Akira
Helvy Tiana Rosa
Pesawat Garuda
jurusan Jakarta-Tokyo itu mendarat di Bandara Narita. Pukul 11.00 waktu Tokyo.
Akira menghirup
nafas dalam. Dirasakannya kesejukan udara tanah kelahirannya merasuk hingga ke
tulang sumsum. Ia tersenyum tipis, sebelum akhirnya melangkah perlahan menuruni
tangga pesawat.
''Dozo osaki e (Teruslah
maju)!'' teriak seorang lelaki di belakangnya yang tampak terburu-buru. Akira
menepi dan kemudian mempercepat langkahnya. Ia seperti lupa, di Jepang semua
serba cepat. Tak ada orang yang sudi berlambat-lambat.
Akira keluar dari
bandara dan memanggil takushi (taksi). Ia segera menuju stasiun kereta
api bawah tanah. Dengan kereta tersebut diharapkannya ia segera sampai ke
daerah Ginza, Tokyo. Akamatsu Doori Banggoo 17, rumah yang telah lebih dari dua
tahun ditinggalkannya.
Sepanjang jalan,
rasa rindunya membuncah. Bagaimana keadaan Chichi (ayah), Haha
(ibu)? Juga Ani (abang) dan Ane (kakak)?
Dua tahun ia
belajar di negeri orang, hanya surat demi surat yang dikirimkannya. Dua shoogatsu
(tahun baru) ia tak pulang! Chichi, Haha, semua menanyakannya
lewat surat mereka. Bukan, bukan ia tak mau pulang. Ia ingin. Ingin
sekali! Namun, kondisi
dirinya yang telah jauh berubah kini yang membuatnya berat melangkah
pulang.
Dan studi bahasanya di Indonesia selalu dijadikan alasan untuk itu.
Tiba-tiba mata
Akira berkaca. Bagaimana pendapat mereka andai mengetahui bahwa ia telah
menjadi muslim?
Kini seperti pada
dirinya sendiri, lirih Akira bersenandung,
Sekai o tsukutta
kami wa/ subeteno monomo/
Dareka tsukuttawa/
daredemo dekinai keredo/
Allah shika tsuku
renoitowa/ hakkiri to wakatta/
Aru hiro wa sono
koto o/ shinyoo dekinainoka/
Anata no kangaewa
doo/ watashi wa hontoni shinjiru/
Qur'an o mainichi/
yonde kudasai/
Muslim, muslim
watashi wa...
Sekitar satu
setengah tahun yang lalu, Isa, anak rohis jurusan sastra Jepang, mengajarkannya
lagu itu. Mata Akira basah. Subhanallah, ia benar-benar merasakan keimanan
menancap di dadanya! Ya, sejak lebih satu setengah tahun lalu. Dan ia tak ingin
kehilangan kenikmatan itu ...
Tuhan yang
menciptakan bumi/ dan seluruhnya/
Siapakah yang
menciptakan (Itu semua)?/ siapa pun tak
mampu/ Hanya Allah
semata yan bisa/ jelas kumengerti/
Mengapa ada orang/
yang menolak hal itu?/
Bagaimana pendapat
anda/ kalau aku sangat percaya/
Bacalah Qur'an
setiap hari/ Aku adalah muslim!
Muslim!
Akira mengusap
kedua matanya. Tiga pria berdasi di dalam kereta memandangnya. Akira
bersenandung lebih keras. Ia tak peduli. Bunyi huruf L-nya sudah lumayan. Hasil
dua tahun kuliah di jurusan sastra Indonesia di UI.
''Muslim... muslim
... watashiwa...''
Agama keluarga
Akira adalah Shinto. Ah, tapi orang Jepang memang tak terlampau peduli pada
agama. Bagi mereka, juga bagi Akira waktu itu, agama seperti budaya layaknya.
Boleh saja kita menganut dua agama, atau bahkan tak beragama sama sekali.
Pelajaran agama tak ditemukan dalam jenjang pendidikan mana pun di Jepang.
Begitulah.
Sesungguhnya, yang
paling membuat Akira enggan pulang adalah fenomena adat dan kebiasaan-kebiasaan
penduduk Jepang yang banyak berbau syirik itu. Hiii, ia jadi bergidik sendiri
kalau mengingat semua kebodohannya dulu...
Setiap perayaan Shoogatsu,
1 Januari, rumahnya akan dihiasi dengan umbul-umbul jerami dan ranting pohon
cemara, sebagaimana rumah-rumah lain di Jepang. Dulu, sebagaimana Chichi dan
Haha, ia yakin itu adalah penangkal masuknya segala sesuatu yang tak baik.
Kemudian bulan Februari awal ada perayaan Setsubun. Hampir tiap keluarga
merayakannya secara tradisional dengan menyebarkan kacang di sekeliling rumah
untuk mencegah masuknya roh jahat. Belum lagi perayaan Hina Matsuri
(festival boneka). Pada peringatan itu, keluarga yang mempunyai anak perempuan
memajang seperangkat boneka keluarga kerajaan istana purba sambil minum sake
khusus, putih manis. Lalu festival Tanabata tanggal 7 Juli. Dulu, pada
festival ini, ia, nisan dan oneesan berlomba-lomba menulis
keinginan mereka di atas secarik kertas berwarna, dan mengikatnya pada ranting
bambu.
Akira menerawang
sejenak. Ya, setiap tanggal 15 Juli/Agustus orang Jepang ramai membuat sesajen
bagi arwah keluarga mereka yang meninggal. Menarikan tari Bon Odori, dan
menghanyutkan lentera-lentera ke sungai agar para arwah bisa mengenali jalan
dari dan ke rumahnya. Ups, dan banyak lagi yang lain.
Satu setengah
tahun dalam naungan Islam membawa Akira kepada hakikat tauhid. Baru kemudian
terbuka matanya terhadap semua itu. Hal-hal yang musyrik dan jahil! Heran,
masyarakat Jepang yang maju dalam sains dan teknologi, ternyata terbata-bata
bahkan nyaris tak membaca tanda-tanda ketauhidan dan kekuasaan Allah.
''O namae wa (nama kamu
siapa)?''
Akira menoleh. Di
sampingnya, seorang pria muda berdasi tersenyum.
''Akira. Takamura
Akira,'' Akira balas tersenyum sambil menyebut namanya.
''Oo,
Takamura-san. Nama saya Mori Yutaro. Maaf, saya lihat anda melamun sejak tadi.
Maafkan saya,'' kata lelaki itu dengan ramah dalam bahasa Jepang.
Akira mengambil
Qur'an berbahasa Jepang yang dibelinya waktu bazaar Ramadhan di sebuah toko
buku di Indonesia. Perlahan ia mulai membaca dalam hati. Baru saja ditekuninya
kalimat demi kalimat, dirasakannya Morisan menatapnya lama.
''Anda orang
Islam?'' suara Mori-san mengagetkan Akira.
''Ya, mengapa?''
jawab Akira tenang dalam bahasa Jepang pula.
''Ya, Robbi!
Jarang sekali saya menemukan saudara seiman di Tokyo ini!'' Mori-san menjabat
tangan Akira erat-erat.
''Ini, ini kartu
nama saya. Datanglah sesekali untuk menyambung persaudaraan!''
Mata Akira
berbinar. Saudara seiman? Duhai, Maha Besar Allah!
Tak lama, mereka
larut dalam cerita. Akira menceritakan kala pertama ia masuk Islam. Waktu itu
FORMASI (Forum Amal dan Studi Islam) di FSUI menyelenggarakan kegiatan
Ramadhan. Ia datang ke bazaar, melihat-lihat. Besoknya ia datang lagi dan
ngobrol dengan aktivis FORMASI, tentang pokok-pokok ajaran Islam. Kemudian
besoknya ia lagi ia kembali datang membeli beberapa kaset nasyid (lagu) Islami
dan murottal. Dan hari-hari kemudian, ia merasakan kedamaian menyusupi hatinya
setiap berbicara soal Islam dan Iman. Sebelum Ramadhan 1991 usai, ia pun masuk
Islam. Benar-benar seperti dimudahkan Allah.
''Bagaimana dengan
anda, Mori-san?''
''Takamura-san,
anda pasti tertawa mendengar cerita saya. Waktu pertama kali saya ketahuan
menjalankan shalat sekitar tahun 1988, saya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh ibu
saya! Gara-gara saya shalat lail!'' Moi-san tertawa. ''Saya diislamkan DR.
Syauki Futaki, usai sembuh berobat di kliniknya,'' lanjut Mori-san.
Mereka terus
bercerita. Kini tiba-tiba semangat dakwah Akira membara. Akira mengajarkan Mori
Yutaro nasyid berbahasa Jepang yang diajarkan Isa padanya. Pelan-pelan mereka
bernasyid di kereta. Tak peduli puluhan pasang mata memandang.
''Muslim...
muslim... watashiwa..''
Di stasiun
Yurakucho mereka berpisah. Keharuan, kebanggaan dan denyut ukhuwah menghiasi
perpisahan siang itu. Akira mempercepat langkah pulang ke rumahnya. Ia belum
shalat Dzuhur! Lagipula... Chichi, Haha, Ani, Ane..., oh tak terkira rindu
Akira! Mereka pasti terkejut!
''Kamu seperti
sudah tidak sayang lagi pada Haha dan Chichi. Hanya memberi kabar dan tak
pernah kembali,'' peluk Haha erat sambil menangis keras.
Akira menitikkan
air mata.
''Chichi tidak
sakit-sakitan. Tapi berat badan sampai turun tujuh kilo memikirkanmu, Akira.''
''Ya, kami semua
rindu...,'' tambah Ani dan Ane.
Hari itu, sampai
pukul 01.00 waktu Tokyo, mereka sekeluarga masih bercakap-cakap di depan tungku
perapian. Melepaskan rindu dan saling bertukar cerita. Chichi bercerita tentang
toko di Ginza yang kini kian besar dan laris. Haha bercerita tentang kebun
sakura kecilnya di belakang rumah. Ani menceritakan tentang pekerjaan dan teman
gadis di kantornya. Dan Ane bercerita tentang rencana pertunangannya dengan
seorang insinyur yang bekerja di pabrik mobil di Aichi. Penuh perhatian Akira
mendengarkan.
''Usiamu sekarang
sudah 21 tahun. Siapa teman gadismu di Indonesia?'' tanya Haha diikuti kerling
mata yang lain.
''Teman? Tentu
banyak.''
''Yang istimewa.
Dulu Chichi seusiamu saja punya beberapa teman istimewa..., Chichi tertawa.
''Hah?! Fukanoo
(tak mungkin)!'' Haha cemberut.
''Teman biasa, tak
ada yang istimewa,'' Akira menunduk. Ia tengah berpikir, kira-kira tepat atau
tidak bila keislamannya disampaikan sekarang. Ia merasa tak enak menyembunyikan
hal yang kini paling prinsipil dalam hidupnya itu. Mana sejak tadi dia ngumpet
dan curi-curi waktu untuk shalat. Tapi...
''Sepertinya ada
yang berubah pada dirimu,'' kata Haha. ''Dulu paling suka sake yang Haha
hidangkan. Tapi kini sejak siang tak kau sentuh...''
''Ia, biasanya
Akira paling ribut dengan penyambutan ini itu dan nilai-nilai sakral dalam
upacara minum teh. Sekarng malah tidak mau diadakan upacara minum teh,'' timpal
Ane.
''Ada yang mau saya sampaikan pada semua. Entahlah, apakah ini saat yang tepat atau tidak.
Saya...,'' Akira ragu-ragu..., ia tahu keluarganya cukup erat menganut
Shinto-isme dibanding keluarga lain di Jepang.
''Katakan,'' kata
Chichi. ''Jangan ragu-ragu...''
''Saya...''
Yang lain
menunggu.
Dengan bismillah,
terucap pula pengakuan dari mulut Akira.
''Saya sekarang
muslim, Chichi... Haha..., maafkan saya.''
Sepi. Hanya tokek
yang bersuara di atap ruangan.
''Saya muslim. Dan
insya Allah itu takkan pernah berubah!''
Akira menatap
wajah Chichi, Haha, Ani dan Ane.
''Semoga keislaman
saya dapat diterima dalam keluarga ini.''
Di luar dugaan
Akira, Chichi tersenyum. ''Adakah yang keberatan?''
''Luar biasa,
Akira. Aku malah memutuskan untuk tidak menganut agama apa pun sejak setahun
kemarin,'' ujar Ani.
''Aku juga,''
sambung Ane. ''Tak terlalu penting apakah kita beragama atau tidak. Yang
penting kita selalu berbuat baik. Haha, bagaimana pendapat Haha?''
Akira tersenyum
getir, dan meneguk air putihnya.
''Ayo, ceritakan
tentang Islam!'' kata Chichi tiba-tiba.
''Ya, bagaimana
sih agama para orang Arab itu sebenarnya?'' tukas Ani diiringi anggukan yang
lain.
''Benar, semua
ingin mendengar?''
Haha menepuk-nepuk
pundak Akira. ''Ayo ceritakan!''
Sejenak Akira
terdiam.
''Islam bukan
agama untuk orang-orang tertentu. Islam sistem hidup yang menyeluruh dan
universal. Tak peduli siapa lahir di tanah mana, kita lahir dalam kesucian
Islam di bumi Allah. Nabi Adam sampai nabi Muhammad SAW, semua muslim.
Tunggu...'' Akira membuka tas jinjingnya dan mengeluarkan Qur'an berbahasa
Jepangnya. ''Ini kalimat-kalimat Allah. Allah telah membuka hati saya...''
Akira terus
bercerita dengan semangat. Alhamdulillah, keluarganya tak berkeberatan dengan
keislamannya. Tetapi..., jauh di lubuk hati, kesedihan merayapi Akira. Mampukah
ia membawa keluarganya pada nur Islam?
Rokugatsu (Juni),
8, 1993...
Telah lebih
seminggu Akira berada di Tokyo. Ya, lebih dari seminggu ia di Tokyo dan muslim
yang ditemuinya hanya Mori-san! Dan, tak seperti di Indonesia, semua ibadah
shalat, kini tak dapat dilakukannya berjama'ah. Cuma sendiri. Malah Chichi,
Haha, Ani dan Ane sering mengintip shalatnya dengan rasa ingin tahu. Terkadang
mereka tertawa-tawa. Entah menertawakan apa.
Hanya dua hari
yang lalu, ketika ia shalat Jum'at di Masjid Kobe - tiga jam dari Tokyo dengan shinkansen atau kereta ekspres, satu-satunya masjid yang diketahuinya
- hatinya berbuncah bahagia. Masjid penuh dengan kaum muslimin. Tetapi, banyak
di antara mereka yang rupanya begitu sibuk, sehingga ketika usai shalat, mereka
langsung bubar. Hanya beberapa gelintir saja yang tinggal. Padahal waktu itu
Akira ingin sekali bisa bersama mereka, saling memperkuat motivasi dan berpikir
untuk mengerahkan potensi optimal demi kemajuan dakwah Islam di Jepang. Tetapi
kiranya mereka terlalu sibuk. Ya..., akhirnya Akira tetap tak mau membuang
waktu percuma. Ia sempat berdiskusi soal dakwah dengan beberapa pemuda di sana.
''Akira, sudah jam
tujuh pagi. Cepat pergi ke toko!'' suara Chichi mengagetkan Akira.
''Hai, Chichi.''
''Mulai hari ini
toko serba ada ''Takamura'' sudah menjadi tanggung jawabmu. Ya, itu harus kau
maklumi mengingat abang dan kakakmu sudah punya pekerjaan sendiri. Aku akan mengawasi
kerjamu seminggu ini, sebelum aku berangkat ke Amerika.''
''Hai.'' Akira
tersenyum. Alhamdulillah, Chichi percaya padanya.
''Tapi Chichi,
boleh saya menyampaikan informasi keislaman kepada pengunjung toko kita?''
tanya Akira hati-hati.
Chichi diam
sesaat. ''Aa... tak apa asal tak mengganggu. Asal toko kita tetap laku.''
''Arigatoo.
Arigatoo gozaimasu (terima kasih), Chichi. Semoga bisnis barang elektronik
perusahaan Takamura di Akihabara dengan perusahaan di Amerika lancar. Dan
mengenai toserba Takamura di Ginza..., sepenuhnya saya akan bertanggung
jawab.''
Chichi
menepuk-nepuk bahu Akira dan tersenyum. ''Pada waktu mendatang, semoga
kemahiranmu berbahasa Indonesia bisa teruji karena Chichi berencana untuk
menanam modal perusahaan Taamura di sana...''
Akira tersenyum.
Tiba-tiba di benaknya muncul bayangan wajah beberapa ikhwah di Indonesia. Akh Rahmat, akh Yudi, Haikal, Isa, Mustafa, Andi..
Ya Rabbi..., ia
jadi kangen!
Helvy Tiana Rosa
Pesawat Garuda
jurusan Jakarta-Tokyo itu mendarat di Bandara Narita. Pukul 11.00 waktu Tokyo.
Akira menghirup
nafas dalam. Dirasakannya kesejukan udara tanah kelahirannya merasuk hingga ke
tulang sumsum. Ia tersenyum tipis, sebelum akhirnya melangkah perlahan menuruni
tangga pesawat.
''Dozo osaki e (Teruslah
maju)!'' teriak seorang lelaki di belakangnya yang tampak terburu-buru. Akira
menepi dan kemudian mempercepat langkahnya. Ia seperti lupa, di Jepang semua
serba cepat. Tak ada orang yang sudi berlambat-lambat.
Akira keluar dari
bandara dan memanggil takushi (taksi). Ia segera menuju stasiun kereta
api bawah tanah. Dengan kereta tersebut diharapkannya ia segera sampai ke
daerah Ginza, Tokyo. Akamatsu Doori Banggoo 17, rumah yang telah lebih dari dua
tahun ditinggalkannya.
Sepanjang jalan,
rasa rindunya membuncah. Bagaimana keadaan Chichi (ayah), Haha
(ibu)? Juga Ani (abang) dan Ane (kakak)?
Dua tahun ia
belajar di negeri orang, hanya surat demi surat yang dikirimkannya. Dua shoogatsu
(tahun baru) ia tak pulang! Chichi, Haha, semua menanyakannya
lewat surat mereka. Bukan, bukan ia tak mau pulang. Ia ingin. Ingin
sekali! Namun, kondisi
dirinya yang telah jauh berubah kini yang membuatnya berat melangkah
pulang.
Dan studi bahasanya di Indonesia selalu dijadikan alasan untuk itu.
Tiba-tiba mata
Akira berkaca. Bagaimana pendapat mereka andai mengetahui bahwa ia telah
menjadi muslim?
Kini seperti pada
dirinya sendiri, lirih Akira bersenandung,
Sekai o tsukutta
kami wa/ subeteno monomo/
Dareka tsukuttawa/
daredemo dekinai keredo/
Allah shika tsuku
renoitowa/ hakkiri to wakatta/
Aru hiro wa sono
koto o/ shinyoo dekinainoka/
Anata no kangaewa
doo/ watashi wa hontoni shinjiru/
Qur'an o mainichi/
yonde kudasai/
Muslim, muslim
watashi wa...
Sekitar satu
setengah tahun yang lalu, Isa, anak rohis jurusan sastra Jepang, mengajarkannya
lagu itu. Mata Akira basah. Subhanallah, ia benar-benar merasakan keimanan
menancap di dadanya! Ya, sejak lebih satu setengah tahun lalu. Dan ia tak ingin
kehilangan kenikmatan itu ...
Tuhan yang
menciptakan bumi/ dan seluruhnya/
Siapakah yang
menciptakan (Itu semua)?/ siapa pun tak
mampu/ Hanya Allah
semata yan bisa/ jelas kumengerti/
Mengapa ada orang/
yang menolak hal itu?/
Bagaimana pendapat
anda/ kalau aku sangat percaya/
Bacalah Qur'an
setiap hari/ Aku adalah muslim!
Muslim!
Akira mengusap
kedua matanya. Tiga pria berdasi di dalam kereta memandangnya. Akira
bersenandung lebih keras. Ia tak peduli. Bunyi huruf L-nya sudah lumayan. Hasil
dua tahun kuliah di jurusan sastra Indonesia di UI.
''Muslim... muslim
... watashiwa...''
Agama keluarga
Akira adalah Shinto. Ah, tapi orang Jepang memang tak terlampau peduli pada
agama. Bagi mereka, juga bagi Akira waktu itu, agama seperti budaya layaknya.
Boleh saja kita menganut dua agama, atau bahkan tak beragama sama sekali.
Pelajaran agama tak ditemukan dalam jenjang pendidikan mana pun di Jepang.
Begitulah.
Sesungguhnya, yang
paling membuat Akira enggan pulang adalah fenomena adat dan kebiasaan-kebiasaan
penduduk Jepang yang banyak berbau syirik itu. Hiii, ia jadi bergidik sendiri
kalau mengingat semua kebodohannya dulu...
Setiap perayaan Shoogatsu,
1 Januari, rumahnya akan dihiasi dengan umbul-umbul jerami dan ranting pohon
cemara, sebagaimana rumah-rumah lain di Jepang. Dulu, sebagaimana Chichi dan
Haha, ia yakin itu adalah penangkal masuknya segala sesuatu yang tak baik.
Kemudian bulan Februari awal ada perayaan Setsubun. Hampir tiap keluarga
merayakannya secara tradisional dengan menyebarkan kacang di sekeliling rumah
untuk mencegah masuknya roh jahat. Belum lagi perayaan Hina Matsuri
(festival boneka). Pada peringatan itu, keluarga yang mempunyai anak perempuan
memajang seperangkat boneka keluarga kerajaan istana purba sambil minum sake
khusus, putih manis. Lalu festival Tanabata tanggal 7 Juli. Dulu, pada
festival ini, ia, nisan dan oneesan berlomba-lomba menulis
keinginan mereka di atas secarik kertas berwarna, dan mengikatnya pada ranting
bambu.
Akira menerawang
sejenak. Ya, setiap tanggal 15 Juli/Agustus orang Jepang ramai membuat sesajen
bagi arwah keluarga mereka yang meninggal. Menarikan tari Bon Odori, dan
menghanyutkan lentera-lentera ke sungai agar para arwah bisa mengenali jalan
dari dan ke rumahnya. Ups, dan banyak lagi yang lain.
Satu setengah
tahun dalam naungan Islam membawa Akira kepada hakikat tauhid. Baru kemudian
terbuka matanya terhadap semua itu. Hal-hal yang musyrik dan jahil! Heran,
masyarakat Jepang yang maju dalam sains dan teknologi, ternyata terbata-bata
bahkan nyaris tak membaca tanda-tanda ketauhidan dan kekuasaan Allah.
''O namae wa (nama kamu
siapa)?''
Akira menoleh. Di
sampingnya, seorang pria muda berdasi tersenyum.
''Akira. Takamura
Akira,'' Akira balas tersenyum sambil menyebut namanya.
''Oo,
Takamura-san. Nama saya Mori Yutaro. Maaf, saya lihat anda melamun sejak tadi.
Maafkan saya,'' kata lelaki itu dengan ramah dalam bahasa Jepang.
Akira mengambil
Qur'an berbahasa Jepang yang dibelinya waktu bazaar Ramadhan di sebuah toko
buku di Indonesia. Perlahan ia mulai membaca dalam hati. Baru saja ditekuninya
kalimat demi kalimat, dirasakannya Morisan menatapnya lama.
''Anda orang
Islam?'' suara Mori-san mengagetkan Akira.
''Ya, mengapa?''
jawab Akira tenang dalam bahasa Jepang pula.
''Ya, Robbi!
Jarang sekali saya menemukan saudara seiman di Tokyo ini!'' Mori-san menjabat
tangan Akira erat-erat.
''Ini, ini kartu
nama saya. Datanglah sesekali untuk menyambung persaudaraan!''
Mata Akira
berbinar. Saudara seiman? Duhai, Maha Besar Allah!
Tak lama, mereka
larut dalam cerita. Akira menceritakan kala pertama ia masuk Islam. Waktu itu
FORMASI (Forum Amal dan Studi Islam) di FSUI menyelenggarakan kegiatan
Ramadhan. Ia datang ke bazaar, melihat-lihat. Besoknya ia datang lagi dan
ngobrol dengan aktivis FORMASI, tentang pokok-pokok ajaran Islam. Kemudian
besoknya ia lagi ia kembali datang membeli beberapa kaset nasyid (lagu) Islami
dan murottal. Dan hari-hari kemudian, ia merasakan kedamaian menyusupi hatinya
setiap berbicara soal Islam dan Iman. Sebelum Ramadhan 1991 usai, ia pun masuk
Islam. Benar-benar seperti dimudahkan Allah.
''Bagaimana dengan
anda, Mori-san?''
''Takamura-san,
anda pasti tertawa mendengar cerita saya. Waktu pertama kali saya ketahuan
menjalankan shalat sekitar tahun 1988, saya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh ibu
saya! Gara-gara saya shalat lail!'' Moi-san tertawa. ''Saya diislamkan DR.
Syauki Futaki, usai sembuh berobat di kliniknya,'' lanjut Mori-san.
Mereka terus
bercerita. Kini tiba-tiba semangat dakwah Akira membara. Akira mengajarkan Mori
Yutaro nasyid berbahasa Jepang yang diajarkan Isa padanya. Pelan-pelan mereka
bernasyid di kereta. Tak peduli puluhan pasang mata memandang.
''Muslim...
muslim... watashiwa..''
Di stasiun
Yurakucho mereka berpisah. Keharuan, kebanggaan dan denyut ukhuwah menghiasi
perpisahan siang itu. Akira mempercepat langkah pulang ke rumahnya. Ia belum
shalat Dzuhur! Lagipula... Chichi, Haha, Ani, Ane..., oh tak terkira rindu
Akira! Mereka pasti terkejut!
''Kamu seperti
sudah tidak sayang lagi pada Haha dan Chichi. Hanya memberi kabar dan tak
pernah kembali,'' peluk Haha erat sambil menangis keras.
Akira menitikkan
air mata.
''Chichi tidak
sakit-sakitan. Tapi berat badan sampai turun tujuh kilo memikirkanmu, Akira.''
''Ya, kami semua
rindu...,'' tambah Ani dan Ane.
Hari itu, sampai
pukul 01.00 waktu Tokyo, mereka sekeluarga masih bercakap-cakap di depan tungku
perapian. Melepaskan rindu dan saling bertukar cerita. Chichi bercerita tentang
toko di Ginza yang kini kian besar dan laris. Haha bercerita tentang kebun
sakura kecilnya di belakang rumah. Ani menceritakan tentang pekerjaan dan teman
gadis di kantornya. Dan Ane bercerita tentang rencana pertunangannya dengan
seorang insinyur yang bekerja di pabrik mobil di Aichi. Penuh perhatian Akira
mendengarkan.
''Usiamu sekarang
sudah 21 tahun. Siapa teman gadismu di Indonesia?'' tanya Haha diikuti kerling
mata yang lain.
''Teman? Tentu
banyak.''
''Yang istimewa.
Dulu Chichi seusiamu saja punya beberapa teman istimewa..., Chichi tertawa.
''Hah?! Fukanoo
(tak mungkin)!'' Haha cemberut.
''Teman biasa, tak
ada yang istimewa,'' Akira menunduk. Ia tengah berpikir, kira-kira tepat atau
tidak bila keislamannya disampaikan sekarang. Ia merasa tak enak menyembunyikan
hal yang kini paling prinsipil dalam hidupnya itu. Mana sejak tadi dia ngumpet
dan curi-curi waktu untuk shalat. Tapi...
''Sepertinya ada
yang berubah pada dirimu,'' kata Haha. ''Dulu paling suka sake yang Haha
hidangkan. Tapi kini sejak siang tak kau sentuh...''
''Ia, biasanya
Akira paling ribut dengan penyambutan ini itu dan nilai-nilai sakral dalam
upacara minum teh. Sekarng malah tidak mau diadakan upacara minum teh,'' timpal
Ane.
''Ada yang mau saya sampaikan pada semua. Entahlah, apakah ini saat yang tepat atau tidak.
Saya...,'' Akira ragu-ragu..., ia tahu keluarganya cukup erat menganut
Shinto-isme dibanding keluarga lain di Jepang.
''Katakan,'' kata
Chichi. ''Jangan ragu-ragu...''
''Saya...''
Yang lain
menunggu.
Dengan bismillah,
terucap pula pengakuan dari mulut Akira.
''Saya sekarang
muslim, Chichi... Haha..., maafkan saya.''
Sepi. Hanya tokek
yang bersuara di atap ruangan.
''Saya muslim. Dan
insya Allah itu takkan pernah berubah!''
Akira menatap
wajah Chichi, Haha, Ani dan Ane.
''Semoga keislaman
saya dapat diterima dalam keluarga ini.''
Di luar dugaan
Akira, Chichi tersenyum. ''Adakah yang keberatan?''
''Luar biasa,
Akira. Aku malah memutuskan untuk tidak menganut agama apa pun sejak setahun
kemarin,'' ujar Ani.
''Aku juga,''
sambung Ane. ''Tak terlalu penting apakah kita beragama atau tidak. Yang
penting kita selalu berbuat baik. Haha, bagaimana pendapat Haha?''
Akira tersenyum
getir, dan meneguk air putihnya.
''Ayo, ceritakan
tentang Islam!'' kata Chichi tiba-tiba.
''Ya, bagaimana
sih agama para orang Arab itu sebenarnya?'' tukas Ani diiringi anggukan yang
lain.
''Benar, semua
ingin mendengar?''
Haha menepuk-nepuk
pundak Akira. ''Ayo ceritakan!''
Sejenak Akira
terdiam.
''Islam bukan
agama untuk orang-orang tertentu. Islam sistem hidup yang menyeluruh dan
universal. Tak peduli siapa lahir di tanah mana, kita lahir dalam kesucian
Islam di bumi Allah. Nabi Adam sampai nabi Muhammad SAW, semua muslim.
Tunggu...'' Akira membuka tas jinjingnya dan mengeluarkan Qur'an berbahasa
Jepangnya. ''Ini kalimat-kalimat Allah. Allah telah membuka hati saya...''
Akira terus
bercerita dengan semangat. Alhamdulillah, keluarganya tak berkeberatan dengan
keislamannya. Tetapi..., jauh di lubuk hati, kesedihan merayapi Akira. Mampukah
ia membawa keluarganya pada nur Islam?
Rokugatsu (Juni),
8, 1993...
Telah lebih
seminggu Akira berada di Tokyo. Ya, lebih dari seminggu ia di Tokyo dan muslim
yang ditemuinya hanya Mori-san! Dan, tak seperti di Indonesia, semua ibadah
shalat, kini tak dapat dilakukannya berjama'ah. Cuma sendiri. Malah Chichi,
Haha, Ani dan Ane sering mengintip shalatnya dengan rasa ingin tahu. Terkadang
mereka tertawa-tawa. Entah menertawakan apa.
Hanya dua hari
yang lalu, ketika ia shalat Jum'at di Masjid Kobe - tiga jam dari Tokyo dengan shinkansen atau kereta ekspres, satu-satunya masjid yang diketahuinya
- hatinya berbuncah bahagia. Masjid penuh dengan kaum muslimin. Tetapi, banyak
di antara mereka yang rupanya begitu sibuk, sehingga ketika usai shalat, mereka
langsung bubar. Hanya beberapa gelintir saja yang tinggal. Padahal waktu itu
Akira ingin sekali bisa bersama mereka, saling memperkuat motivasi dan berpikir
untuk mengerahkan potensi optimal demi kemajuan dakwah Islam di Jepang. Tetapi
kiranya mereka terlalu sibuk. Ya..., akhirnya Akira tetap tak mau membuang
waktu percuma. Ia sempat berdiskusi soal dakwah dengan beberapa pemuda di sana.
''Akira, sudah jam
tujuh pagi. Cepat pergi ke toko!'' suara Chichi mengagetkan Akira.
''Hai, Chichi.''
''Mulai hari ini
toko serba ada ''Takamura'' sudah menjadi tanggung jawabmu. Ya, itu harus kau
maklumi mengingat abang dan kakakmu sudah punya pekerjaan sendiri. Aku akan mengawasi
kerjamu seminggu ini, sebelum aku berangkat ke Amerika.''
''Hai.'' Akira
tersenyum. Alhamdulillah, Chichi percaya padanya.
''Tapi Chichi,
boleh saya menyampaikan informasi keislaman kepada pengunjung toko kita?''
tanya Akira hati-hati.
Chichi diam
sesaat. ''Aa... tak apa asal tak mengganggu. Asal toko kita tetap laku.''
''Arigatoo.
Arigatoo gozaimasu (terima kasih), Chichi. Semoga bisnis barang elektronik
perusahaan Takamura di Akihabara dengan perusahaan di Amerika lancar. Dan
mengenai toserba Takamura di Ginza..., sepenuhnya saya akan bertanggung
jawab.''
Chichi
menepuk-nepuk bahu Akira dan tersenyum. ''Pada waktu mendatang, semoga
kemahiranmu berbahasa Indonesia bisa teruji karena Chichi berencana untuk
menanam modal perusahaan Taamura di sana...''
Akira tersenyum.
Tiba-tiba di benaknya muncul bayangan wajah beberapa ikhwah di Indonesia. Akh Rahmat, akh Yudi, Haikal, Isa, Mustafa, Andi..
Ya Rabbi..., ia
jadi kangen!
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as