Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    perjamuan macan

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    perjamuan macan Empty perjamuan macan

    Post by sumanto Sun Aug 08, 2010 8:36 pm

    Perjamuan Macan


    Sakti Wibowo

    Tahun 1686
    Kota datar yang dipagar gunung-gunung itu terlihat kekar. Merbabu dan Merapi
    di batas barat beraura mistis dengan lengkung asap yang menjemba angkasa. Di
    ujung timur laut, puncak Lawu menyembunyikan kakinya, berenang di laut kabut.

    Inilah Kartasura… tanah anugerah dan keajaiban. Para pedagang, di subuh buta
    telah tumpah di jalan-jalan, menuju pasar di dekat alun-alun, berseberangan
    dengan keraton yang dipagar benteng-benteng kayu jati yang materialnya disokong
    oleh para kalang dan gowong dari hutan-butan perawan. Kukuh!

    Penghuni kota datar ini memulai pagi dengan wajah berkabut, seperti
    gunung-gunungnya yang tak kunjung lepas dari belitan pedhut . Namun, jika
    cermat diperhatikan, taburan penduduk yang memenuhi pasar di pagi itu
    membaurkan beberapa ras manusia yang berbeda. Paras murung Jawa. Lantas,
    beberapa wajah Eropa dengan mata biru dan berhidung mancung, dilengkapi tubuh
    jangkung. Beberapa orang dengan pakaian khas Bali; melengkapi pembauran yang
    unik ini. Mereka adalah pengikut-pengikut Surapati yang mengabdi kepada Sunan.
    Itu berlangsung semenjak mereka berikrar untuk mengakhiri petualangan,
    berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mengacau, dan menemukan labuhan
    yang tepat untuk bernaung dari ancaman Kompeni. Kartasuralah naungan itu.

    Lantas, yang paling berbeda—tentu saja setelah Kompeni—adalah keberadaan wajah
    Melayu bersahaja di tengah pikuk manusia itu. Tulang-tulang rahang yang kukuh.
    Bola mata tajam dan siap berperang. Mereka telah menyeberangi laut luas,
    menaklukkan ombak dan badai taifun. Mereka orang-orang Makassar yang sejak
    jatuhnya kerajaan ke tangan Belanda, memilih berkelana. Dendam terhadap
    orang-orang pendatang itu serasa berakar dan memperoleh tempat tumbuh di
    Kartasura ini, sebuah wilayah di seberang pulau namun memiliki sentimen yang
    tinggi terhadap pihak yang sama. Rasa berkawan. Itulah alasan mereka berada di
    Kartasura, memutuskan menetap dan berikrar setia kepada Sunan sepanjang Sunan
    tidak tunduk kepada Belanda.

    Pasar dan keraton itu terpisah oleh alun-alun luas dengan pohon beringin besar
    di garis tepinya. Dan di sebelah pasar, berlawanan dengan alun-alun, berdiri
    dengan ‘gagah’ sebuah loji Kompeni. Loji ini diperoleh izinnya di masa lalu
    setelah Sunan tertekan oleh berbagai pemberontakan; Trunojoyo, Raden Kajoran,
    Laskar Makassar, Pangeran Adipati Anom, Wanakusuma, dan berbagai pemberontakan
    lain yang memaksa Sunan ‘menerima’ tawaran amunisi logistik berikut tentara
    dari Kompeni, dengan kompensasi sebuah loji, berikut beberapa hak istimewa yang
    di kemudian hari menjadi titik pertikaian kedua pihak.

    Tanah yang tersedia untuk loji itu sedemikian luas. Tidak ada gedung-gedung
    yang terbuat dari batu karang. Hanya sebuah ‘gubuk’ kecil yang tak cukup
    menampung 48 orang. Pagarnya pun terbuat dari bambu yang telah lapuk. Tak cukup
    pantas bahwa di dalamnya tersimpan lebih dari sepuluh meriam.

    Johannes Cops—si Tuan Baik Hati—yang sebelumnya menjabat residen Jepara memang
    beranggapan Kartasura bukan daerah yang berbahaya. Sejak pengangkatannya
    sebagai komandan di wilayah tersebut pada tahun 1682, ia tak kunjung
    memperbaiki penampilan benteng yang menyedihkan itu. Sebab pertama karena ia
    berhaluan etis sehingga cara kekerasan bukanlah prioritasnya.

    Dan karena itu, ia tak merasa perlu atas keberadaan tentara maupun senjata
    dalam jumlah ‘wah.’ Sebab kedua karena sepanjang awal kariernya, ia disibukkan
    dengan aktivitas meneliti pembukuan pejabat sebelumnya; hal mana membuat ia
    mengerti sumber-sumber kebangkrutan VOC, yakni tingkat korupsi yang membubung
    hingga ke langit. Dan temuan inilah yang membuat ia memutuskan untuk mengurangi
    berbagai sektor ‘pemborosan’, termasuk salah satunya keberadaan tentara dan
    para pengawal yang ‘tak begitu berguna.’

    Lantas, oleh Pemerintah Agung, Cops diturunkan dari jabatan, digantikan
    Johannes de Hartough. Kebijakannya dimulai awal tahun 1685, terbilang cukup
    keras dibandingkan pejabat sebelumnya. Sikap yang keras ini, tanpa ia sadari,
    telah membangkitkan kembali sentimen yang pelan-pelan mulai pudar di tanah
    Jawa. Kebijakan yang telah menyulut kembali api yang telah lama mengarang.
    Kebijakan-kebijakan itu di kemudian hari berimpit dengan perintah-perintah dari
    Betawi yang menghendaki penataan administrasi dan mengulang perjanjian dengan
    Sunan, dan Pemerintah Agung Kompeni mengirimkan orang kebanggaannya yang telah
    mengukir sukses di peperangan melawan Makassar, Kediri, dan sisa-sisa Kerajaan
    Majapahit.

    Awal Februari 1686….
    Pendopo istana Kartasura.
    Sri Susuhunan tampak merah wajahnya, berdiri di atas sitinggil. Para
    punggawa dan pejabat kerajaan bercampur dengan kehadiran beberapa vasal
    setia Sunan,
    tampak terbawa aura kemarahan Sunan tersebut. Berita yang mengejutkan
    itu tiba
    beberapa saat yang lalu.

    “Jadi, Kapten Tack telah tiba di Semarang?”
    “Benar, Sinuhun,” jawab Patih Nerangkusuma seraya mengaturkan sembah. “Kapten
    Tack telah tiba di Semarang berikut tentaranya, disertai pula oleh Luitenant
    Greving.”
    Di singgasananya, Sunan mengepalkan jemari hingga saling bergemeletuk. “Apa
    yang dia mau?”
    “Tentu saja untuk memadamkan kraman, Gusti,” sahut Cakranikrat, penguasa Madura
    yang masih juga bermimpi mendirikan negara di timur Pulau Jawa, merupakan salah
    seorang vasal Sunan. “Sebab, Pemerintah Agung mengetahui bahwa bandit-bandit
    telah bernaung di bawah Gusti Sinuhun.”

    “Surapati yang kaumaksud?” tanya Sunan.
    “Benar, salah satunya. Berikut juga orang-orang Bugis dan penganut Wanakusuma.
    Itu hemat hamba. Sebab, seperti saya sampaikan kepada Gusti sebelumnya,
    kebijakan Gusti untuk menerima Surapati mengabdi kepada keraton adalah
    keputusan yang berisiko.”

    “Agaknya saya perlu mengoreksi, Sinuhun,” potong patih Nerangkusuma, tidak
    setuju dengan pendapat Cakraningrat. “Bahwa kita perlu mawas, bergabungnya
    Surapati telah memberi banyak keuntungan. Surapati telah membuktikan
    jasa-jasanya; menumpas gerombolan kraman di perbatasan, meningkatkan stabilitas
    keamanan negara, mengurangi banyak biaya yang seharusnya dikeluarkan keraton
    untuk menghadapi pengacau itu.”

    “Tapi, Surapati menyimpan permusuhan masa lalu dengan Kompeni,” Cakraningrat
    tak mau kalah. “Sebesar apa pun jasanya, dan walaupun Kompeni mengetahui ia
    salah satu vasal Sunan, mereka tak mudah melupakan penyerangan dan
    pengkhianatan bandit itu.”

    Sunan mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi, benar Kapten Tack mempermasalahkan
    keberadaan Surapati dan lasykar Bali itu di sini, dan menghendaki keraton
    memutuskan hubungan dengan mereka?”
    “Benar, Sinuhun. itulah yang saya dengar dari beberapa informan saya, telah
    diperbincangkan Kapten dengan Luitenant Greving.”

    “Belum ada kejelasan tentang itu Sinuhun,” tukas Nerangkusuma. “Sinuhun
    hendaklah berpikir dengan jernih. Bisa jadi hal ini adalah muslihat Raden
    Cakraningrat akibat ketidaksukaannya kepada orang-orang Bali, dan memang begitu
    kenyataannya.”

    Paras Cakraningrat merah padam. “Saya memang tidak suka dengan
    orang-orang Bali itu, Kanjeng Patih. Tapi, apa yang saya sampaikan ini
    benar-benar terjadi.”
    “Tak ada bukti sedikit pun. Kita belum menerima surat dari Kapten Tack
    sehubungan dengan hal ini.”
    “Kau selalu membela orang-orang Bali karena kau memiliki garis keturunan dengan
    mereka. Tapi, ini masalah negara. Masalah rakyat!” tandas Cakraningrat.

    “Ya, saya tahu apa yang kaupikirkan, Raden. Kau memanfaatkan kedatangan Kapten
    Tack untuk menyingkirkan orang-orang Bali dan Makassar. Lantas, jika mereka
    berada di lingkar luar keraton, Kompeni akan semakin mudah memecah-belah
    kekuatan bumiputera. Kartasura tak lagi memiliki pendukung mumpuni yang mampu
    menyatukan hati rakyat dalam satu upaya mempertahankan harga diri.”

    “Harga diri?”
    “Ya… harga diri. Belajarlah tentang harga diri, jangan terlalu murah kaujual
    kepada para Kompeni.”
    “Apa maksud Kanjeng Patih?”
    “Saya tahu, Raden, kau mengincar sebuah jabatan. Kau menginginkan orang-orang
    yang sok kuasa itu membangunkan pilar-pilar untukmu. Bukankah singgasanamu
    berimpit dengan loji Belanda di Surabaya, dan kau khawatir jika tak mengikut
    kemauannya, istanamu akan diratakan dengan tanah?”

    “Cukup…!” bentak Sunan seraya mengangkat tangannya. Murka. “Kalian hendak
    beradu mulut di tengah paseban? Sungguh tak tahu diri.”
    “Maafkan hamba, Sinuhun!” ucap keduanya bersamaan.
    “Tidakkah kalian berpikir bahwa hal besar sedang menunggu di hadapan kita?”
    Sunan semakin mengepalkan tangannya dengan geram.
    “Apakah Gusti mengkhawatirkan peperangan?” tanya Nerangkusuma seraya mengangkat
    sembah. “Jika Kapten menghendaki lasykar Bali serta Makassar diusir dari
    keraton, Gusti bisa mengupayakan permakluman. Paling tidak, saat ini, merekalah
    pihak-pihak yang telah mengokohkan keraton, meningkatkan wibawa keraton di mata
    rakyat berikut Kompeni. Jadi, masih sangat terbuka jalan menghindari
    peperangan.”

    “Atau, jika tidak bisa dimintakan permakluman,” sambung Cakraningrat, “Gusti
    bisa menempatkan Surapati di luar daerah keraton. Ini tentu lebih aman, sebab
    Kapten Tack sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang lasykar Makassar. Hanya
    Surapati dan lasykar Bali saja yang dia permasalahkan, dan ini disebabkan
    dendam lama Kompeni.” Diam sejenak. “Bukankah,” lanjutnya, “tentara Surapati
    tak lebih dari seratus orang? Itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada keraton.
    Tuanku masih memiliki 300 tentara Sampang, dan ratusan orang Bugis.”
    “Tapi, tidak ada yang melebihi kharisma Surapati di mata rakyat, Gusti.”

    “Tidak!” bentak Sunan yang diikuti saling pandang antara Nerangkusuma dan
    Cakraningrat. “Bukan masalah itu yang kukhawatirkan.”
    “Lantas, apa gerangan yang merisaukan Gusti?”
    “Ia datang tak lebih untuk mengambil uang kita. Kalian tahu, Kartasura telah
    berutang sebanyak tiga ratus kali seribu rijksdaalders . Berpikirkah kalian,
    dari mana kita akan membayar utang pajak sebanyak itu? Kita jelas tak akan
    mampu membayarnya. Oh… andaikan dulu aku tidak terikat perjanjian dengan
    mereka. Sekarang, mereka datang dan akan membawaku, menjualku sebagai budak.”

    Wajah Sunan tampak letih. Beban pikirannya begitu berat.
    “Kita masih bisa memikirkan jalan keluarnya, Sinuhun!”
    “Adakah jalan keluar?”
    “Selalu ada jalan keluar, sepanjang kita percaya. Ada banyak pihak yang
    mendukung keraton. Kalau kita jeli mengamati situasi dan mampu mengendalikan
    berbagai kekuatan yang bertikai, bukan tidak mungkin justru keraton akan
    memperoleh keuntungan besar.”
    “Pikirkanlah cara itu. Aku tak bisa berharap banyak dari para vasal. Bahkan,
    pada pihak agamawan. Kalian tahu sendiri, suratku kepada raja Minangkabau belum
    juga mendapat tanggapan hingga sekarang. Tak ada lasykar yang dikirimkan ke
    sini untuk membantu membendung perluasan pengaruh Belanda.”

    Dan, paseban hari itu ditutup dengan muram. Masing-masing pulang dengan beban
    pikiran yang mencegah mata lelap hingga jauh malam.
    ***

    Majasanga berada di timur laut Surakarta. Tempat landai dengan sedikit
    bukit.
    Angin berembus perlahan, ditingkahi gemericik sungai Bengawan Solo.
    Tibalah
    rombongan besar Kapten Tack di sana. Setelah menempuh perjalanan
    panjang dari Semarang, lelah sungguh melekati setiap sekat tulang.
    Tapi, mereka tak segera menuju
    Kartasura. Sebagaimana berita yang telah tersebar, Kapten Tack
    menghendaki
    keraton telah dibersihkan dari Surapati dan kelompoknya saat dirinya
    tiba.
    Karena itu, mereka membangun perkemahan di wilayah yang masih termasuk
    dalam
    daerah Surakarta itu.

    Keraguan itu sekonyong-konyong menyergapnya, atas tiadanya tindakan Sunan
    sebagaimana yang ia harapkan.
    “Tak mungkin Sunan menolak,” tegasnya sendiri. “Sunan akan berhadapan dengan
    Pemerintah Agung jika berani menolak hal ini. Aku ingatkan padanya agar
    menghormati hubungan baik dengan pihak Kompeni. Pemerintah Agung berkehendak
    memperbaharui perhitungan hutang-piutang, mengokohkan perjanjian-perjanjian
    sebelumnya dan membina kerja sama yang saling menguntungkan. Tak boleh tidak,
    Sunan harus menyerahkan Surapati. Ini perintah langsung dari Pemerintah Agung.”


    “Tapi, Tuan, sejauh ini lasykar Bali masih leluasa berkeliaran di keraton.
    Agaknya, kali ini Sunan memiliki keberanian untuk mengangkat muka di hadapan
    Tuan.”
    “Ini tidak bisa dibiarkan. Sunan harus menyerahkan Surapati, atau atau
    istananya kita lantakkan. Aku akan mengontak De Hartough di loji agar
    menyiapkan sepuluh meriamnya.”
    “Ya, jika demikian, mengapa Tuan tidak langsung menuju loji saja, dan menyusun
    kekuatan di sana?”
    “Bah! Apa kau tidak lihat, Greving! Loji itu hanya cukup untuk kandang kuda.
    Bedebah memang, kenapa De Hartough tak kunjung memperbaiki loji itu sehingga
    layak untuk pertahanan?”
    “Kartasura tidak segenting daerah lain, Tuan. Belum diperlukan tentara penjaga
    dan benteng dari batu karang.”

    “Itu sebelum ada Surapati, Goblok! Tidakkah De Hartough bisa mengambil
    keputusan sebelum terlambat?”
    “Itu akan segera diperbaiki setelah Anda menyampaikannya kepada Tuan Residen.
    Beliau tentu tidak akan menunggu perintah kedua untuk membangun loji itu.”

    “Bah! Sekarang bagaimana? Bagaimana kalau Sunan tak kunjung menunjukkan itikad
    baik untuk menyerahkan bandit-bandit itu?”
    “Serang! Bumihanguskan! Tak ada pilihan lain.”
    Kapten Tack mengangguk-angguk, merasa puas. “Itu yang kuharapkan!”
    ***

    Malam lengang di Majasanga. Obor-obor menyala di sekitar perkemahan tentara
    Tack dengan beberapa lasykar memanggul senapan tampak waspada berjaga. Kabar
    yang tersiar, seorang tamu utusan Sunan tengah berada di dalam kemah Sang
    Kapten.
    Itukah utusan yang ditunggu, sebagai pertanda bahwa Sunan berkehendak
    menyerahkan Surapati? Tak bisa dipungkiri, kendati bersenjata senapan, para
    tentara Eropa ini lebih menyukai tidak pecah perang. Peperangan selalu menciutkan
    nyali mereka, karena harus berhadapan dengan orang-orang yang gila kematian dan
    seperti tak kenal menyerah. Dalam beberapa kali peperangan yang mereka lalui,
    orang-orang Jawa bergerak bagai hantu; muncul dan menghilang tiba-tiba. Yang
    ditinggalkan hanya mayat dan luka-luka. Belum dengan lasykar Bali yang
    legendaris itu, yang tentu tak segan menggelar perang puputan.
    Untuk itu, debar-debar dada mereka sama berharap ke satu hal, munculnya utusan
    Sunan meminta jalan damai, mengikuti kemauan sang Kapten untuk menyerahkan
    Surapati. Dengan demikian, perang bisa dicegah.

    Beberapa waktu sebelumnya, telah datang utusan Sunan ke Majasanga meminta
    permakluman Kapten tentang keberadaan Surapati di keraton. Namun, agaknya bagi
    Kapten Tack, keputusan telah mati untuk si bandit itu; tak ada pengampunan.
    “Aku tidak akan bodoh dengan memercayainya kembali,” bentak Kapten Tack saat
    itu. “Dulu, Kompeni memercayainya dan memberinya senjata, namun ia menikam dari
    belakang, menewaskan puluhan tentara pilihan, lantas memutuskan membuat kraman
    . Tidak! Tidak akan aku ampuni dia.”

    “Tapi, Surapati telah menunjukkan itikad baiknya kepada Sunan. Ia membasmi kaum
    kraman di wilayah pinggiran .”
    “Sunan kalian boleh saja percaya pada bandit itu, tapi aku tidak. Sekali-kali
    tidak.”
    Ketegangan memuncak. Semula, Sunan bersikeras mempertahankan Surapati tetap
    pada tempatnya. “Bagaimanapun, Tuan, Sunan memiliki hubungan yang sangat baik
    dengan Surapati. Boleh dibilang, Sunan berhutang jasa kepadanya. Lagipula, di
    mata Sunan, Surapati adalah vasal yang setia dan disegani.”

    Sayang, Tack tetap pada pendiriannya. Lantas, menghadapi kepala batu Tack,
    Sunan mencoba merayu dengan cara lain. Perdagangan tekstil yang sedang memuncak
    belakangan ini ditawarkan. Ini pun rupanya tak cukup meluluhkan hati sang
    Kapten.

    Kini… utusan kedua datanglah. Akankah ini membawa pertanda baik bagi hubungan
    kedua belah pihak? Akankah ini mampu menyirap amarah Tack dengan kesediaan
    menyerahkan Surapati?

    Cakraningrat, utusan itu. Telah lama ia memiliki sentimen dengan pihak Surapati
    dan lasykar Bali yang memenuhi pinggir luar keraton Kartasura. Perselisihannya
    dengan Patih Nerangkusuma juga bukan lagi berada pada tataran yang wajar
    perselisihan antara dua punggawa istana. Perselisihan itu telah mengarah para
    sentimen ras dan kesukuan, karena Nerangkusuma memiliki hubungan kerabat dengan
    orang Bali. Barangkali juga oleh kenyataan bahwa Sunan lebih menghargai
    Surapati daripada Cakraningrat sendiri, kendati kedudukan keduanya sama
    sederajat di hadapan istana.

    Telah luluhkah hati sang Sunan dan bersedia menyerahkan Surapati, dengan
    mengutus Cakraningrat ini?
    Kedua orang itu kini tengah saling duduk berhadapan.

    “Bagaimana keputusan Sunan? Bersediakah Sunan menyerahkan Surapati dengan
    tangan terikat sebelum aku memasuki Kartasura?”
    Cakraningrat menyampaikan hormatnya. “Dalam hal ini, telah dimaklumi bagaimana
    hubungan antara Sunan dengan pihak Surapati. Jadi, wajarlah jika beliau
    berkeberatan untuk menyerahkan Surapati dan pengikutnya kepada Anda.”

    Serentak, wajah Kapten Tack bersemu merah. Ia telah menduga jawaban seperti
    ini, namun tak urung kemarahannya tak terkendali.
    “Jadi, kalian memilih perang? Kalian tidak melihat bagaimana terlatih
    pasukanku, berikut sepuluh meriam di loji Belanda yang siap melantakkan benteng
    kayu jati kalian?”
    Sekali lagi, Cakraningrat mengaturkan hormatnya. “Tidak demikian halnya yang
    dikehendaki oleh Gusti Sunan.”

    “Jadi, apa?”
    “Sunan masih memandang hubungan baik keraton dan Kompeni, di masa-masa lalu dan
    yang akan datang,” jura Cakraningrat. “Akan tetapi, menyerahkan seorang vasal
    kepada Tuan adalah sebuah tindakan yang memalukan. Ini akan menurunkan wibawa
    Sunan di mata rakyat. Kepercayaan rakyat kepada Sunan akan hilang.

    Apalagi, dalam hal ini, Surapati tidak sekadar vasal yang tepercaya. Di mata
    rakyat, nama Surapati begitu berimpit dengan kepercayaan mistis, semangat
    spiritual yang magic. Surapati adalah simbol perlawanan terhadap kaum
    kafir—sebagaimana demikian mereka menyebut Tuan-tuan—dan membaur dengan
    semangat jihad—yang saat ini gencar didengungkan oleh kaum agama. Apalagi, saat
    ini Sunan semakin dekat dengan para ulama. Beliau mulai mendalami agama Islam,
    berhubungan baik dengan para kiai di Gunungkidul.”
    Tack mengerenyitkan keningnya. “Jadi benar berita itu? Sunan kalian bahkan
    telah melaksanakan puasa Ramadhan selama di Gunungkidul?”

    “Benar, Kapten. Beliau juga mulai melaksanakan ajaran Islam yang lima,
    kendati hingga hari ini belum tergerak untuk berangkat ke Mekah. Malah,
    beliau mulai
    membina kerja sama dengan Minangkabau. Dalam hal ini, Surapati cukup
    memberi
    legitimisi dan justifikasi untuk rakyat, memercayai kembali Sunan
    sebagai ratu
    adil. Jadi, teramat sulit mempertahankan kedudukan Sunan di mata rakyat
    jika
    Sunan menyerahkan Surapati kepada Anda.”

    “Kalau begitu, kalian memilih jalan kedua?”
    “Jalan ketiga, Tuan. Bukan yang kedua.”
    “Jalan ketiga? Yang bagaimana yang kalian maksud?”
    “Pihak keraton yang akan menyelesaikan masalah Surapati.”
    “Membersihkannya? Bukankah….”
    “Membunuhnya. Tuan percayalah kepada kami. Ini akan lebih mudah bagi Sunan
    daripada menyerahkannya kepada Anda, di mana berisiko lunturnya kepercayaan
    rakyat dan kaum agama. Untuk alibi Sunan, bisa saja Surapati dijebak dalam
    keadaan yang memungkinkan ia memberontak kepada keraton, dan dengan dalih
    itulah maka Sunan akan menghabisinya. Nama Sunan bersih di mata rakyat, para
    ulama, dan raja Minangkabau.”
    Kapten Tack mengangguk-anggukkan kepala. “Bisakah itu aku percaya?”
    “Saya jaminannya. Saya yang akan memimpin pembasmian kaum bandit itu.”
    Tack tersenyum, lantas tertawa terbahak-bahak. “Begitu? Kalau benar, segera
    buktikan kalian menangkap dan membunuh Surapati.”
    “Bersabarlah, Kapten. Tunggulah dengan tenang di sini.”

    “Baiklah, kutunggu kabar baik itu. Aku bisa membantu dengan beberapa pasukan.”
    “Tak perlu, Tuan, sebab itu akan menunjukkan ada main mata antara Sunan dengan
    Kompeni. Jika itu terjadi, maka sama saja hasilnya.”
    Tack manggut-manggut. “Baiklah! Lakukanlah semau kalian. Tapi, mintalah juga
    persetujuan dari De Hartough, sebab dialah residen di wilayah ini.”


    Surapati
    masih
    di Babarong, di bentengnya, sekitar dua kilometer dari Majasanga.
    Suasana
    di benteng ini tak kalah mencekam. Perihal kedatangan Tack telah banyak
    diwicara
    orang. Pun, tentang kengototan Tack menangkap Surapati, karena hal itu
    adalah
    poin penting nota penugasannya dari Pemerintah Agung. Semula,
    orang-orang Bali masih berharap dari pihak Sunan. Akan tetapi,
    mengingat Sunan telah mengutus
    Cakraningrat—sebagaimana diketahui, memiliki ketidaksukaan tersendiri
    terhadap
    orang-orang Bali—mereka mafhum bahwa kini tak bisa lagi percaya pada
    perlindungan Sunan.

    Beberapa saat yang lalu, telah datang Cakraningrat menyampaikan kabar terbaru.
    raja Madura itu meminta Surapati menyerahkan diri kepada Tack, memohon
    pengampunan.
    “Orang Sampang itu begitu khawatir kalau wilayahnya akan diambil oleh Kompeni,”
    kata Surapati, membincang perihal permintaan Cakraningrat dengan alasan demi
    itikad baik menjaga hubungan antara Sunan dan Kompeni, menghindari peperangan
    yang tentu akan merenggut banyak korban. “Wilayahnya di Madura itu berhadapan
    langsung dengan loji Belanda di Surabaya.”

    “Itulah yang membuat ia berusaha selalu menjadi anak manis bagi Kompeni,
    Gusti.”
    “Andai saja bukan karena ingin menghindari peperangan dan korban yang lebih
    banyak, tak mau rasanya aku mengikuti sarannya.”
    “Jadi, apakah Gusti benar akan menyerahkan diri?”
    “Sunan menjamin akan memintakan pengampunan. Penyerahan diri ini semata taktik
    agar Belanda tidak mencurigai kita. Jadi, untuk sementara, biarlah semacam itu.
    Kelak, saat kekuatan telah terkonsolidasi, kita bisa pikirkan tindakan lain.
    Untuk saat ini, rasanya semua itu tak mungkin.”

    Kedua pembantu setianya itu menggeleng-gelengkan kepala, meragukan tindakan
    yang akan diambil oleh pemimpin mereka itu, sekaligus meragukan itikad baik
    Sunan.

    “Percayalah… semua akan baik-baik saja. Kita serahkan saja kepada Tuhan. Dia
    tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya tersia-sia.”
    Mendadak, masuklah seorang prajuritnya memberitahukan datangnya Patih
    Nerangkusuma.
    “Kanjeng Patih?” Wajah Surapati mendadak cerah. “Persilakan dia masuk.”
    Patih Nerangkusuma disambut di ruang utama. Tampaklah oleh sang Patih bagaimana
    benteng itu begitu tenang, tak ada kesibukan sedikit pun. Persenjataan tetap
    pada tempatnya, seakan tidak mengetahui berita kedatangan Tack, dan kemungkinan
    pecahnya perang besar dalam waktu dekat.

    “Ada apa ini?”
    “Saya akan menyerahkan diri untuk kebaikan. Begitu yang dianjurkan
    Cakraningrat.”
    Meradanglah Nerangkusuma. “Menyerahkan diri? Apa-apaan kau? Apakah Cakraningrat
    telah membujukmu untuk menyerahkan diri, sedangkan kepada Tack dia telah
    menjanjikan kepalamu?”

    “Apa?”
    “Kau tidak mengerti. Ini muslihat. Cakraningrat membujukmu untuk menyerahkan
    diri, mengatakan bahwa Sunan menjamin keselamatanmu dengan meminta permakluman
    kepada Kompeni, sedangkan dia telah berencana hendak menjemputmu dengan 4.000
    prajurit ke Majasanga. Percayalah padaku, kau akan ditusuk sebelum sampai di
    Majasanga, dan kau tidak bisa meloloskan diri dalam kawalan 4.000 lasykar
    Sampang dan Mataram.”

    Surapati membesi. “Itukah yang ia rencanakan?”
    “Ya. Dan dia akan menjemputmu besok di sini. Dia menjanjikan kepada Tack akan
    menyerangmu, tapi mana berani ia menyerang tanpa muslihat? Ia ingin
    memisahkanmu dari pasukan dan senjata. Ia tak ingin menghadapi kesulitan untuk
    membunuhmu. Apakah kau akan menyerahkan dirimu pada kematian?”

    “Jadi, perihal saya harus menyerahkan diri kepada Tack, bukanlah prakarsa
    Sunan?”
    Nerangkusuma menggeleng.
    “Dan berarti… tidak ada jaminan Sunan atas saya?”
    Kembali menggeleng.
    Surapati mengepalkan tangannya. “Jadi, apa yang harus saya lakukan? Apakah
    Sunan tidak berniat melindungi saya dari orang Belanda itu?”
    Nerangkusuma menghela napas panjang. “Duduklah sejenak. Keadaan memang serba
    tidak baik. Akan tetapi, kita harus bermain cantik agar memperoleh keuntungan
    dan lepas dari keterjepitan ini. Kita harus menyusun siasat untuk dapat keluar
    dari keterjepitan ini sambil memperkecil kerugian.”

    Surapati mencoba menguasai amarahnya. “Apa yang hendak Gusti lakukan?”
    “Paling tidak, satu hal yang perlu kau tahu, kedatangan Cakraningrat ke
    Majasanga telah berhasil mencegah gerak maju pasukan Tack. Mereka kini menunggu
    hasil ‘serangan’ orang Sampang itu.”
    Surapati mengepalkan tangannya. Sebersit rencana segera terbit di kepalanya.
    ***

    Pagi pecah….
    Benteng Babarong telah lama terjaga. Sepanjang malam, persiapan telah dilakukan
    dengan cermat. Orang-orang Bali telah bersiap dengan kain putih mengikat
    kepala, menyiapkan perang puputan. Telah pula dipersiapkan tempat-tempat untuk
    meloloskan diri dari kepungan seandainya hal itu memungkinkan untuk siasat
    pertahanan, memperpanjang napas perlawanan. Surapati telah mengantisipasi
    kedatangan Cakraningrat berikut 4.000 pasukan Sampang dan Mataram yang akan
    menjemputnya.

    Dan… rombongan penuh nafsu itu datanglah. Mereka menggedor benteng. Surapati
    membukanya dengan pakaian kasatrian. Kain putih diikatkannya di kepala, dan
    sebuah keris berluk terselip di perut.
    “Apa maksudmu, Surapati?” tanya Cakraningrat. “Letakkan senjatamu dan kita
    menghadap Kapten Tack.”

    “Aku tidak mau.”
    “Hei… kau melawan perintah Sunan? Bukankah ini telah menjadi kesepakatan kita
    kemarin? Kau harus berpikir panjang untuk kebaikan semua pihak.”
    “Ya, dan bukan untuk kebaikanmu. Aku tak mau menyerahkan diri kepada Tack.”
    “Kau melawan? Siap mati kau rupanya.”
    “Bukankah itu namaku? Surapati, mencintai kematian? Aku tidak mau ikut
    denganmu, menjual harga diri kepada orang-orang kafir.”
    “Keparat! Pasukan… tangkap dia!”
    Pasukan Sampang itu maju menyerbu. Rupanya, di belakang barisan Cakraningrat
    yang berjumlah 4.000 orang itu telah berdiri 6.000 tentara Mataram. Jumlah
    mereka kini 10.000 orang, siap melibas benteng Surapati yang hanya dijaga oleh
    seratus lasykar Bali.

    “Dor…! Dor…! Dor…!”
    Tembakan beruntun dari barisan pertama. Serentak, saat mereka menunduk untuk
    mengisi peluru, barisan kedua mulai menembak. Begitu seterusnya.

    Pada gebrakan pertama, delapan lasykar Bali langsung tewas dengan dada
    berlubang. Di sela hujan peluru itu, jeda-jeda di mana pasukan musuh mengisi
    kembali senapannya, lasykar Bali merangsek maju. Benteng mereka kokoh untuk
    menahan serangan pertama. Dan lagi, kegilaan semangat puputan bukan lagi lawan
    bagi orang-orang rapuh seperti prajurit Sampang dan Mataram.
    Tapi, gelombang 10.000 tentara itu bagai tiada habisnya. Maka, bagi
    lasykar Bali itu, pilihan mundur adalah yang paling realistis. Melalui
    gerbang belakang benteng
    sebelah barat, kelompok demi kelompok itu berangsur-angsur menarik
    diri. Mereka
    menghambur ke persawahan dan rumah-rumah penduduk, menghilang dalam
    sekejap
    mata.

    Tentara-tentara itu celingukan mencari jejak yang tersisa. Korban banyak jatuh,
    namun itu kebanyakan dari tentara Mataram dan Sampang sendiri. Sementara dari
    pihak Bali, tak lebih dari sepuluh mayat yang tertinggal. Mereka benar-benar
    hilang, seperti ditelan langit Merbabu di kejauhan. Seperti lenyap menjadi
    asap, menyatu dengan lengkungnya di puncak Merapi.
    Lasykar Bali di bawah komando Surapati jelas lebih memiliki hati rakyat.
    Karenanya, dengan sukarela rakyat memberi perlindungan. Jejak-jejak itu dihapus
    oleh rakyat yang telah muak dengan segala kebobrokan yang melanda negeri ajaib
    ini.
    ***

    “Apa? Dungu sekali kalian!” teriak Tack. Murka. Di hadapannya kini duduk
    Wangsayuda, seorang lasykar Bali yang memihak Belanda. Darinya Tack memperoleh
    laporan kegagalan Cakraningrat menangkap Surapati.

    “Mereka terlalu tangguh, Tuan. Lagipula, daerah itu milik mereka sehingga
    mereka tahu detail lokasi serta tempat-tempat melarikan diri.”
    “Kenapa kalian beri mereka kesempatan melarikan diri? Apa gunanya 10.000
    pasukan? Dasar pengecut!”

    Kecut wajah Wangsayuda.
    “Kalian orang-orang dungu. Atau… barangkali benar apa yang dikatakan Greving, kalian
    sebenarnya tidak berniat menghabisi Surapati? Kalian menggelar pertempuran semu
    itu untuk mengecohku, agar aku menyangka kalian benar-benar berniat menyerahkan
    Surapati.”
    “Seribu ampun, Kapten. Hal itu sungguh-sungguh fitnah. Sunan beritikad baik hendak
    memperbaiki hubungan dengan Tuan. Kesungguhannya dapat Tuan lihat dalam
    mobilisasi pasukan Mataram. Belumkah itu menjadi bukti?”

    “Bukti apa? Kegagalan itukah yang kauanggap sebagai bukti kesungguhan? Sepuluh
    ribu tentara tak sanggup menggilas seratus orang dalam satu gebrakan. Sungguh
    tolol.”

    “Tuan, pahamilah kesulitan kami. Rakyat lebih memihak Surapati sebab, bagi
    mereka, bandit itu seorang dewa. Kharisma Surapati begitu melekat dan
    jalin-menjalin dengan sisi spiritual rakyat. Surapati mampu menyatukan emosi
    rakyat dalam satu sentimen anti-Belanda, dan itu yang tidak kami miliki.”

    “Hanya itukah menurut kalian? Dan kau meminta aku percaya bahwa kalian
    benar-benar menyerang Surapati?” Tack berkacak pinggang. “Kalau begitu, bisakah
    kaujelaskan tentang orang-orang Bali Barat dari Kedu dan Gunungkidul yang turut
    bergabung dalam lasykar Surapati? Kalian benar-benar berkomplot hendak
    melawanku. Kalian bermain api.”

    “Demi Tuhan, ini fitnah, Tuan.”
    “Fitnah? Informanku jelas-jelas mengatakan orang-orang Bali berbaju hitam, dan
    mereka mengenalinya sebagai orang-orang Bali dari Kedu serta beberapa bekas
    pengiku Wanakusuma. Bagaimana mereka bisa bergabung dengan Surapati?”
    Wangsayuda terdiam.

    “Ada juga lasykar Bugis dan Makassar. Bisakah kalian jelaskan? Lalu tentang
    kedatangan Nerangkusuma ke Babarong dan berbuntut pembelotan Surapati? Apa
    pendapat kalian tentang sepak terjang patih kurang ajar itu? Dan pula, mengapa
    tiba-tiba pasukan Cakraningrat membengkak menjadi 10.000 lasykar? Bukankah
    seharusnya ia hanya membawa 4.000 orang?”
    “Saya tak berani menjawab, Tuan, sebab saya tak melihat hal itu
    terjadi. Ada pun, Kanjeng Patih memang dikenal memiliki hubungan dekat
    dengan Surapati. Namun,
    bukankah konyol jika beliau berkomplot dengan bandit itu sedangkan
    kekuatan
    mereka sama sekali tak berharga untuk menghadapi Kompeni?”

    “Oooh… tak berharga? Bahkan kau tak mengakui bahwa ‘seratus’ orang mereka baru
    saja membuat 10.000 tentaramu kocar-kacir?”
    “Ini… ini….”
    “Sebaiknya, akuilah kalau kalian memang dungu!”
    “Tapi, Tuan….”
    “Tak ada jalan lain, aku sendiri yang akan memenggal kepala bandit itu. Aku tak
    percaya kalian benar-benar sepenuh hati hendak menyerahkannya.”

    “Tidakkah sebaiknya kita kesampingkan masalah Surapati? Seperti Tuan
    katakan,
    Tuan akan menetap di loji jika Surapati telah menyingkir. Mengapa tidak
    ke sana saja saat ini, Tuan? Tuan Residen tentu bisa berunding dengan
    Tuan tentang langkah
    terbaik untuk menghadapi Surapati.”
    Tack tampak mencondongkan tubuhnya. “Menghadapai Surapati? Dari nada kalimatmu,
    aku seperti menangkap keyakinan bahwa Surapati akan kembali.”

    “Dia pasti datang.”
    “Begitu? Mungkinkah ia punya nyali?”
    “Bukankah dia seorang pendendam yang piawai, Tuan? Tindakan Cakraningrat kali
    ini atas nama Sunan, tentu telah membuat ia kecewa. Karena itu, ia pasti akan
    menyerbu istana pada waktu dekat. Ini juga seperti diucapkannya sebelum
    meninggalkan bentengnya di Babarong, bahwa ia akan kembali membuat perhitungan
    dengan Sunan.”

    “Begitu?”
    “Benar. Untuk itu, alangkah baiknya jika Tuan segera ke kota, menyatukan
    kekuatan dengan pihak residen, dan bekerja sama dengan Sunan untuk menghadang
    kedatangan Surapati.”

    “Hmm….”
    “Segeralah berangkat, Tuan…. Masih begitu banyak hal yang harus diselesaikan
    dan dilakukan.”
    ***

    Sunan Amangkurat II tengah duduk di paseban. Menghadap padanya Patih
    Nerangkusuma. Tak banyak orang yang hadir di sana hari ini. Hanya beberapa
    punggawa yang datang melapor menyampaikan keadaan terakhir kota yang kacau.
    Sisa-sisa peperangan masih terlihat. Jelas membekas pada wajah panik penduduk
    yang takut pecah perang lanjutan. Karena itu, demi menjaga dan memulihkan
    keamanan, lasykar Mataram memperkuat penjagaan. Mereka melibatkan orang-orang
    Bugis dan Makassar, serta orang-orang Bali yang tersisa, dalam penjagaan gerbang-gerbang
    istana.

    “Atur sembah, Sinuhun!” kata Nerangkusuma. “Sejauh ini, siasat kita berhasil.
    Cakraningrat tidak menyadari adanya orang-orang yang disusupkan untuk
    meloloskan Surapati. Ia tidak tahu bahwa keberadaan 6.000 lasykar Mataram
    bergabung dalam penjemputan pagi hari itu bukan membuat pasukannya kokoh, namun
    justru melemahkan.”

    “Syukurlah. Dengan begitu, Surapati bisa melarikan diri tanpa kita dituduh
    bersekongkol dengannya. Mudah-mudahan, hubungan kita dengan para ulama pesisir
    dan raja Minangkabau tidak menjadi retak. Aku juga masih mengharap dukungan
    rakyat. Kita tak boleh terus membiarkan Belanda mencaplok satu demi satu tanah
    Mataram. Kita harus terus mengurangi kekuasaannya di sepanjang pantai utara
    untuk kembali membuka akses Jawa dengan dunia luar.”

    “Memang benar, Gusti. Dan, besok pagi, Kapten Tack akan tiba di loji. De
    Hartough menyampaikan hal ini kepada saya, tentang surat Greving yang
    diterimanya tadi pagi.”
    “Tuan Besar Kepala itu akan meninggalkan Majasanga?”
    “Benar, Tuanku. Adakah yang mengganggu hati Tuan?”

    Sejenak, Nerangkusuma menangkap raut murung sang Raja. Tentu saja ia maklumi
    hal itu. Bagi Sunan, datangnya Tack sama dengan datangnya malaikat pencabut
    nyawa.
    “Hutang-hutangku sungguh celaka. Aku akan dijual sebagai budak. Aduhai, andai
    aku tak menandatangani macam-macam perundingan dengan orang-orang Belanda itu.”


    “Tapi, Surapati akan menyelesaikan masalah ini.”
    “Ya, mudah-mudahan saja. Kalau begitu, marilah kita persiapkan upacara
    penyambutan kepada Tuan Besar Kepala itu. Kita akan menggelar jamuan macan
    untuknya. Kita akan tunjukkan sirkus macam bebas malam ini. Ya… malam ini.
    Dengan empat puluh macam liar dari Gunung Merapi.”
    “Benar, Gusti! Malam ini! Malam ini!”
    ***

    Sebuah pondok di tengah pemukiman penduduk. Lentera kecil yang masih
    berkelip-kelip hingga jauh malam itu tak menimbulkan kecurigaan,
    kendati kota begitu berjaga dengan adanya rombongan-rombongan penjaga.
    “Berkat siasat Nerangkusuma, kita berhasil keluar dari keraton tanpa harus
    membahayakan Sunan. Tack tak punya bukti keterlibatan orang keraton. Dalam hal
    ini, kita cukup terbantu dengan bodohnya Cakraningrat,” gumam Surapati pada
    salah seorang pembantu kepercayaannya. “Ambisi besarnya itu yang membuat ia tak
    bisa membaca keadaan, tak sadar telah dimanfaatkan. Dan sekarang, kita akan
    segera menyerang keraton.”

    “Menyerang Sunan? Apakah ini bagian dari strategi yang telah diatur Patih
    Nerangkusuma? Ataukah benar-benar Gusti hendak membalas dendam kepada Sunan?”
    “Ya! Ini strategi, agar kita benar-benar terlihat memiliki permusuhan dengan
    Sunan. Yang kedua, untuk memancing mangsa masuk ke perangkap.”

    “Bisakah Gusti jelaskan?”
    “Tack yakin kita akan kembali, membuat perhitungan dengan Sunan. Untuk itu, dia
    kini memasuki Kartasura, dan Sunan menyambutnya dengan perjamuan macan.”
    Surapati mengerlingkan matanya.

    “Macan? Hahaha… kitakah macam itu.”
    “Benar! Kita adalah macan itu. Kita akan menyambutnya di lapangan bebas.
    Sekarang, orang-orang bodoh itu telah masuk ke dalam perangkap, dan tak ada
    tempat untuk lari. Kita akan menyerang ke sana. Patih Nerangkusuma telah
    menyiapkan orang-orangnya, berikut mengonsolidasikan orang-orang Bugis dan
    Makassar.”

    “Tapi, pasukan Tack tak boleh dianggap remeh.”
    “Betul! Pasukan Tack sungguh besar, disertai kelewang dan senjata api yang tak
    mudah untuk dihadapi. Yang lebih menyulitkan, di dalam loji De Hartough,
    tersimpan sepuluh meriam. Untuk itu, kita perlu bergabung dengan pasukan
    Mataram dan Patih Nerangkusuma.”

    “Tidakkah ini akan membuat Tack curiga ada main mata antara kita dengan
    keraton?”
    “Tenanglah! Telah disusun sedikit sandiwara.”
    ***

    Tack menerima kedatangan utusan De Hartough dengan amarah meluap. Ia tengah
    menyiapkan keberangkatannya meninggalkan Majasanga saat utusan itu tiba. Wajah
    utusan itu pias, merasa berhadapan dengan duta istimewa Pemerintah Agung.
    “Segera persiapkan segala sesuatunya!” perintah Tack. “Perbaiki benteng,
    siapkan meriam, dan atur jadwal jaga dengan lebih rapat.”
    “Tapi, Tuan Residen berpesan bahwa ini akan membuat orang-orang Jawa merasa
    terancam. Sentimen anti-Belanda mereka bisa tersulut dan berkobar lagi.”

    “Apa kau tidak melihat, karena kebodohan kalian maka Surapati dan para bandit
    itu berani unjuk gigi? Kartasura juga mulai berani melawan.”
    “Saya rasa tidak demikian. Sunan dan para prajuritnya masih tetap setia seperti
    semula pada perjanjian.”

    “Dasar bodoh! Keraton telah meloloskan Surapati. Mereka tak membiarkan kita
    membawa Surapati, karena itu mereka membuat sandiwara peperangan itu.”

    “Tidakkah ini berlebihan, Kapten? Bahkan, Sunan sendiri yang memerintahkan
    penangkapan. Karena hal itu pula maka timbul perselisihan antara Sunan dengan
    pihak Surapati. Keraton kini sedang meningkatkan penjagaan karena Surapati
    mengancam akan membalas dendam.”

    “Kalian percaya omong kosong ini?”
    “Tuan Residen juga berpesan, Kapten segera ke Kartasura. Kapten masih sangat
    lelah, dan lolosnya Surapati semakin membuat keruh pikiran. Sebaiknya Kapten
    beristirahat terlebih dahulu, barulah menyusun langkah-langkah preventif dengan
    lebih taktis.”

    Kapten Tack mendengus. Jemarinya terkepal. Ia tampak menahan kemarahan yang
    hampir meledakkan dadanya.

    Namun, Kapten Tack tak sempat beristirahat. Utusan berikutnya menyusul tiba,
    dari keraton, yakni seorang punggawa istana bernama Sindunata beserta
    serombongan pasukan, yang berniat menjemput Tack.

    Tak membuang waktu, Tack segera menyiapkan pasukannya. Mereka segera
    meninggalkan Majasanga.
    ***
    Sementara itu, di dalam kota, kerusuhan pecah pagi itu. Bunyi tembakan
    bersahut-sahut dari benteng Babarong.

    Benarkah Surapati telah kembali?
    Di Banyudana, beberapa ratus meter dari keraton, Tack berpapasan dengan
    orang-orang Jawa, Bali dan Makassar yang lintang-pukang melarikan diri. Panik.
    Agaknya kekacauan membuat mereka menyingkir dari keraton. Greving segera
    meminta penjelasan dari salah seorang yang melarikan diri itu. Bahasa Jawa.
    Tack tentu saja tak memahami dialog antara Greving dengan penduduk itu.

    “Apa yang terjadi?” tanya Tack.
    “Terjadi penyerangan, Kapten. Surapati menyerang keraton.”

    “Apa? Kalian tidak main-main?”
    “Tidak, Kapten,” tukas Sindunata, utusan Sunan itu. “Surapati tak pernah
    main-main dengan kalimatnya. Kini ia telah membuktikannya.”
    “Kurang ajar! Dia berani berulah! Dia tidak tahu kalau aku sudah akan
    segera
    memenggal kepalanya. Hitung waktu yang kita perlukan untuk sampai ke
    kota, itu sisa waktu yang ia miliki. Kalau sampai dia bertemu denganku,
    tak akan kubiarkan
    dia hidup. Atau barangkali dia sudah akan lari terbirit-birit begitu
    mendengar
    aku tiba.”
    “Ampun, Kapten! Dengan tidak bermaksud hendak merendahkan Kapten, agaknya saya
    harus memisahkan diri dari rombongan ini. Saya harus segera bergabung dengan
    pasukan keraton, menghadapi serangan Surapati.”

    “Apa?” tanya Tack dan Greving bersamaan, mengerenyit heran.
    Tapi, tanpa menunggu jawaban mereka, Sindunata segera membawa pasukannya menuju
    keraton, mempersilakan Tack dan rombongannya langsung menuju loji. De Hartough
    telah menanti.
    ***

    Sri Susuhunan menyambut kedatangan Tack dengan panik. “Bandit itu telah
    menyerang keraton,” katanya. “Untunglah, Nerangkusuma dan pasukannya berhasil
    menghalau.”
    “Di mana bandit itu sekarang?” tanya Tack.
    “Melarikan diri ke arah timur. Nerangkusuma sedang mengejarnya.”
    Beberapa saat, Tack mondar-mandir dengan marah. Ia seperti kehilangan akal saat
    menyadari kepalanya nyaris meledak. Ia seperti menangkap sesuatu yang tidak
    beres, namun ia tidak bisa menyimpulkan letak ketidakberesan itu di mana.
    Pada saat genting itu, masuklah seorang punggawa keraton, Adipati Urawan,
    menyampaikan berita yang menggembirakan Tack. “Surapati masih membuat kekacauan
    di timur keraton. Rumah-rumah dibakar.”

    Tack terbakar nafsu hendak membunuh. Semangatnya tampak timbul meluap-luap.
    “Jadi, dia belum berlari jauh? Berapa kekuatannya sekarang?”
    “Tak ada kepastian, Kapten. Tapi, pasti tak begitu membahayakan sebagaimana
    sebelumnya. Jumlah tentaranya telah jauh berkurang dalam peperangan tadi, juga
    saat terjadi bentrokan dengan Cakraningrat beberapa waktu lalu.”
    “Bawa aku ke sana! Lekas! Akan kupenggal kepala bandit itu.”

    “Bagaimana dengan keamanan loji, Kapten?” tanya De Hartough, cemas.
    Sejenak, Tack berpikir. “Baiklah! Aku tinggalkan Kapten Leeman dengan 150
    tentara di sini. Jangan lupa, tempatkan pula lima puluh orang di dekat keraton
    untuk mengantisipasi keadaan. Luitenant Greving yang memimpin. Sisanya, tiga
    kompi pasukan ikut denganku mengejar ke timur, sebelum mereka semakin jauh.”

    Lantas, dengan Adipati Urawan sebagai petunjuk, Tack keluar dari loji. Mereka
    melintasi pasar dan alun-alun yang telah kacau, menuju keraton, dan berbelok ke
    kiri melewati Pajang. Asap mengepul di kejauhan, dari rumah-rumah penduduk yang
    dibakar.

    Orang-orang yang panik dan ketakutan saling berlarian ke sana kemari. Bunyi
    tembakan bersahutan di kejauhan. Tapi, Tack belum juga mengetahui di mana musuh
    berada. Semua simpang siur tidak keruan.

    Namun, tiba-tiba, terdengarlah ledakan dahsyat disusul suara tembakan yang
    semakin rapat. Asap membubung dari arah barat.
    “Astaga…! Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tack panik.

    “Keraton kembali diserang, Kapten,” lapor tentaranya yang tiba dengan
    tergesa-gesa. “Kapten Greving berikut… lima puluh tentaranya disergap di
    gapura. Orang-orang Bali itu bergerak bagai hantu.”

    Tack mengertakkan rahangnya. Rupanya, ia telah terpancing keluar wilayah
    keraton. Ia segera menyadari bahwa kerusuhan di kampung itu tak lebih dari
    tipuan belaka. Ia bahkan kini tanpa sengaja telah memecah-mecah kekuatannya
    sendiri. Ia memerintahkan pasukannya segera kembali. Dan, sekonyong-konyong ia
    melihat orang-orang berpakaian Bali telah memenuhi kota.
    “Gila! Dari mana Surapati memiliki pasukan sebanyak itu?”

    Perang terus berlangsung. Tentara Belanda semakin kocar-kacir. Yang lebih
    menyakitkan, Luitenant Greving ditemukan Tack telah menjadi mayat. Tubuhnya
    tercabik tetakan pedang dan tikaman keris. Mengerikan! Di sebelahnya saling
    silang mayat-mayat tentara Belanda yang lain. Belasan tentara telah jatuh.

    Kedatangan Tack serentak bersambut dengan menyurutnya tembakan. Letusan semakin
    jarang terjadi. Berangsur-angsur pasukan Bali itu menarik diri. Mereka
    menghilang di balik tembok-tembok keraton. Benar-benar bagai hantu.
    Naluri perang Tack segera mencium gelagat tak baik. Loji Belanda di seberang
    alun-alun boleh dibilang tanpa pengamanan.

    “Segera pisahkan sebagian pasukan, perkuat pengamanan di loji!”
    Bedebah! Mengapa De Hartough selalu mengambil keputusan saat terlambat? Benteng
    loji yang menyedihkan itu, tidak pantas untuk melindungi tentara. Ia lebih
    pantas dilindungi. Ada banyak meriam dan amunisi berharga di sana.
    Pasukan Tack semakin berkurang, cerai-berai dan masing-masing terputus kontak
    dengan yang lain. Kini, Tack berhadapan dengan orang-orang yang muncul dan
    menghilang dalam sekejap. Orang-orang Bali itu benar-benar hantu, bukan saja di
    malam hari. Siang bolong begini, mereka bergerak seperti kilat, datang dan
    pergi dalam bilangan detik. Ia melihat orang-orang yang muncul dari balik
    tembok, dengan pakaian Bali yang… aneh!

    Aneh?
    Hei… bukankah sekelebat bayangan tadi, yang menikamkan keris pada salah satu
    tentaranya tadi… adalah….
    Jadi benar, ada permainan dalam kerusuhan ini. Orang itu adalah Sindunata, yang
    pagi tadi datang menjemputnya, dan memisahkan diri setelah tiba di Banyudana.
    Pantas saja dia pergi terburu-buru.

    Apakah ini juga berarti Nerangkusuma bergabung dengan Surapati? Lantas, di mana
    Cakraningrat?
    Ia tak sempat berpikir. Benteng-benteng itu sungguh keparat. Senapannya tak
    berfungsi dalam perang jarak dekat seperti ini. Pasukan tombak yang semula
    mengawalnya, telah memisahkan diri untuk memperkuat loji.

    Loji? Mengapa ia berpikir Surapati akan menyerang ke sana, sedangkan orang yang
    diincar sesungguhnya adalah dirinya? Surapati tak akan menyerang loji. Ia tidak
    akan membiarkan dirinya lepas setelah masuk perangkap gila ini.
    Di kali terakhir, gelombang lasykar Bali dan lasykar ‘berpakaian’ Bali itu
    benar-benar meremukkan nyalinya. Ia tak mampu menghindar dari tebasan pedang
    orang-orang yang telah memaklumkan perang puputan. Ia hanya bisa
    menyumpah-nyumpah dalam kepanikan yang luar biasa, terus menyumpah hingga
    nyawanya sendiri terbang. Ia menyerahkannya, suka atau tidak suka, sebab tak
    ada lagi jalan untuk menyelamatkan diri.
    ***

    Tepat saat matahari naik ke puncak kepala, peperangan berakhir. Pihak Belanda
    kehilangan enam puluh delapan orang tentaranya—banyak di antaranya adalah
    prajurit-prajurit pilihan seperti Kapten Tack, Luitenant Greving, Sersan Samuel
    Maurits, dan banyak lagi.
    Sementara itu, dari pihak lasykar Bali, kerugian juga tak bisa dianggap enteng.
    Hampir lima puluh orang tewas, termasuk sebagian besar prajurit terkemuka
    seperti Singabarong, Mangkuyuda, dan sebagainya.

    Seusai peperangan, Belanda kembali ke lojinya, mengangkat mayat-mayat dari
    alun-alun, sembari menyesali kebodohan mereka sendiri. Wajah halus orang Jawa
    dengan garis mata sayu itu, semakin mereka yakini begitu mahir menyimpan dusta
    dan dendam kesumat. Mereka telah hidup berdampingan dengan bangsa pendendam
    itu, namun tak pernah tahu sedalam mana mereka mampu menyimpan bara, hingga
    meledak menelan semua yang tampak. Mereka menatap Merapi dengan lengkung
    asapnya yang menjemba angkasa, menyadari bahwa gunung bara itu lebih mudah
    mereka selami daripada dada orang Jawa.

    Sementara, Surapati menyusun kembali sisa-sisa pasukannya. Selepas peperangan,
    mereka berkumpul di masjid raya yang bagian atapnya terbakar sebagian—bagian
    dari siasat. Mereka menunaikan shalat, mengucap syukur atas pertolongan Allah,
    sehingga mampu memenangkan peperangan menghadapi tentara Kompeni. Selepas Asar,
    mereka berlalu dari Kartasura. Keraton itu sudah bukan lagi tempat yang tepat
    untuk bernaung. Panggilan jihad telah menunggu di setiap tempat, di setiap
    lekuk kota, di setiap relung perkampungan. Mereka akan terus mengobarkan
    nyalanya hingga batas yang ditetapkan.

    Keraton berpesta. Tangan mereka tetap bersih. Sunan kembali menduduki tahtanya.
    Ia terlepas dari tagihan hutang. Nerangkusuma puas, siasat perangnya berhasil
    dengan sempurna. Entah, siapakah yang lebih memainkan peran dalam kerusuhan
    kali ini; Sri Susuhunan ataukah Patih Nerangkusuma. Yang jelas, mereka boleh
    bangga bahwa rakyat Mataram bukanlah kurcaci yang boleh diinjak sesuka hati
    oleh Kompeni. Hingga malam, dari keraton mengalun gendhing Banyu Banjir,
    gendhing lambang kemenangan. Alunan gamelan itu bersahut-sahut hingga dalem
    kepatihan.
    ***

    --------------------
    Data-data diambil dari:
    Dr. H.J. De Graaf; Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad
    § XVII; Grafitipers, 1990.
    Dick Hartoko; Bianglala Sastra, Bunga Rampai
    §
    Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (cet-2); Penerbit Djambatan,
    1985.
    Karel Steenbrink; Kawan dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam
    § di Indonesia (1596-1942); Mizan, 1995.




    Annida Online Rabu, 02 Februari 05

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 3:34 am