sebaiknya kalahu Mas Ben ada di rumah. Mas Ben
juga tentu akan merasa senang."
Setelah itu Suriah menunduk, merasa
bahwa sebenarnyalah kata-katanya itu sudah terlanjur diucapkan. Dan
sesungguhnyalah ia merasa menyesal mengucapkannya.
"Kalau aku? Aku tidak tahan
kesunyian."
"Lain dengan diriku, Mbakyu.
Kesunyian, bagiku, kini telah menjadi sesuatu kekekalan. Suatu keabadian."
"Apa saja sih yang
kaukerjakan di rumah?" Sekali lagi terucap hal itu oleh Suriah. Dari tadi
ia memang menantikan jawabannya.
"Mbakyu ingin tahu?"
"Ya."
"Sungguh?"
"Ya, Sungguh!"
"Sepertinya, kok hanya
pertanyaan sambilan saja. Atau hanya sekadar untuk basa-basi saja."
"Tidak, bukan untuk basa-basi. Aku
ingin tahu sungguh."
"Kalau begitu, nanti sajalah jika
saya sudah mau pulang, akan aku bisikkan."
"Rupanya, kok seperti suatu
hal yang pelik.;
"Ya..., begitulah memang. Aku kira
memang juga begitu."
Di luar terdengar anjing menggonggong.
Gonggongan ini makin lama makin terasa mengerikan.
"Mbakyu ingin tahu atau ingin
mendengar riwayat hidupku?"
"Apa panjang? Apa panjang
sekali?"
"Tidak akan aku ceritakan
seluruhnya. Nanti terlalu panjang."
"Tentu bagian yang penting
bagimu."
Lagi, Suriah merasa terlanjur menanyakan
hal itu, sebab sebetulnya ia tidak ingin mendengarkan cerita riwayat tamunya
ini. Sebab, untuk apa mau mendengarkan riwayat orang lain seperti itu?
"Betul, Mbakyu. Pandai Mbakyu
menerka."
"Biarpun hanya bagian yang penting,
tapi panjang cerita itu?"
"Ah, rupanya Mbakyu sudah tidak
sabar lagi?"
Memang. Suriah sudah merasa pusing oleh
perasaan aneh yang selalu timbul jika dia berhadapan dengan Naryo. Yang kini
menjadi tamunya, dan yang dia anggap sudah waktunya harus pulang. Apalagi
karena suaminya kebetulan tidak ada di rumah. Jika ditatapnya mata Naryo,
lubang sumur itu serasa makin mendalam dan kini di dalamnya seolah-olah
terlihat ular-ular besar saling menggulung-gulung. Dirasakannya tembok tepi
sumur tempatnya bersandar makin merendah dan badannya seperti makin hendak
jatuh ke dalam sumur.
"Kepalaku pusing untuk mendengarkan
cerita-cerita yang ngeri, yang menyeramkan, yang mendirikan bulu kuduk."
"Ceritaku tidak mengerikan."
"Tapi itu suatu bagian yang penting
dan barangkali yang sangat penting, bahkan terpenting.''
"Itu betul, Mbakyu."
"Itu pasti bagian yang terpenting
dari riwayat hidupmu. Jadi, pasti pelik-pelik."
"Itu betul, Mbakyu. Tapi ceritaku
ini tidak panjang. Pendek saja."
"Ya, kalau begitu saya mencoba
mendengarkan."
Agak lama sang tamu itu terdiam sebelum
memulai ceritanya.
"Ketika itu," dia memulai
ceritanya, "keluargaku dalam keadaan baik. Rumah orangtuaku bagus.
Orangtuaku memang orang yan gkaya. Dan kami semua hidup dalam suasana kemewahan
serta, yang penting, kebahagiaan."
Diam sebentar. Setelah menghirup napas
yang panjang, dilanjutkannya ceritanya. Dengan suara menambah sedikit semangat.
"Aku masih pemuda. Badanku lebih
besar daripada sekarang. Aku gemar olahraga. Dan gemar musik. Olahraga dan
musik, Mbakyu."
Diam lagi. Menghirup udara agar dapat
menghirup napas panjang.
"Perang dengan Jepang pecah, dan
aku masuk tentara Hindia Belanda. Jepang akhirnya mendarat di tiga tempat di
pulau Jawa. Jepang datang, Mbakyu. Pertempuran hanya sebentar. Pertempuran yang
tidak seru, tidak berarti. Tentara Belanda yang sangat dibanggakan kalah dan
menyerah begitu saja. Tapi aku bisa meloloskan diri. Di suatu tempat, ya, tidak
jauh dari sini, aku tertangkap oleh satu regu tentara Jepang, meskipun aku
sudah berusaha penuh untuk melarikan diri dan bersembunyi, ternyata sia-sia
belaka. Mungkin kalau aku tidak melarikan diri, tetapi menyerah bersama tentara
induk kami, aku malah selamat. Maksudku, tidak mengalami penyiksaan. Pukulan-pukulan
bertubi-tubi ke badanku. Penyiksaan yang lain juga aku alami. Disiksa dengan
kejam.
Rangka
Riyono Pratikto
"AKU sudah berkali-kali berkata,
lebih baik kita pindah saja dari rumah ini," kata Suriah kepada suaminya.
Mukanya bersungguh-sungguh, badannya agak lesu.
"Aku sendiri tidak mengerti dengan
kemauanmu itu, Yah. Rumah ini telah aku buat, sedang rencana-rencananya adalah
juga menurut desain ataupun kehendak-kehendakmu."
Di luar, alam mulai gelap, sebentar
lewat sebuah mobil merah, di jalan yang rata, halus, dan tak berdebu. Di dalam
mobil kelihatan anak-anak bersuka ria. Rumput-rumput di sepanjang jalan itu
dijadikannya bergerak-gerak perlahan oleh angin yang timbul.
"Bukanm begitu," kata Suriah.
"Aku sudah senang dengan hasilmu membangun rumah ini. Jendela-jendelanya
lebar-lebar, cahaya bisa masuk banyak. Modelnya pun benar menurut model kita
berdua."
"Kalau begitu, apa pula yang
kaujadikan alasan, kita harus meninggalkan rumah ini? Rumah kita ini sudah
cocok, katamu sesuai dengan angan-angan kita berdua. Dan lagi pula, rumah kita
ini kepunyaan kita bersama, kita b erdua. kan harus menyewa rumah kalau kita
pindah. Sedangkan untuk membangun yang baru lagi, rasanya sekarang belum
mungkin."
"Engkau bertanya lagi tentang
alasan?"
"Ya."
"Sudah aku katakan
berkali-kali."
"Apa lagi?"
"Bunyi biola itu. Bagaimana?"
Kedua mereka itu jadi terdiam jika telah
tiba pada kata-kata Suriah ini. Benyamin menyandarkan badannya pada kursi,
kakinya direntangkannya. Pikirannya mulai kacau lagi. Berkali-kali istrinya itu
minta pindah rumah, alasannya karena dia selalu mempunyai perasaan takut-takut
saja. Malam dia dibangunkan, dan istrinya itu bertanya, "Engkau tidak
mendengar, Mas?!"
"Dengar apa?"
"Biola yang merayu."
"Aku tak dengar apa-apa!"
"Aku mendengarnya jelas
sekali!"
"Dari mana? Dari arah mana?"
"Dari tembok, dari arah bawah
tembok sebelahku ini."
Dari balik tembok itu ialah kamar kerja
tempat Benyamin bekerja. Alat-alat dan perkakas mesin gambar, tumpukan
kertas-kertas tebal, dan buku-buku arsitektur.
"Aku bekerja di kamar sebelah
sampai malam, sampai larut malam, tak pernah mendengar suara apa-apa, apalagi
suara biola."
"Di sini, Mas, bukan di kamar
sebelah."
"Di situ pun aku tak
mendengarnya."
"Radio sudah dimatikan?"
"Sudah tentu, sebelum aku masuk
tidur."
"Kalau begitu, itu suara apa,
Mas?"
"Heh, heh,'' keluhnya.
Kediam-diaman sebentar.
"Mungkin itu hanya pendengaranmu
saja."
Suriah merasa kesal dengan jawaban ini.
Dia merasa jelas sekali telah mendengar bunyi biola itu. Tetapi apa sebab
suaminya tidak mendengarnya?
"Engkau benar-benar tidak mendengarnya,
Mas?"
"Benar-benar tidak.:
"Kalau begitu, itu suatu tanda
adanya makhluk halus."
"Engkau percaya dengan makhluk
seperti itu, Dik?"
"Entahlah."
"Rumah kita ini 'padang', kalau
malam pun bisa terang-benderang. Apabila semua lampu dinyalakan. Tidak gelap
atau menakutkan. Di sebelah kanan rumah kita, bukan lagi lapangan yang
ditumbuhi alang-alang seperti dulu. Sudah ada rumah baru yang dibangun, rumah
tetangga kita."
"Ya, betul."
"Apa pula yang kautakutkan?"
"Tapi kadang-kadang aku mempunyai
suatu perasaan takut."
'Ah, tidak apa-apa. Nanti akan hilang
dengan sendirinya."
Dan dirangkulnya istrinya dengan penuh
rasa sayang. Tetapi semalaman itu ia tidak dapat tidur.
Benyamin menjadi kacau pikirannya, jika
memikirkan kejadian-kejadian seperti pada malam hari begini.
Digaru-garuknya belakangnya, dan
diambilnya rokok sebatang dari bungkusnya yang terletak di atas meja. Belum
sampai dinyalakannya korek apinya, dan diisapnya rokoknya itu dalam-dalam
sampai hampir keselak.
Dikumpulkannya asapnya sambil sedikit
terbatuk-batuk.
"Nanti malam aku harus pergi,
Yah."
"Ah, kemana, Mas?"
"Ke rumah Diman, diundang. Mau
mengadakan pertemuan membicarakan dan membahas tentang beberapa bangunan di
sekitar jembatan yang direncanakan akan dibangun juga."
"Lama?"
"Iiiiiya. Tapi mungkin dapat
dipercepat."
Pintu belakang terbuka, perempuan
pembantu masuk. Ia menekan stop kontak, dan lampu menyala.
"Jendela-jendela ditutupi sekarang
juga, Mbok. Bapak mau pergi."
"Saya, Bu."
Jendela-jendela kaca ditutup. Tetapi di
luar masih kelihatan remang-remang. Sebentar-sebentar mobil lewat, sebelum itu
cahaya lampunya yang kelihatan lebih dulu.
"Engkau tidak makan malam dulu,
Mas?"
"Nanti saja pulangnya."
"Terlalu malam nanti, lebih baik
sekarang saja."
"Boleh juga."
Kepada si mbok Suriah berteriak,
"Mbok, tata ambeng ya! Bapak mau makan sekarang saja sebelum
pergi."
si mbok mnghilang ke belakang.
"Engkau tidak mandi dulu,'' sahut
Suriah.
"Badanku tidak enak rasanya,"
sahut Suriah.
"Kalau begitu, aku pergi tidak akan
lama-lama. Kuusahakan cepat selesai.'
Dikepulkannya pula asap rokoknya. Dan
pikirannya melayang pula. Terasa kusut sekali. Sampai malam dia terjaga, belum
pernah juga olehnya terdengar suara biola seperti yang dikatakan istrinya itu.
Dan istrinya lesu saja kelihatannya, atau wajahnya cemberut, jika malamnya baru
mengeluh tentang suara-suara itu.
Seperempat jam kemudian, mereka berdua
berdiri, dan berjalan menuju ke kamar makan.
Tak banyak cakap mereka. Suriah
kelihatan lesu. Dan makan tidak banyak. Selesai makan, mereka masuk ke kamar
tidur. Benyamin berganti pakaian bersiap untuk pergi. Suriah duduk di pinggir
tempat tidur memperhatikan suaminya.
Benyamin duduk di sisinya.
"Keadaanmu baik, Ya? Bisa aku
tinggal sebentar kan?"
Suriah mengangguk.
"Ah."
Dirangkulnya suaminya.
"Kalau begitu, kita membangun rumah
baru saja lagi," kata Benyamin setengah berbisik, dan seolah melanjutkan
pembicaraan, sesuatu yang pada waktu itu tidak disinggung untuk dibicarakan.
Kepala Suriah tersandar pada bahu
suaminya, dan tangan Benyamin mengusap-usap rambut istrinya.
"Tapi kita harus sabar
sedikit," bisik Benyamin lagi. "kita harus punya cukup uang dulu
sebelum membangun rumah baru."
Mata Suriah mulai lembab karena terharu.
"Apa tidak bisa kita pindah saja
sekarang? Menyewa atau mengontrak rumah untuk sementara?"
Diam. Mereka berdua makin merapat
duduknya.
"Jika seperti itu kehendakmu,
baiklah. Tetapi agak sukar juga mencari rumah kosong. Tapi aku akan berusaha
keras."
Dan Benyamin berangkat. Suriah tinggal
di rumah sendirian. Di ruang dapur di belakang, mbok sedang membersihkan
piring-piring.
Mereka belum mempunyai anak dan baru
satu tahun mereka menikah. Hanya mereka bertiga saja penghuni rumah itu,
Benyamin dan istri, serta si mbok pembantu rumah tangga. Ditambah seorang
tukang kebun yang pulang ke rumahnya sore hari.
Suriah tiduran di tempat tidurnya di
kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, diikuti suara bel
berbunyi.
"Tentu ada sesuatu yang lupa,"
pikir Suriah.
Dia bangun dengan cepat dan setengah
lari menuju ke pintu depan. Tetapi mbok sudah sampai lebih dulu, dan dengan
tergesa-gesa dia kembali menjumpai Suriah.
"Ada Aden Naryo di depan."
"Sudah kaukatakan, Bapak tidak di
rumah?"
"Sudah, tetapi dia ingin ketemu
dengan Ibu katanya, jika Bapak tidak di rumah."
"Oooo."
Suriah kembali masuk ke kamar tidurnya.
Setelah sebentar mengganti pakaian dengan yang patut, Suriah keluar untuk
menemui tamu itu.
"Oooo, selamat malam, Dimas."
"Selamat malam. Mas Ben lagi pergi
ke mana?"
"Sedang pergi ke rumah saudara
Diman. Silakan duduk, ada keperluan apa? Bisa saya bantu?"
Mereka berdua duduk, dan kembali timbul
suatu perasaan aneh dalam dada Suriah, seperti biasanya apabila dia berhadapan
dengan Naryo.
"Ada keperlua apa, Dimas?"
tanya Suriah satu kali lagi.
"Ah, hanya sanja-sanja
saja," jawab Naryo.
"Tapi tentu kalau Dimas lagi datang
ke sini, Mas ben sedang pergi."
Naryo tertawa kecil, dan menyambung
dengan suara antara ada dan tidak ada.
"Ah itu hanya tidak
disengaja."
Wajahnya dan khususnya mata, bahunya
persegi, tinggi, dan berisi.
"Anu, Mbakyu. Saya sedang mencari
rumah baru. Sebab di rumah yang lama, ya, yang kini ini, terlalu sempit
seolah-olah saya ditindih atap."
Perasaan yang aneh yang timbul di dalam
dada Suriah makin menjadi aneh. Ditatapnya mata tamunya itu, dan tiba-tiba dia
makin merasa seolah-olah memandang dua luban sumur yang terlalu dalam dan tak
berair. Dan dasar sumur itu seolah sebuah magnet raksasa yang terus-menerus
mencoba menarik sebatang besi besar di tepi sumur itu.
"Lho, sebetulnya di mana rumah Dimas?"
"Tentang rumah yang lama? Maksud
saya, yang sekarang?"
"Ya."
"Mbakyu akan tahu sendiri
nanti."
Kediam-diaman lagi.
"Dimas, engkau selalu tidak mau
menunjukkan rumahmum."
Diam sebentar.
"Sebetulnya Mbakyu saat ini tidak
usah mengetahui."
"Mengapa?"
"Tidak apa-apa."
Mereka berdua lagi-lagi diam.
"Padahal bagiku mencari rumah baru
itu terlalu sulit, terlalu berat."
"Memang, mencari rumah sekarang ini
sulit."
"Bukan tentang sulitnya mencari
yang baru, tetapi sukarnya meninggalkan yang lama."
"Kalau begitu, mengapa mesti
ditinggalkan?"
"Sebagai sudah saya katakan tadi,
Mbakyu, ada lain pihak yang menekan rumahku dan aku merasakan terlalu
sempit."
"Siapa pihak lagi itu?"
"Tidak perlu juga
kusebut-sebut," jawab sang tamu.
"Engkau Dimas, terlalu baik
hati," kata Suriah.
Mereka menjadi kediam-diaman. Terdengar
di ruang tengah jam berbunyi menandakan pukul delapan malam.
"Aku rasa-rasakan hidup di masa ini
serba aneh," kata sang tamu.
"Sebetulnya tak ada yan ganeh dalam
hidup ini. Juga kebetulan dengan hidupku ini."
"Artinya tidak seperti orang
biasanya. Itu maksudku."
Lagi-lagi termenung kediam-diaman.
Tamu malam itu menyambungi, "Mbakyu
sebetulnya bisa melihat aku hanya seperti orang biasa."
"Jarang sekali Dimas
kelihatan."
"Aku lebih senang berkubur di
rumah."
"Maka itu saya jarang melihat
Dimas. Rupanya, memang lebih senang di rumah. Dan seperti kata Dimas tadi,
lebih senang berkubur di rumah. Apa saja sih yang dikerjakan di
rumah?"
"Ah, pertanyaan Mbakyu sepertinya
hanya sambil lalu saja."
"Bersunyi-sunyi? Ke kantor atau
tempat kerja Dimas juga Dimas tidak pernah saya lihat. Pagi? Sore? Atau
malam?""ya."
"Enak hidup seperti itu?
Bahagia?"
"Tak ada yang melebihi
kesunyian."
Dalam hati Suriah timbul perasaan
kasihan terhadapnya. Tetapi bersamaan dengan itu timbul pula kemisterian.
Bahkan Suriah bergidik.
"Kalau begitu dolan-dolan
saja ke sini. Main ke sini Tapi sebaiknya kalahu Mas Ben ada di rumah. Mas Ben
juga tentu akan merasa senang."
Setelah itu Suriah menunduk, merasa
bahwa sebenarnyalah kata-katanya itu sudah terlanjur diucapkan. Dan
sesungguhnyalah ia merasa menyesal mengucapkannya.
"Kalau aku? Aku tidak tahan
kesunyian."
"Lain dengan diriku, Mbakyu.
Kesunyian, bagiku, kini telah menjadi sesuatu kekekalan. Suatu keabadian."
"Apa saja sih yang
kaukerjakan di rumah?" Sekali lagi terucap hal itu oleh Suriah. Dari tadi
ia memang menantikan jawabannya.
"Mbakyu ingin tahu?"
"Ya."
"Sungguh?"
"Ya, Sungguh!"
"Sepertinya, kok hanya
pertanyaan sambilan saja. Atau hanya sekadar untuk basa-basi saja."
"Tidak, bukan untuk basa-basi. Aku
ingin tahu sungguh."
"Kalau begitu, nanti sajalah jika
saya sudah mau pulang, akan aku bisikkan."
"Rupanya, kok seperti suatu
hal yang pelik.;
"Ya..., begitulah memang. Aku kira
memang juga begitu."
Di luar terdengar anjing menggonggong.
Gonggongan ini makin lama makin terasa mengerikan.
"Mbakyu ingin tahu atau ingin
mendengar riwayat hidupku?"
"Apa panjang? Apa panjang
sekali?"
"Tidak akan aku ceritakan
seluruhnya. Nanti terlalu panjang."
"Tentu bagian yang penting
bagimu."
Lagi, Suriah merasa terlanjur menanyakan
hal itu, sebab sebetulnya ia tidak ingin mendengarkan cerita riwayat tamunya
ini. Sebab, untuk apa mau mendengarkan riwayat orang lain seperti itu?
"Betul, Mbakyu. Pandai Mbakyu
menerka."
"Biarpun hanya bagian yang penting,
tapi panjang cerita itu?"
"Ah, rupanya Mbakyu sudah tidak
sabar lagi?"
Memang. Suriah sudah merasa pusing oleh
perasaan aneh yang selalu timbul jika dia berhadapan dengan Naryo. Yang kini
menjadi tamunya, dan yang dia anggap sudah waktunya harus pulang. Apalagi
karena suaminya kebetulan tidak ada di rumah. Jika ditatapnya mata Naryo,
lubang sumur itu serasa makin mendalam dan kini di dalamnya seolah-olah
terlihat ular-ular besar saling menggulung-gulung. Dirasakannya tembok tepi
sumur tempatnya bersandar makin merendah dan badannya seperti makin hendak
jatuh ke dalam sumur.
"Kepalaku pusing untuk mendengarkan
cerita-cerita yang ngeri, yang menyeramkan, yang mendirikan bulu kuduk."
"Ceritaku tidak mengerikan."
"Tapi itu suatu bagian yang penting
dan barangkali yang sangat penting, bahkan terpenting.''
"Itu betul, Mbakyu."
"Itu pasti bagian yang terpenting
dari riwayat hidupmu. Jadi, pasti pelik-pelik."
"Itu betul, Mbakyu. Tapi ceritaku
ini tidak panjang. Pendek saja."
"Ya, kalau begitu saya mencoba
mendengarkan."
Agak lama sang tamu itu terdiam sebelum
memulai ceritanya.
"Ketika itu," dia memulai
ceritanya, "keluargaku dalam keadaan baik. Rumah orangtuaku bagus.
Orangtuaku memang orang yan gkaya. Dan kami semua hidup dalam suasana kemewahan
serta, yang penting, kebahagiaan."
Diam sebentar. Setelah menghirup napas
yang panjang, dilanjutkannya ceritanya. Dengan suara menambah sedikit semangat.
"Aku masih pemuda. Badanku lebih
besar daripada sekarang. Aku gemar olahraga. Dan gemar musik. Olahraga dan
musik, Mbakyu."
Diam lagi. Menghirup udara agar dapat
menghirup napas panjang.
"Perang dengan Jepang pecah, dan
aku masuk tentara Hindia Belanda. Jepang akhirnya mendarat di tiga tempat di
pulau Jawa. Jepang datang, Mbakyu. Pertempuran hanya sebentar. Pertempuran yang
tidak seru, tidak berarti. Tentara Belanda yang sangat dibanggakan kalah dan
menyerah begitu saja. Tapi aku bisa meloloskan diri. Di suatu tempat, ya, tidak
jauh dari sini, aku tertangkap oleh satu regu tentara Jepang, meskipun aku
sudah berusaha penuh untuk melarikan diri dan bersembunyi, ternyata sia-sia
belaka. Mungkin kalau aku tidak melarikan diri, tetapi menyerah bersama tentara
induk kami, aku malah selamat. Maksudku, tidak mengalami penyiksaan. Pukulan-pukulan
bertubi-tubi ke badanku. Penyiksaan yang lain juga aku alami. Disiksa dengan
kejam.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as