Perjamuan Macan
Sakti Wibowo
Tahun 1686
Kota datar yang dipagar gunung-gunung itu terlihat kekar. Merbabu dan Merapi
di batas barat beraura mistis dengan lengkung asap yang menjemba angkasa. Di
ujung timur laut, puncak Lawu menyembunyikan kakinya, berenang di laut kabut.
Inilah Kartasura… tanah anugerah dan keajaiban. Para pedagang, di subuh buta
telah tumpah di jalan-jalan, menuju pasar di dekat alun-alun, berseberangan
dengan keraton yang dipagar benteng-benteng kayu jati yang materialnya disokong
oleh para kalang dan gowong dari hutan-butan perawan. Kukuh!
Penghuni kota datar ini memulai pagi dengan wajah berkabut, seperti
gunung-gunungnya yang tak kunjung lepas dari belitan pedhut . Namun, jika
cermat diperhatikan, taburan penduduk yang memenuhi pasar di pagi itu
membaurkan beberapa ras manusia yang berbeda. Paras murung Jawa. Lantas,
beberapa wajah Eropa dengan mata biru dan berhidung mancung, dilengkapi tubuh
jangkung. Beberapa orang dengan pakaian khas Bali; melengkapi pembauran yang
unik ini. Mereka adalah pengikut-pengikut Surapati yang mengabdi kepada Sunan.
Itu berlangsung semenjak mereka berikrar untuk mengakhiri petualangan,
berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mengacau, dan menemukan labuhan
yang tepat untuk bernaung dari ancaman Kompeni. Kartasuralah naungan itu.
Lantas, yang paling berbeda—tentu saja setelah Kompeni—adalah keberadaan wajah
Melayu bersahaja di tengah pikuk manusia itu. Tulang-tulang rahang yang kukuh.
Bola mata tajam dan siap berperang. Mereka telah menyeberangi laut luas,
menaklukkan ombak dan badai taifun. Mereka orang-orang Makassar yang sejak
jatuhnya kerajaan ke tangan Belanda, memilih berkelana. Dendam terhadap
orang-orang pendatang itu serasa berakar dan memperoleh tempat tumbuh di
Kartasura ini, sebuah wilayah di seberang pulau namun memiliki sentimen yang
tinggi terhadap pihak yang sama. Rasa berkawan. Itulah alasan mereka berada di
Kartasura, memutuskan menetap dan berikrar setia kepada Sunan sepanjang Sunan
tidak tunduk kepada Belanda.
Pasar dan keraton itu terpisah oleh alun-alun luas dengan pohon beringin besar
di garis tepinya. Dan di sebelah pasar, berlawanan dengan alun-alun, berdiri
dengan ‘gagah’ sebuah loji Kompeni. Loji ini diperoleh izinnya di masa lalu
setelah Sunan tertekan oleh berbagai pemberontakan; Trunojoyo, Raden Kajoran,
Laskar Makassar, Pangeran Adipati Anom, Wanakusuma, dan berbagai pemberontakan
lain yang memaksa Sunan ‘menerima’ tawaran amunisi logistik berikut tentara
dari Kompeni, dengan kompensasi sebuah loji, berikut beberapa hak istimewa yang
di kemudian hari menjadi titik pertikaian kedua pihak.
Tanah yang tersedia untuk loji itu sedemikian luas. Tidak ada gedung-gedung
yang terbuat dari batu karang. Hanya sebuah ‘gubuk’ kecil yang tak cukup
menampung 48 orang. Pagarnya pun terbuat dari bambu yang telah lapuk. Tak cukup
pantas bahwa di dalamnya tersimpan lebih dari sepuluh meriam.
Johannes Cops—si Tuan Baik Hati—yang sebelumnya menjabat residen Jepara memang
beranggapan Kartasura bukan daerah yang berbahaya. Sejak pengangkatannya
sebagai komandan di wilayah tersebut pada tahun 1682, ia tak kunjung
memperbaiki penampilan benteng yang menyedihkan itu. Sebab pertama karena ia
berhaluan etis sehingga cara kekerasan bukanlah prioritasnya.
Dan karena itu, ia tak merasa perlu atas keberadaan tentara maupun senjata
dalam jumlah ‘wah.’ Sebab kedua karena sepanjang awal kariernya, ia disibukkan
dengan aktivitas meneliti pembukuan pejabat sebelumnya; hal mana membuat ia
mengerti sumber-sumber kebangkrutan VOC, yakni tingkat korupsi yang membubung
hingga ke langit. Dan temuan inilah yang membuat ia memutuskan untuk mengurangi
berbagai sektor ‘pemborosan’, termasuk salah satunya keberadaan tentara dan
para pengawal yang ‘tak begitu berguna.’
Lantas, oleh Pemerintah Agung, Cops diturunkan dari jabatan, digantikan
Johannes de Hartough. Kebijakannya dimulai awal tahun 1685, terbilang cukup
keras dibandingkan pejabat sebelumnya. Sikap yang keras ini, tanpa ia sadari,
telah membangkitkan kembali sentimen yang pelan-pelan mulai pudar di tanah
Jawa. Kebijakan yang telah menyulut kembali api yang telah lama mengarang.
Kebijakan-kebijakan itu di kemudian hari berimpit dengan perintah-perintah dari
Betawi yang menghendaki penataan administrasi dan mengulang perjanjian dengan
Sunan, dan Pemerintah Agung Kompeni mengirimkan orang kebanggaannya yang telah
mengukir sukses di peperangan melawan Makassar, Kediri, dan sisa-sisa Kerajaan
Majapahit.
Awal Februari 1686….
Pendopo istana Kartasura.
Sri Susuhunan tampak merah wajahnya, berdiri di atas sitinggil. Para
punggawa dan pejabat kerajaan bercampur dengan kehadiran beberapa vasal
setia Sunan,
tampak terbawa aura kemarahan Sunan tersebut. Berita yang mengejutkan
itu tiba
beberapa saat yang lalu.
“Jadi, Kapten Tack telah tiba di Semarang?”
“Benar, Sinuhun,” jawab Patih Nerangkusuma seraya mengaturkan sembah. “Kapten
Tack telah tiba di Semarang berikut tentaranya, disertai pula oleh Luitenant
Greving.”
Di singgasananya, Sunan mengepalkan jemari hingga saling bergemeletuk. “Apa
yang dia mau?”
“Tentu saja untuk memadamkan kraman, Gusti,” sahut Cakranikrat, penguasa Madura
yang masih juga bermimpi mendirikan negara di timur Pulau Jawa, merupakan salah
seorang vasal Sunan. “Sebab, Pemerintah Agung mengetahui bahwa bandit-bandit
telah bernaung di bawah Gusti Sinuhun.”
“Surapati yang kaumaksud?” tanya Sunan.
“Benar, salah satunya. Berikut juga orang-orang Bugis dan penganut Wanakusuma.
Itu hemat hamba. Sebab, seperti saya sampaikan kepada Gusti sebelumnya,
kebijakan Gusti untuk menerima Surapati mengabdi kepada keraton adalah
keputusan yang berisiko.”
“Agaknya saya perlu mengoreksi, Sinuhun,” potong patih Nerangkusuma, tidak
setuju dengan pendapat Cakraningrat. “Bahwa kita perlu mawas, bergabungnya
Surapati telah memberi banyak keuntungan. Surapati telah membuktikan
jasa-jasanya; menumpas gerombolan kraman di perbatasan, meningkatkan stabilitas
keamanan negara, mengurangi banyak biaya yang seharusnya dikeluarkan keraton
untuk menghadapi pengacau itu.”
“Tapi, Surapati menyimpan permusuhan masa lalu dengan Kompeni,” Cakraningrat
tak mau kalah. “Sebesar apa pun jasanya, dan walaupun Kompeni mengetahui ia
salah satu vasal Sunan, mereka tak mudah melupakan penyerangan dan
pengkhianatan bandit itu.”
Sunan mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi, benar Kapten Tack mempermasalahkan
keberadaan Surapati dan lasykar Bali itu di sini, dan menghendaki keraton
memutuskan hubungan dengan mereka?”
“Benar, Sinuhun. itulah yang saya dengar dari beberapa informan saya, telah
diperbincangkan Kapten dengan Luitenant Greving.”
“Belum ada kejelasan tentang itu Sinuhun,” tukas Nerangkusuma. “Sinuhun
hendaklah berpikir dengan jernih. Bisa jadi hal ini adalah muslihat Raden
Cakraningrat akibat ketidaksukaannya kepada orang-orang Bali, dan memang begitu
kenyataannya.”
Paras Cakraningrat merah padam. “Saya memang tidak suka dengan
orang-orang Bali itu, Kanjeng Patih. Tapi, apa yang saya sampaikan ini
benar-benar terjadi.”
“Tak ada bukti sedikit pun. Kita belum menerima surat dari Kapten Tack
sehubungan dengan hal ini.”
“Kau selalu membela orang-orang Bali karena kau memiliki garis keturunan dengan
mereka. Tapi, ini masalah negara. Masalah rakyat!” tandas Cakraningrat.
“Ya, saya tahu apa yang kaupikirkan, Raden. Kau memanfaatkan kedatangan Kapten
Tack untuk menyingkirkan orang-orang Bali dan Makassar. Lantas, jika mereka
berada di lingkar luar keraton, Kompeni akan semakin mudah memecah-belah
kekuatan bumiputera. Kartasura tak lagi memiliki pendukung mumpuni yang mampu
menyatukan hati rakyat dalam satu upaya mempertahankan harga diri.”
“Harga diri?”
“Ya… harga diri. Belajarlah tentang harga diri, jangan terlalu murah kaujual
kepada para Kompeni.”
“Apa maksud Kanjeng Patih?”
“Saya tahu, Raden, kau mengincar sebuah jabatan. Kau menginginkan orang-orang
yang sok kuasa itu membangunkan pilar-pilar untukmu. Bukankah singgasanamu
berimpit dengan loji Belanda di Surabaya, dan kau khawatir jika tak mengikut
kemauannya, istanamu akan diratakan dengan tanah?”
“Cukup…!” bentak Sunan seraya mengangkat tangannya. Murka. “Kalian hendak
beradu mulut di tengah paseban? Sungguh tak tahu diri.”
“Maafkan hamba, Sinuhun!” ucap keduanya bersamaan.
“Tidakkah kalian berpikir bahwa hal besar sedang menunggu di hadapan kita?”
Sunan semakin mengepalkan tangannya dengan geram.
“Apakah Gusti mengkhawatirkan peperangan?” tanya Nerangkusuma seraya mengangkat
sembah. “Jika Kapten menghendaki lasykar Bali serta Makassar diusir dari
keraton, Gusti bisa mengupayakan permakluman. Paling tidak, saat ini, merekalah
pihak-pihak yang telah mengokohkan keraton, meningkatkan wibawa keraton di mata
rakyat berikut Kompeni. Jadi, masih sangat terbuka jalan menghindari
peperangan.”
“Atau, jika tidak bisa dimintakan permakluman,” sambung Cakraningrat, “Gusti
bisa menempatkan Surapati di luar daerah keraton. Ini tentu lebih aman, sebab
Kapten Tack sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang lasykar Makassar. Hanya
Surapati dan lasykar Bali saja yang dia permasalahkan, dan ini disebabkan
dendam lama Kompeni.” Diam sejenak. “Bukankah,” lanjutnya, “tentara Surapati
tak lebih dari seratus orang? Itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada keraton.
Tuanku masih memiliki 300 tentara Sampang, dan ratusan orang Bugis.”
“Tapi, tidak ada yang melebihi kharisma Surapati di mata rakyat, Gusti.”
“Tidak!” bentak Sunan yang diikuti saling pandang antara Nerangkusuma dan
Cakraningrat. “Bukan masalah itu yang kukhawatirkan.”
“Lantas, apa gerangan yang merisaukan Gusti?”
“Ia datang tak lebih untuk mengambil uang kita. Kalian tahu, Kartasura telah
berutang sebanyak tiga ratus kali seribu rijksdaalders . Berpikirkah kalian,
dari mana kita akan membayar utang pajak sebanyak itu? Kita jelas tak akan
mampu membayarnya. Oh… andaikan dulu aku tidak terikat perjanjian dengan
mereka. Sekarang, mereka datang dan akan membawaku, menjualku sebagai budak.”
Wajah Sunan tampak letih. Beban pikirannya begitu berat.
“Kita masih bisa memikirkan jalan keluarnya, Sinuhun!”
“Adakah jalan keluar?”
“Selalu ada jalan keluar, sepanjang kita percaya. Ada banyak pihak yang
mendukung keraton. Kalau kita jeli mengamati situasi dan mampu mengendalikan
berbagai kekuatan yang bertikai, bukan tidak mungkin justru keraton akan
memperoleh keuntungan besar.”
“Pikirkanlah cara itu. Aku tak bisa berharap banyak dari para vasal. Bahkan,
pada pihak agamawan. Kalian tahu sendiri, suratku kepada raja Minangkabau belum
juga mendapat tanggapan hingga sekarang. Tak ada lasykar yang dikirimkan ke
sini untuk membantu membendung perluasan pengaruh Belanda.”
Dan, paseban hari itu ditutup dengan muram. Masing-masing pulang dengan beban
pikiran yang mencegah mata lelap hingga jauh malam.
***
Majasanga berada di timur laut Surakarta. Tempat landai dengan sedikit
bukit.
Angin berembus perlahan, ditingkahi gemericik sungai Bengawan Solo.
Tibalah
rombongan besar Kapten Tack di sana. Setelah menempuh perjalanan
panjang dari Semarang, lelah sungguh melekati setiap sekat tulang.
Tapi, mereka tak segera menuju
Kartasura. Sebagaimana berita yang telah tersebar, Kapten Tack
menghendaki
keraton telah dibersihkan dari Surapati dan kelompoknya saat dirinya
tiba.
Karena itu, mereka membangun perkemahan di wilayah yang masih termasuk
dalam
daerah Surakarta itu.
Keraguan itu sekonyong-konyong menyergapnya, atas tiadanya tindakan Sunan
sebagaimana yang ia harapkan.
“Tak mungkin Sunan menolak,” tegasnya sendiri. “Sunan akan berhadapan dengan
Pemerintah Agung jika berani menolak hal ini. Aku ingatkan padanya agar
menghormati hubungan baik dengan pihak Kompeni. Pemerintah Agung berkehendak
memperbaharui perhitungan hutang-piutang, mengokohkan perjanjian-perjanjian
sebelumnya dan membina kerja sama yang saling menguntungkan. Tak boleh tidak,
Sunan harus menyerahkan Surapati. Ini perintah langsung dari Pemerintah Agung.”
“Tapi, Tuan, sejauh ini lasykar Bali masih leluasa berkeliaran di keraton.
Agaknya, kali ini Sunan memiliki keberanian untuk mengangkat muka di hadapan
Tuan.”
“Ini tidak bisa dibiarkan. Sunan harus menyerahkan Surapati, atau atau
istananya kita lantakkan. Aku akan mengontak De Hartough di loji agar
menyiapkan sepuluh meriamnya.”
“Ya, jika demikian, mengapa Tuan tidak langsung menuju loji saja, dan menyusun
kekuatan di sana?”
“Bah! Apa kau tidak lihat, Greving! Loji itu hanya cukup untuk kandang kuda.
Bedebah memang, kenapa De Hartough tak kunjung memperbaiki loji itu sehingga
layak untuk pertahanan?”
“Kartasura tidak segenting daerah lain, Tuan. Belum diperlukan tentara penjaga
dan benteng dari batu karang.”
“Itu sebelum ada Surapati, Goblok! Tidakkah De Hartough bisa mengambil
keputusan sebelum terlambat?”
“Itu akan segera diperbaiki setelah Anda menyampaikannya kepada Tuan Residen.
Beliau tentu tidak akan menunggu perintah kedua untuk membangun loji itu.”
“Bah! Sekarang bagaimana? Bagaimana kalau Sunan tak kunjung menunjukkan itikad
baik untuk menyerahkan bandit-bandit itu?”
“Serang! Bumihanguskan! Tak ada pilihan lain.”
Kapten Tack mengangguk-angguk, merasa puas. “Itu yang kuharapkan!”
***
Malam lengang di Majasanga. Obor-obor menyala di sekitar perkemahan tentara
Tack dengan beberapa lasykar memanggul senapan tampak waspada berjaga. Kabar
yang tersiar, seorang tamu utusan Sunan tengah berada di dalam kemah Sang
Kapten.
Itukah utusan yang ditunggu, sebagai pertanda bahwa Sunan berkehendak
menyerahkan Surapati? Tak bisa dipungkiri, kendati bersenjata senapan, para
tentara Eropa ini lebih menyukai tidak pecah perang. Peperangan selalu menciutkan
nyali mereka, karena harus berhadapan dengan orang-orang yang gila kematian dan
seperti tak kenal menyerah. Dalam beberapa kali peperangan yang mereka lalui,
orang-orang Jawa bergerak bagai hantu; muncul dan menghilang tiba-tiba. Yang
ditinggalkan hanya mayat dan luka-luka. Belum dengan lasykar Bali yang
legendaris itu, yang tentu tak segan menggelar perang puputan.
Untuk itu, debar-debar dada mereka sama berharap ke satu hal, munculnya utusan
Sunan meminta jalan damai, mengikuti kemauan sang Kapten untuk menyerahkan
Surapati. Dengan demikian, perang bisa dicegah.
Beberapa waktu sebelumnya, telah datang utusan Sunan ke Majasanga meminta
permakluman Kapten tentang keberadaan Surapati di keraton. Namun, agaknya bagi
Kapten Tack, keputusan telah mati untuk si bandit itu; tak ada pengampunan.
“Aku tidak akan bodoh dengan memercayainya kembali,” bentak Kapten Tack saat
itu. “Dulu, Kompeni memercayainya dan memberinya senjata, namun ia menikam dari
belakang, menewaskan puluhan tentara pilihan, lantas memutuskan membuat kraman
. Tidak! Tidak akan aku ampuni dia.”
“Tapi, Surapati telah menunjukkan itikad baiknya kepada Sunan. Ia membasmi kaum
kraman di wilayah pinggiran .”
“Sunan kalian boleh saja percaya pada bandit itu, tapi aku tidak. Sekali-kali
tidak.”
Ketegangan memuncak. Semula, Sunan bersikeras mempertahankan Surapati tetap
pada tempatnya. “Bagaimanapun, Tuan, Sunan memiliki hubungan yang sangat baik
dengan Surapati. Boleh dibilang, Sunan berhutang jasa kepadanya. Lagipula, di
mata Sunan, Surapati adalah vasal yang setia dan disegani.”
Sayang, Tack tetap pada pendiriannya. Lantas, menghadapi kepala batu Tack,
Sunan mencoba merayu dengan cara lain. Perdagangan tekstil yang sedang memuncak
belakangan ini ditawarkan. Ini pun rupanya tak cukup meluluhkan hati sang
Kapten.
Kini… utusan kedua datanglah. Akankah ini membawa pertanda baik bagi hubungan
kedua belah pihak? Akankah ini mampu menyirap amarah Tack dengan kesediaan
menyerahkan Surapati?
Cakraningrat, utusan itu. Telah lama ia memiliki sentimen dengan pihak Surapati
dan lasykar Bali yang memenuhi pinggir luar keraton Kartasura. Perselisihannya
dengan Patih Nerangkusuma juga bukan lagi berada pada tataran yang wajar
perselisihan antara dua punggawa istana. Perselisihan itu telah mengarah para
sentimen ras dan kesukuan, karena Nerangkusuma memiliki hubungan kerabat dengan
orang Bali. Barangkali juga oleh kenyataan bahwa Sunan lebih menghargai
Surapati daripada Cakraningrat sendiri, kendati kedudukan keduanya sama
sederajat di hadapan istana.
Telah luluhkah hati sang Sunan dan bersedia menyerahkan Surapati, dengan
mengutus Cakraningrat ini?
Kedua orang itu kini tengah saling duduk berhadapan.
“Bagaimana keputusan Sunan? Bersediakah Sunan menyerahkan Surapati dengan
tangan terikat sebelum aku memasuki Kartasura?”
Cakraningrat menyampaikan hormatnya. “Dalam hal ini, telah dimaklumi bagaimana
hubungan antara Sunan dengan pihak Surapati. Jadi, wajarlah jika beliau
berkeberatan untuk menyerahkan Surapati dan pengikutnya kepada Anda.”
Serentak, wajah Kapten Tack bersemu merah. Ia telah menduga jawaban seperti
ini, namun tak urung kemarahannya tak terkendali.
“Jadi, kalian memilih perang? Kalian tidak melihat bagaimana terlatih
pasukanku, berikut sepuluh meriam di loji Belanda yang siap melantakkan benteng
kayu jati kalian?”
Sekali lagi, Cakraningrat mengaturkan hormatnya. “Tidak demikian halnya yang
dikehendaki oleh Gusti Sunan.”
“Jadi, apa?”
“Sunan masih memandang hubungan baik keraton dan Kompeni, di masa-masa lalu dan
yang akan datang,” jura Cakraningrat. “Akan tetapi, menyerahkan seorang vasal
kepada Tuan adalah sebuah tindakan yang memalukan. Ini akan menurunkan wibawa
Sunan di mata rakyat. Kepercayaan rakyat kepada Sunan akan hilang.
Apalagi, dalam hal ini, Surapati tidak sekadar vasal yang tepercaya. Di mata
rakyat, nama Surapati begitu berimpit dengan kepercayaan mistis, semangat
spiritual yang magic. Surapati adalah simbol perlawanan terhadap kaum
kafir—sebagaimana demikian mereka menyebut Tuan-tuan—dan membaur dengan
semangat jihad—yang saat ini gencar didengungkan oleh kaum agama. Apalagi, saat
ini Sunan semakin dekat dengan para ulama. Beliau mulai mendalami agama Islam,
berhubungan baik dengan para kiai di Gunungkidul.”
Tack mengerenyitkan keningnya. “Jadi benar berita itu? Sunan kalian bahkan
telah melaksanakan puasa Ramadhan selama di Gunungkidul?”
“Benar, Kapten. Beliau juga mulai melaksanakan ajaran Islam yang lima,
kendati hingga hari ini belum tergerak untuk berangkat ke Mekah. Malah,
beliau mulai
membina kerja sama dengan Minangkabau. Dalam hal ini, Surapati cukup
memberi
legitimisi dan justifikasi untuk rakyat, memercayai kembali Sunan
sebagai ratu
adil. Jadi, teramat sulit mempertahankan kedudukan Sunan di mata rakyat
jika
Sunan menyerahkan Surapati kepada Anda.”
“Kalau begitu, kalian memilih jalan kedua?”
“Jalan ketiga, Tuan. Bukan yang kedua.”
“Jalan ketiga? Yang bagaimana yang kalian maksud?”
“Pihak keraton yang akan menyelesaikan masalah Surapati.”
“Membersihkannya? Bukankah….”
“Membunuhnya. Tuan percayalah kepada kami. Ini akan lebih mudah bagi Sunan
daripada menyerahkannya kepada Anda, di mana berisiko lunturnya kepercayaan
rakyat dan kaum agama. Untuk alibi Sunan, bisa saja Surapati dijebak dalam
keadaan yang memungkinkan ia memberontak kepada keraton, dan dengan dalih
itulah maka Sunan akan menghabisinya. Nama Sunan bersih di mata rakyat, para
ulama, dan raja Minangkabau.”
Kapten Tack mengangguk-anggukkan kepala. “Bisakah itu aku percaya?”
“Saya jaminannya. Saya yang akan memimpin pembasmian kaum bandit itu.”
Tack tersenyum, lantas tertawa terbahak-bahak. “Begitu? Kalau benar, segera
buktikan kalian menangkap dan membunuh Surapati.”
“Bersabarlah, Kapten. Tunggulah dengan tenang di sini.”
“Baiklah, kutunggu kabar baik itu. Aku bisa membantu dengan beberapa pasukan.”
“Tak perlu, Tuan, sebab itu akan menunjukkan ada main mata antara Sunan dengan
Kompeni. Jika itu terjadi, maka sama saja hasilnya.”
Tack manggut-manggut. “Baiklah! Lakukanlah semau kalian. Tapi, mintalah juga
persetujuan dari De Hartough, sebab dialah residen di wilayah ini.”
Surapati
masih
di Babarong, di bentengnya, sekitar dua kilometer dari Majasanga.
Suasana
di benteng ini tak kalah mencekam. Perihal kedatangan Tack telah banyak
diwicara
orang. Pun, tentang kengototan Tack menangkap Surapati, karena hal itu
adalah
poin penting nota penugasannya dari Pemerintah Agung. Semula,
orang-orang Bali masih berharap dari pihak Sunan. Akan tetapi,
mengingat Sunan telah mengutus
Cakraningrat—sebagaimana diketahui, memiliki ketidaksukaan tersendiri
terhadap
orang-orang Bali—mereka mafhum bahwa kini tak bisa lagi percaya pada
perlindungan Sunan.
Beberapa saat yang lalu, telah datang Cakraningrat menyampaikan kabar terbaru.
raja Madura itu meminta Surapati menyerahkan diri kepada Tack, memohon
pengampunan.
“Orang Sampang itu begitu khawatir kalau wilayahnya akan diambil oleh Kompeni,”
kata Surapati, membincang perihal permintaan Cakraningrat dengan alasan demi
itikad baik menjaga hubungan antara Sunan dan Kompeni, menghindari peperangan
yang tentu akan merenggut banyak korban. “Wilayahnya di Madura itu berhadapan
langsung dengan loji Belanda di Surabaya.”
“Itulah yang membuat ia berusaha selalu menjadi anak manis bagi Kompeni,
Gusti.”
“Andai saja bukan karena ingin menghindari peperangan dan korban yang lebih
banyak, tak mau rasanya aku mengikuti sarannya.”
“Jadi, apakah Gusti benar akan menyerahkan diri?”
“Sunan menjamin akan memintakan pengampunan. Penyerahan diri ini semata taktik
agar Belanda tidak mencurigai kita. Jadi, untuk sementara, biarlah semacam itu.
Kelak, saat kekuatan telah terkonsolidasi, kita bisa pikirkan tindakan lain.
Untuk saat ini, rasanya semua itu tak mungkin.”
Kedua pembantu setianya itu menggeleng-gelengkan kepala, meragukan tindakan
yang akan diambil oleh pemimpin mereka itu, sekaligus meragukan itikad baik
Sunan.
“Percayalah… semua akan baik-baik saja. Kita serahkan saja kepada Tuhan. Dia
tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya tersia-sia.”
Mendadak, masuklah seorang prajuritnya memberitahukan datangnya Patih
Nerangkusuma.
“Kanjeng Patih?” Wajah Surapati mendadak cerah. “Persilakan dia masuk.”
Patih Nerangkusuma disambut di ruang utama. Tampaklah oleh sang Patih bagaimana
benteng itu begitu tenang, tak ada kesibukan sedikit pun. Persenjataan tetap
pada tempatnya, seakan tidak mengetahui berita kedatangan Tack, dan kemungkinan
pecahnya perang besar dalam waktu dekat.
“Ada apa ini?”
“Saya akan menyerahkan diri untuk kebaikan. Begitu yang dianjurkan
Cakraningrat.”
Meradanglah Nerangkusuma. “Menyerahkan diri? Apa-apaan kau? Apakah Cakraningrat
telah membujukmu untuk menyerahkan diri, sedangkan kepada Tack dia telah
menjanjikan kepalamu?”
“Apa?”
“Kau tidak mengerti. Ini muslihat. Cakraningrat membujukmu untuk menyerahkan
diri, mengatakan bahwa Sunan menjamin keselamatanmu dengan meminta permakluman
kepada Kompeni, sedangkan dia telah berencana hendak menjemputmu dengan 4.000
prajurit ke Majasanga. Percayalah padaku, kau akan ditusuk sebelum sampai di
Majasanga, dan kau tidak bisa meloloskan diri dalam kawalan 4.000 lasykar
Sampang dan Mataram.”
Surapati membesi. “Itukah yang ia rencanakan?”
“Ya. Dan dia akan menjemputmu besok di sini. Dia menjanjikan kepada Tack akan
menyerangmu, tapi mana berani ia menyerang tanpa muslihat? Ia ingin
memisahkanmu dari pasukan dan senjata. Ia tak ingin menghadapi kesulitan untuk
membunuhmu. Apakah kau akan menyerahkan dirimu pada kematian?”
“Jadi, perihal saya harus menyerahkan diri kepada Tack, bukanlah prakarsa
Sunan?”
Nerangkusuma menggeleng.
“Dan berarti… tidak ada jaminan Sunan atas saya?”
Kembali menggeleng.
Surapati mengepalkan tangannya. “Jadi, apa yang harus saya lakukan? Apakah
Sunan tidak berniat melindungi saya dari orang Belanda itu?”
Nerangkusuma menghela napas panjang. “Duduklah sejenak. Keadaan memang serba
tidak baik. Akan tetapi, kita harus bermain cantik agar memperoleh keuntungan
dan lepas dari keterjepitan ini. Kita harus menyusun siasat untuk dapat keluar
dari keterjepitan ini sambil memperkecil kerugian.”
Surapati mencoba menguasai amarahnya. “Apa yang hendak Gusti lakukan?”
“Paling tidak, satu hal yang perlu kau tahu, kedatangan Cakraningrat ke
Majasanga telah berhasil mencegah gerak maju pasukan Tack. Mereka kini menunggu
hasil ‘serangan’ orang Sampang itu.”
Surapati mengepalkan tangannya. Sebersit rencana segera terbit di kepalanya.
***
Pagi pecah….
Benteng Babarong telah lama terjaga. Sepanjang malam, persiapan telah dilakukan
dengan cermat. Orang-orang Bali telah bersiap dengan kain putih mengikat
kepala, menyiapkan perang puputan. Telah pula dipersiapkan tempat-tempat untuk
meloloskan diri dari kepungan seandainya hal itu memungkinkan untuk siasat
pertahanan, memperpanjang napas perlawanan. Surapati telah mengantisipasi
kedatangan Cakraningrat berikut 4.000 pasukan Sampang dan Mataram yang akan
menjemputnya.
Dan… rombongan penuh nafsu itu datanglah. Mereka menggedor benteng. Surapati
membukanya dengan pakaian kasatrian. Kain putih diikatkannya di kepala, dan
sebuah keris berluk terselip di perut.
“Apa maksudmu, Surapati?” tanya Cakraningrat. “Letakkan senjatamu dan kita
menghadap Kapten Tack.”
“Aku tidak mau.”
“Hei… kau melawan perintah Sunan? Bukankah ini telah menjadi kesepakatan kita
kemarin? Kau harus berpikir panjang untuk kebaikan semua pihak.”
“Ya, dan bukan untuk kebaikanmu. Aku tak mau menyerahkan diri kepada Tack.”
“Kau melawan? Siap mati kau rupanya.”
“Bukankah itu namaku? Surapati, mencintai kematian? Aku tidak mau ikut
denganmu, menjual harga diri kepada orang-orang kafir.”
“Keparat! Pasukan… tangkap dia!”
Pasukan Sampang itu maju menyerbu. Rupanya, di belakang barisan Cakraningrat
yang berjumlah 4.000 orang itu telah berdiri 6.000 tentara Mataram. Jumlah
mereka kini 10.000 orang, siap melibas benteng Surapati yang hanya dijaga oleh
seratus lasykar Bali.
“Dor…! Dor…! Dor…!”
Tembakan beruntun dari barisan pertama. Serentak, saat mereka menunduk untuk
mengisi peluru, barisan kedua mulai menembak. Begitu seterusnya.
Pada gebrakan pertama, delapan lasykar Bali langsung tewas dengan dada
berlubang. Di sela hujan peluru itu, jeda-jeda di mana pasukan musuh mengisi
kembali senapannya, lasykar Bali merangsek maju. Benteng mereka kokoh untuk
menahan serangan pertama. Dan lagi, kegilaan semangat puputan bukan lagi lawan
bagi orang-orang rapuh seperti prajurit Sampang dan Mataram.
Tapi, gelombang 10.000 tentara itu bagai tiada habisnya. Maka, bagi
lasykar Bali itu, pilihan mundur adalah yang paling realistis. Melalui
gerbang belakang benteng
sebelah barat, kelompok demi kelompok itu berangsur-angsur menarik
diri. Mereka
menghambur ke persawahan dan rumah-rumah penduduk, menghilang dalam
sekejap
mata.
Tentara-tentara itu celingukan mencari jejak yang tersisa. Korban banyak jatuh,
namun itu kebanyakan dari tentara Mataram dan Sampang sendiri. Sementara dari
pihak Bali, tak lebih dari sepuluh mayat yang tertinggal. Mereka benar-benar
hilang, seperti ditelan langit Merbabu di kejauhan. Seperti lenyap menjadi
asap, menyatu dengan lengkungnya di puncak Merapi.
Lasykar Bali di bawah komando Surapati jelas lebih memiliki hati rakyat.
Karenanya, dengan sukarela rakyat memberi perlindungan. Jejak-jejak itu dihapus
oleh rakyat yang telah muak dengan segala kebobrokan yang melanda negeri ajaib
ini.
***
“Apa? Dungu sekali kalian!” teriak Tack. Murka. Di hadapannya kini duduk
Wangsayuda, seorang lasykar Bali yang memihak Belanda. Darinya Tack memperoleh
laporan kegagalan Cakraningrat menangkap Surapati.
“Mereka terlalu tangguh, Tuan. Lagipula, daerah itu milik mereka sehingga
mereka tahu detail lokasi serta tempat-tempat melarikan diri.”
“Kenapa kalian beri mereka kesempatan melarikan diri? Apa gunanya 10.000
pasukan? Dasar pengecut!”
Kecut wajah Wangsayuda.
“Kalian orang-orang dungu. Atau… barangkali benar apa yang dikatakan Greving, kalian
sebenarnya tidak berniat menghabisi Surapati? Kalian menggelar pertempuran semu
itu untuk mengecohku, agar aku menyangka kalian benar-benar berniat menyerahkan
Surapati.”
“Seribu ampun, Kapten. Hal itu sungguh-sungguh fitnah. Sunan beritikad baik hendak
memperbaiki hubungan dengan Tuan. Kesungguhannya dapat Tuan lihat dalam
mobilisasi pasukan Mataram. Belumkah itu menjadi bukti?”
“Bukti apa? Kegagalan itukah yang kauanggap sebagai bukti kesungguhan? Sepuluh
ribu tentara tak sanggup menggilas seratus orang dalam satu gebrakan. Sungguh
tolol.”
“Tuan, pahamilah kesulitan kami. Rakyat lebih memihak Surapati sebab, bagi
mereka, bandit itu seorang dewa. Kharisma Surapati begitu melekat dan
jalin-menjalin dengan sisi spiritual rakyat. Surapati mampu menyatukan emosi
rakyat dalam satu sentimen anti-Belanda, dan itu yang tidak kami miliki.”
“Hanya itukah menurut kalian? Dan kau meminta aku percaya bahwa kalian
benar-benar menyerang Surapati?” Tack berkacak pinggang. “Kalau begitu, bisakah
kaujelaskan tentang orang-orang Bali Barat dari Kedu dan Gunungkidul yang turut
bergabung dalam lasykar Surapati? Kalian benar-benar berkomplot hendak
melawanku. Kalian bermain api.”
“Demi Tuhan, ini fitnah, Tuan.”
“Fitnah? Informanku jelas-jelas mengatakan orang-orang Bali berbaju hitam, dan
mereka mengenalinya sebagai orang-orang Bali dari Kedu serta beberapa bekas
pengiku Wanakusuma. Bagaimana mereka bisa bergabung dengan Surapati?”
Wangsayuda terdiam.
“Ada juga lasykar Bugis dan Makassar. Bisakah kalian jelaskan? Lalu tentang
kedatangan Nerangkusuma ke Babarong dan berbuntut pembelotan Surapati? Apa
pendapat kalian tentang sepak terjang patih kurang ajar itu? Dan pula, mengapa
tiba-tiba pasukan Cakraningrat membengkak menjadi 10.000 lasykar? Bukankah
seharusnya ia hanya membawa 4.000 orang?”
“Saya tak berani menjawab, Tuan, sebab saya tak melihat hal itu
terjadi. Ada pun, Kanjeng Patih memang dikenal memiliki hubungan dekat
dengan Surapati. Namun,
bukankah konyol jika beliau berkomplot dengan bandit itu sedangkan
kekuatan
mereka sama sekali tak berharga untuk menghadapi Kompeni?”
“Oooh… tak berharga? Bahkan kau tak mengakui bahwa ‘seratus’ orang mereka baru
saja membuat 10.000 tentaramu kocar-kacir?”
“Ini… ini….”
“Sebaiknya, akuilah kalau kalian memang dungu!”
“Tapi, Tuan….”
“Tak ada jalan lain, aku sendiri yang akan memenggal kepala bandit itu. Aku tak
percaya kalian benar-benar sepenuh hati hendak menyerahkannya.”
“Tidakkah sebaiknya kita kesampingkan masalah Surapati? Seperti Tuan
katakan,
Tuan akan menetap di loji jika Surapati telah menyingkir. Mengapa tidak
ke sana saja saat ini, Tuan? Tuan Residen tentu bisa berunding dengan
Tuan tentang langkah
terbaik untuk menghadapi Surapati.”
Tack tampak mencondongkan tubuhnya. “Menghadapai Surapati? Dari nada kalimatmu,
aku seperti menangkap keyakinan bahwa Surapati akan kembali.”
“Dia pasti datang.”
“Begitu? Mungkinkah ia punya nyali?”
“Bukankah dia seorang pendendam yang piawai, Tuan? Tindakan Cakraningrat kali
ini atas nama Sunan, tentu telah membuat ia kecewa. Karena itu, ia pasti akan
menyerbu istana pada waktu dekat. Ini juga seperti diucapkannya sebelum
meninggalkan bentengnya di Babarong, bahwa ia akan kembali membuat perhitungan
dengan Sunan.”
“Begitu?”
“Benar. Untuk itu, alangkah baiknya jika Tuan segera ke kota, menyatukan
kekuatan dengan pihak residen, dan bekerja sama dengan Sunan untuk menghadang
kedatangan Surapati.”
“Hmm….”
“Segeralah berangkat, Tuan…. Masih begitu banyak hal yang harus diselesaikan
dan dilakukan.”
***
Sunan Amangkurat II tengah duduk di paseban. Menghadap padanya Patih
Nerangkusuma. Tak banyak orang yang hadir di sana hari ini. Hanya beberapa
punggawa yang datang melapor menyampaikan keadaan terakhir kota yang kacau.
Sisa-sisa peperangan masih terlihat. Jelas membekas pada wajah panik penduduk
yang takut pecah perang lanjutan. Karena itu, demi menjaga dan memulihkan
keamanan, lasykar Mataram memperkuat penjagaan. Mereka melibatkan orang-orang
Bugis dan Makassar, serta orang-orang Bali yang tersisa, dalam penjagaan gerbang-gerbang
istana.
“Atur sembah, Sinuhun!” kata Nerangkusuma. “Sejauh ini, siasat kita berhasil.
Cakraningrat tidak menyadari adanya orang-orang yang disusupkan untuk
meloloskan Surapati. Ia tidak tahu bahwa keberadaan 6.000 lasykar Mataram
bergabung dalam penjemputan pagi hari itu bukan membuat pasukannya kokoh, namun
justru melemahkan.”
“Syukurlah. Dengan begitu, Surapati bisa melarikan diri tanpa kita dituduh
bersekongkol dengannya. Mudah-mudahan, hubungan kita dengan para ulama pesisir
dan raja Minangkabau tidak menjadi retak. Aku juga masih mengharap dukungan
rakyat. Kita tak boleh terus membiarkan Belanda mencaplok satu demi satu tanah
Mataram. Kita harus terus mengurangi kekuasaannya di sepanjang pantai utara
untuk kembali membuka akses Jawa dengan dunia luar.”
“Memang benar, Gusti. Dan, besok pagi, Kapten Tack akan tiba di loji. De
Hartough menyampaikan hal ini kepada saya, tentang surat Greving yang
diterimanya tadi pagi.”
“Tuan Besar Kepala itu akan meninggalkan Majasanga?”
“Benar, Tuanku. Adakah yang mengganggu hati Tuan?”
Sejenak, Nerangkusuma menangkap raut murung sang Raja. Tentu saja ia maklumi
hal itu. Bagi Sunan, datangnya Tack sama dengan datangnya malaikat pencabut
nyawa.
“Hutang-hutangku sungguh celaka. Aku akan dijual sebagai budak. Aduhai, andai
aku tak menandatangani macam-macam perundingan dengan orang-orang Belanda itu.”
“Tapi, Surapati akan menyelesaikan masalah ini.”
“Ya, mudah-mudahan saja. Kalau begitu, marilah kita persiapkan upacara
penyambutan kepada Tuan Besar Kepala itu. Kita akan menggelar jamuan macan
untuknya. Kita akan tunjukkan sirkus macam bebas malam ini. Ya… malam ini.
Dengan empat puluh macam liar dari Gunung Merapi.”
“Benar, Gusti! Malam ini! Malam ini!”
***
Sebuah pondok di tengah pemukiman penduduk. Lentera kecil yang masih
berkelip-kelip hingga jauh malam itu tak menimbulkan kecurigaan,
kendati kota begitu berjaga dengan adanya rombongan-rombongan penjaga.
“Berkat siasat Nerangkusuma, kita berhasil keluar dari keraton tanpa harus
membahayakan Sunan. Tack tak punya bukti keterlibatan orang keraton. Dalam hal
ini, kita cukup terbantu dengan bodohnya Cakraningrat,” gumam Surapati pada
salah seorang pembantu kepercayaannya. “Ambisi besarnya itu yang membuat ia tak
bisa membaca keadaan, tak sadar telah dimanfaatkan. Dan sekarang, kita akan
segera menyerang keraton.”
“Menyerang Sunan? Apakah ini bagian dari strategi yang telah diatur Patih
Nerangkusuma? Ataukah benar-benar Gusti hendak membalas dendam kepada Sunan?”
“Ya! Ini strategi, agar kita benar-benar terlihat memiliki permusuhan dengan
Sunan. Yang kedua, untuk memancing mangsa masuk ke perangkap.”
“Bisakah Gusti jelaskan?”
“Tack yakin kita akan kembali, membuat perhitungan dengan Sunan. Untuk itu, dia
kini memasuki Kartasura, dan Sunan menyambutnya dengan perjamuan macan.”
Surapati mengerlingkan matanya.
“Macan? Hahaha… kitakah macam itu.”
“Benar! Kita adalah macan itu. Kita akan menyambutnya di lapangan bebas.
Sekarang, orang-orang bodoh itu telah masuk ke dalam perangkap, dan tak ada
tempat untuk lari. Kita akan menyerang ke sana. Patih Nerangkusuma telah
menyiapkan orang-orangnya, berikut mengonsolidasikan orang-orang Bugis dan
Makassar.”
“Tapi, pasukan Tack tak boleh dianggap remeh.”
“Betul! Pasukan Tack sungguh besar, disertai kelewang dan senjata api yang tak
mudah untuk dihadapi. Yang lebih menyulitkan, di dalam loji De Hartough,
tersimpan sepuluh meriam. Untuk itu, kita perlu bergabung dengan pasukan
Mataram dan Patih Nerangkusuma.”
“Tidakkah ini akan membuat Tack curiga ada main mata antara kita dengan
keraton?”
“Tenanglah! Telah disusun sedikit sandiwara.”
***
Tack menerima kedatangan utusan De Hartough dengan amarah meluap. Ia tengah
menyiapkan keberangkatannya meninggalkan Majasanga saat utusan itu tiba. Wajah
utusan itu pias, merasa berhadapan dengan duta istimewa Pemerintah Agung.
“Segera persiapkan segala sesuatunya!” perintah Tack. “Perbaiki benteng,
siapkan meriam, dan atur jadwal jaga dengan lebih rapat.”
“Tapi, Tuan Residen berpesan bahwa ini akan membuat orang-orang Jawa merasa
terancam. Sentimen anti-Belanda mereka bisa tersulut dan berkobar lagi.”
“Apa kau tidak melihat, karena kebodohan kalian maka Surapati dan para bandit
itu berani unjuk gigi? Kartasura juga mulai berani melawan.”
“Saya rasa tidak demikian. Sunan dan para prajuritnya masih tetap setia seperti
semula pada perjanjian.”
“Dasar bodoh! Keraton telah meloloskan Surapati. Mereka tak membiarkan kita
membawa Surapati, karena itu mereka membuat sandiwara peperangan itu.”
“Tidakkah ini berlebihan, Kapten? Bahkan, Sunan sendiri yang memerintahkan
penangkapan. Karena hal itu pula maka timbul perselisihan antara Sunan dengan
pihak Surapati. Keraton kini sedang meningkatkan penjagaan karena Surapati
mengancam akan membalas dendam.”
“Kalian percaya omong kosong ini?”
“Tuan Residen juga berpesan, Kapten segera ke Kartasura. Kapten masih sangat
lelah, dan lolosnya Surapati semakin membuat keruh pikiran. Sebaiknya Kapten
beristirahat terlebih dahulu, barulah menyusun langkah-langkah preventif dengan
lebih taktis.”
Kapten Tack mendengus. Jemarinya terkepal. Ia tampak menahan kemarahan yang
hampir meledakkan dadanya.
Namun, Kapten Tack tak sempat beristirahat. Utusan berikutnya menyusul tiba,
dari keraton, yakni seorang punggawa istana bernama Sindunata beserta
serombongan pasukan, yang berniat menjemput Tack.
Tak membuang waktu, Tack segera menyiapkan pasukannya. Mereka segera
meninggalkan Majasanga.
***
Sementara itu, di dalam kota, kerusuhan pecah pagi itu. Bunyi tembakan
bersahut-sahut dari benteng Babarong.
Benarkah Surapati telah kembali?
Di Banyudana, beberapa ratus meter dari keraton, Tack berpapasan dengan
orang-orang Jawa, Bali dan Makassar yang lintang-pukang melarikan diri. Panik.
Agaknya kekacauan membuat mereka menyingkir dari keraton. Greving segera
meminta penjelasan dari salah seorang yang melarikan diri itu. Bahasa Jawa.
Tack tentu saja tak memahami dialog antara Greving dengan penduduk itu.
“Apa yang terjadi?” tanya Tack.
“Terjadi penyerangan, Kapten. Surapati menyerang keraton.”
“Apa? Kalian tidak main-main?”
“Tidak, Kapten,” tukas Sindunata, utusan Sunan itu. “Surapati tak pernah
main-main dengan kalimatnya. Kini ia telah membuktikannya.”
“Kurang ajar! Dia berani berulah! Dia tidak tahu kalau aku sudah akan
segera
memenggal kepalanya. Hitung waktu yang kita perlukan untuk sampai ke
kota, itu sisa waktu yang ia miliki. Kalau sampai dia bertemu denganku,
tak akan kubiarkan
dia hidup. Atau barangkali dia sudah akan lari terbirit-birit begitu
mendengar
aku tiba.”
“Ampun, Kapten! Dengan tidak bermaksud hendak merendahkan Kapten, agaknya saya
harus memisahkan diri dari rombongan ini. Saya harus segera bergabung dengan
pasukan keraton, menghadapi serangan Surapati.”
“Apa?” tanya Tack dan Greving bersamaan, mengerenyit heran.
Tapi, tanpa menunggu jawaban mereka, Sindunata segera membawa pasukannya menuju
keraton, mempersilakan Tack dan rombongannya langsung menuju loji. De Hartough
telah menanti.
***
Sri Susuhunan menyambut kedatangan Tack dengan panik. “Bandit itu telah
menyerang keraton,” katanya. “Untunglah, Nerangkusuma dan pasukannya berhasil
menghalau.”
“Di mana bandit itu sekarang?” tanya Tack.
“Melarikan diri ke arah timur. Nerangkusuma sedang mengejarnya.”
Beberapa saat, Tack mondar-mandir dengan marah. Ia seperti kehilangan akal saat
menyadari kepalanya nyaris meledak. Ia seperti menangkap sesuatu yang tidak
beres, namun ia tidak bisa menyimpulkan letak ketidakberesan itu di mana.
Pada saat genting itu, masuklah seorang punggawa keraton, Adipati Urawan,
menyampaikan berita yang menggembirakan Tack. “Surapati masih membuat kekacauan
di timur keraton. Rumah-rumah dibakar.”
Tack terbakar nafsu hendak membunuh. Semangatnya tampak timbul meluap-luap.
“Jadi, dia belum berlari jauh? Berapa kekuatannya sekarang?”
“Tak ada kepastian, Kapten. Tapi, pasti tak begitu membahayakan sebagaimana
sebelumnya. Jumlah tentaranya telah jauh berkurang dalam peperangan tadi, juga
saat terjadi bentrokan dengan Cakraningrat beberapa waktu lalu.”
“Bawa aku ke sana! Lekas! Akan kupenggal kepala bandit itu.”
“Bagaimana dengan keamanan loji, Kapten?” tanya De Hartough, cemas.
Sejenak, Tack berpikir. “Baiklah! Aku tinggalkan Kapten Leeman dengan 150
tentara di sini. Jangan lupa, tempatkan pula lima puluh orang di dekat keraton
untuk mengantisipasi keadaan. Luitenant Greving yang memimpin. Sisanya, tiga
kompi pasukan ikut denganku mengejar ke timur, sebelum mereka semakin jauh.”
Lantas, dengan Adipati Urawan sebagai petunjuk, Tack keluar dari loji. Mereka
melintasi pasar dan alun-alun yang telah kacau, menuju keraton, dan berbelok ke
kiri melewati Pajang. Asap mengepul di kejauhan, dari rumah-rumah penduduk yang
dibakar.
Orang-orang yang panik dan ketakutan saling berlarian ke sana kemari. Bunyi
tembakan bersahutan di kejauhan. Tapi, Tack belum juga mengetahui di mana musuh
berada. Semua simpang siur tidak keruan.
Namun, tiba-tiba, terdengarlah ledakan dahsyat disusul suara tembakan yang
semakin rapat. Asap membubung dari arah barat.
“Astaga…! Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tack panik.
“Keraton kembali diserang, Kapten,” lapor tentaranya yang tiba dengan
tergesa-gesa. “Kapten Greving berikut… lima puluh tentaranya disergap di
gapura. Orang-orang Bali itu bergerak bagai hantu.”
Tack mengertakkan rahangnya. Rupanya, ia telah terpancing keluar wilayah
keraton. Ia segera menyadari bahwa kerusuhan di kampung itu tak lebih dari
tipuan belaka. Ia bahkan kini tanpa sengaja telah memecah-mecah kekuatannya
sendiri. Ia memerintahkan pasukannya segera kembali. Dan, sekonyong-konyong ia
melihat orang-orang berpakaian Bali telah memenuhi kota.
“Gila! Dari mana Surapati memiliki pasukan sebanyak itu?”
Perang terus berlangsung. Tentara Belanda semakin kocar-kacir. Yang lebih
menyakitkan, Luitenant Greving ditemukan Tack telah menjadi mayat. Tubuhnya
tercabik tetakan pedang dan tikaman keris. Mengerikan! Di sebelahnya saling
silang mayat-mayat tentara Belanda yang lain. Belasan tentara telah jatuh.
Kedatangan Tack serentak bersambut dengan menyurutnya tembakan. Letusan semakin
jarang terjadi. Berangsur-angsur pasukan Bali itu menarik diri. Mereka
menghilang di balik tembok-tembok keraton. Benar-benar bagai hantu.
Naluri perang Tack segera mencium gelagat tak baik. Loji Belanda di seberang
alun-alun boleh dibilang tanpa pengamanan.
“Segera pisahkan sebagian pasukan, perkuat pengamanan di loji!”
Bedebah! Mengapa De Hartough selalu mengambil keputusan saat terlambat? Benteng
loji yang menyedihkan itu, tidak pantas untuk melindungi tentara. Ia lebih
pantas dilindungi. Ada banyak meriam dan amunisi berharga di sana.
Pasukan Tack semakin berkurang, cerai-berai dan masing-masing terputus kontak
dengan yang lain. Kini, Tack berhadapan dengan orang-orang yang muncul dan
menghilang dalam sekejap. Orang-orang Bali itu benar-benar hantu, bukan saja di
malam hari. Siang bolong begini, mereka bergerak seperti kilat, datang dan
pergi dalam bilangan detik. Ia melihat orang-orang yang muncul dari balik
tembok, dengan pakaian Bali yang… aneh!
Aneh?
Hei… bukankah sekelebat bayangan tadi, yang menikamkan keris pada salah satu
tentaranya tadi… adalah….
Jadi benar, ada permainan dalam kerusuhan ini. Orang itu adalah Sindunata, yang
pagi tadi datang menjemputnya, dan memisahkan diri setelah tiba di Banyudana.
Pantas saja dia pergi terburu-buru.
Apakah ini juga berarti Nerangkusuma bergabung dengan Surapati? Lantas, di mana
Cakraningrat?
Ia tak sempat berpikir. Benteng-benteng itu sungguh keparat. Senapannya tak
berfungsi dalam perang jarak dekat seperti ini. Pasukan tombak yang semula
mengawalnya, telah memisahkan diri untuk memperkuat loji.
Loji? Mengapa ia berpikir Surapati akan menyerang ke sana, sedangkan orang yang
diincar sesungguhnya adalah dirinya? Surapati tak akan menyerang loji. Ia tidak
akan membiarkan dirinya lepas setelah masuk perangkap gila ini.
Di kali terakhir, gelombang lasykar Bali dan lasykar ‘berpakaian’ Bali itu
benar-benar meremukkan nyalinya. Ia tak mampu menghindar dari tebasan pedang
orang-orang yang telah memaklumkan perang puputan. Ia hanya bisa
menyumpah-nyumpah dalam kepanikan yang luar biasa, terus menyumpah hingga
nyawanya sendiri terbang. Ia menyerahkannya, suka atau tidak suka, sebab tak
ada lagi jalan untuk menyelamatkan diri.
***
Tepat saat matahari naik ke puncak kepala, peperangan berakhir. Pihak Belanda
kehilangan enam puluh delapan orang tentaranya—banyak di antaranya adalah
prajurit-prajurit pilihan seperti Kapten Tack, Luitenant Greving, Sersan Samuel
Maurits, dan banyak lagi.
Sementara itu, dari pihak lasykar Bali, kerugian juga tak bisa dianggap enteng.
Hampir lima puluh orang tewas, termasuk sebagian besar prajurit terkemuka
seperti Singabarong, Mangkuyuda, dan sebagainya.
Seusai peperangan, Belanda kembali ke lojinya, mengangkat mayat-mayat dari
alun-alun, sembari menyesali kebodohan mereka sendiri. Wajah halus orang Jawa
dengan garis mata sayu itu, semakin mereka yakini begitu mahir menyimpan dusta
dan dendam kesumat. Mereka telah hidup berdampingan dengan bangsa pendendam
itu, namun tak pernah tahu sedalam mana mereka mampu menyimpan bara, hingga
meledak menelan semua yang tampak. Mereka menatap Merapi dengan lengkung
asapnya yang menjemba angkasa, menyadari bahwa gunung bara itu lebih mudah
mereka selami daripada dada orang Jawa.
Sementara, Surapati menyusun kembali sisa-sisa pasukannya. Selepas peperangan,
mereka berkumpul di masjid raya yang bagian atapnya terbakar sebagian—bagian
dari siasat. Mereka menunaikan shalat, mengucap syukur atas pertolongan Allah,
sehingga mampu memenangkan peperangan menghadapi tentara Kompeni. Selepas Asar,
mereka berlalu dari Kartasura. Keraton itu sudah bukan lagi tempat yang tepat
untuk bernaung. Panggilan jihad telah menunggu di setiap tempat, di setiap
lekuk kota, di setiap relung perkampungan. Mereka akan terus mengobarkan
nyalanya hingga batas yang ditetapkan.
Keraton berpesta. Tangan mereka tetap bersih. Sunan kembali menduduki tahtanya.
Ia terlepas dari tagihan hutang. Nerangkusuma puas, siasat perangnya berhasil
dengan sempurna. Entah, siapakah yang lebih memainkan peran dalam kerusuhan
kali ini; Sri Susuhunan ataukah Patih Nerangkusuma. Yang jelas, mereka boleh
bangga bahwa rakyat Mataram bukanlah kurcaci yang boleh diinjak sesuka hati
oleh Kompeni. Hingga malam, dari keraton mengalun gendhing Banyu Banjir,
gendhing lambang kemenangan. Alunan gamelan itu bersahut-sahut hingga dalem
kepatihan.
***
--------------------
Data-data diambil dari:
Dr. H.J. De Graaf; Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad§ XVII; Grafitipers, 1990.
Dick Hartoko; Bianglala Sastra, Bunga Rampai§
Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (cet-2); Penerbit Djambatan,
1985.
Karel Steenbrink; Kawan dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam§ di Indonesia (1596-1942); Mizan, 1995.
Annida Online Rabu, 02 Februari 05
Sakti Wibowo
Tahun 1686
Kota datar yang dipagar gunung-gunung itu terlihat kekar. Merbabu dan Merapi
di batas barat beraura mistis dengan lengkung asap yang menjemba angkasa. Di
ujung timur laut, puncak Lawu menyembunyikan kakinya, berenang di laut kabut.
Inilah Kartasura… tanah anugerah dan keajaiban. Para pedagang, di subuh buta
telah tumpah di jalan-jalan, menuju pasar di dekat alun-alun, berseberangan
dengan keraton yang dipagar benteng-benteng kayu jati yang materialnya disokong
oleh para kalang dan gowong dari hutan-butan perawan. Kukuh!
Penghuni kota datar ini memulai pagi dengan wajah berkabut, seperti
gunung-gunungnya yang tak kunjung lepas dari belitan pedhut . Namun, jika
cermat diperhatikan, taburan penduduk yang memenuhi pasar di pagi itu
membaurkan beberapa ras manusia yang berbeda. Paras murung Jawa. Lantas,
beberapa wajah Eropa dengan mata biru dan berhidung mancung, dilengkapi tubuh
jangkung. Beberapa orang dengan pakaian khas Bali; melengkapi pembauran yang
unik ini. Mereka adalah pengikut-pengikut Surapati yang mengabdi kepada Sunan.
Itu berlangsung semenjak mereka berikrar untuk mengakhiri petualangan,
berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mengacau, dan menemukan labuhan
yang tepat untuk bernaung dari ancaman Kompeni. Kartasuralah naungan itu.
Lantas, yang paling berbeda—tentu saja setelah Kompeni—adalah keberadaan wajah
Melayu bersahaja di tengah pikuk manusia itu. Tulang-tulang rahang yang kukuh.
Bola mata tajam dan siap berperang. Mereka telah menyeberangi laut luas,
menaklukkan ombak dan badai taifun. Mereka orang-orang Makassar yang sejak
jatuhnya kerajaan ke tangan Belanda, memilih berkelana. Dendam terhadap
orang-orang pendatang itu serasa berakar dan memperoleh tempat tumbuh di
Kartasura ini, sebuah wilayah di seberang pulau namun memiliki sentimen yang
tinggi terhadap pihak yang sama. Rasa berkawan. Itulah alasan mereka berada di
Kartasura, memutuskan menetap dan berikrar setia kepada Sunan sepanjang Sunan
tidak tunduk kepada Belanda.
Pasar dan keraton itu terpisah oleh alun-alun luas dengan pohon beringin besar
di garis tepinya. Dan di sebelah pasar, berlawanan dengan alun-alun, berdiri
dengan ‘gagah’ sebuah loji Kompeni. Loji ini diperoleh izinnya di masa lalu
setelah Sunan tertekan oleh berbagai pemberontakan; Trunojoyo, Raden Kajoran,
Laskar Makassar, Pangeran Adipati Anom, Wanakusuma, dan berbagai pemberontakan
lain yang memaksa Sunan ‘menerima’ tawaran amunisi logistik berikut tentara
dari Kompeni, dengan kompensasi sebuah loji, berikut beberapa hak istimewa yang
di kemudian hari menjadi titik pertikaian kedua pihak.
Tanah yang tersedia untuk loji itu sedemikian luas. Tidak ada gedung-gedung
yang terbuat dari batu karang. Hanya sebuah ‘gubuk’ kecil yang tak cukup
menampung 48 orang. Pagarnya pun terbuat dari bambu yang telah lapuk. Tak cukup
pantas bahwa di dalamnya tersimpan lebih dari sepuluh meriam.
Johannes Cops—si Tuan Baik Hati—yang sebelumnya menjabat residen Jepara memang
beranggapan Kartasura bukan daerah yang berbahaya. Sejak pengangkatannya
sebagai komandan di wilayah tersebut pada tahun 1682, ia tak kunjung
memperbaiki penampilan benteng yang menyedihkan itu. Sebab pertama karena ia
berhaluan etis sehingga cara kekerasan bukanlah prioritasnya.
Dan karena itu, ia tak merasa perlu atas keberadaan tentara maupun senjata
dalam jumlah ‘wah.’ Sebab kedua karena sepanjang awal kariernya, ia disibukkan
dengan aktivitas meneliti pembukuan pejabat sebelumnya; hal mana membuat ia
mengerti sumber-sumber kebangkrutan VOC, yakni tingkat korupsi yang membubung
hingga ke langit. Dan temuan inilah yang membuat ia memutuskan untuk mengurangi
berbagai sektor ‘pemborosan’, termasuk salah satunya keberadaan tentara dan
para pengawal yang ‘tak begitu berguna.’
Lantas, oleh Pemerintah Agung, Cops diturunkan dari jabatan, digantikan
Johannes de Hartough. Kebijakannya dimulai awal tahun 1685, terbilang cukup
keras dibandingkan pejabat sebelumnya. Sikap yang keras ini, tanpa ia sadari,
telah membangkitkan kembali sentimen yang pelan-pelan mulai pudar di tanah
Jawa. Kebijakan yang telah menyulut kembali api yang telah lama mengarang.
Kebijakan-kebijakan itu di kemudian hari berimpit dengan perintah-perintah dari
Betawi yang menghendaki penataan administrasi dan mengulang perjanjian dengan
Sunan, dan Pemerintah Agung Kompeni mengirimkan orang kebanggaannya yang telah
mengukir sukses di peperangan melawan Makassar, Kediri, dan sisa-sisa Kerajaan
Majapahit.
Awal Februari 1686….
Pendopo istana Kartasura.
Sri Susuhunan tampak merah wajahnya, berdiri di atas sitinggil. Para
punggawa dan pejabat kerajaan bercampur dengan kehadiran beberapa vasal
setia Sunan,
tampak terbawa aura kemarahan Sunan tersebut. Berita yang mengejutkan
itu tiba
beberapa saat yang lalu.
“Jadi, Kapten Tack telah tiba di Semarang?”
“Benar, Sinuhun,” jawab Patih Nerangkusuma seraya mengaturkan sembah. “Kapten
Tack telah tiba di Semarang berikut tentaranya, disertai pula oleh Luitenant
Greving.”
Di singgasananya, Sunan mengepalkan jemari hingga saling bergemeletuk. “Apa
yang dia mau?”
“Tentu saja untuk memadamkan kraman, Gusti,” sahut Cakranikrat, penguasa Madura
yang masih juga bermimpi mendirikan negara di timur Pulau Jawa, merupakan salah
seorang vasal Sunan. “Sebab, Pemerintah Agung mengetahui bahwa bandit-bandit
telah bernaung di bawah Gusti Sinuhun.”
“Surapati yang kaumaksud?” tanya Sunan.
“Benar, salah satunya. Berikut juga orang-orang Bugis dan penganut Wanakusuma.
Itu hemat hamba. Sebab, seperti saya sampaikan kepada Gusti sebelumnya,
kebijakan Gusti untuk menerima Surapati mengabdi kepada keraton adalah
keputusan yang berisiko.”
“Agaknya saya perlu mengoreksi, Sinuhun,” potong patih Nerangkusuma, tidak
setuju dengan pendapat Cakraningrat. “Bahwa kita perlu mawas, bergabungnya
Surapati telah memberi banyak keuntungan. Surapati telah membuktikan
jasa-jasanya; menumpas gerombolan kraman di perbatasan, meningkatkan stabilitas
keamanan negara, mengurangi banyak biaya yang seharusnya dikeluarkan keraton
untuk menghadapi pengacau itu.”
“Tapi, Surapati menyimpan permusuhan masa lalu dengan Kompeni,” Cakraningrat
tak mau kalah. “Sebesar apa pun jasanya, dan walaupun Kompeni mengetahui ia
salah satu vasal Sunan, mereka tak mudah melupakan penyerangan dan
pengkhianatan bandit itu.”
Sunan mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi, benar Kapten Tack mempermasalahkan
keberadaan Surapati dan lasykar Bali itu di sini, dan menghendaki keraton
memutuskan hubungan dengan mereka?”
“Benar, Sinuhun. itulah yang saya dengar dari beberapa informan saya, telah
diperbincangkan Kapten dengan Luitenant Greving.”
“Belum ada kejelasan tentang itu Sinuhun,” tukas Nerangkusuma. “Sinuhun
hendaklah berpikir dengan jernih. Bisa jadi hal ini adalah muslihat Raden
Cakraningrat akibat ketidaksukaannya kepada orang-orang Bali, dan memang begitu
kenyataannya.”
Paras Cakraningrat merah padam. “Saya memang tidak suka dengan
orang-orang Bali itu, Kanjeng Patih. Tapi, apa yang saya sampaikan ini
benar-benar terjadi.”
“Tak ada bukti sedikit pun. Kita belum menerima surat dari Kapten Tack
sehubungan dengan hal ini.”
“Kau selalu membela orang-orang Bali karena kau memiliki garis keturunan dengan
mereka. Tapi, ini masalah negara. Masalah rakyat!” tandas Cakraningrat.
“Ya, saya tahu apa yang kaupikirkan, Raden. Kau memanfaatkan kedatangan Kapten
Tack untuk menyingkirkan orang-orang Bali dan Makassar. Lantas, jika mereka
berada di lingkar luar keraton, Kompeni akan semakin mudah memecah-belah
kekuatan bumiputera. Kartasura tak lagi memiliki pendukung mumpuni yang mampu
menyatukan hati rakyat dalam satu upaya mempertahankan harga diri.”
“Harga diri?”
“Ya… harga diri. Belajarlah tentang harga diri, jangan terlalu murah kaujual
kepada para Kompeni.”
“Apa maksud Kanjeng Patih?”
“Saya tahu, Raden, kau mengincar sebuah jabatan. Kau menginginkan orang-orang
yang sok kuasa itu membangunkan pilar-pilar untukmu. Bukankah singgasanamu
berimpit dengan loji Belanda di Surabaya, dan kau khawatir jika tak mengikut
kemauannya, istanamu akan diratakan dengan tanah?”
“Cukup…!” bentak Sunan seraya mengangkat tangannya. Murka. “Kalian hendak
beradu mulut di tengah paseban? Sungguh tak tahu diri.”
“Maafkan hamba, Sinuhun!” ucap keduanya bersamaan.
“Tidakkah kalian berpikir bahwa hal besar sedang menunggu di hadapan kita?”
Sunan semakin mengepalkan tangannya dengan geram.
“Apakah Gusti mengkhawatirkan peperangan?” tanya Nerangkusuma seraya mengangkat
sembah. “Jika Kapten menghendaki lasykar Bali serta Makassar diusir dari
keraton, Gusti bisa mengupayakan permakluman. Paling tidak, saat ini, merekalah
pihak-pihak yang telah mengokohkan keraton, meningkatkan wibawa keraton di mata
rakyat berikut Kompeni. Jadi, masih sangat terbuka jalan menghindari
peperangan.”
“Atau, jika tidak bisa dimintakan permakluman,” sambung Cakraningrat, “Gusti
bisa menempatkan Surapati di luar daerah keraton. Ini tentu lebih aman, sebab
Kapten Tack sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang lasykar Makassar. Hanya
Surapati dan lasykar Bali saja yang dia permasalahkan, dan ini disebabkan
dendam lama Kompeni.” Diam sejenak. “Bukankah,” lanjutnya, “tentara Surapati
tak lebih dari seratus orang? Itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada keraton.
Tuanku masih memiliki 300 tentara Sampang, dan ratusan orang Bugis.”
“Tapi, tidak ada yang melebihi kharisma Surapati di mata rakyat, Gusti.”
“Tidak!” bentak Sunan yang diikuti saling pandang antara Nerangkusuma dan
Cakraningrat. “Bukan masalah itu yang kukhawatirkan.”
“Lantas, apa gerangan yang merisaukan Gusti?”
“Ia datang tak lebih untuk mengambil uang kita. Kalian tahu, Kartasura telah
berutang sebanyak tiga ratus kali seribu rijksdaalders . Berpikirkah kalian,
dari mana kita akan membayar utang pajak sebanyak itu? Kita jelas tak akan
mampu membayarnya. Oh… andaikan dulu aku tidak terikat perjanjian dengan
mereka. Sekarang, mereka datang dan akan membawaku, menjualku sebagai budak.”
Wajah Sunan tampak letih. Beban pikirannya begitu berat.
“Kita masih bisa memikirkan jalan keluarnya, Sinuhun!”
“Adakah jalan keluar?”
“Selalu ada jalan keluar, sepanjang kita percaya. Ada banyak pihak yang
mendukung keraton. Kalau kita jeli mengamati situasi dan mampu mengendalikan
berbagai kekuatan yang bertikai, bukan tidak mungkin justru keraton akan
memperoleh keuntungan besar.”
“Pikirkanlah cara itu. Aku tak bisa berharap banyak dari para vasal. Bahkan,
pada pihak agamawan. Kalian tahu sendiri, suratku kepada raja Minangkabau belum
juga mendapat tanggapan hingga sekarang. Tak ada lasykar yang dikirimkan ke
sini untuk membantu membendung perluasan pengaruh Belanda.”
Dan, paseban hari itu ditutup dengan muram. Masing-masing pulang dengan beban
pikiran yang mencegah mata lelap hingga jauh malam.
***
Majasanga berada di timur laut Surakarta. Tempat landai dengan sedikit
bukit.
Angin berembus perlahan, ditingkahi gemericik sungai Bengawan Solo.
Tibalah
rombongan besar Kapten Tack di sana. Setelah menempuh perjalanan
panjang dari Semarang, lelah sungguh melekati setiap sekat tulang.
Tapi, mereka tak segera menuju
Kartasura. Sebagaimana berita yang telah tersebar, Kapten Tack
menghendaki
keraton telah dibersihkan dari Surapati dan kelompoknya saat dirinya
tiba.
Karena itu, mereka membangun perkemahan di wilayah yang masih termasuk
dalam
daerah Surakarta itu.
Keraguan itu sekonyong-konyong menyergapnya, atas tiadanya tindakan Sunan
sebagaimana yang ia harapkan.
“Tak mungkin Sunan menolak,” tegasnya sendiri. “Sunan akan berhadapan dengan
Pemerintah Agung jika berani menolak hal ini. Aku ingatkan padanya agar
menghormati hubungan baik dengan pihak Kompeni. Pemerintah Agung berkehendak
memperbaharui perhitungan hutang-piutang, mengokohkan perjanjian-perjanjian
sebelumnya dan membina kerja sama yang saling menguntungkan. Tak boleh tidak,
Sunan harus menyerahkan Surapati. Ini perintah langsung dari Pemerintah Agung.”
“Tapi, Tuan, sejauh ini lasykar Bali masih leluasa berkeliaran di keraton.
Agaknya, kali ini Sunan memiliki keberanian untuk mengangkat muka di hadapan
Tuan.”
“Ini tidak bisa dibiarkan. Sunan harus menyerahkan Surapati, atau atau
istananya kita lantakkan. Aku akan mengontak De Hartough di loji agar
menyiapkan sepuluh meriamnya.”
“Ya, jika demikian, mengapa Tuan tidak langsung menuju loji saja, dan menyusun
kekuatan di sana?”
“Bah! Apa kau tidak lihat, Greving! Loji itu hanya cukup untuk kandang kuda.
Bedebah memang, kenapa De Hartough tak kunjung memperbaiki loji itu sehingga
layak untuk pertahanan?”
“Kartasura tidak segenting daerah lain, Tuan. Belum diperlukan tentara penjaga
dan benteng dari batu karang.”
“Itu sebelum ada Surapati, Goblok! Tidakkah De Hartough bisa mengambil
keputusan sebelum terlambat?”
“Itu akan segera diperbaiki setelah Anda menyampaikannya kepada Tuan Residen.
Beliau tentu tidak akan menunggu perintah kedua untuk membangun loji itu.”
“Bah! Sekarang bagaimana? Bagaimana kalau Sunan tak kunjung menunjukkan itikad
baik untuk menyerahkan bandit-bandit itu?”
“Serang! Bumihanguskan! Tak ada pilihan lain.”
Kapten Tack mengangguk-angguk, merasa puas. “Itu yang kuharapkan!”
***
Malam lengang di Majasanga. Obor-obor menyala di sekitar perkemahan tentara
Tack dengan beberapa lasykar memanggul senapan tampak waspada berjaga. Kabar
yang tersiar, seorang tamu utusan Sunan tengah berada di dalam kemah Sang
Kapten.
Itukah utusan yang ditunggu, sebagai pertanda bahwa Sunan berkehendak
menyerahkan Surapati? Tak bisa dipungkiri, kendati bersenjata senapan, para
tentara Eropa ini lebih menyukai tidak pecah perang. Peperangan selalu menciutkan
nyali mereka, karena harus berhadapan dengan orang-orang yang gila kematian dan
seperti tak kenal menyerah. Dalam beberapa kali peperangan yang mereka lalui,
orang-orang Jawa bergerak bagai hantu; muncul dan menghilang tiba-tiba. Yang
ditinggalkan hanya mayat dan luka-luka. Belum dengan lasykar Bali yang
legendaris itu, yang tentu tak segan menggelar perang puputan.
Untuk itu, debar-debar dada mereka sama berharap ke satu hal, munculnya utusan
Sunan meminta jalan damai, mengikuti kemauan sang Kapten untuk menyerahkan
Surapati. Dengan demikian, perang bisa dicegah.
Beberapa waktu sebelumnya, telah datang utusan Sunan ke Majasanga meminta
permakluman Kapten tentang keberadaan Surapati di keraton. Namun, agaknya bagi
Kapten Tack, keputusan telah mati untuk si bandit itu; tak ada pengampunan.
“Aku tidak akan bodoh dengan memercayainya kembali,” bentak Kapten Tack saat
itu. “Dulu, Kompeni memercayainya dan memberinya senjata, namun ia menikam dari
belakang, menewaskan puluhan tentara pilihan, lantas memutuskan membuat kraman
. Tidak! Tidak akan aku ampuni dia.”
“Tapi, Surapati telah menunjukkan itikad baiknya kepada Sunan. Ia membasmi kaum
kraman di wilayah pinggiran .”
“Sunan kalian boleh saja percaya pada bandit itu, tapi aku tidak. Sekali-kali
tidak.”
Ketegangan memuncak. Semula, Sunan bersikeras mempertahankan Surapati tetap
pada tempatnya. “Bagaimanapun, Tuan, Sunan memiliki hubungan yang sangat baik
dengan Surapati. Boleh dibilang, Sunan berhutang jasa kepadanya. Lagipula, di
mata Sunan, Surapati adalah vasal yang setia dan disegani.”
Sayang, Tack tetap pada pendiriannya. Lantas, menghadapi kepala batu Tack,
Sunan mencoba merayu dengan cara lain. Perdagangan tekstil yang sedang memuncak
belakangan ini ditawarkan. Ini pun rupanya tak cukup meluluhkan hati sang
Kapten.
Kini… utusan kedua datanglah. Akankah ini membawa pertanda baik bagi hubungan
kedua belah pihak? Akankah ini mampu menyirap amarah Tack dengan kesediaan
menyerahkan Surapati?
Cakraningrat, utusan itu. Telah lama ia memiliki sentimen dengan pihak Surapati
dan lasykar Bali yang memenuhi pinggir luar keraton Kartasura. Perselisihannya
dengan Patih Nerangkusuma juga bukan lagi berada pada tataran yang wajar
perselisihan antara dua punggawa istana. Perselisihan itu telah mengarah para
sentimen ras dan kesukuan, karena Nerangkusuma memiliki hubungan kerabat dengan
orang Bali. Barangkali juga oleh kenyataan bahwa Sunan lebih menghargai
Surapati daripada Cakraningrat sendiri, kendati kedudukan keduanya sama
sederajat di hadapan istana.
Telah luluhkah hati sang Sunan dan bersedia menyerahkan Surapati, dengan
mengutus Cakraningrat ini?
Kedua orang itu kini tengah saling duduk berhadapan.
“Bagaimana keputusan Sunan? Bersediakah Sunan menyerahkan Surapati dengan
tangan terikat sebelum aku memasuki Kartasura?”
Cakraningrat menyampaikan hormatnya. “Dalam hal ini, telah dimaklumi bagaimana
hubungan antara Sunan dengan pihak Surapati. Jadi, wajarlah jika beliau
berkeberatan untuk menyerahkan Surapati dan pengikutnya kepada Anda.”
Serentak, wajah Kapten Tack bersemu merah. Ia telah menduga jawaban seperti
ini, namun tak urung kemarahannya tak terkendali.
“Jadi, kalian memilih perang? Kalian tidak melihat bagaimana terlatih
pasukanku, berikut sepuluh meriam di loji Belanda yang siap melantakkan benteng
kayu jati kalian?”
Sekali lagi, Cakraningrat mengaturkan hormatnya. “Tidak demikian halnya yang
dikehendaki oleh Gusti Sunan.”
“Jadi, apa?”
“Sunan masih memandang hubungan baik keraton dan Kompeni, di masa-masa lalu dan
yang akan datang,” jura Cakraningrat. “Akan tetapi, menyerahkan seorang vasal
kepada Tuan adalah sebuah tindakan yang memalukan. Ini akan menurunkan wibawa
Sunan di mata rakyat. Kepercayaan rakyat kepada Sunan akan hilang.
Apalagi, dalam hal ini, Surapati tidak sekadar vasal yang tepercaya. Di mata
rakyat, nama Surapati begitu berimpit dengan kepercayaan mistis, semangat
spiritual yang magic. Surapati adalah simbol perlawanan terhadap kaum
kafir—sebagaimana demikian mereka menyebut Tuan-tuan—dan membaur dengan
semangat jihad—yang saat ini gencar didengungkan oleh kaum agama. Apalagi, saat
ini Sunan semakin dekat dengan para ulama. Beliau mulai mendalami agama Islam,
berhubungan baik dengan para kiai di Gunungkidul.”
Tack mengerenyitkan keningnya. “Jadi benar berita itu? Sunan kalian bahkan
telah melaksanakan puasa Ramadhan selama di Gunungkidul?”
“Benar, Kapten. Beliau juga mulai melaksanakan ajaran Islam yang lima,
kendati hingga hari ini belum tergerak untuk berangkat ke Mekah. Malah,
beliau mulai
membina kerja sama dengan Minangkabau. Dalam hal ini, Surapati cukup
memberi
legitimisi dan justifikasi untuk rakyat, memercayai kembali Sunan
sebagai ratu
adil. Jadi, teramat sulit mempertahankan kedudukan Sunan di mata rakyat
jika
Sunan menyerahkan Surapati kepada Anda.”
“Kalau begitu, kalian memilih jalan kedua?”
“Jalan ketiga, Tuan. Bukan yang kedua.”
“Jalan ketiga? Yang bagaimana yang kalian maksud?”
“Pihak keraton yang akan menyelesaikan masalah Surapati.”
“Membersihkannya? Bukankah….”
“Membunuhnya. Tuan percayalah kepada kami. Ini akan lebih mudah bagi Sunan
daripada menyerahkannya kepada Anda, di mana berisiko lunturnya kepercayaan
rakyat dan kaum agama. Untuk alibi Sunan, bisa saja Surapati dijebak dalam
keadaan yang memungkinkan ia memberontak kepada keraton, dan dengan dalih
itulah maka Sunan akan menghabisinya. Nama Sunan bersih di mata rakyat, para
ulama, dan raja Minangkabau.”
Kapten Tack mengangguk-anggukkan kepala. “Bisakah itu aku percaya?”
“Saya jaminannya. Saya yang akan memimpin pembasmian kaum bandit itu.”
Tack tersenyum, lantas tertawa terbahak-bahak. “Begitu? Kalau benar, segera
buktikan kalian menangkap dan membunuh Surapati.”
“Bersabarlah, Kapten. Tunggulah dengan tenang di sini.”
“Baiklah, kutunggu kabar baik itu. Aku bisa membantu dengan beberapa pasukan.”
“Tak perlu, Tuan, sebab itu akan menunjukkan ada main mata antara Sunan dengan
Kompeni. Jika itu terjadi, maka sama saja hasilnya.”
Tack manggut-manggut. “Baiklah! Lakukanlah semau kalian. Tapi, mintalah juga
persetujuan dari De Hartough, sebab dialah residen di wilayah ini.”
Surapati
masih
di Babarong, di bentengnya, sekitar dua kilometer dari Majasanga.
Suasana
di benteng ini tak kalah mencekam. Perihal kedatangan Tack telah banyak
diwicara
orang. Pun, tentang kengototan Tack menangkap Surapati, karena hal itu
adalah
poin penting nota penugasannya dari Pemerintah Agung. Semula,
orang-orang Bali masih berharap dari pihak Sunan. Akan tetapi,
mengingat Sunan telah mengutus
Cakraningrat—sebagaimana diketahui, memiliki ketidaksukaan tersendiri
terhadap
orang-orang Bali—mereka mafhum bahwa kini tak bisa lagi percaya pada
perlindungan Sunan.
Beberapa saat yang lalu, telah datang Cakraningrat menyampaikan kabar terbaru.
raja Madura itu meminta Surapati menyerahkan diri kepada Tack, memohon
pengampunan.
“Orang Sampang itu begitu khawatir kalau wilayahnya akan diambil oleh Kompeni,”
kata Surapati, membincang perihal permintaan Cakraningrat dengan alasan demi
itikad baik menjaga hubungan antara Sunan dan Kompeni, menghindari peperangan
yang tentu akan merenggut banyak korban. “Wilayahnya di Madura itu berhadapan
langsung dengan loji Belanda di Surabaya.”
“Itulah yang membuat ia berusaha selalu menjadi anak manis bagi Kompeni,
Gusti.”
“Andai saja bukan karena ingin menghindari peperangan dan korban yang lebih
banyak, tak mau rasanya aku mengikuti sarannya.”
“Jadi, apakah Gusti benar akan menyerahkan diri?”
“Sunan menjamin akan memintakan pengampunan. Penyerahan diri ini semata taktik
agar Belanda tidak mencurigai kita. Jadi, untuk sementara, biarlah semacam itu.
Kelak, saat kekuatan telah terkonsolidasi, kita bisa pikirkan tindakan lain.
Untuk saat ini, rasanya semua itu tak mungkin.”
Kedua pembantu setianya itu menggeleng-gelengkan kepala, meragukan tindakan
yang akan diambil oleh pemimpin mereka itu, sekaligus meragukan itikad baik
Sunan.
“Percayalah… semua akan baik-baik saja. Kita serahkan saja kepada Tuhan. Dia
tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya tersia-sia.”
Mendadak, masuklah seorang prajuritnya memberitahukan datangnya Patih
Nerangkusuma.
“Kanjeng Patih?” Wajah Surapati mendadak cerah. “Persilakan dia masuk.”
Patih Nerangkusuma disambut di ruang utama. Tampaklah oleh sang Patih bagaimana
benteng itu begitu tenang, tak ada kesibukan sedikit pun. Persenjataan tetap
pada tempatnya, seakan tidak mengetahui berita kedatangan Tack, dan kemungkinan
pecahnya perang besar dalam waktu dekat.
“Ada apa ini?”
“Saya akan menyerahkan diri untuk kebaikan. Begitu yang dianjurkan
Cakraningrat.”
Meradanglah Nerangkusuma. “Menyerahkan diri? Apa-apaan kau? Apakah Cakraningrat
telah membujukmu untuk menyerahkan diri, sedangkan kepada Tack dia telah
menjanjikan kepalamu?”
“Apa?”
“Kau tidak mengerti. Ini muslihat. Cakraningrat membujukmu untuk menyerahkan
diri, mengatakan bahwa Sunan menjamin keselamatanmu dengan meminta permakluman
kepada Kompeni, sedangkan dia telah berencana hendak menjemputmu dengan 4.000
prajurit ke Majasanga. Percayalah padaku, kau akan ditusuk sebelum sampai di
Majasanga, dan kau tidak bisa meloloskan diri dalam kawalan 4.000 lasykar
Sampang dan Mataram.”
Surapati membesi. “Itukah yang ia rencanakan?”
“Ya. Dan dia akan menjemputmu besok di sini. Dia menjanjikan kepada Tack akan
menyerangmu, tapi mana berani ia menyerang tanpa muslihat? Ia ingin
memisahkanmu dari pasukan dan senjata. Ia tak ingin menghadapi kesulitan untuk
membunuhmu. Apakah kau akan menyerahkan dirimu pada kematian?”
“Jadi, perihal saya harus menyerahkan diri kepada Tack, bukanlah prakarsa
Sunan?”
Nerangkusuma menggeleng.
“Dan berarti… tidak ada jaminan Sunan atas saya?”
Kembali menggeleng.
Surapati mengepalkan tangannya. “Jadi, apa yang harus saya lakukan? Apakah
Sunan tidak berniat melindungi saya dari orang Belanda itu?”
Nerangkusuma menghela napas panjang. “Duduklah sejenak. Keadaan memang serba
tidak baik. Akan tetapi, kita harus bermain cantik agar memperoleh keuntungan
dan lepas dari keterjepitan ini. Kita harus menyusun siasat untuk dapat keluar
dari keterjepitan ini sambil memperkecil kerugian.”
Surapati mencoba menguasai amarahnya. “Apa yang hendak Gusti lakukan?”
“Paling tidak, satu hal yang perlu kau tahu, kedatangan Cakraningrat ke
Majasanga telah berhasil mencegah gerak maju pasukan Tack. Mereka kini menunggu
hasil ‘serangan’ orang Sampang itu.”
Surapati mengepalkan tangannya. Sebersit rencana segera terbit di kepalanya.
***
Pagi pecah….
Benteng Babarong telah lama terjaga. Sepanjang malam, persiapan telah dilakukan
dengan cermat. Orang-orang Bali telah bersiap dengan kain putih mengikat
kepala, menyiapkan perang puputan. Telah pula dipersiapkan tempat-tempat untuk
meloloskan diri dari kepungan seandainya hal itu memungkinkan untuk siasat
pertahanan, memperpanjang napas perlawanan. Surapati telah mengantisipasi
kedatangan Cakraningrat berikut 4.000 pasukan Sampang dan Mataram yang akan
menjemputnya.
Dan… rombongan penuh nafsu itu datanglah. Mereka menggedor benteng. Surapati
membukanya dengan pakaian kasatrian. Kain putih diikatkannya di kepala, dan
sebuah keris berluk terselip di perut.
“Apa maksudmu, Surapati?” tanya Cakraningrat. “Letakkan senjatamu dan kita
menghadap Kapten Tack.”
“Aku tidak mau.”
“Hei… kau melawan perintah Sunan? Bukankah ini telah menjadi kesepakatan kita
kemarin? Kau harus berpikir panjang untuk kebaikan semua pihak.”
“Ya, dan bukan untuk kebaikanmu. Aku tak mau menyerahkan diri kepada Tack.”
“Kau melawan? Siap mati kau rupanya.”
“Bukankah itu namaku? Surapati, mencintai kematian? Aku tidak mau ikut
denganmu, menjual harga diri kepada orang-orang kafir.”
“Keparat! Pasukan… tangkap dia!”
Pasukan Sampang itu maju menyerbu. Rupanya, di belakang barisan Cakraningrat
yang berjumlah 4.000 orang itu telah berdiri 6.000 tentara Mataram. Jumlah
mereka kini 10.000 orang, siap melibas benteng Surapati yang hanya dijaga oleh
seratus lasykar Bali.
“Dor…! Dor…! Dor…!”
Tembakan beruntun dari barisan pertama. Serentak, saat mereka menunduk untuk
mengisi peluru, barisan kedua mulai menembak. Begitu seterusnya.
Pada gebrakan pertama, delapan lasykar Bali langsung tewas dengan dada
berlubang. Di sela hujan peluru itu, jeda-jeda di mana pasukan musuh mengisi
kembali senapannya, lasykar Bali merangsek maju. Benteng mereka kokoh untuk
menahan serangan pertama. Dan lagi, kegilaan semangat puputan bukan lagi lawan
bagi orang-orang rapuh seperti prajurit Sampang dan Mataram.
Tapi, gelombang 10.000 tentara itu bagai tiada habisnya. Maka, bagi
lasykar Bali itu, pilihan mundur adalah yang paling realistis. Melalui
gerbang belakang benteng
sebelah barat, kelompok demi kelompok itu berangsur-angsur menarik
diri. Mereka
menghambur ke persawahan dan rumah-rumah penduduk, menghilang dalam
sekejap
mata.
Tentara-tentara itu celingukan mencari jejak yang tersisa. Korban banyak jatuh,
namun itu kebanyakan dari tentara Mataram dan Sampang sendiri. Sementara dari
pihak Bali, tak lebih dari sepuluh mayat yang tertinggal. Mereka benar-benar
hilang, seperti ditelan langit Merbabu di kejauhan. Seperti lenyap menjadi
asap, menyatu dengan lengkungnya di puncak Merapi.
Lasykar Bali di bawah komando Surapati jelas lebih memiliki hati rakyat.
Karenanya, dengan sukarela rakyat memberi perlindungan. Jejak-jejak itu dihapus
oleh rakyat yang telah muak dengan segala kebobrokan yang melanda negeri ajaib
ini.
***
“Apa? Dungu sekali kalian!” teriak Tack. Murka. Di hadapannya kini duduk
Wangsayuda, seorang lasykar Bali yang memihak Belanda. Darinya Tack memperoleh
laporan kegagalan Cakraningrat menangkap Surapati.
“Mereka terlalu tangguh, Tuan. Lagipula, daerah itu milik mereka sehingga
mereka tahu detail lokasi serta tempat-tempat melarikan diri.”
“Kenapa kalian beri mereka kesempatan melarikan diri? Apa gunanya 10.000
pasukan? Dasar pengecut!”
Kecut wajah Wangsayuda.
“Kalian orang-orang dungu. Atau… barangkali benar apa yang dikatakan Greving, kalian
sebenarnya tidak berniat menghabisi Surapati? Kalian menggelar pertempuran semu
itu untuk mengecohku, agar aku menyangka kalian benar-benar berniat menyerahkan
Surapati.”
“Seribu ampun, Kapten. Hal itu sungguh-sungguh fitnah. Sunan beritikad baik hendak
memperbaiki hubungan dengan Tuan. Kesungguhannya dapat Tuan lihat dalam
mobilisasi pasukan Mataram. Belumkah itu menjadi bukti?”
“Bukti apa? Kegagalan itukah yang kauanggap sebagai bukti kesungguhan? Sepuluh
ribu tentara tak sanggup menggilas seratus orang dalam satu gebrakan. Sungguh
tolol.”
“Tuan, pahamilah kesulitan kami. Rakyat lebih memihak Surapati sebab, bagi
mereka, bandit itu seorang dewa. Kharisma Surapati begitu melekat dan
jalin-menjalin dengan sisi spiritual rakyat. Surapati mampu menyatukan emosi
rakyat dalam satu sentimen anti-Belanda, dan itu yang tidak kami miliki.”
“Hanya itukah menurut kalian? Dan kau meminta aku percaya bahwa kalian
benar-benar menyerang Surapati?” Tack berkacak pinggang. “Kalau begitu, bisakah
kaujelaskan tentang orang-orang Bali Barat dari Kedu dan Gunungkidul yang turut
bergabung dalam lasykar Surapati? Kalian benar-benar berkomplot hendak
melawanku. Kalian bermain api.”
“Demi Tuhan, ini fitnah, Tuan.”
“Fitnah? Informanku jelas-jelas mengatakan orang-orang Bali berbaju hitam, dan
mereka mengenalinya sebagai orang-orang Bali dari Kedu serta beberapa bekas
pengiku Wanakusuma. Bagaimana mereka bisa bergabung dengan Surapati?”
Wangsayuda terdiam.
“Ada juga lasykar Bugis dan Makassar. Bisakah kalian jelaskan? Lalu tentang
kedatangan Nerangkusuma ke Babarong dan berbuntut pembelotan Surapati? Apa
pendapat kalian tentang sepak terjang patih kurang ajar itu? Dan pula, mengapa
tiba-tiba pasukan Cakraningrat membengkak menjadi 10.000 lasykar? Bukankah
seharusnya ia hanya membawa 4.000 orang?”
“Saya tak berani menjawab, Tuan, sebab saya tak melihat hal itu
terjadi. Ada pun, Kanjeng Patih memang dikenal memiliki hubungan dekat
dengan Surapati. Namun,
bukankah konyol jika beliau berkomplot dengan bandit itu sedangkan
kekuatan
mereka sama sekali tak berharga untuk menghadapi Kompeni?”
“Oooh… tak berharga? Bahkan kau tak mengakui bahwa ‘seratus’ orang mereka baru
saja membuat 10.000 tentaramu kocar-kacir?”
“Ini… ini….”
“Sebaiknya, akuilah kalau kalian memang dungu!”
“Tapi, Tuan….”
“Tak ada jalan lain, aku sendiri yang akan memenggal kepala bandit itu. Aku tak
percaya kalian benar-benar sepenuh hati hendak menyerahkannya.”
“Tidakkah sebaiknya kita kesampingkan masalah Surapati? Seperti Tuan
katakan,
Tuan akan menetap di loji jika Surapati telah menyingkir. Mengapa tidak
ke sana saja saat ini, Tuan? Tuan Residen tentu bisa berunding dengan
Tuan tentang langkah
terbaik untuk menghadapi Surapati.”
Tack tampak mencondongkan tubuhnya. “Menghadapai Surapati? Dari nada kalimatmu,
aku seperti menangkap keyakinan bahwa Surapati akan kembali.”
“Dia pasti datang.”
“Begitu? Mungkinkah ia punya nyali?”
“Bukankah dia seorang pendendam yang piawai, Tuan? Tindakan Cakraningrat kali
ini atas nama Sunan, tentu telah membuat ia kecewa. Karena itu, ia pasti akan
menyerbu istana pada waktu dekat. Ini juga seperti diucapkannya sebelum
meninggalkan bentengnya di Babarong, bahwa ia akan kembali membuat perhitungan
dengan Sunan.”
“Begitu?”
“Benar. Untuk itu, alangkah baiknya jika Tuan segera ke kota, menyatukan
kekuatan dengan pihak residen, dan bekerja sama dengan Sunan untuk menghadang
kedatangan Surapati.”
“Hmm….”
“Segeralah berangkat, Tuan…. Masih begitu banyak hal yang harus diselesaikan
dan dilakukan.”
***
Sunan Amangkurat II tengah duduk di paseban. Menghadap padanya Patih
Nerangkusuma. Tak banyak orang yang hadir di sana hari ini. Hanya beberapa
punggawa yang datang melapor menyampaikan keadaan terakhir kota yang kacau.
Sisa-sisa peperangan masih terlihat. Jelas membekas pada wajah panik penduduk
yang takut pecah perang lanjutan. Karena itu, demi menjaga dan memulihkan
keamanan, lasykar Mataram memperkuat penjagaan. Mereka melibatkan orang-orang
Bugis dan Makassar, serta orang-orang Bali yang tersisa, dalam penjagaan gerbang-gerbang
istana.
“Atur sembah, Sinuhun!” kata Nerangkusuma. “Sejauh ini, siasat kita berhasil.
Cakraningrat tidak menyadari adanya orang-orang yang disusupkan untuk
meloloskan Surapati. Ia tidak tahu bahwa keberadaan 6.000 lasykar Mataram
bergabung dalam penjemputan pagi hari itu bukan membuat pasukannya kokoh, namun
justru melemahkan.”
“Syukurlah. Dengan begitu, Surapati bisa melarikan diri tanpa kita dituduh
bersekongkol dengannya. Mudah-mudahan, hubungan kita dengan para ulama pesisir
dan raja Minangkabau tidak menjadi retak. Aku juga masih mengharap dukungan
rakyat. Kita tak boleh terus membiarkan Belanda mencaplok satu demi satu tanah
Mataram. Kita harus terus mengurangi kekuasaannya di sepanjang pantai utara
untuk kembali membuka akses Jawa dengan dunia luar.”
“Memang benar, Gusti. Dan, besok pagi, Kapten Tack akan tiba di loji. De
Hartough menyampaikan hal ini kepada saya, tentang surat Greving yang
diterimanya tadi pagi.”
“Tuan Besar Kepala itu akan meninggalkan Majasanga?”
“Benar, Tuanku. Adakah yang mengganggu hati Tuan?”
Sejenak, Nerangkusuma menangkap raut murung sang Raja. Tentu saja ia maklumi
hal itu. Bagi Sunan, datangnya Tack sama dengan datangnya malaikat pencabut
nyawa.
“Hutang-hutangku sungguh celaka. Aku akan dijual sebagai budak. Aduhai, andai
aku tak menandatangani macam-macam perundingan dengan orang-orang Belanda itu.”
“Tapi, Surapati akan menyelesaikan masalah ini.”
“Ya, mudah-mudahan saja. Kalau begitu, marilah kita persiapkan upacara
penyambutan kepada Tuan Besar Kepala itu. Kita akan menggelar jamuan macan
untuknya. Kita akan tunjukkan sirkus macam bebas malam ini. Ya… malam ini.
Dengan empat puluh macam liar dari Gunung Merapi.”
“Benar, Gusti! Malam ini! Malam ini!”
***
Sebuah pondok di tengah pemukiman penduduk. Lentera kecil yang masih
berkelip-kelip hingga jauh malam itu tak menimbulkan kecurigaan,
kendati kota begitu berjaga dengan adanya rombongan-rombongan penjaga.
“Berkat siasat Nerangkusuma, kita berhasil keluar dari keraton tanpa harus
membahayakan Sunan. Tack tak punya bukti keterlibatan orang keraton. Dalam hal
ini, kita cukup terbantu dengan bodohnya Cakraningrat,” gumam Surapati pada
salah seorang pembantu kepercayaannya. “Ambisi besarnya itu yang membuat ia tak
bisa membaca keadaan, tak sadar telah dimanfaatkan. Dan sekarang, kita akan
segera menyerang keraton.”
“Menyerang Sunan? Apakah ini bagian dari strategi yang telah diatur Patih
Nerangkusuma? Ataukah benar-benar Gusti hendak membalas dendam kepada Sunan?”
“Ya! Ini strategi, agar kita benar-benar terlihat memiliki permusuhan dengan
Sunan. Yang kedua, untuk memancing mangsa masuk ke perangkap.”
“Bisakah Gusti jelaskan?”
“Tack yakin kita akan kembali, membuat perhitungan dengan Sunan. Untuk itu, dia
kini memasuki Kartasura, dan Sunan menyambutnya dengan perjamuan macan.”
Surapati mengerlingkan matanya.
“Macan? Hahaha… kitakah macam itu.”
“Benar! Kita adalah macan itu. Kita akan menyambutnya di lapangan bebas.
Sekarang, orang-orang bodoh itu telah masuk ke dalam perangkap, dan tak ada
tempat untuk lari. Kita akan menyerang ke sana. Patih Nerangkusuma telah
menyiapkan orang-orangnya, berikut mengonsolidasikan orang-orang Bugis dan
Makassar.”
“Tapi, pasukan Tack tak boleh dianggap remeh.”
“Betul! Pasukan Tack sungguh besar, disertai kelewang dan senjata api yang tak
mudah untuk dihadapi. Yang lebih menyulitkan, di dalam loji De Hartough,
tersimpan sepuluh meriam. Untuk itu, kita perlu bergabung dengan pasukan
Mataram dan Patih Nerangkusuma.”
“Tidakkah ini akan membuat Tack curiga ada main mata antara kita dengan
keraton?”
“Tenanglah! Telah disusun sedikit sandiwara.”
***
Tack menerima kedatangan utusan De Hartough dengan amarah meluap. Ia tengah
menyiapkan keberangkatannya meninggalkan Majasanga saat utusan itu tiba. Wajah
utusan itu pias, merasa berhadapan dengan duta istimewa Pemerintah Agung.
“Segera persiapkan segala sesuatunya!” perintah Tack. “Perbaiki benteng,
siapkan meriam, dan atur jadwal jaga dengan lebih rapat.”
“Tapi, Tuan Residen berpesan bahwa ini akan membuat orang-orang Jawa merasa
terancam. Sentimen anti-Belanda mereka bisa tersulut dan berkobar lagi.”
“Apa kau tidak melihat, karena kebodohan kalian maka Surapati dan para bandit
itu berani unjuk gigi? Kartasura juga mulai berani melawan.”
“Saya rasa tidak demikian. Sunan dan para prajuritnya masih tetap setia seperti
semula pada perjanjian.”
“Dasar bodoh! Keraton telah meloloskan Surapati. Mereka tak membiarkan kita
membawa Surapati, karena itu mereka membuat sandiwara peperangan itu.”
“Tidakkah ini berlebihan, Kapten? Bahkan, Sunan sendiri yang memerintahkan
penangkapan. Karena hal itu pula maka timbul perselisihan antara Sunan dengan
pihak Surapati. Keraton kini sedang meningkatkan penjagaan karena Surapati
mengancam akan membalas dendam.”
“Kalian percaya omong kosong ini?”
“Tuan Residen juga berpesan, Kapten segera ke Kartasura. Kapten masih sangat
lelah, dan lolosnya Surapati semakin membuat keruh pikiran. Sebaiknya Kapten
beristirahat terlebih dahulu, barulah menyusun langkah-langkah preventif dengan
lebih taktis.”
Kapten Tack mendengus. Jemarinya terkepal. Ia tampak menahan kemarahan yang
hampir meledakkan dadanya.
Namun, Kapten Tack tak sempat beristirahat. Utusan berikutnya menyusul tiba,
dari keraton, yakni seorang punggawa istana bernama Sindunata beserta
serombongan pasukan, yang berniat menjemput Tack.
Tak membuang waktu, Tack segera menyiapkan pasukannya. Mereka segera
meninggalkan Majasanga.
***
Sementara itu, di dalam kota, kerusuhan pecah pagi itu. Bunyi tembakan
bersahut-sahut dari benteng Babarong.
Benarkah Surapati telah kembali?
Di Banyudana, beberapa ratus meter dari keraton, Tack berpapasan dengan
orang-orang Jawa, Bali dan Makassar yang lintang-pukang melarikan diri. Panik.
Agaknya kekacauan membuat mereka menyingkir dari keraton. Greving segera
meminta penjelasan dari salah seorang yang melarikan diri itu. Bahasa Jawa.
Tack tentu saja tak memahami dialog antara Greving dengan penduduk itu.
“Apa yang terjadi?” tanya Tack.
“Terjadi penyerangan, Kapten. Surapati menyerang keraton.”
“Apa? Kalian tidak main-main?”
“Tidak, Kapten,” tukas Sindunata, utusan Sunan itu. “Surapati tak pernah
main-main dengan kalimatnya. Kini ia telah membuktikannya.”
“Kurang ajar! Dia berani berulah! Dia tidak tahu kalau aku sudah akan
segera
memenggal kepalanya. Hitung waktu yang kita perlukan untuk sampai ke
kota, itu sisa waktu yang ia miliki. Kalau sampai dia bertemu denganku,
tak akan kubiarkan
dia hidup. Atau barangkali dia sudah akan lari terbirit-birit begitu
mendengar
aku tiba.”
“Ampun, Kapten! Dengan tidak bermaksud hendak merendahkan Kapten, agaknya saya
harus memisahkan diri dari rombongan ini. Saya harus segera bergabung dengan
pasukan keraton, menghadapi serangan Surapati.”
“Apa?” tanya Tack dan Greving bersamaan, mengerenyit heran.
Tapi, tanpa menunggu jawaban mereka, Sindunata segera membawa pasukannya menuju
keraton, mempersilakan Tack dan rombongannya langsung menuju loji. De Hartough
telah menanti.
***
Sri Susuhunan menyambut kedatangan Tack dengan panik. “Bandit itu telah
menyerang keraton,” katanya. “Untunglah, Nerangkusuma dan pasukannya berhasil
menghalau.”
“Di mana bandit itu sekarang?” tanya Tack.
“Melarikan diri ke arah timur. Nerangkusuma sedang mengejarnya.”
Beberapa saat, Tack mondar-mandir dengan marah. Ia seperti kehilangan akal saat
menyadari kepalanya nyaris meledak. Ia seperti menangkap sesuatu yang tidak
beres, namun ia tidak bisa menyimpulkan letak ketidakberesan itu di mana.
Pada saat genting itu, masuklah seorang punggawa keraton, Adipati Urawan,
menyampaikan berita yang menggembirakan Tack. “Surapati masih membuat kekacauan
di timur keraton. Rumah-rumah dibakar.”
Tack terbakar nafsu hendak membunuh. Semangatnya tampak timbul meluap-luap.
“Jadi, dia belum berlari jauh? Berapa kekuatannya sekarang?”
“Tak ada kepastian, Kapten. Tapi, pasti tak begitu membahayakan sebagaimana
sebelumnya. Jumlah tentaranya telah jauh berkurang dalam peperangan tadi, juga
saat terjadi bentrokan dengan Cakraningrat beberapa waktu lalu.”
“Bawa aku ke sana! Lekas! Akan kupenggal kepala bandit itu.”
“Bagaimana dengan keamanan loji, Kapten?” tanya De Hartough, cemas.
Sejenak, Tack berpikir. “Baiklah! Aku tinggalkan Kapten Leeman dengan 150
tentara di sini. Jangan lupa, tempatkan pula lima puluh orang di dekat keraton
untuk mengantisipasi keadaan. Luitenant Greving yang memimpin. Sisanya, tiga
kompi pasukan ikut denganku mengejar ke timur, sebelum mereka semakin jauh.”
Lantas, dengan Adipati Urawan sebagai petunjuk, Tack keluar dari loji. Mereka
melintasi pasar dan alun-alun yang telah kacau, menuju keraton, dan berbelok ke
kiri melewati Pajang. Asap mengepul di kejauhan, dari rumah-rumah penduduk yang
dibakar.
Orang-orang yang panik dan ketakutan saling berlarian ke sana kemari. Bunyi
tembakan bersahutan di kejauhan. Tapi, Tack belum juga mengetahui di mana musuh
berada. Semua simpang siur tidak keruan.
Namun, tiba-tiba, terdengarlah ledakan dahsyat disusul suara tembakan yang
semakin rapat. Asap membubung dari arah barat.
“Astaga…! Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tack panik.
“Keraton kembali diserang, Kapten,” lapor tentaranya yang tiba dengan
tergesa-gesa. “Kapten Greving berikut… lima puluh tentaranya disergap di
gapura. Orang-orang Bali itu bergerak bagai hantu.”
Tack mengertakkan rahangnya. Rupanya, ia telah terpancing keluar wilayah
keraton. Ia segera menyadari bahwa kerusuhan di kampung itu tak lebih dari
tipuan belaka. Ia bahkan kini tanpa sengaja telah memecah-mecah kekuatannya
sendiri. Ia memerintahkan pasukannya segera kembali. Dan, sekonyong-konyong ia
melihat orang-orang berpakaian Bali telah memenuhi kota.
“Gila! Dari mana Surapati memiliki pasukan sebanyak itu?”
Perang terus berlangsung. Tentara Belanda semakin kocar-kacir. Yang lebih
menyakitkan, Luitenant Greving ditemukan Tack telah menjadi mayat. Tubuhnya
tercabik tetakan pedang dan tikaman keris. Mengerikan! Di sebelahnya saling
silang mayat-mayat tentara Belanda yang lain. Belasan tentara telah jatuh.
Kedatangan Tack serentak bersambut dengan menyurutnya tembakan. Letusan semakin
jarang terjadi. Berangsur-angsur pasukan Bali itu menarik diri. Mereka
menghilang di balik tembok-tembok keraton. Benar-benar bagai hantu.
Naluri perang Tack segera mencium gelagat tak baik. Loji Belanda di seberang
alun-alun boleh dibilang tanpa pengamanan.
“Segera pisahkan sebagian pasukan, perkuat pengamanan di loji!”
Bedebah! Mengapa De Hartough selalu mengambil keputusan saat terlambat? Benteng
loji yang menyedihkan itu, tidak pantas untuk melindungi tentara. Ia lebih
pantas dilindungi. Ada banyak meriam dan amunisi berharga di sana.
Pasukan Tack semakin berkurang, cerai-berai dan masing-masing terputus kontak
dengan yang lain. Kini, Tack berhadapan dengan orang-orang yang muncul dan
menghilang dalam sekejap. Orang-orang Bali itu benar-benar hantu, bukan saja di
malam hari. Siang bolong begini, mereka bergerak seperti kilat, datang dan
pergi dalam bilangan detik. Ia melihat orang-orang yang muncul dari balik
tembok, dengan pakaian Bali yang… aneh!
Aneh?
Hei… bukankah sekelebat bayangan tadi, yang menikamkan keris pada salah satu
tentaranya tadi… adalah….
Jadi benar, ada permainan dalam kerusuhan ini. Orang itu adalah Sindunata, yang
pagi tadi datang menjemputnya, dan memisahkan diri setelah tiba di Banyudana.
Pantas saja dia pergi terburu-buru.
Apakah ini juga berarti Nerangkusuma bergabung dengan Surapati? Lantas, di mana
Cakraningrat?
Ia tak sempat berpikir. Benteng-benteng itu sungguh keparat. Senapannya tak
berfungsi dalam perang jarak dekat seperti ini. Pasukan tombak yang semula
mengawalnya, telah memisahkan diri untuk memperkuat loji.
Loji? Mengapa ia berpikir Surapati akan menyerang ke sana, sedangkan orang yang
diincar sesungguhnya adalah dirinya? Surapati tak akan menyerang loji. Ia tidak
akan membiarkan dirinya lepas setelah masuk perangkap gila ini.
Di kali terakhir, gelombang lasykar Bali dan lasykar ‘berpakaian’ Bali itu
benar-benar meremukkan nyalinya. Ia tak mampu menghindar dari tebasan pedang
orang-orang yang telah memaklumkan perang puputan. Ia hanya bisa
menyumpah-nyumpah dalam kepanikan yang luar biasa, terus menyumpah hingga
nyawanya sendiri terbang. Ia menyerahkannya, suka atau tidak suka, sebab tak
ada lagi jalan untuk menyelamatkan diri.
***
Tepat saat matahari naik ke puncak kepala, peperangan berakhir. Pihak Belanda
kehilangan enam puluh delapan orang tentaranya—banyak di antaranya adalah
prajurit-prajurit pilihan seperti Kapten Tack, Luitenant Greving, Sersan Samuel
Maurits, dan banyak lagi.
Sementara itu, dari pihak lasykar Bali, kerugian juga tak bisa dianggap enteng.
Hampir lima puluh orang tewas, termasuk sebagian besar prajurit terkemuka
seperti Singabarong, Mangkuyuda, dan sebagainya.
Seusai peperangan, Belanda kembali ke lojinya, mengangkat mayat-mayat dari
alun-alun, sembari menyesali kebodohan mereka sendiri. Wajah halus orang Jawa
dengan garis mata sayu itu, semakin mereka yakini begitu mahir menyimpan dusta
dan dendam kesumat. Mereka telah hidup berdampingan dengan bangsa pendendam
itu, namun tak pernah tahu sedalam mana mereka mampu menyimpan bara, hingga
meledak menelan semua yang tampak. Mereka menatap Merapi dengan lengkung
asapnya yang menjemba angkasa, menyadari bahwa gunung bara itu lebih mudah
mereka selami daripada dada orang Jawa.
Sementara, Surapati menyusun kembali sisa-sisa pasukannya. Selepas peperangan,
mereka berkumpul di masjid raya yang bagian atapnya terbakar sebagian—bagian
dari siasat. Mereka menunaikan shalat, mengucap syukur atas pertolongan Allah,
sehingga mampu memenangkan peperangan menghadapi tentara Kompeni. Selepas Asar,
mereka berlalu dari Kartasura. Keraton itu sudah bukan lagi tempat yang tepat
untuk bernaung. Panggilan jihad telah menunggu di setiap tempat, di setiap
lekuk kota, di setiap relung perkampungan. Mereka akan terus mengobarkan
nyalanya hingga batas yang ditetapkan.
Keraton berpesta. Tangan mereka tetap bersih. Sunan kembali menduduki tahtanya.
Ia terlepas dari tagihan hutang. Nerangkusuma puas, siasat perangnya berhasil
dengan sempurna. Entah, siapakah yang lebih memainkan peran dalam kerusuhan
kali ini; Sri Susuhunan ataukah Patih Nerangkusuma. Yang jelas, mereka boleh
bangga bahwa rakyat Mataram bukanlah kurcaci yang boleh diinjak sesuka hati
oleh Kompeni. Hingga malam, dari keraton mengalun gendhing Banyu Banjir,
gendhing lambang kemenangan. Alunan gamelan itu bersahut-sahut hingga dalem
kepatihan.
***
--------------------
Data-data diambil dari:
Dr. H.J. De Graaf; Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad§ XVII; Grafitipers, 1990.
Dick Hartoko; Bianglala Sastra, Bunga Rampai§
Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (cet-2); Penerbit Djambatan,
1985.
Karel Steenbrink; Kawan dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam§ di Indonesia (1596-1942); Mizan, 1995.
Annida Online Rabu, 02 Februari 05
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as