Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    akira

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    akira Empty akira

    Post by sumanto Tue Aug 10, 2010 1:07 pm

    Akira


    Helvy Tiana Rosa





    Pesawat Garuda
    jurusan Jakarta-Tokyo itu mendarat di Bandara Narita. Pukul 11.00 waktu Tokyo.






    Akira menghirup
    nafas dalam. Dirasakannya kesejukan udara tanah kelahirannya merasuk hingga ke
    tulang sumsum. Ia tersenyum tipis, sebelum akhirnya melangkah perlahan menuruni
    tangga pesawat.






    ''Dozo osaki e (Teruslah
    maju)!'' teriak seorang lelaki di belakangnya yang tampak terburu-buru. Akira
    menepi dan kemudian mempercepat langkahnya. Ia seperti lupa, di Jepang semua
    serba cepat. Tak ada orang yang sudi berlambat-lambat.






    Akira keluar dari
    bandara dan memanggil takushi (taksi). Ia segera menuju stasiun kereta
    api bawah tanah. Dengan kereta tersebut diharapkannya ia segera sampai ke
    daerah Ginza, Tokyo. Akamatsu Doori Banggoo 17, rumah yang telah lebih dari dua
    tahun ditinggalkannya.






    Sepanjang jalan,
    rasa rindunya membuncah. Bagaimana keadaan Chichi (ayah), Haha
    (ibu)? Juga Ani (abang) dan Ane (kakak)?






    Dua tahun ia
    belajar di negeri orang, hanya surat demi surat yang dikirimkannya. Dua shoogatsu
    (tahun baru) ia tak pulang! Chichi, Haha, semua menanyakannya
    lewat surat mereka. Bukan, bukan ia tak mau pulang. Ia ingin. Ingin
    sekali! Namun, kondisi
    dirinya yang telah jauh berubah kini yang membuatnya berat melangkah
    pulang.
    Dan studi bahasanya di Indonesia selalu dijadikan alasan untuk itu.






    Tiba-tiba mata
    Akira berkaca. Bagaimana pendapat mereka andai mengetahui bahwa ia telah
    menjadi muslim?






    Kini seperti pada
    dirinya sendiri, lirih Akira bersenandung,






    Sekai o tsukutta
    kami wa/ subeteno monomo/



    Dareka tsukuttawa/
    daredemo dekinai keredo/



    Allah shika tsuku
    renoitowa/ hakkiri to wakatta/






    Aru hiro wa sono
    koto o/ shinyoo dekinainoka/



    Anata no kangaewa
    doo/ watashi wa hontoni shinjiru/



    Qur'an o mainichi/
    yonde kudasai/



    Muslim, muslim
    watashi wa...






    Sekitar satu
    setengah tahun yang lalu, Isa, anak rohis jurusan sastra Jepang, mengajarkannya
    lagu itu. Mata Akira basah. Subhanallah, ia benar-benar merasakan keimanan
    menancap di dadanya! Ya, sejak lebih satu setengah tahun lalu. Dan ia tak ingin
    kehilangan kenikmatan itu ...






    Tuhan yang
    menciptakan bumi/ dan seluruhnya/



    Siapakah yang
    menciptakan (Itu semua)?/ siapa pun tak



    mampu/ Hanya Allah
    semata yan bisa/ jelas kumengerti/






    Mengapa ada orang/
    yang menolak hal itu?/



    Bagaimana pendapat
    anda/ kalau aku sangat percaya/



    Bacalah Qur'an
    setiap hari/ Aku adalah muslim!



    Muslim!





    Akira mengusap
    kedua matanya. Tiga pria berdasi di dalam kereta memandangnya. Akira
    bersenandung lebih keras. Ia tak peduli. Bunyi huruf L-nya sudah lumayan. Hasil
    dua tahun kuliah di jurusan sastra Indonesia di UI.






    ''Muslim... muslim
    ... watashiwa...''






    Agama keluarga
    Akira adalah Shinto. Ah, tapi orang Jepang memang tak terlampau peduli pada
    agama. Bagi mereka, juga bagi Akira waktu itu, agama seperti budaya layaknya.
    Boleh saja kita menganut dua agama, atau bahkan tak beragama sama sekali.
    Pelajaran agama tak ditemukan dalam jenjang pendidikan mana pun di Jepang.
    Begitulah.






    Sesungguhnya, yang
    paling membuat Akira enggan pulang adalah fenomena adat dan kebiasaan-kebiasaan
    penduduk Jepang yang banyak berbau syirik itu. Hiii, ia jadi bergidik sendiri
    kalau mengingat semua kebodohannya dulu...






    Setiap perayaan Shoogatsu,
    1 Januari, rumahnya akan dihiasi dengan umbul-umbul jerami dan ranting pohon
    cemara, sebagaimana rumah-rumah lain di Jepang. Dulu, sebagaimana Chichi dan
    Haha, ia yakin itu adalah penangkal masuknya segala sesuatu yang tak baik.
    Kemudian bulan Februari awal ada perayaan Setsubun. Hampir tiap keluarga
    merayakannya secara tradisional dengan menyebarkan kacang di sekeliling rumah
    untuk mencegah masuknya roh jahat. Belum lagi perayaan Hina Matsuri
    (festival boneka). Pada peringatan itu, keluarga yang mempunyai anak perempuan
    memajang seperangkat boneka keluarga kerajaan istana purba sambil minum sake
    khusus, putih manis. Lalu festival Tanabata tanggal 7 Juli. Dulu, pada
    festival ini, ia, nisan dan oneesan berlomba-lomba menulis
    keinginan mereka di atas secarik kertas berwarna, dan mengikatnya pada ranting
    bambu.






    Akira menerawang
    sejenak. Ya, setiap tanggal 15 Juli/Agustus orang Jepang ramai membuat sesajen
    bagi arwah keluarga mereka yang meninggal. Menarikan tari Bon Odori, dan
    menghanyutkan lentera-lentera ke sungai agar para arwah bisa mengenali jalan
    dari dan ke rumahnya. Ups, dan banyak lagi yang lain.






    Satu setengah
    tahun dalam naungan Islam membawa Akira kepada hakikat tauhid. Baru kemudian
    terbuka matanya terhadap semua itu. Hal-hal yang musyrik dan jahil! Heran,
    masyarakat Jepang yang maju dalam sains dan teknologi, ternyata terbata-bata
    bahkan nyaris tak membaca tanda-tanda ketauhidan dan kekuasaan Allah.






    ''O namae wa (nama kamu
    siapa)?''






    Akira menoleh. Di
    sampingnya, seorang pria muda berdasi tersenyum.






    ''Akira. Takamura
    Akira,'' Akira balas tersenyum sambil menyebut namanya.






    ''Oo,
    Takamura-san. Nama saya Mori Yutaro. Maaf, saya lihat anda melamun sejak tadi.
    Maafkan saya,'' kata lelaki itu dengan ramah dalam bahasa Jepang.






    Akira mengambil
    Qur'an berbahasa Jepang yang dibelinya waktu bazaar Ramadhan di sebuah toko
    buku di Indonesia. Perlahan ia mulai membaca dalam hati. Baru saja ditekuninya
    kalimat demi kalimat, dirasakannya Morisan menatapnya lama.






    ''Anda orang
    Islam?'' suara Mori-san mengagetkan Akira.






    ''Ya, mengapa?''
    jawab Akira tenang dalam bahasa Jepang pula.






    ''Ya, Robbi!
    Jarang sekali saya menemukan saudara seiman di Tokyo ini!'' Mori-san menjabat
    tangan Akira erat-erat.






    ''Ini, ini kartu
    nama saya. Datanglah sesekali untuk menyambung persaudaraan!''






    Mata Akira
    berbinar. Saudara seiman? Duhai, Maha Besar Allah!






    Tak lama, mereka
    larut dalam cerita. Akira menceritakan kala pertama ia masuk Islam. Waktu itu
    FORMASI (Forum Amal dan Studi Islam) di FSUI menyelenggarakan kegiatan
    Ramadhan. Ia datang ke bazaar, melihat-lihat. Besoknya ia datang lagi dan
    ngobrol dengan aktivis FORMASI, tentang pokok-pokok ajaran Islam. Kemudian
    besoknya ia lagi ia kembali datang membeli beberapa kaset nasyid (lagu) Islami
    dan murottal. Dan hari-hari kemudian, ia merasakan kedamaian menyusupi hatinya
    setiap berbicara soal Islam dan Iman. Sebelum Ramadhan 1991 usai, ia pun masuk
    Islam. Benar-benar seperti dimudahkan Allah.






    ''Bagaimana dengan
    anda, Mori-san?''






    ''Takamura-san,
    anda pasti tertawa mendengar cerita saya. Waktu pertama kali saya ketahuan
    menjalankan shalat sekitar tahun 1988, saya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh ibu
    saya! Gara-gara saya shalat lail!'' Moi-san tertawa. ''Saya diislamkan DR.
    Syauki Futaki, usai sembuh berobat di kliniknya,'' lanjut Mori-san.






    Mereka terus
    bercerita. Kini tiba-tiba semangat dakwah Akira membara. Akira mengajarkan Mori
    Yutaro nasyid berbahasa Jepang yang diajarkan Isa padanya. Pelan-pelan mereka
    bernasyid di kereta. Tak peduli puluhan pasang mata memandang.






    ''Muslim...
    muslim... watashiwa..''






    Di stasiun
    Yurakucho mereka berpisah. Keharuan, kebanggaan dan denyut ukhuwah menghiasi
    perpisahan siang itu. Akira mempercepat langkah pulang ke rumahnya. Ia belum
    shalat Dzuhur! Lagipula... Chichi, Haha, Ani, Ane..., oh tak terkira rindu
    Akira! Mereka pasti terkejut!






    ''Kamu seperti
    sudah tidak sayang lagi pada Haha dan Chichi. Hanya memberi kabar dan tak
    pernah kembali,'' peluk Haha erat sambil menangis keras.






    Akira menitikkan
    air mata.






    ''Chichi tidak
    sakit-sakitan. Tapi berat badan sampai turun tujuh kilo memikirkanmu, Akira.''






    ''Ya, kami semua
    rindu...,'' tambah Ani dan Ane.






    Hari itu, sampai
    pukul 01.00 waktu Tokyo, mereka sekeluarga masih bercakap-cakap di depan tungku
    perapian. Melepaskan rindu dan saling bertukar cerita. Chichi bercerita tentang
    toko di Ginza yang kini kian besar dan laris. Haha bercerita tentang kebun
    sakura kecilnya di belakang rumah. Ani menceritakan tentang pekerjaan dan teman
    gadis di kantornya. Dan Ane bercerita tentang rencana pertunangannya dengan
    seorang insinyur yang bekerja di pabrik mobil di Aichi. Penuh perhatian Akira
    mendengarkan.






    ''Usiamu sekarang
    sudah 21 tahun. Siapa teman gadismu di Indonesia?'' tanya Haha diikuti kerling
    mata yang lain.






    ''Teman? Tentu
    banyak.''






    ''Yang istimewa.
    Dulu Chichi seusiamu saja punya beberapa teman istimewa..., Chichi tertawa.






    ''Hah?! Fukanoo
    (tak mungkin)!'' Haha cemberut.






    ''Teman biasa, tak
    ada yang istimewa,'' Akira menunduk. Ia tengah berpikir, kira-kira tepat atau
    tidak bila keislamannya disampaikan sekarang. Ia merasa tak enak menyembunyikan
    hal yang kini paling prinsipil dalam hidupnya itu. Mana sejak tadi dia ngumpet
    dan curi-curi waktu untuk shalat. Tapi...






    ''Sepertinya ada
    yang berubah pada dirimu,'' kata Haha. ''Dulu paling suka sake yang Haha
    hidangkan. Tapi kini sejak siang tak kau sentuh...''






    ''Ia, biasanya
    Akira paling ribut dengan penyambutan ini itu dan nilai-nilai sakral dalam
    upacara minum teh. Sekarng malah tidak mau diadakan upacara minum teh,'' timpal
    Ane.






    ''Ada yang mau saya sampaikan pada semua. Entahlah, apakah ini saat yang tepat atau tidak.
    Saya...,'' Akira ragu-ragu..., ia tahu keluarganya cukup erat menganut
    Shinto-isme dibanding keluarga lain di Jepang.






    ''Katakan,'' kata
    Chichi. ''Jangan ragu-ragu...''






    ''Saya...''





    Yang lain
    menunggu.






    Dengan bismillah,
    terucap pula pengakuan dari mulut Akira.






    ''Saya sekarang
    muslim, Chichi... Haha..., maafkan saya.''






    Sepi. Hanya tokek
    yang bersuara di atap ruangan.






    ''Saya muslim. Dan
    insya Allah itu takkan pernah berubah!''






    Akira menatap
    wajah Chichi, Haha, Ani dan Ane.






    ''Semoga keislaman
    saya dapat diterima dalam keluarga ini.''






    Di luar dugaan
    Akira, Chichi tersenyum. ''Adakah yang keberatan?''






    ''Luar biasa,
    Akira. Aku malah memutuskan untuk tidak menganut agama apa pun sejak setahun
    kemarin,'' ujar Ani.






    ''Aku juga,''
    sambung Ane. ''Tak terlalu penting apakah kita beragama atau tidak. Yang
    penting kita selalu berbuat baik. Haha, bagaimana pendapat Haha?''






    Akira tersenyum
    getir, dan meneguk air putihnya.






    ''Ayo, ceritakan
    tentang Islam!'' kata Chichi tiba-tiba.






    ''Ya, bagaimana
    sih agama para orang Arab itu sebenarnya?'' tukas Ani diiringi anggukan yang
    lain.






    ''Benar, semua
    ingin mendengar?''






    Haha menepuk-nepuk
    pundak Akira. ''Ayo ceritakan!''






    Sejenak Akira
    terdiam.






    ''Islam bukan
    agama untuk orang-orang tertentu. Islam sistem hidup yang menyeluruh dan
    universal. Tak peduli siapa lahir di tanah mana, kita lahir dalam kesucian
    Islam di bumi Allah. Nabi Adam sampai nabi Muhammad SAW, semua muslim.
    Tunggu...'' Akira membuka tas jinjingnya dan mengeluarkan Qur'an berbahasa
    Jepangnya. ''Ini kalimat-kalimat Allah. Allah telah membuka hati saya...''






    Akira terus
    bercerita dengan semangat. Alhamdulillah, keluarganya tak berkeberatan dengan
    keislamannya. Tetapi..., jauh di lubuk hati, kesedihan merayapi Akira. Mampukah
    ia membawa keluarganya pada nur Islam?






    Rokugatsu (Juni),
    8, 1993...






    Telah lebih
    seminggu Akira berada di Tokyo. Ya, lebih dari seminggu ia di Tokyo dan muslim
    yang ditemuinya hanya Mori-san! Dan, tak seperti di Indonesia, semua ibadah
    shalat, kini tak dapat dilakukannya berjama'ah. Cuma sendiri. Malah Chichi,
    Haha, Ani dan Ane sering mengintip shalatnya dengan rasa ingin tahu. Terkadang
    mereka tertawa-tawa. Entah menertawakan apa.






    Hanya dua hari
    yang lalu, ketika ia shalat Jum'at di Masjid Kobe - tiga jam dari Tokyo dengan shinkansen atau kereta ekspres, satu-satunya masjid yang diketahuinya
    - hatinya berbuncah bahagia. Masjid penuh dengan kaum muslimin. Tetapi, banyak
    di antara mereka yang rupanya begitu sibuk, sehingga ketika usai shalat, mereka
    langsung bubar. Hanya beberapa gelintir saja yang tinggal. Padahal waktu itu
    Akira ingin sekali bisa bersama mereka, saling memperkuat motivasi dan berpikir
    untuk mengerahkan potensi optimal demi kemajuan dakwah Islam di Jepang. Tetapi
    kiranya mereka terlalu sibuk. Ya..., akhirnya Akira tetap tak mau membuang
    waktu percuma. Ia sempat berdiskusi soal dakwah dengan beberapa pemuda di sana.






    ''Akira, sudah jam
    tujuh pagi. Cepat pergi ke toko!'' suara Chichi mengagetkan Akira.






    ''Hai, Chichi.''





    ''Mulai hari ini
    toko serba ada ''Takamura'' sudah menjadi tanggung jawabmu. Ya, itu harus kau
    maklumi mengingat abang dan kakakmu sudah punya pekerjaan sendiri. Aku akan mengawasi
    kerjamu seminggu ini, sebelum aku berangkat ke Amerika.''






    ''Hai.'' Akira
    tersenyum. Alhamdulillah, Chichi percaya padanya.






    ''Tapi Chichi,
    boleh saya menyampaikan informasi keislaman kepada pengunjung toko kita?''
    tanya Akira hati-hati.






    Chichi diam
    sesaat. ''Aa... tak apa asal tak mengganggu. Asal toko kita tetap laku.''






    ''Arigatoo.
    Arigatoo gozaimasu
    (terima kasih), Chichi. Semoga bisnis barang elektronik
    perusahaan Takamura di Akihabara dengan perusahaan di Amerika lancar. Dan
    mengenai toserba Takamura di Ginza..., sepenuhnya saya akan bertanggung
    jawab.''






    Chichi
    menepuk-nepuk bahu Akira dan tersenyum. ''Pada waktu mendatang, semoga
    kemahiranmu berbahasa Indonesia bisa teruji karena Chichi berencana untuk
    menanam modal perusahaan Taamura di sana...''






    Akira tersenyum.
    Tiba-tiba di benaknya muncul bayangan wajah beberapa ikhwah di Indonesia. Akh Rahmat, akh Yudi, Haikal, Isa, Mustafa, Andi..






    Ya Rabbi..., ia
    jadi kangen!

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 2:30 am