Sybil
Umar Kayam
Jam di kamar menunjukkan bahwa hari
sungguh tak terlampau pagi lagi. Seperti bagian dari satu upacara yang tiap
pagi mesti tak boleh dilampaui, ibu Sybil bergegas mengenakan pakaiannya sambil
mengeluh.
"Ya, Allah, sudah pukul setengah
sembilan. Aku pasti terlambat lagi."
Dan berikutnya suara gemerisik
pakaiannya, keriut sepatunya terantuk-antuk kursi atau meja akan mengiringi
kesibukan paginya.
"Sybil! Sybil!" dia berteriak.
'Yaaaa."
"Di mana kau?"
"Di sini. Di dapur."
"Kopiku sudah?"
"Tidak ada kopi. Habis."
"Habis?"
Bibirnya dikatupkannya untuk meratakan lipstick-nya
dan tok-tok-tok si ibu bergegas ke dapur.
"Habis, katamu?"
"Ya."
"Mengapa tidak kaubilang semalam,
Dungu?"
"Aku lupa. Maaf."
"Lupa. Enak saja lupa. Masa anak
perempuan, sudah lima belas tahun, dikasih kewajiban bikin kopi saja tidak
becus."
Sybil diam. Matanya menatap keluar
jendela. Dua ekor burung gereja sedang asyik bercumbu.
"Kau memang suka kalau aku pening
kepala pagi-pagi begini, ya?"
Sybil tersenyum karena seekor burung
gereja datang lagi dan bertiga beramai-ramai saling bercumbu.
"Dasar anak sial. Uuuuh."
Pening kepalanya terasa lagi. Lupa atau
tidak peduli bahwa hari memang sudah siang, si ibu duduk di kursi, kedua
tangannya memijit-mijit kepala. Sebentar kemudian, heeeek, dia pun bersendawa.
Bau whisky menerobos keluar dari mulutnya, meskipun pagi tidak lupa
berkumur. Kemudian, seperti tiba-tiba ingat sesuatu dia membalikkan kepala ke
arah anaknya yang sedang asyik saja menatap ke luar jendela.
"Sybil!"
"Ya."
"Jangan dikira aku tidak tahu,
ya?"
"Tidak tahu apa?"
"Ka minum whisky-ku lagi.
Aku tahu isinya berkurang semalam. Ayo, mengaku kau, anak har...!"
"Tapi, tapi..."
"Apa tapi?"
"Tapi aku cuma menjilat sedikit
saja."
"Bohong! Paling sedikit setengah
seloki. Aku heran kenapa kau tidak mampus. Itu straight whisky yang kau
minum."
Sybil diam.
"Kenapa, kenapa kaucoba
minum?"
"Chip mengejekku kemarin."
"Chip Henderson?"
"Ya. Dia bilang aku penakut."
"Hm. Lalu siapa yang mengisap
cerutu?"
Sybil tidak menjawab.
"Ha, jangan dikira aku tidak tahu
cerutuku hilang satu. Ayo, siapa? Chip, Chuck, Jimmy, siapa?"
"Aku."
"Kau, Sybil, Sybil. Anak perempuan
apa kau ini?"
"Tapi aku selalu ingin mengisap
cerutu. Tiap kali Harry..."
"Mr. Robertson."
"Maaf. Tiap kali Mr. Robertson
mengisap cerutu malam-malam sebelum tidur di kamarmu..."
"He, he, tutup mulutmu,
Setan!"
"Tapi, Mommy, bukankah dia
selalu tidur di kamarmu tiap kali dia kemari?"
"Sudah, sudah. Aku harus kerja
sekarang. Ini satu dolar buat lunch dan jajanmu."
"Terima kasih."
"Berjanjilah, Sybil, kekasihku,
biji mataku."
"Apa?"
"Jangan minum whisky dan mengisap
cerutu lagi.
Please?"
"O.K."
"Mau main ke mana kau hari
ini?"
"Oh, tak tahulah. Anak-anak pergi
ke camp musim panas ini. Kenapa aku tidak Ibu kirim ke camp seperti mereka?"
"Tetapi, Sybil, kau tahu berapa
gajiku sebagai pelayan restoran?"
"Ya, ya."
"Mungkin tahun depan. Siapa
tahu."
Dan dengan bergegas si ibu berjalan ke
luar apartemen, turun lima puluh tujuh tangga, terus ke jalan membelok di
tikungan.
Musim panas tidak pernah menyenangkan di
New York. Sudah seminggu berturut-turut panasnya mencapai pukul rata 90
derajat F. Mereka, yang tidak punya airconditioning atau kipas angin,
membuka pintu rumah dan jendela lebar-lebar, mengharap-harap ada sedikit angin
yang bisa menerobos masuk. Ternyata usaha itu tidak menolong banyak. Dan di
mana-mana orang mengeluh bahwa musim panas tahun ini jauh lebih panas daripada
tahun lalu.
Sybil kepanasan di dapur. Buru-buru
dihabiskannya mata sapi dan toast-nya serta diteguknya susu dari gelas.
Kemudian di kamar, digantinya bajunya dengan blouse tidak berlengan
serta celana Bermuda yang rada kependekan. Dikenakannya sepatu putih karet
tanpa kaus dan siaplah. Siap ke mana? Itulah yang kemudian dipikirkannya.
Disisipkannya uang sedolar dari ibunya ke dalam saku celananya dan pelan-pelan
dia pun keluar meninggalkan apartemennya. Sambil melompat-lompat turun tangga
dia melagu: ke-ma-na, ke-ma-naaa. Tiap sampai pada ke-ma-naaa,
dia agak heran dan terkejut karena keluarnya keras sekali. Tetapi suara itu
entah bagaimana penjelasannya memberikan perasaan yang menyenangkan.
"Hello, Sybil."
"Hai."
Dan Sybil terus berjalan tidak ingat
lagi dengan siapa dia bersalam. Jalan tempat dia tinggal tidak berpohon.
Mobil-mobil berderet diparkir di kiri dan kanan jalan. Satu dua orang tampak
menyeret kereta yang penuh dengan bungkusan belanjaan dari supermarket. Seekor
anjing pincang berjingkat-jingkat menyeberang jalan.
"Ke-ma-na, ke-ma-na,
ke-ma-naaa."
"Sybil, Sybil."
"Ke-ma-na, ke-ma..."
Sybil menoleh. Tampaknya Nyonya Johnson
melambai-lambaikan tangannya, memberi isyarat agar Sybil mau ke rumahnya.
"Sybil, kau tentu mau
menolongku."
"Hai, Nyonya Johnson."
"Hai Sybil, kau tentu mau
menolongku."
"Menolong apa?"
"Aku mau titip Susan sampai nanti
sore."
"Nyonya mau ke mana?"
"Oh, aku harus pergi untuk urusan
penting, Susan tidak mungkin aku ajak."
Waktu Sybil tidak memberikan suatu
reaksi, Nyonya Johnson meneruskan.
"Ajaklah ke mana kau suka. Ke park,
ke kali, ke bioskop, ke rumahmu, suka hatimulah. Cuma, jangan lupa kasih dia
makan. Ini satu dolar buat makan Susan dan ini tiga dolar buat kau. Aku akan
pulang antara pukul tiga dan empat. Di mana kau dan Susan akan berada pada jam
itu? Di sini, di rumahku, atau di rumahmu?"
Sybil sambil memasukkan uang ke dalam
saku, acuh tak acuh menjawab, "Oh, tak tahulah, Nyonya Johnson. Mungkin di
sini, mungkin di rumahku."
"Baiklah, kalau tidak aku temui
kalian di sini, tentulah kalian di rumahmu. Susan, Susan! Kemarilah kau."
Seorang anak perempuan kira-kira berumur
enam tahun keluar dari dalam rumah.
"Sedang apa kau?"
"Nonton TV bersama Mr. Rodd."
"Kau akan main dengan Sybil hari
ini. Ibu harus pergi sampai nanti sore. Kalau lapar, Sybil akan belikan
makananmu nanti."
"Hai, Sybil," salam Susan.
"Hai, Susan."
Nyonya Johnson masuk ke dalam rumah
untuk berganti pakaian. Tidak seberapa lama dia pun keluar, memberikan
instrusi-instruksi kepada Sybil, dan kemudian pergilah dia.
"Sybil, ke mana kita hari
ini?"
"Oh, tak tahulah."
"Ke rumahmu nonton TV? Main fish?
Kau tahu main fish? Aku pandai main fish. Nanti aku ajari kau.
Kau punya kartu, bukan? Kalau enggak punya nanti biar pakai kartu
bapakku. Biar aku ambil sekarang, ya, Sybil?"
"Tunggu, tunggu dulu, Susan. Kita
tidak pergi ke rumahku, kita tidak tinggal di sini, dan kita tidak main fish."
Oh. Kita pergi jauh?"
"Ya, ya jauh."
"Jauh sekali?"
"Jauh sekali."
"Oh, bagus, bagus. Aku suka pergi
jauh. Ke mana, Sybil, bilanglah."
"Oh, jauh. Ayo, kita berangkat
sekarang."
"Tapi, tunggu dulu."
"Kenapa?"
"Karena pergi jauh, aku mesti ajak
Mr. Todd."
"Siapa Mr. Todd?"
"Mr. Todd. Anjing-anjingku. Tunggu
sebentar aku ambil dia."
"Tapi, Susan..."
Akan tetapi Susan sudah berlari ke
dalam, mengambil Mr. Todd. beberapa menit kemudian, dia ke luar melompat-lompat
kegirangan dengan Mr. Todd. Mr. Todd adalah anjing-anjingan yang cantik. Pakai
jas coklat dan dasi kupu-kupu merah, dan celana biru serta sepatu.
"O.K. Sybil, aku dan Mr. Todd sudah siap sekarang."
Tanpa berkata sesuatu, Sybil menarik
tangan Susan. Mereka terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Di dekat tikungan
jalan, kira-kira setengah kilometer dari tempat mereka berangkat, ada tanda
pemberhentian bus. Sybil berhenti.
"Kita mau ke mana Sybil? Naik
bus?"
"Ya, naik bus."
"Aduh senangnya, naik bus. Ke mana,
Sybil?"
Sybil tidak menjawab. Oleh karena sinar
matahari menyilaukan matanya, tangannya diangkat ke dahi buat melindungi
matanya.
"Sybil, aku kepingin lolly.
Kau ada uang dari Ibu, kan?"
"Ya, ya, ada."
Namun, Sybil tidak bergerak, matanya
mengawasi jalanan, melihat-lihat kalau-kalau bus sudah mulai kelihatan.
"Sybil, aku mau lolly sekarang. Aku
mau maan lolly dalam bus."
"Nah, itu busnya sudah
kelihatan."
"Tapi, Sybil, lolly,
lolly."
"Nanti saja, busnys sudah dekat,
itu."
"Lolly, Sybil, lolly."
"O.K., O.K."
Dan Sybil buru-buru lari ke warung candy
membeli dua lolly, buru-buru lagi ke pemberhentian bus. Diseretnya Susan
karena hampir saja mereka terlambat masuk ke dalam bus. Bus menderu dan Susan -
sambil menjilat-jilat lolly-nya -- melihat rumah-rumah bagaikan
berlarian di balik jendela.
"Aku senang naik bus. Aku benci subway.
Di subway kau tidak bisa apa-apa. Dengan bus kau bisa lihat apa saja.
Rumah, rumah, rumah, supermarket, restoran, drugstore, warung candy,
rumah, rumah, restoran,cafetaria, uuuupp ..."
"Susan! Duduk baik-baik. Jatuh baru
tahu, kau! Nah, begitu."
"Rumah, rumah, cafetaria, hot
dog, hamburger, hot dog, pizza, coke, coke. Sybil, aku lapar. Kau ada uang
dari ibuku, kan?"
"Tapi Susan, kita dalam bus
sekarang."
"Aku lapar, Sybil."
"Sebentar lagi kita sampai."
"Sampai di mana?"
"Di park dekat pantai. Kau
lihat rumah bertingkat di ujung itu? Di sana kita berhenti."
"Kita bisa beli hamburger di
sana?"
"Ya."
"Dengan root beer."
"Ya, dengan root beer."
Akhirnya bus sampai pada pemberhentian
di dekat park itu. Sybil dan Susan turun dan masuk ke dalam sebuah cafetaria
di dekat pemberhentian itu. Sybil mengusulkan agar hamburger serta root
beer itu dibawa saja dan dimakan di pinggir pantai.
Susan kegirangan mendengar itu.
"Aku nanti boleh main ayunan, ya,
Sybil?"
"Kita akan duduk di dekat
pantai."
"Duduk sja?"
"Ya, duduk."
Hari yang amat panas ternyata telah
mengundang beratus orang berteduh dalam park itu. Pohon-pohonan yang
rindang serta angin pantai yang sejuk, setidak-tidaknya untuk sementara, akan
bisa mengobati keparahan panas yang berhari-hari terus saja menekan. Sybil
menggandeng Susan menjauhkan diri dari bising orang-orang. Di pinggir pantai,
di bawah sebuah pohon, mereka temukan sebuah bangku.
"Duduk, Susan."
"Di sini?"
"Di mana lagi, Dungu. Ini makan hamburger-mu.
Ini root beer-mu."
Mereka makan dengan diam. Di muka
mereka, East River dan di belakangnya, Pulau Manhattan.
"Itu East River dan itu Manhattan, Susan."
"itu New York, City, Sybil.
Bapakku kerja di situ."
"New York City ada di Manhattan."
"Ibuku tidak pernah bilang
begitu."
"Ibumu tolol. Itu jauh di sana, itu Empire State Building. Yang ada di pinggir sana itu gedung
U.N."
"Itu rumah pamanku, Harris, Sybil.
Dan itu rumah kami yang sedang dibangun. Aku dan Mr. Todd akan mendapat kamar
paling atas."
"Apakah ibumu yang cerita
begitu?"
"Ya."
"Ibumu adalah seorang genius."
"Sybil."
"Ya."
"Betulkah kau tidak punya
bapak?"
"Ibumu lagi yang bilang
begitu?"
"Ya."
"Ibumu adalah seorang genius."
"Apakah genius itu? Kau suka betul
bilang itu."
"Tidak, tidak apa-apa."
"Apa? Bapakmu?"
"Tidak, tidak betul. Tentu saja aku
punya bapak. Tiap orang ada Bapak."
"Dia tinggal bersamamu?"
"Ya. Cuma dia kerja mulai pagi
sekali sampai larut malam."
"Jadi, kau tidak pernah ketemu
bapakmu?"
"Kadang-kadang kalau malam-malam
aku terbangun. Aku akan melihat bapakku duduk mengisap cerutu."
Tetapi di muka Sybil terbayang harry
Robertson yang mengisap cerutu di kamar ibunya. Sebuah perasaan aneh menyelinap
di dadanya.
"Sybil."
"Ya."
"Aku masih lapar. Kau masih ada
uang dari ibuku, kan?"
"Ya, ya, masih. Ibumu memberi aku
berpuluh dolar."
"Belikanlah aku hamburger
dengan irisan bawang yang gede."
Sybil memandang wajah Susan lama-lama.
Setan kecil! Tiba-tiba satu senyum yang aneh membuat bibir Sybil agak mencong.
"Ayolah, Sybil, belikan."
"Susan, aku ada usul."
"Apakah itu?"
"Mari kita main rampok-rampokan.
Aku jadi perampoknya. Kau akan aku ikat tangan dan kakimu. Matamu akan kututup
dengan saputangan, begitu juga mulutmu."
"Kenapa mesti semuanya diikat
begitu?"
"Supaya kau tidak bisa apa-apa.
Bukankah perampok mesti jahat?"
"Lantas?"
"Lantas aku akan pergi. Kau lalu
akan minta tolong. Kemudian aku akan datang dengan hamburger, menolong
kau. O.K.?"
"Kedengarannya menarik juga.
Ayolah, kita coba!"
Dengan sebat Sybil mengikat kaki dan
tangan Susan serta menyumbat mulut dan menutup matanya. Dilambaikannya
tangannya kepada Susan dan menyelinaplah Sybil ke dalam park.
Hari sudah pukul dua siang waktu Susan
tidak kuasa lagi mencoba bilang "help".
Dengan segelas susu Sybil melihat TV di
kamarnya. Jam berdenting tiga kali. Hari membakar dengan semena-mena.
"Kaukah itu, Sybil?"
"Ibu?"
"Ya."
Ibu Sybil merah kepanasan, masuk
diiringi Harry Robertson.
"Hai, Sybil."
"hai, Harr..., eh, Mr. Robertson.
Baru pukul tiga sudah pulang?"
"Aku sakit, Kekasihku. Mr.
Robertson sudah berbaik hati mau mengantarkan aku pulang."
"Oh."
"Tapi kau kelihatan lesu dan capek,
Sybil. Seharian kau di rumah saja? He, aku ada pikiran. Kenapa kau tidak pergi
nonton ke Strand. Aku lihat lakonnya bagus. The Curse of the Werewolf.
Hhhrrrr. pergilah dan ceritakan nanti malam padaku. Ini uang sedolar."
Sybil menerima uang itu dan melihat
wajah ibunya dan Harry berganti-ganti.
"Mr. Robertson?"
"Ya, Sybil."
Umar Kayam
Jam di kamar menunjukkan bahwa hari
sungguh tak terlampau pagi lagi. Seperti bagian dari satu upacara yang tiap
pagi mesti tak boleh dilampaui, ibu Sybil bergegas mengenakan pakaiannya sambil
mengeluh.
"Ya, Allah, sudah pukul setengah
sembilan. Aku pasti terlambat lagi."
Dan berikutnya suara gemerisik
pakaiannya, keriut sepatunya terantuk-antuk kursi atau meja akan mengiringi
kesibukan paginya.
"Sybil! Sybil!" dia berteriak.
'Yaaaa."
"Di mana kau?"
"Di sini. Di dapur."
"Kopiku sudah?"
"Tidak ada kopi. Habis."
"Habis?"
Bibirnya dikatupkannya untuk meratakan lipstick-nya
dan tok-tok-tok si ibu bergegas ke dapur.
"Habis, katamu?"
"Ya."
"Mengapa tidak kaubilang semalam,
Dungu?"
"Aku lupa. Maaf."
"Lupa. Enak saja lupa. Masa anak
perempuan, sudah lima belas tahun, dikasih kewajiban bikin kopi saja tidak
becus."
Sybil diam. Matanya menatap keluar
jendela. Dua ekor burung gereja sedang asyik bercumbu.
"Kau memang suka kalau aku pening
kepala pagi-pagi begini, ya?"
Sybil tersenyum karena seekor burung
gereja datang lagi dan bertiga beramai-ramai saling bercumbu.
"Dasar anak sial. Uuuuh."
Pening kepalanya terasa lagi. Lupa atau
tidak peduli bahwa hari memang sudah siang, si ibu duduk di kursi, kedua
tangannya memijit-mijit kepala. Sebentar kemudian, heeeek, dia pun bersendawa.
Bau whisky menerobos keluar dari mulutnya, meskipun pagi tidak lupa
berkumur. Kemudian, seperti tiba-tiba ingat sesuatu dia membalikkan kepala ke
arah anaknya yang sedang asyik saja menatap ke luar jendela.
"Sybil!"
"Ya."
"Jangan dikira aku tidak tahu,
ya?"
"Tidak tahu apa?"
"Ka minum whisky-ku lagi.
Aku tahu isinya berkurang semalam. Ayo, mengaku kau, anak har...!"
"Tapi, tapi..."
"Apa tapi?"
"Tapi aku cuma menjilat sedikit
saja."
"Bohong! Paling sedikit setengah
seloki. Aku heran kenapa kau tidak mampus. Itu straight whisky yang kau
minum."
Sybil diam.
"Kenapa, kenapa kaucoba
minum?"
"Chip mengejekku kemarin."
"Chip Henderson?"
"Ya. Dia bilang aku penakut."
"Hm. Lalu siapa yang mengisap
cerutu?"
Sybil tidak menjawab.
"Ha, jangan dikira aku tidak tahu
cerutuku hilang satu. Ayo, siapa? Chip, Chuck, Jimmy, siapa?"
"Aku."
"Kau, Sybil, Sybil. Anak perempuan
apa kau ini?"
"Tapi aku selalu ingin mengisap
cerutu. Tiap kali Harry..."
"Mr. Robertson."
"Maaf. Tiap kali Mr. Robertson
mengisap cerutu malam-malam sebelum tidur di kamarmu..."
"He, he, tutup mulutmu,
Setan!"
"Tapi, Mommy, bukankah dia
selalu tidur di kamarmu tiap kali dia kemari?"
"Sudah, sudah. Aku harus kerja
sekarang. Ini satu dolar buat lunch dan jajanmu."
"Terima kasih."
"Berjanjilah, Sybil, kekasihku,
biji mataku."
"Apa?"
"Jangan minum whisky dan mengisap
cerutu lagi.
Please?"
"O.K."
"Mau main ke mana kau hari
ini?"
"Oh, tak tahulah. Anak-anak pergi
ke camp musim panas ini. Kenapa aku tidak Ibu kirim ke camp seperti mereka?"
"Tetapi, Sybil, kau tahu berapa
gajiku sebagai pelayan restoran?"
"Ya, ya."
"Mungkin tahun depan. Siapa
tahu."
Dan dengan bergegas si ibu berjalan ke
luar apartemen, turun lima puluh tujuh tangga, terus ke jalan membelok di
tikungan.
Musim panas tidak pernah menyenangkan di
New York. Sudah seminggu berturut-turut panasnya mencapai pukul rata 90
derajat F. Mereka, yang tidak punya airconditioning atau kipas angin,
membuka pintu rumah dan jendela lebar-lebar, mengharap-harap ada sedikit angin
yang bisa menerobos masuk. Ternyata usaha itu tidak menolong banyak. Dan di
mana-mana orang mengeluh bahwa musim panas tahun ini jauh lebih panas daripada
tahun lalu.
Sybil kepanasan di dapur. Buru-buru
dihabiskannya mata sapi dan toast-nya serta diteguknya susu dari gelas.
Kemudian di kamar, digantinya bajunya dengan blouse tidak berlengan
serta celana Bermuda yang rada kependekan. Dikenakannya sepatu putih karet
tanpa kaus dan siaplah. Siap ke mana? Itulah yang kemudian dipikirkannya.
Disisipkannya uang sedolar dari ibunya ke dalam saku celananya dan pelan-pelan
dia pun keluar meninggalkan apartemennya. Sambil melompat-lompat turun tangga
dia melagu: ke-ma-na, ke-ma-naaa. Tiap sampai pada ke-ma-naaa,
dia agak heran dan terkejut karena keluarnya keras sekali. Tetapi suara itu
entah bagaimana penjelasannya memberikan perasaan yang menyenangkan.
"Hello, Sybil."
"Hai."
Dan Sybil terus berjalan tidak ingat
lagi dengan siapa dia bersalam. Jalan tempat dia tinggal tidak berpohon.
Mobil-mobil berderet diparkir di kiri dan kanan jalan. Satu dua orang tampak
menyeret kereta yang penuh dengan bungkusan belanjaan dari supermarket. Seekor
anjing pincang berjingkat-jingkat menyeberang jalan.
"Ke-ma-na, ke-ma-na,
ke-ma-naaa."
"Sybil, Sybil."
"Ke-ma-na, ke-ma..."
Sybil menoleh. Tampaknya Nyonya Johnson
melambai-lambaikan tangannya, memberi isyarat agar Sybil mau ke rumahnya.
"Sybil, kau tentu mau
menolongku."
"Hai, Nyonya Johnson."
"Hai Sybil, kau tentu mau
menolongku."
"Menolong apa?"
"Aku mau titip Susan sampai nanti
sore."
"Nyonya mau ke mana?"
"Oh, aku harus pergi untuk urusan
penting, Susan tidak mungkin aku ajak."
Waktu Sybil tidak memberikan suatu
reaksi, Nyonya Johnson meneruskan.
"Ajaklah ke mana kau suka. Ke park,
ke kali, ke bioskop, ke rumahmu, suka hatimulah. Cuma, jangan lupa kasih dia
makan. Ini satu dolar buat makan Susan dan ini tiga dolar buat kau. Aku akan
pulang antara pukul tiga dan empat. Di mana kau dan Susan akan berada pada jam
itu? Di sini, di rumahku, atau di rumahmu?"
Sybil sambil memasukkan uang ke dalam
saku, acuh tak acuh menjawab, "Oh, tak tahulah, Nyonya Johnson. Mungkin di
sini, mungkin di rumahku."
"Baiklah, kalau tidak aku temui
kalian di sini, tentulah kalian di rumahmu. Susan, Susan! Kemarilah kau."
Seorang anak perempuan kira-kira berumur
enam tahun keluar dari dalam rumah.
"Sedang apa kau?"
"Nonton TV bersama Mr. Rodd."
"Kau akan main dengan Sybil hari
ini. Ibu harus pergi sampai nanti sore. Kalau lapar, Sybil akan belikan
makananmu nanti."
"Hai, Sybil," salam Susan.
"Hai, Susan."
Nyonya Johnson masuk ke dalam rumah
untuk berganti pakaian. Tidak seberapa lama dia pun keluar, memberikan
instrusi-instruksi kepada Sybil, dan kemudian pergilah dia.
"Sybil, ke mana kita hari
ini?"
"Oh, tak tahulah."
"Ke rumahmu nonton TV? Main fish?
Kau tahu main fish? Aku pandai main fish. Nanti aku ajari kau.
Kau punya kartu, bukan? Kalau enggak punya nanti biar pakai kartu
bapakku. Biar aku ambil sekarang, ya, Sybil?"
"Tunggu, tunggu dulu, Susan. Kita
tidak pergi ke rumahku, kita tidak tinggal di sini, dan kita tidak main fish."
Oh. Kita pergi jauh?"
"Ya, ya jauh."
"Jauh sekali?"
"Jauh sekali."
"Oh, bagus, bagus. Aku suka pergi
jauh. Ke mana, Sybil, bilanglah."
"Oh, jauh. Ayo, kita berangkat
sekarang."
"Tapi, tunggu dulu."
"Kenapa?"
"Karena pergi jauh, aku mesti ajak
Mr. Todd."
"Siapa Mr. Todd?"
"Mr. Todd. Anjing-anjingku. Tunggu
sebentar aku ambil dia."
"Tapi, Susan..."
Akan tetapi Susan sudah berlari ke
dalam, mengambil Mr. Todd. beberapa menit kemudian, dia ke luar melompat-lompat
kegirangan dengan Mr. Todd. Mr. Todd adalah anjing-anjingan yang cantik. Pakai
jas coklat dan dasi kupu-kupu merah, dan celana biru serta sepatu.
"O.K. Sybil, aku dan Mr. Todd sudah siap sekarang."
Tanpa berkata sesuatu, Sybil menarik
tangan Susan. Mereka terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Di dekat tikungan
jalan, kira-kira setengah kilometer dari tempat mereka berangkat, ada tanda
pemberhentian bus. Sybil berhenti.
"Kita mau ke mana Sybil? Naik
bus?"
"Ya, naik bus."
"Aduh senangnya, naik bus. Ke mana,
Sybil?"
Sybil tidak menjawab. Oleh karena sinar
matahari menyilaukan matanya, tangannya diangkat ke dahi buat melindungi
matanya.
"Sybil, aku kepingin lolly.
Kau ada uang dari Ibu, kan?"
"Ya, ya, ada."
Namun, Sybil tidak bergerak, matanya
mengawasi jalanan, melihat-lihat kalau-kalau bus sudah mulai kelihatan.
"Sybil, aku mau lolly sekarang. Aku
mau maan lolly dalam bus."
"Nah, itu busnya sudah
kelihatan."
"Tapi, Sybil, lolly,
lolly."
"Nanti saja, busnys sudah dekat,
itu."
"Lolly, Sybil, lolly."
"O.K., O.K."
Dan Sybil buru-buru lari ke warung candy
membeli dua lolly, buru-buru lagi ke pemberhentian bus. Diseretnya Susan
karena hampir saja mereka terlambat masuk ke dalam bus. Bus menderu dan Susan -
sambil menjilat-jilat lolly-nya -- melihat rumah-rumah bagaikan
berlarian di balik jendela.
"Aku senang naik bus. Aku benci subway.
Di subway kau tidak bisa apa-apa. Dengan bus kau bisa lihat apa saja.
Rumah, rumah, rumah, supermarket, restoran, drugstore, warung candy,
rumah, rumah, restoran,cafetaria, uuuupp ..."
"Susan! Duduk baik-baik. Jatuh baru
tahu, kau! Nah, begitu."
"Rumah, rumah, cafetaria, hot
dog, hamburger, hot dog, pizza, coke, coke. Sybil, aku lapar. Kau ada uang
dari ibuku, kan?"
"Tapi Susan, kita dalam bus
sekarang."
"Aku lapar, Sybil."
"Sebentar lagi kita sampai."
"Sampai di mana?"
"Di park dekat pantai. Kau
lihat rumah bertingkat di ujung itu? Di sana kita berhenti."
"Kita bisa beli hamburger di
sana?"
"Ya."
"Dengan root beer."
"Ya, dengan root beer."
Akhirnya bus sampai pada pemberhentian
di dekat park itu. Sybil dan Susan turun dan masuk ke dalam sebuah cafetaria
di dekat pemberhentian itu. Sybil mengusulkan agar hamburger serta root
beer itu dibawa saja dan dimakan di pinggir pantai.
Susan kegirangan mendengar itu.
"Aku nanti boleh main ayunan, ya,
Sybil?"
"Kita akan duduk di dekat
pantai."
"Duduk sja?"
"Ya, duduk."
Hari yang amat panas ternyata telah
mengundang beratus orang berteduh dalam park itu. Pohon-pohonan yang
rindang serta angin pantai yang sejuk, setidak-tidaknya untuk sementara, akan
bisa mengobati keparahan panas yang berhari-hari terus saja menekan. Sybil
menggandeng Susan menjauhkan diri dari bising orang-orang. Di pinggir pantai,
di bawah sebuah pohon, mereka temukan sebuah bangku.
"Duduk, Susan."
"Di sini?"
"Di mana lagi, Dungu. Ini makan hamburger-mu.
Ini root beer-mu."
Mereka makan dengan diam. Di muka
mereka, East River dan di belakangnya, Pulau Manhattan.
"Itu East River dan itu Manhattan, Susan."
"itu New York, City, Sybil.
Bapakku kerja di situ."
"New York City ada di Manhattan."
"Ibuku tidak pernah bilang
begitu."
"Ibumu tolol. Itu jauh di sana, itu Empire State Building. Yang ada di pinggir sana itu gedung
U.N."
"Itu rumah pamanku, Harris, Sybil.
Dan itu rumah kami yang sedang dibangun. Aku dan Mr. Todd akan mendapat kamar
paling atas."
"Apakah ibumu yang cerita
begitu?"
"Ya."
"Ibumu adalah seorang genius."
"Sybil."
"Ya."
"Betulkah kau tidak punya
bapak?"
"Ibumu lagi yang bilang
begitu?"
"Ya."
"Ibumu adalah seorang genius."
"Apakah genius itu? Kau suka betul
bilang itu."
"Tidak, tidak apa-apa."
"Apa? Bapakmu?"
"Tidak, tidak betul. Tentu saja aku
punya bapak. Tiap orang ada Bapak."
"Dia tinggal bersamamu?"
"Ya. Cuma dia kerja mulai pagi
sekali sampai larut malam."
"Jadi, kau tidak pernah ketemu
bapakmu?"
"Kadang-kadang kalau malam-malam
aku terbangun. Aku akan melihat bapakku duduk mengisap cerutu."
Tetapi di muka Sybil terbayang harry
Robertson yang mengisap cerutu di kamar ibunya. Sebuah perasaan aneh menyelinap
di dadanya.
"Sybil."
"Ya."
"Aku masih lapar. Kau masih ada
uang dari ibuku, kan?"
"Ya, ya, masih. Ibumu memberi aku
berpuluh dolar."
"Belikanlah aku hamburger
dengan irisan bawang yang gede."
Sybil memandang wajah Susan lama-lama.
Setan kecil! Tiba-tiba satu senyum yang aneh membuat bibir Sybil agak mencong.
"Ayolah, Sybil, belikan."
"Susan, aku ada usul."
"Apakah itu?"
"Mari kita main rampok-rampokan.
Aku jadi perampoknya. Kau akan aku ikat tangan dan kakimu. Matamu akan kututup
dengan saputangan, begitu juga mulutmu."
"Kenapa mesti semuanya diikat
begitu?"
"Supaya kau tidak bisa apa-apa.
Bukankah perampok mesti jahat?"
"Lantas?"
"Lantas aku akan pergi. Kau lalu
akan minta tolong. Kemudian aku akan datang dengan hamburger, menolong
kau. O.K.?"
"Kedengarannya menarik juga.
Ayolah, kita coba!"
Dengan sebat Sybil mengikat kaki dan
tangan Susan serta menyumbat mulut dan menutup matanya. Dilambaikannya
tangannya kepada Susan dan menyelinaplah Sybil ke dalam park.
Hari sudah pukul dua siang waktu Susan
tidak kuasa lagi mencoba bilang "help".
Dengan segelas susu Sybil melihat TV di
kamarnya. Jam berdenting tiga kali. Hari membakar dengan semena-mena.
"Kaukah itu, Sybil?"
"Ibu?"
"Ya."
Ibu Sybil merah kepanasan, masuk
diiringi Harry Robertson.
"Hai, Sybil."
"hai, Harr..., eh, Mr. Robertson.
Baru pukul tiga sudah pulang?"
"Aku sakit, Kekasihku. Mr.
Robertson sudah berbaik hati mau mengantarkan aku pulang."
"Oh."
"Tapi kau kelihatan lesu dan capek,
Sybil. Seharian kau di rumah saja? He, aku ada pikiran. Kenapa kau tidak pergi
nonton ke Strand. Aku lihat lakonnya bagus. The Curse of the Werewolf.
Hhhrrrr. pergilah dan ceritakan nanti malam padaku. Ini uang sedolar."
Sybil menerima uang itu dan melihat
wajah ibunya dan Harry berganti-ganti.
"Mr. Robertson?"
"Ya, Sybil."
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as