Aku
Benci Kamu
oleh : Khajeya Lavista
“…ima wa mada kanashii love song
atarashii uta utaeru made…”, lantunan merdu lagu First Love-nya Utada Hikaru
malam itu tiba-tiba bergema dari satu kamar di sebuah rumah kosan mungil. Jeje
tengah berada di ruang tamu tampak mengahayati benar setiap bait dari lirik
lagu tersebut. Secangkir kopi panas mengepul di atas meja, menemaninya duduk di
sofa bututnya itu.
“Cie…, kenapa loe? Lagi jatuh
cinta atau lagi patah hati tiba-tiba nyetel lagu kayak ginian segala? Atau
jangan-jangan loe lagi sakit?”, tiba-tiba Panji muncul dari balik pintu
kamarnya, lalu duduk tak jauh dari tempat Jeje terduduk
“Enak aja loe bilang gue lagi
sakit!”, jawab Jeje singkat tidak begitu menanggapi pertanyaan Panji.
“Yeee… Abis, nggak ada hujan nggak
ada angin tiba-tiba loe jadi melo gini.” komentar panji lagi.
“Eh, Ji, loe percaya nggak kalo
cinta pertama itu nggak akan pernah mati?” Jeje justru membalas komentar Panji
dengan satu pertanyaan. Wajah Jeje tampak serius.
“Ya percaya nggak percaya sih…
Tapi kalo iblis itu nggak akan pernah mati sampai kiamat, gue percaya.” jawab
Panji enteng.
“Gue nanya serius tahu!” gerutu
Jeje mendengar jawaban Panji.
“Yeee, gue juga serius tahu! Iblis
itu nggak akan pernah mati sampai kiamat.”
“Iya! Dan loe iblisnya!”, Jeje
kesal dengan ketidakseriusan Panji.
“Deuuhhh… Segitu sewotnya… Oke
deh, oke. Kita serius. So, pertanyaan apa tadi yang mau loe ajukan?” ungkap
Panji sambil meraih kopi Jeje lalu meminumnya.
“Eh, kopi gue tuh!”
“Bagi sedikit, jangan pelit kayak
iblis gitu dong… Hehehe…”
“Dasar cucu iblis!” lalu Jeje
bangkit dari duduknya dan beranjak masuk kekamarnya.
“Eh, mau kemana loe? Nggak jadi
bertanyanya?” tanya Panji.
“Mau tidur! Percuma gue nanya sama
iblis, jawabannya pasti menyesatkan!” jawab Jeje enteng, lalu menutup pintu
kamarnya.
“Itu berarti kopi ini buat gue
semuanya dong? Makasih, loe emang iblis paling baik yang pernah gue kenal…
Hehehe…”
“Terserah!”, tiba-tiba Jeje muncul
dari balik pintu kamarnya, “Eh! Tapi jangan lupa cuci tuh gelas!” ucap Jeje
singkat lalu kembali menutup pintu kamarnya.
“Oke deh kakak, tapi loe juga
jangan lupa minum obat cacing ya… Hehehe…”
“Oya”, teriak Jeje dari dalam
kamar, “Sekalian juga cuciin piring bekas gue makan tadi ya, thank before!”
“Apa?!” Panji balas berteriak,
namun kata-kata selanjutnya tidak lagi terdengar oleh Jeje karena alunan musik
yang semula pelan tiba-tiba menjadi sangat bergema dari dalam kamar Jeje.
Didalam kamar rupanya Jeje tidak
langsung tertidur. Pandangannya kembali menerawang. Lalu tak lama ia beranjak
ke meja belajarnya dan menulis sesuatu, Jeje tampak serius sekali menulisi
kertas di hadapannya. Lalu dibacanya berulang-ulang tulisannya itu dengan mata
yang berkaca-kaca sampai akhirnya ia tertidur di meja belajarnya. Isi tulisan
itu :
“Bandung, 15 September 2004
Untuk Dina, semoga suatu saat kau
membaca tulisan ini
Dina, aku tidak pernah tahu apakah
kau akan membaca tulisan ini atau tidak, karena aku memang tidak pernah
mempunyai nyali untuk mengirimkannya kepadamu. Entah aku kekanak-kanakan atau
tidak, namun yang jelas sebenarnya aku sangat malu padamu dan pada diriku
sendiri untuk menyampaikan semua ini padamu, menyampaikan semua hal yang telah
aku pendam sesaat setelah semuanya aku hancurkan sendiri, semua hal yang aku
tetap pendam karena keegoisanku.
Dina, maafkan jika aku kembali
mengorek luka lama di hatimu, namun kau harus tahu, saat itu, saat bibir ini
mengucapkan kata ‘putus’, bukan hatiku yang berbicara, melainkan keegoisan,
jiwa kekanak-kanakan, dan segala kekhilafanku. Bahkan sesaat setelah itu aku
begitu menyesali semua tindakanku, namun keegoisan begitu mendominasi jiwaku
saat itu, sedang aku tahu kau begitu sakit dan kecewa dengan semua itu, dan
kaupun harus tahu, kini aku sendiri begitu kecewa dengan diriku sendiri atas
semua yang telah aku lakukan padamu.
Dina, bertahun-tahun aku tersesak
memendam semua keegoisan ini. Bahkan aku terus membohongi diriku sendiri dengan
mencari cinta di lain hati. Terakhir, aku hampir tersesat dengan penamaan cinta
sejati pada satu hati yang lain. Dan malam ini aku tersadarkan pada semuanya.
Mustahil aku dapat temukan kembali cintaku yang hilang jika aku mencari pada
hati-hati yang lain, aku baru tersadar jika semua cinta itu telah aku berikan
padamu.
Dina, 7 tahun bukanlah waktu yang
sebentar. Dan selama itu aku gelisah! Hidupku seperti kehilangan arah tujuan.
Aku begitu kacau! Mungkin sudah teramat terlambat untuk ku raih kembali cinta
itu dari hatimu. Dan mungkin semua cinta itu bahkan sudah tidak ada lagi di
hatimu, mungkin sudah kau buang jauh, mungkin sudah kau hancurkan dan tercecer
begitu saja. Satu kekhwatiran yang sangat, aku takkan pernah dapat merangkai
kembali cinta yang telah hancur berkeping-keping itu, bahkan menjadi abu dan
debu! Namun bukankah cinta mampu merubah apa saja, termasuk segala
kekhawatiranku itu? Ya, dengan cinta, kekhawatiran itu bisa menjadi tidak
beralasan. Kesaktian cinta mampu mengabulkan segala permintaan, dan dengan
restumu tentunya aku akan bisa merangkai kembali semua kepingan, abu, dan debu
itu menjadi satu kesatuan yang utuh. Dan atas nama cinta, aku akan terus berjuang
mengembalikan segalanya meskipun harus kunikmati sendiri.
Dina, kau berhak untuk membalas
semuanya. Dengan tetap tertutupnya restumu, semua kekhawatiran dan mimpi
burukku akan menjadi nyata, dan aku akan terima semuanya selama itu memang
memuaskan dan membahagiakanmu. Namun aku yakin, peri kasih dalam dirimu akan
tetap bijaksana, dan apapun kebijaksanaan itu, sekali lagi, harus aku terima.
Dina, tak ada salahnya bukan jika
aku berharap masih bisa menikmati senyummu setiap saat? Senyuman seorang Dina
yang takkan usang dimakan masa. Terakhir, aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan
mau membukakan pintu hatimu untukku.
Bel
pulang sekolah telah berbunyi
nyaring. Dhillah berjalan terburu-buru, bahkan hampir berlari. Wajahnya
penuh
dengan amarah dan kekecewaan. “Dhillah! Dhillah! Tunggu…!” teriakan
Jeje seolah
tak didengarnya. Dhillah terus melaju tanpa menoleh. “Dhillah! Tunggu
dulu! Ada apa ini?!” tiba-tiba langkah Dhillah tertahan oleh sepasang
tangan yang memegang erat
pundaknya.
“Sudahlah! Tidak ada lagi yang
harus dijelaskan. Dan tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!” kata-kata itu
mengalir lancar dari lidah Dhillah sambil menatap Jeje penuh kebencian.
“Ta.. tapi… ada apa ini?!” Jeje
mengerutkan dahinya.
“Tolong jangan lagi mengganggu
aku! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Dan itu pilihan
kamu! Selamat tinggal!” seluncuran kata kembali terucap oleh Dhillah sebagai
jawaban atas pertanyaan Jeje. Lalu ia pergi dengan cepat meninggalkan Jeje yang
berdiri kaku penuh kebingungan.
“Dhillah..! Dhillah..!” kembali
Jeje memanggil Dhillah yang terus menjauh dan menjauh, namun Dhillah tetap
berlalu.
***
“Kring.. Kring..” dering telepon
berbunyi nyaring. Dhillah mengangkat telepon itu dengan penuh enggan.
“Haloo… Dhillah?” suara lirih
diujung telepon sana ketika telepon diangkat. Dhillah diam tak menjawab suara
itu. “Dhillah.. Please.. Kita harus bicara…”
“Tut... Tut… Tut…” tiba-tiba
telepon terputus. Jeje yang berada disudut telepon sana mencoba kembali
menghubungi telepon Dhillah, namun tak ada lagi yang mengangkatnya. Beberapa
kali dicobanya, hasilnya tetap nihil.
***
Bel istirahat berbunyi lantang,
membuat suasana sekolah menjadi ramai seketika. Jeje mencoba menghampiri dan
menyapa Dhillah. Namun seperti orang yang belum mengenal, Dhillah tidak
menanggapi sapaan Jeje. Ia begitu beku. Sementara Jeje hanya dapat berdiri
kaku. Sampai seluruh jam pelajaran hari itu habis dan seluruh sekolah telah
sepi, Jeje terus termenung disudut kelas, sementara Dhillah tetap beku dan tak
tahu tengah berada dimana.
***
“Haloo..” ucap Dhillah menganggkat
teleponnya.
“Dhillah, please.. Kita harus
bicara…”
“Tut... Tut... Tut…” Dhillah
langsung menutup teleponnya.
“Haloo..” ucap Dhillah kembali
mengangkat gagang teleponnya ketika teleponnya kembali berbunyi.
“Dhillah… Please, hentikan semua
ini… Aku…”, tiba-tiba telepon kembali terputus.
Telepon kembali berbunyi, Dhillah
kembali mengangkat teleponnya. Belum sempat terucap kata halo, suara diujung
telepon sana telah mendahului, “Dhillah, baiklah, aku minta maaf jika aku
bersalah, tapi…”, lagi-lagi telepon ditutup oleh Dhillah.
“Kring.. Kring.. Kring…”, suara
telepon menggema ke seluruh sudut rumah Dhillah, namun tak juga diangkatnya,
dan deringan-deringan selanjutnya tak lagi terdengar seiring dengan diputusnya
kabel telepon oleh Dhillah.
***
Tiga hari berlalu, Dhillah tetap
beku dan seolah tak mau lagi mengenal seseorang yang bernama Jeje. Ia terus
menghindar dari Jeje, bahkan walau Jeje telah berusaha mendekatinya sekalipun.
Jeje tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia terus termenung memikirkan Dhillah.
“Dhillah.. Ada apa sebenarnya ini?” lirih Jeje dalam hati sambil duduk sendiri
di satu sudut sekolahnya.
Lalu mata Jeje menatap tajam pada
sekumpulan bunga-bunga mekar dihalaman sekolah. Ia melirik ke segala arah, tak
ada penjaga kebun, tak ada guru… “Ahh, aman..” ucap Jeje sendiri, lalu memetik
sebuah bunga melati dan membawanya kebelakang sekolah. Dirobeknya secarik
kertas dari buku tulisnya, lalu ia menulisinya, dan menempelkanya pada tangkai
melati itu.
Diakhir jam sekolah, Jeje berlari
cepat mengejar Dhillah, lalu berdiri dihadapannya. Kedua tangan Jeje
menghalangi Dhillah yang mencoba untuk terus menghindar.
“Dhillah! Dhillah! Baik jika
memang itu yang kamu mau. Tapi aku mohon untuk yang terakhir kalinya, terimalah
bunga ini, maka aku berjanji takkan mengganggu hidupmu lagi!” ucap Jeje sambil
menatap tajam mata Dhillah. Dhillah membalas menatap Jeje dengan tak kalah
tajam, namun mulutnya tetap bungkam seolah bisu. Jeje kemudian menarik tangan
kanan Dhillah, digenggamkannya sepucuk melati itu ke tangan Dhillah, lalu Jeje
berlalu pergi meninggalkan Dhillah yang masih berdiri kaku di tempatnya setelah
dihadang Jeje sebelumnya.
Dhillah menatap tajam melati yang
tengah digenggamnya itu, lalu membuka secarik kertas yang menempel pada tangkai
bunga itu. Dalam kertas itu tertulis :
Dhillah, sepucuk melati ini
untukmu. Lihatlah melati ini. Melati ini penuh dengan noda dan bercak hitam
karena asap knalpot. Begitu juga dengan cinta. Jika ada cinta yang bersih tanpa
noda, itu bukan cinta, tapi kepalsuan. Cinta penuh dengan halang dan rintang,
yang jika kita mampu menghadapinya, itulah kesejatian cinta.
Jeje
Dhillah membaca tulisan itu,
kemudian menggenggam erat sepucuk melati yang memang tengah digenggamnya.
Sementara Jeje telah menghilang dari pandangan, pulang ke rumah dengan penuh
kekecewaan dan kehampaan.
Siang kota Bogor hari itu begitu
cerah. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya dengan sinar matahari yang
sekedar menerangi. Lalu lalang manusia di sepanjang trotoar tak kalah ramai
dengan mobil-mobil yang berhamburan di badan jalan aspal. Rupanya suasana yang
sedikit berbeda ini tak ingin dilewati begitu saja, dengan ceria mereka
menikmati hari. Orang-orang terlihat lebih bersemangat hari itu.
Begitu pula dengan seorang gadis
ayu di sebrang jalan sana. Dengan tas di pundak kirinya dan beberapa buku dalam
pangkuan tangannya, gadis itu berdiri tenang menanti mobil jemputannya untuk
menuju pulang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa rambutnya membuat ia tampil lebih
anggun. Wajah ayunya terus tertepa udara sejuk hari itu. Dan tetap bertahan
anggun hingga seluruh kawan-kawan sekampusnya pergi meninggalkannya seorang
diri.
Hari semakin sore, pelataran
kampus sudah mulai sepi. Orang-orang yang berlalu lalangpun mulai surut. Entah
untuk yang keberapa kali gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya sambil
sesekali memainkan ponselnya. Wajahnya mulai tampak gusar ketika matahari mulai
memerah. Lalu tampak tangannya mulai melambai pada kendaraan-kendaraan umum,
namun tak satu pun yang berhenti. Hampir setiap kendaraan yang melalui jalan
itu selalu penuh jika hari mulai menuju malam minggu. Ia tampak semakin kesal
saja.
Hari benar-benar telah senja.
Lampu-lampu di sepanjang sisi jalan telah menyala. Gadis itu tetap saja tak
mendapat tumpangan pulang. Sesaat ia menarik nafas lega ketika sebuah kendaraan
umum berhenti menyambut lambaian tangannya, namun tiba-tiba tersentak terkejut
mendengar sebuah klakson panjang dari sebuah sedan hitam di ujung jalan. Ia
hafal betul mobil itu. Dengan tersenyum ia berucap, “Maaf, Mang, tidak jadi,
mobil jemputan saya sudah datang.” Senyumannya dibalas kecut oleh supir
kendaraan umum tersebut, dan sambil membanting setirnya, mobil itu kembali
melaju di jalan raya.
Dalam hitungan detik, mobil yang
dinantinya sudah berada di hadapannya. Tapi, tak seperti biasa, mobil itu hanya
berhenti saja. Tak ada sopir yang keluar untuk membukakan pintu pada majikannya
itu. Dengan sedikit kesal, gadis itu membuka sendiri pintu depan mobil itu,
lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh sedikitpun pada sang sopir. Rupanya gadis
itu mulai kesal. Namun, tetap saja jiwanya yang ramah tetap terpancar dengan
terbungkamnya mulut sang gadis itu dari sebuah omelan pun. Bahkan ia tetap
memilih duduk di depan bersama sang supir, tanda ia sangat menghargai sopirnya
itu, tak seperti banyak orang yang enggan duduk bersama sopirnya.
Belum sempat ia menikmati
duduknya, tiba-tiba ia harus dikejutkan lagi oleh laju kendaraannya sang sangat
mendadak. Sesaat gadis itu berteriak terkejut, namun tersendak melihat wajah
orang yang memegang kendali mobilnya.
“Hei!
Siapa kamu?! Kemana mang
Udin?! Hei! Hentikan mobil ini! Hentikan!”, teriak gadis itu, namun tak
dipedulikan oleh pemuda yang mengemudikan mobil itu, malah kecepatan
mobil itu
semakin ditambah. “Hei, cukup! Hentikan! Hentikan mobil ini!
Hentikan!”, teriak
kembali gadis itu yang tetap tak dipedulikan oleh pemuda yang memegang
setir di
sampingnya. Mobil itu terus melaju pada kecepatan tinggi melintasi
jalan kota. Lalu tiba-tiba berhenti disebuah taman kota. Tanpa menoleh
pada gadis di sebelahnya,
ia menghentikan mobil itu begitu saja, lalu terdiam. Gadis itu dengan
dahi
mengkerut dan wajah yang geram tetapi takut itu pun turut terdiam.
Sambil
mencoba menarik napas lega, gadis itu bertanya setengah teriak, “Siapa
kamu?!
Apa maumu?! Kemana mang Udin?!”
Mendapat tubian pertanyaan yang
dengan teriakan itu, pemuda itu tetap tenang. Lalu sambil berkata tenang, ia
mulai menatap wajah gadis itu, “Sttt… Tak perlu berteriak, aku bisa mendengar
suaramu dengan jelas… Tenanglah…”
“Ta.. Tapi, siapa kamu?!”, tanya
gadis itu kembali.
“Aku adalah cinta…”, jawab lelaki
itu masih dengan tenang.
“Cinta?”, dahi gasis itu semakin
mengerut.
“Dhillah…”, lirih pemuda itu
menyebutkan sebuah nama.
Gadis itu terkejut setengah mati
mendengar sebuah nama itu. Wajahnya yang telah memerah sejak tadi semakin
memerah. Matanya yang semula menggambarkan amarah dan ketakutan kini berubah
menjadi berkaca-kaca. Dalam hidupnya hanya ada satu orang di dunia ini yang
memanggilanya dengan sebutan itu, Dhillah.
“Kha.. Khaje…?”, tanya lirih gadis
itu seakan tak percaya.
“Ya, ini aku, Dhillah…”, jawab
pemuda itu sembari mencoba memeluk tubuh gadis itu yang tak segera dibalas,
namun gadis itu diam saja tak percaya pada apa yang dialaminya saat itu.
“Dhillah…”, lirih pemuda itu lagi tepat di sisi telinga wanita itu.
“Kha.. Khaje…!”, gadis itu kini
membalas pelukan lelaki itu dengan pelukan yang sangat erat. Namun pelukan itu
tidak berlangsung lama, tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukannya, “Ti.. Tidak!
Tidak!”, teriaknya kembali sembari berusaha membuka pintu mobilnya sambil
berlari cepat menjauh.
“Dhillah! Dhillah! Tunggu!”, kini
lelaki itu turut berteriak memanggil Dhillah sambil berusaha menyusul lari
gadis itu.
Belum terlalu jauh dari area taman
kota itu, Khaje telah berhasil menggapai tubuh Dhillah.
“Dhillah! Dhillah! Jangan pergi…”
lirih Khaje sesaat setelah berhasil merengkuh tubuh Dhillah dan memeluknya
erat. Dhillah tidak berkata-kata untuk sesaat, yang terdengar hanyalah tangisan
derasnya. “Dhillah…”, lirih Khaje kembali.
“Ti.. Tidak mungkin! Tidak
mungkin!” teriak Dhillah dalam isakannya.
“Maafkan aku, Dhillah…”, lirih
Khaje menjawab teriakan Dhillah sambil melepas pelukannya dan menatap dalam
wajah Dhillah.
“Kemana saja kamu selama ini?!
Kamu pergi begitu saja! Tidak ada kabar, tidak ada surat! Bahkan… bahkan aku
mengira kamu sudah mati… Dan kini… begitu saja kamu datang kembali… Kamu pikir
semudah itu kamu dapat mempermainkan aku?!”, dalam tangisannya Dhillah terus
berkata-kata, “Cinta itu sudah hilang bersama kepergianmu! Sekarang aku… aku…
aku sudah tidak mencintaimu lagi! Sebaiknya kamu pergi saja sekarang! Pergi
dari hidupku dan tidak usah menggangguku lagi! Apa sebenarnya yang kau mau
dariku?! Aku mohon jangan ganggu hidupku…”
“Sttt… Dhillah… Sejak dulu kamu
tak pantas dan tak pernah pantas untuk marah… Kamu terlalu anggun dan baik
untuk itu… Kebencianmu hanya sesaat… Dan aku tahu, amarahmu akan segera reda…
Segera reda… Sesaat setelah kemarahanmu… Dan kamu akan kembali seperti
semula…”, lirih Khaje yang disertai dengan terdiamnya Dhillah. “Aku sayang
kamu… Aku cinta kamu, Dhilah.. Maafkan aku…”, ucap Khaje sembari memeluk tubuh
Dhillah. Tak seperti sebelumnya, kali ini Dhillah langsung membalas pelukan
Khaje, lebih erat dari sebelumnya.
“Aku juga cinta kamu…”, lirih
Dhillah.
Keajaiban
dari sesuatu yang ada
dalam diri sepasang anak manusia terpancar malam itu ditengah kota
Bogor. Sampai larut mereka membayar rindu yang tertunda selama
bertahun-tahun. Tak banyak
kata yang terucap dari mereka malam itu. Sejuk udara kota Bogor cukup
menjadi
pencerita tentang rindu sepasang hati.
* * *
“Khaje, maaf aku tak bisa
mengatakan ini semua langsung kepadamu… Bacalah surat ini..”, lirih Dhillah
dengan mata yang berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan Khaje.
“Dhillah! Dhillah!”, teriak Khaje
memanggil Dhillah. Dhillah terus melaju dan melaju. Tak menoleh sedikitpun.
Hingga hilang tertelan jarak. “Dhillah… Ada apa ini?”, galau Khaje dalam
berdirinya menatap jejak langkah Dhillah.
Dengan resah ia membuka surat itu dan membacanya…
Masa kanak-kanak itu kini sudah
tiada lagi. Kita telah sama-sama dewasa! 8 tahun rupanya bukanlah waktu yang
sebentar. Ia telah berhasil merubah segala yang kita lihat. Rumput-rumput itu
kini sudah menjadi aspal. Pagar bambu yang dulu mudah kita rusak kini sudah menjadi
tugu beton kokoh yang angkuh. Segalanya sudah berubah sekarang, dan semuanya
tak bisa kembali lagi, termasuk masa kanak-kanak kita dahulu. Angin sepoi-sepoi
yang dulu berhembus kini sudah menjadi badai. Dan jika cinta tak mampu
menghentikan badai itu, lebih baik kita yang berganti arah.
Dhillah
Seakan remuk hati Khaje membaca
itu semua. Seorang Dhillah tidak mungkin seperti ini, hal itu yang pertama
terbesit di hati Khaje. Dalam kesendiriannya ditengah rumput luas yang tanpa
Dhillah, Khaje berucap lirih, “Tuhan, jika memang benar masa kanak-kanak itu
tak bisa kembali… Paling tidak izinkanlah cinta itu kembali… Dan jika cinta tak
mampu menghentikan badai… Izinkan cinta itu turut mati bersama badai itu,
hingga aku takkan menemukan cinta itu lagi… Tapi, aku yakin, cinta mampu
menghadapi segalanya… Ya, walaupun harus mati didalamnya… Tuhan…”. Khaje lalu
meremas secarik kertas yang tadi dibacanya, lalu dengan senyum yang entah
menyiratkan apa ia melangkah menyusul langkah Dhillah yang entah telah sampai mana…
“Jey, itu dompet siapa, Jey?”,
tanya Opik setelah melihat sebuah dompet tebal tergeletak di pinggir jalan
sepulang dari kampus.
“Wah, kayaknya dompet yang jatuh
deh”, jawab Ajey cuek, berbarengan dengan diambilnya dompet itu oleh Opik.
“Wah, gila, Jey, isinya banyak
banget…”, ucap Opik takjub.
“Emangnya berapa?”, tanya Ajey.
“Mungkin dua jutaan lebih, Jey”,
jawab Opik.
“Gila, banyak banget”, ucap Ajey.
“Eh, Jey, ada fotonya” ucap Opik
sambil terus memeriksa isi dompet.
“Eh, gila, cantik banget. Wah,
Pik, kayaknya kita harus balikin dompet ini deh.”, ucap Ajey.
“Tapi, Jey…”
“Udah, uang bisa di cari, tapi
kenalan sama cewek secanti ini… kapan lagi?”
“Oke deh, Jey. Tapi kemana kita
harus balikin dompet ini?”, bingung Opik.
“Ya, loe lihatlah didalamnya, ada
KTP atau kartu namanya nggak?”
Tanpa menjawab, Opik langsung
memeriksa kembali dompet itu. Didalammnya tampak ada beberapa kartu ATM dan
kartu kredit, serta sebuah KTP dan kartu nama atas nama Santi.
“Yap, ada Jey. Nama cewek itu Santi.
Ini kartu namanya. Kapan kita mau balikin dompet ini?” ucap Opik.
“Wah, kalau sekarang udah
kesorean, gimana kalau besok saja?”, saran Ajey di jawab dengan anggukan Opik
tanda setuju.
* * *
Pada waktu yang disepakati, Ajey
dan Opikpun tampak tengah bersiap berangkat untuk mengembalikan dompet yang
ditemukannya kemarin ke alamat yang tertera di KTP yang ada didalam dompet itu.
Dengan sandal jepit, kaos oblong, dan celana jeans, mereka menaiki angkot
menuju alamat yang di maksud.
“Kayaknya ini deh Jey rumahnya”,
yakin Opik sambil menyesuaikan alamat yang ada dalam dompet pada nomor rumah
yang terpampang besar disebuah pintu pagar menjulang tinggi dan besar.
“Gila, ini rumah atau istana, gede
banget. Coba deh cek lagi alamatnya, udah benar atau belum?”, saran Ajey.
“Iya, benar yang ini rumahnya
Jey”, ucap Opik. Tiba-tiba seorang satpam menghampiri mereka dari dalam pagar
itu.
“Maaf, mas, dari tadi saya melihat
mas-mas ini didepan pagar, ada apa ya mas?” tegur satpam itu.
“Eh, begini pak, kami mau ketemu
sama Santi. Santinya ada tidak ya pak?”, celetuk Ajey spontan menjawab
pertanyaan satpam itu.
“Oh, non Santi. Memangnya mas-mas
ini siapa?” tanya stpam itu lagi.
“Kami temannya, pak”, jawab Ajey
lagi. Tampak kening satpam itu mengkerut tanda heran atau mungkin tidak
percaya. Matanya tampak menatap curiga melihat penampilan Ajey dan Opik.
“Lho, kenapa pak?” tanya Opik
merasa kesal diperlakukan seperti itu.
“Maaf, mas. Apa benar mas-mas ini
temannya non Santi?” tanya satpam itu lagi. Opikpun langsung mengeluarkan kartu
nama atas nama santi dan menunjukkannya pada satpam itu.
“Ini buktinya, pak.”, ucap Opik.
Sesaat setelah satpam itu
memeriksa kartu nama itu, kembali satpam itu bertanya, “Dapat dari mana mas
kartu nama non Santi ini?”
“Dengan kesal Ajey menjawab, “Ya
dari Santilah, memangnya dari siapa lagi? Sekarang, Santinya ada atau tidak
sih?!”
“Baiklah, tapi tunggu dulu disini
sebentar, saya hubungi non Santi dulu. Oya, nama mas-mas ini siapa ya?” tanya
satpam itu.
“Ajey dan Opik”, jawab Ajey.
“Baiklah, sebentar ya mas.” ucap
Satpam itu sambil kembali masuk ke balik pagar besi, lalu tampak satpam itu
menelepon dari dalam pos satpam didekat pagar.
“Halo, non, ada dua orang yang
mengaku temen non, mau bertemu sama non.” Ucap satpam itu.
“Siapa, pak?”, tanya dari ujung
telepon sana.
“Mereka mengaku bernama Ajey dan
Opik, Non.”, jawab satpam.
“Ajey? Opik? Siapa mereka?”, tanya
santi lagi.
“Tidak tahu, non. Semula saya
tidak percaya, tapi mereka punya kartu nama non. Katanya dapat dari non Santi.”
“Ya sudah, pak. Suruh saja mereka
masuk, saya tunggu didalam.”
“Baik, Non.” Patuh satpam itu
sambil menutup telpon dan kembali menghampiri Ajey dan Opik.
“Ya, silakan masuk mas, kata non
santi,non santinya menunggu didalam”.
“Terimakasih, pak”, ucap Ajey
sembari menegakkan badannya, dan bergegas masuk kedalam. Namun, tiba-tiba
satpam itu menghentikan langkah Ajey dan Opik.
“Maaf, mas. Bisa saya periksa
mas-mas dulu. Silakan menempel ke tembok”, ucap satpam itu.
Sesaat Ajey dan Opik saling
berpandangan tanda heran. Namun, karena enggan berkomentar, mereka menuruti
saja permintaan satpam itu. Badan mereka merapat ke tembok, kaki agak melebar,
tangan keatas, lalu satpam itu mulai memeriksa badan Ajey dan Opik, ya kayak di
film-film lah.
“Baik, mas, bersih. Maklum ya mas,
sekarang kan lagi banyak kasus bom, jadi harus hati-hati…”
“Oh, tidak apa-apa kok pak”, ucap
Opik.
Akhirnya Ajey dan Opikpun berhasil
melewati pagar besi tinggi besar itu. Sambil menunggu Santi keluar, mereka
duduk-duduk diteras depan.
“Gila, Jey… Gede banget rumahnya,
tamannya juga luas dan indah banget”, takjub Opik.
“Iya, gila, pasti Santi itu
anaknya orang kaya, kata gua juga apa? Nggak sia-sia kita mengembalikan dompet
ini.” Ucap Ajey.
“Iya, Jey. Sudah cantik, kaya
lagi. Siapa tahu jodoh kita ya…”
“Iya, Pik”
“Ehm..., maaf, anda berdua yang
kata satpam tadi mau bertemu saya?” ucap seorang wanita yang tiba-tiba keluar
dari pintu rumah dan memotong pembicaraan Ajey dan Opik.
“Eh, uh, iya mbak.”, jawab Opik.
“Anda-anda siapa ya?”
“Eh, kenalkan, nama saya Opik”,
ucap Opik sambil menjulurkan tangannya, disusul oleh Ajey.
“Ada perlu apa ya?”, tanya Santi
lagi.
“Ini, mbak, kami mau mengembalikan
dompet mbak yang kami temukan di jalan.”
“Dompet?”, ucap Santi sambil
mengernyitkan dahinya.
“Iya, dompet. Apa ini betul dompet
mbak?”, tanya Opik lagi sambil menjulurkan dompet itu ke arah Santi.
Setelah sesaat memeriksa dompet
itu, santipun berkata, “ya, ini memang dompet saya, kemarin dompet ini hilang.”
“Diperiksa dulu mbak isinya, takut
ada yang hilang”, ucap Ajey.
“Ah, tidak usah”, jawab santi
sambil mengeluarkan 4 lembar seratus ribuan dari dalam dompet itu dan
memberikannya pada Ajey dan Opik. “Ini uang untuk balas jasanya”
“Lho, apa maksudnya ini mbak?”,
heran Ajey.
“Iya mbak, tidak usah, kami ikhlas
kok”, tambah Opik.
“Sudahlah, terima saja uang ini,
saya tidak ingin merasa berhutang budi”
“Nggak kok mbak, nggak apa-apa,
kami benar-benar ikhlas kok”, ucap Opik lagi.
“Oh, atau kurang? Kalau begitu ini
saya tambah lagi”, u\cap Santi sambil mengluarkan beberapa lemnbar seratus
ribuan lagi.
“Lho, bukan itu maksud kami
mbak."
“Sudahlah, tidak usah jual mahal.
Kalau begitu silahkan mabil smeua uang di dalam dompet ini.” Ucap Santi lagi.
Ajey langsung tertegun mendengar
hal itu. “Maaf, mbak. Kami benar-benar tidak mengharapkan imbalan jasa dari
mbak, kami ikhlas, mbak.”
“Ah, mana mungkin dizaman sekarang
ini masih ada orang yang ikhlas, terlebih lagi dengan kasus seperti ini.”
“Oh, masih ada, mbak. Ya kami
inilah”, ucap Opik.
“Memangnya apa yang mas-mas ini
mau sih? Diberi uang tidak mau? Diberi semua juga tidak mau?”
“Kami tidak mau apa-apa mbak,
cukup bisa kenalan sama mbak saja kami sudah puas”, ungkap Opik.
“Oh, jadi mau kenalan sama saya.
Kalau begitu, rasanya lebnih baik dompet ini tidak kembali lagi ke saya,
daripada saya harus kenal sama orang-orang semacam situ. Silakan kalau dompet
ini mau di bawa lagi, lengkap dengan semua isinya.”
Wajah Ajey dan Opik langsung
memerah, merek jelas-jelas tersinggung dengan ungkapan kalimat seperti itu.
“Maaf, mbak. Mbak pikir semuanya
bisa mbak beli dengan uang. Mbka pikir semuanya bisa mbak ukur dengan harta.
Tidak, mbak! Tidak! Memang semula kami mengembalikan dompet ini agar dapat
berkenalan dengan mbak. Tapi kami belum tahu siapa sebenarnya mbak. Andai saja
kami sudah tahu sebelumnya siapa yang akan kami hadapi, tentu kami akan teramat
enggan untuk mengembalikan dompet ini. Terimaksih mbak. Saya lebih baik pergi
daripada harus mengenal orang semacam mbak!” Tegas Ajey sembari membalikkan
badannya dan bergegas pergi.
“Eh, jey, mau kemana loe?”, heran
Opik.
“Sudah, ayo kita pergi dari sini”,
ucap Jey sambil menarik tangan Opik.
“Eh, uh, tapi Jey…”
“Sudah…!”
Ajey terus bergegas sambil tetap
menaruk tangan opik. Sementara dengan santai santi kembali masuk ke dalam
rumahnya, sambil berucap “Orang aneh!”
Jam kuliahku begitu padat! Gerah
aku dengan semua ini. Praktikum, tugas, quiz, seakan tiada akhir… Ah, begitu
penat hidupku hari ini, dan selalu begitu.
Dengan 5 buku tebal didalam tas
punggungku, terasa langkah kaki ini semakin berat. Asap polusi seakan membuatku
ingin berteriak namun sesak. Ribuan pasang kaki yang melangkah disekelilingku
terasa berbeda dari biasanya. Aku sedikit mengeluh melihat langit yang mulai
mendung sore ini sambil mempercepat langkahku. Tas punggungku terasa semakin
berat dengan buku-buku itu didalamnya.
Sial! Akhirnya aku kalah juga
dengan waktu. Hujan turun. Orang-orang disekelilingku berlarian mencari tempat
berteduh, atau sedikit menghindar dari guyuran hujan sore ini.
Ditengah keramaian manusia,
tiba-tiba aku melihat sebuah wajah yang pernah sangat kukenal. Aku mengernyitkan
dahiku. Dhillah! Aku masih mengingat nama dari pemilik wajah itu. Langkah kaki
yang hendak berlari ini menjadi kaku. Dalam guyuran air hujan aku terpaku
menatap wajah itu, lalu tak lama wajah itupun lenyap dalam keramaian manusia
yang saling berlari menghindari deras air hujan.
Aku tetap terpaku seorang diri
ditengah hujan. Tak peduli seluruh pakaian, bahkan buku-buku dalam tasku
menjadi basah. Yang kurasakan hanyalah sakit, ya, sakit. Begitu tersayatnya
hati ini! Tubuhku seperti beku dalam terpaan hujan.
Betapa kecewanya aku sore ini.
Usaha yang sangat lama dan begitu sulit untuk melupakannya menjadi sia-sia. Ya,
hanya karena meihat wajah yang hanya selintas saja!
Dhillah, betapa teganya kau
menyakiti hati kembali! Lebih sakit dari sebelumnya! Lama aku berjuang hanya
untuk membuang ingatan dalam diriku akan dirimu… Tapi, dengan begitu mudahnya
engkau mengembalikan segalanya, menarik kembali semua ingatan yang telah lama
kubuang!
Dengan sulit aku melupakanmu,
bahkan hampir tak mampu! Dengan sangat sulit kurobek semuanya tentangmu,
kuhancurkan hingga berkeping-keping, lalu kubiang tanpa sisa ke deras air
sungai, hingga terus terbawa ke laut lepas dan terapung-apung diatasnya, hingga
tiada lagi seorangpun yang menemukannya.
Sial! Setelah bertahun-tahun,
rupanya matahari telah menguapkan air laut, dan kau terbawa bersama uap itu
hingga mengapung dan membeku diatas langit dalam wujud awan mendung… Dan, kini
awan mendung itu telah membasahi seluruh tubuhku, dan kau lagi-lagi hadir
dihadapanku…!
Sementara hujan telah reda, langit
kembali cerah, orang-orang kembali dengan tenang berlalu lalang, dan kau telah
lenyap ditelan keramaian, aku masih terpaku dengan pakaian yang basah dan
dengan semua ingatan yang kembali. Teganya kau! Aku benci kamu!
Sabtu,
16 April 05
Benci Kamu
oleh : Khajeya Lavista
“…ima wa mada kanashii love song
atarashii uta utaeru made…”, lantunan merdu lagu First Love-nya Utada Hikaru
malam itu tiba-tiba bergema dari satu kamar di sebuah rumah kosan mungil. Jeje
tengah berada di ruang tamu tampak mengahayati benar setiap bait dari lirik
lagu tersebut. Secangkir kopi panas mengepul di atas meja, menemaninya duduk di
sofa bututnya itu.
“Cie…, kenapa loe? Lagi jatuh
cinta atau lagi patah hati tiba-tiba nyetel lagu kayak ginian segala? Atau
jangan-jangan loe lagi sakit?”, tiba-tiba Panji muncul dari balik pintu
kamarnya, lalu duduk tak jauh dari tempat Jeje terduduk
“Enak aja loe bilang gue lagi
sakit!”, jawab Jeje singkat tidak begitu menanggapi pertanyaan Panji.
“Yeee… Abis, nggak ada hujan nggak
ada angin tiba-tiba loe jadi melo gini.” komentar panji lagi.
“Eh, Ji, loe percaya nggak kalo
cinta pertama itu nggak akan pernah mati?” Jeje justru membalas komentar Panji
dengan satu pertanyaan. Wajah Jeje tampak serius.
“Ya percaya nggak percaya sih…
Tapi kalo iblis itu nggak akan pernah mati sampai kiamat, gue percaya.” jawab
Panji enteng.
“Gue nanya serius tahu!” gerutu
Jeje mendengar jawaban Panji.
“Yeee, gue juga serius tahu! Iblis
itu nggak akan pernah mati sampai kiamat.”
“Iya! Dan loe iblisnya!”, Jeje
kesal dengan ketidakseriusan Panji.
“Deuuhhh… Segitu sewotnya… Oke
deh, oke. Kita serius. So, pertanyaan apa tadi yang mau loe ajukan?” ungkap
Panji sambil meraih kopi Jeje lalu meminumnya.
“Eh, kopi gue tuh!”
“Bagi sedikit, jangan pelit kayak
iblis gitu dong… Hehehe…”
“Dasar cucu iblis!” lalu Jeje
bangkit dari duduknya dan beranjak masuk kekamarnya.
“Eh, mau kemana loe? Nggak jadi
bertanyanya?” tanya Panji.
“Mau tidur! Percuma gue nanya sama
iblis, jawabannya pasti menyesatkan!” jawab Jeje enteng, lalu menutup pintu
kamarnya.
“Itu berarti kopi ini buat gue
semuanya dong? Makasih, loe emang iblis paling baik yang pernah gue kenal…
Hehehe…”
“Terserah!”, tiba-tiba Jeje muncul
dari balik pintu kamarnya, “Eh! Tapi jangan lupa cuci tuh gelas!” ucap Jeje
singkat lalu kembali menutup pintu kamarnya.
“Oke deh kakak, tapi loe juga
jangan lupa minum obat cacing ya… Hehehe…”
“Oya”, teriak Jeje dari dalam
kamar, “Sekalian juga cuciin piring bekas gue makan tadi ya, thank before!”
“Apa?!” Panji balas berteriak,
namun kata-kata selanjutnya tidak lagi terdengar oleh Jeje karena alunan musik
yang semula pelan tiba-tiba menjadi sangat bergema dari dalam kamar Jeje.
Didalam kamar rupanya Jeje tidak
langsung tertidur. Pandangannya kembali menerawang. Lalu tak lama ia beranjak
ke meja belajarnya dan menulis sesuatu, Jeje tampak serius sekali menulisi
kertas di hadapannya. Lalu dibacanya berulang-ulang tulisannya itu dengan mata
yang berkaca-kaca sampai akhirnya ia tertidur di meja belajarnya. Isi tulisan
itu :
“Bandung, 15 September 2004
Untuk Dina, semoga suatu saat kau
membaca tulisan ini
Dina, aku tidak pernah tahu apakah
kau akan membaca tulisan ini atau tidak, karena aku memang tidak pernah
mempunyai nyali untuk mengirimkannya kepadamu. Entah aku kekanak-kanakan atau
tidak, namun yang jelas sebenarnya aku sangat malu padamu dan pada diriku
sendiri untuk menyampaikan semua ini padamu, menyampaikan semua hal yang telah
aku pendam sesaat setelah semuanya aku hancurkan sendiri, semua hal yang aku
tetap pendam karena keegoisanku.
Dina, maafkan jika aku kembali
mengorek luka lama di hatimu, namun kau harus tahu, saat itu, saat bibir ini
mengucapkan kata ‘putus’, bukan hatiku yang berbicara, melainkan keegoisan,
jiwa kekanak-kanakan, dan segala kekhilafanku. Bahkan sesaat setelah itu aku
begitu menyesali semua tindakanku, namun keegoisan begitu mendominasi jiwaku
saat itu, sedang aku tahu kau begitu sakit dan kecewa dengan semua itu, dan
kaupun harus tahu, kini aku sendiri begitu kecewa dengan diriku sendiri atas
semua yang telah aku lakukan padamu.
Dina, bertahun-tahun aku tersesak
memendam semua keegoisan ini. Bahkan aku terus membohongi diriku sendiri dengan
mencari cinta di lain hati. Terakhir, aku hampir tersesat dengan penamaan cinta
sejati pada satu hati yang lain. Dan malam ini aku tersadarkan pada semuanya.
Mustahil aku dapat temukan kembali cintaku yang hilang jika aku mencari pada
hati-hati yang lain, aku baru tersadar jika semua cinta itu telah aku berikan
padamu.
Dina, 7 tahun bukanlah waktu yang
sebentar. Dan selama itu aku gelisah! Hidupku seperti kehilangan arah tujuan.
Aku begitu kacau! Mungkin sudah teramat terlambat untuk ku raih kembali cinta
itu dari hatimu. Dan mungkin semua cinta itu bahkan sudah tidak ada lagi di
hatimu, mungkin sudah kau buang jauh, mungkin sudah kau hancurkan dan tercecer
begitu saja. Satu kekhwatiran yang sangat, aku takkan pernah dapat merangkai
kembali cinta yang telah hancur berkeping-keping itu, bahkan menjadi abu dan
debu! Namun bukankah cinta mampu merubah apa saja, termasuk segala
kekhawatiranku itu? Ya, dengan cinta, kekhawatiran itu bisa menjadi tidak
beralasan. Kesaktian cinta mampu mengabulkan segala permintaan, dan dengan
restumu tentunya aku akan bisa merangkai kembali semua kepingan, abu, dan debu
itu menjadi satu kesatuan yang utuh. Dan atas nama cinta, aku akan terus berjuang
mengembalikan segalanya meskipun harus kunikmati sendiri.
Dina, kau berhak untuk membalas
semuanya. Dengan tetap tertutupnya restumu, semua kekhawatiran dan mimpi
burukku akan menjadi nyata, dan aku akan terima semuanya selama itu memang
memuaskan dan membahagiakanmu. Namun aku yakin, peri kasih dalam dirimu akan
tetap bijaksana, dan apapun kebijaksanaan itu, sekali lagi, harus aku terima.
Dina, tak ada salahnya bukan jika
aku berharap masih bisa menikmati senyummu setiap saat? Senyuman seorang Dina
yang takkan usang dimakan masa. Terakhir, aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan
mau membukakan pintu hatimu untukku.
Bel
pulang sekolah telah berbunyi
nyaring. Dhillah berjalan terburu-buru, bahkan hampir berlari. Wajahnya
penuh
dengan amarah dan kekecewaan. “Dhillah! Dhillah! Tunggu…!” teriakan
Jeje seolah
tak didengarnya. Dhillah terus melaju tanpa menoleh. “Dhillah! Tunggu
dulu! Ada apa ini?!” tiba-tiba langkah Dhillah tertahan oleh sepasang
tangan yang memegang erat
pundaknya.
“Sudahlah! Tidak ada lagi yang
harus dijelaskan. Dan tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!” kata-kata itu
mengalir lancar dari lidah Dhillah sambil menatap Jeje penuh kebencian.
“Ta.. tapi… ada apa ini?!” Jeje
mengerutkan dahinya.
“Tolong jangan lagi mengganggu
aku! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Dan itu pilihan
kamu! Selamat tinggal!” seluncuran kata kembali terucap oleh Dhillah sebagai
jawaban atas pertanyaan Jeje. Lalu ia pergi dengan cepat meninggalkan Jeje yang
berdiri kaku penuh kebingungan.
“Dhillah..! Dhillah..!” kembali
Jeje memanggil Dhillah yang terus menjauh dan menjauh, namun Dhillah tetap
berlalu.
***
“Kring.. Kring..” dering telepon
berbunyi nyaring. Dhillah mengangkat telepon itu dengan penuh enggan.
“Haloo… Dhillah?” suara lirih
diujung telepon sana ketika telepon diangkat. Dhillah diam tak menjawab suara
itu. “Dhillah.. Please.. Kita harus bicara…”
“Tut... Tut… Tut…” tiba-tiba
telepon terputus. Jeje yang berada disudut telepon sana mencoba kembali
menghubungi telepon Dhillah, namun tak ada lagi yang mengangkatnya. Beberapa
kali dicobanya, hasilnya tetap nihil.
***
Bel istirahat berbunyi lantang,
membuat suasana sekolah menjadi ramai seketika. Jeje mencoba menghampiri dan
menyapa Dhillah. Namun seperti orang yang belum mengenal, Dhillah tidak
menanggapi sapaan Jeje. Ia begitu beku. Sementara Jeje hanya dapat berdiri
kaku. Sampai seluruh jam pelajaran hari itu habis dan seluruh sekolah telah
sepi, Jeje terus termenung disudut kelas, sementara Dhillah tetap beku dan tak
tahu tengah berada dimana.
***
“Haloo..” ucap Dhillah menganggkat
teleponnya.
“Dhillah, please.. Kita harus
bicara…”
“Tut... Tut... Tut…” Dhillah
langsung menutup teleponnya.
“Haloo..” ucap Dhillah kembali
mengangkat gagang teleponnya ketika teleponnya kembali berbunyi.
“Dhillah… Please, hentikan semua
ini… Aku…”, tiba-tiba telepon kembali terputus.
Telepon kembali berbunyi, Dhillah
kembali mengangkat teleponnya. Belum sempat terucap kata halo, suara diujung
telepon sana telah mendahului, “Dhillah, baiklah, aku minta maaf jika aku
bersalah, tapi…”, lagi-lagi telepon ditutup oleh Dhillah.
“Kring.. Kring.. Kring…”, suara
telepon menggema ke seluruh sudut rumah Dhillah, namun tak juga diangkatnya,
dan deringan-deringan selanjutnya tak lagi terdengar seiring dengan diputusnya
kabel telepon oleh Dhillah.
***
Tiga hari berlalu, Dhillah tetap
beku dan seolah tak mau lagi mengenal seseorang yang bernama Jeje. Ia terus
menghindar dari Jeje, bahkan walau Jeje telah berusaha mendekatinya sekalipun.
Jeje tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia terus termenung memikirkan Dhillah.
“Dhillah.. Ada apa sebenarnya ini?” lirih Jeje dalam hati sambil duduk sendiri
di satu sudut sekolahnya.
Lalu mata Jeje menatap tajam pada
sekumpulan bunga-bunga mekar dihalaman sekolah. Ia melirik ke segala arah, tak
ada penjaga kebun, tak ada guru… “Ahh, aman..” ucap Jeje sendiri, lalu memetik
sebuah bunga melati dan membawanya kebelakang sekolah. Dirobeknya secarik
kertas dari buku tulisnya, lalu ia menulisinya, dan menempelkanya pada tangkai
melati itu.
Diakhir jam sekolah, Jeje berlari
cepat mengejar Dhillah, lalu berdiri dihadapannya. Kedua tangan Jeje
menghalangi Dhillah yang mencoba untuk terus menghindar.
“Dhillah! Dhillah! Baik jika
memang itu yang kamu mau. Tapi aku mohon untuk yang terakhir kalinya, terimalah
bunga ini, maka aku berjanji takkan mengganggu hidupmu lagi!” ucap Jeje sambil
menatap tajam mata Dhillah. Dhillah membalas menatap Jeje dengan tak kalah
tajam, namun mulutnya tetap bungkam seolah bisu. Jeje kemudian menarik tangan
kanan Dhillah, digenggamkannya sepucuk melati itu ke tangan Dhillah, lalu Jeje
berlalu pergi meninggalkan Dhillah yang masih berdiri kaku di tempatnya setelah
dihadang Jeje sebelumnya.
Dhillah menatap tajam melati yang
tengah digenggamnya itu, lalu membuka secarik kertas yang menempel pada tangkai
bunga itu. Dalam kertas itu tertulis :
Dhillah, sepucuk melati ini
untukmu. Lihatlah melati ini. Melati ini penuh dengan noda dan bercak hitam
karena asap knalpot. Begitu juga dengan cinta. Jika ada cinta yang bersih tanpa
noda, itu bukan cinta, tapi kepalsuan. Cinta penuh dengan halang dan rintang,
yang jika kita mampu menghadapinya, itulah kesejatian cinta.
Jeje
Dhillah membaca tulisan itu,
kemudian menggenggam erat sepucuk melati yang memang tengah digenggamnya.
Sementara Jeje telah menghilang dari pandangan, pulang ke rumah dengan penuh
kekecewaan dan kehampaan.
Siang kota Bogor hari itu begitu
cerah. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya dengan sinar matahari yang
sekedar menerangi. Lalu lalang manusia di sepanjang trotoar tak kalah ramai
dengan mobil-mobil yang berhamburan di badan jalan aspal. Rupanya suasana yang
sedikit berbeda ini tak ingin dilewati begitu saja, dengan ceria mereka
menikmati hari. Orang-orang terlihat lebih bersemangat hari itu.
Begitu pula dengan seorang gadis
ayu di sebrang jalan sana. Dengan tas di pundak kirinya dan beberapa buku dalam
pangkuan tangannya, gadis itu berdiri tenang menanti mobil jemputannya untuk
menuju pulang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa rambutnya membuat ia tampil lebih
anggun. Wajah ayunya terus tertepa udara sejuk hari itu. Dan tetap bertahan
anggun hingga seluruh kawan-kawan sekampusnya pergi meninggalkannya seorang
diri.
Hari semakin sore, pelataran
kampus sudah mulai sepi. Orang-orang yang berlalu lalangpun mulai surut. Entah
untuk yang keberapa kali gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya sambil
sesekali memainkan ponselnya. Wajahnya mulai tampak gusar ketika matahari mulai
memerah. Lalu tampak tangannya mulai melambai pada kendaraan-kendaraan umum,
namun tak satu pun yang berhenti. Hampir setiap kendaraan yang melalui jalan
itu selalu penuh jika hari mulai menuju malam minggu. Ia tampak semakin kesal
saja.
Hari benar-benar telah senja.
Lampu-lampu di sepanjang sisi jalan telah menyala. Gadis itu tetap saja tak
mendapat tumpangan pulang. Sesaat ia menarik nafas lega ketika sebuah kendaraan
umum berhenti menyambut lambaian tangannya, namun tiba-tiba tersentak terkejut
mendengar sebuah klakson panjang dari sebuah sedan hitam di ujung jalan. Ia
hafal betul mobil itu. Dengan tersenyum ia berucap, “Maaf, Mang, tidak jadi,
mobil jemputan saya sudah datang.” Senyumannya dibalas kecut oleh supir
kendaraan umum tersebut, dan sambil membanting setirnya, mobil itu kembali
melaju di jalan raya.
Dalam hitungan detik, mobil yang
dinantinya sudah berada di hadapannya. Tapi, tak seperti biasa, mobil itu hanya
berhenti saja. Tak ada sopir yang keluar untuk membukakan pintu pada majikannya
itu. Dengan sedikit kesal, gadis itu membuka sendiri pintu depan mobil itu,
lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh sedikitpun pada sang sopir. Rupanya gadis
itu mulai kesal. Namun, tetap saja jiwanya yang ramah tetap terpancar dengan
terbungkamnya mulut sang gadis itu dari sebuah omelan pun. Bahkan ia tetap
memilih duduk di depan bersama sang supir, tanda ia sangat menghargai sopirnya
itu, tak seperti banyak orang yang enggan duduk bersama sopirnya.
Belum sempat ia menikmati
duduknya, tiba-tiba ia harus dikejutkan lagi oleh laju kendaraannya sang sangat
mendadak. Sesaat gadis itu berteriak terkejut, namun tersendak melihat wajah
orang yang memegang kendali mobilnya.
“Hei!
Siapa kamu?! Kemana mang
Udin?! Hei! Hentikan mobil ini! Hentikan!”, teriak gadis itu, namun tak
dipedulikan oleh pemuda yang mengemudikan mobil itu, malah kecepatan
mobil itu
semakin ditambah. “Hei, cukup! Hentikan! Hentikan mobil ini!
Hentikan!”, teriak
kembali gadis itu yang tetap tak dipedulikan oleh pemuda yang memegang
setir di
sampingnya. Mobil itu terus melaju pada kecepatan tinggi melintasi
jalan kota. Lalu tiba-tiba berhenti disebuah taman kota. Tanpa menoleh
pada gadis di sebelahnya,
ia menghentikan mobil itu begitu saja, lalu terdiam. Gadis itu dengan
dahi
mengkerut dan wajah yang geram tetapi takut itu pun turut terdiam.
Sambil
mencoba menarik napas lega, gadis itu bertanya setengah teriak, “Siapa
kamu?!
Apa maumu?! Kemana mang Udin?!”
Mendapat tubian pertanyaan yang
dengan teriakan itu, pemuda itu tetap tenang. Lalu sambil berkata tenang, ia
mulai menatap wajah gadis itu, “Sttt… Tak perlu berteriak, aku bisa mendengar
suaramu dengan jelas… Tenanglah…”
“Ta.. Tapi, siapa kamu?!”, tanya
gadis itu kembali.
“Aku adalah cinta…”, jawab lelaki
itu masih dengan tenang.
“Cinta?”, dahi gasis itu semakin
mengerut.
“Dhillah…”, lirih pemuda itu
menyebutkan sebuah nama.
Gadis itu terkejut setengah mati
mendengar sebuah nama itu. Wajahnya yang telah memerah sejak tadi semakin
memerah. Matanya yang semula menggambarkan amarah dan ketakutan kini berubah
menjadi berkaca-kaca. Dalam hidupnya hanya ada satu orang di dunia ini yang
memanggilanya dengan sebutan itu, Dhillah.
“Kha.. Khaje…?”, tanya lirih gadis
itu seakan tak percaya.
“Ya, ini aku, Dhillah…”, jawab
pemuda itu sembari mencoba memeluk tubuh gadis itu yang tak segera dibalas,
namun gadis itu diam saja tak percaya pada apa yang dialaminya saat itu.
“Dhillah…”, lirih pemuda itu lagi tepat di sisi telinga wanita itu.
“Kha.. Khaje…!”, gadis itu kini
membalas pelukan lelaki itu dengan pelukan yang sangat erat. Namun pelukan itu
tidak berlangsung lama, tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukannya, “Ti.. Tidak!
Tidak!”, teriaknya kembali sembari berusaha membuka pintu mobilnya sambil
berlari cepat menjauh.
“Dhillah! Dhillah! Tunggu!”, kini
lelaki itu turut berteriak memanggil Dhillah sambil berusaha menyusul lari
gadis itu.
Belum terlalu jauh dari area taman
kota itu, Khaje telah berhasil menggapai tubuh Dhillah.
“Dhillah! Dhillah! Jangan pergi…”
lirih Khaje sesaat setelah berhasil merengkuh tubuh Dhillah dan memeluknya
erat. Dhillah tidak berkata-kata untuk sesaat, yang terdengar hanyalah tangisan
derasnya. “Dhillah…”, lirih Khaje kembali.
“Ti.. Tidak mungkin! Tidak
mungkin!” teriak Dhillah dalam isakannya.
“Maafkan aku, Dhillah…”, lirih
Khaje menjawab teriakan Dhillah sambil melepas pelukannya dan menatap dalam
wajah Dhillah.
“Kemana saja kamu selama ini?!
Kamu pergi begitu saja! Tidak ada kabar, tidak ada surat! Bahkan… bahkan aku
mengira kamu sudah mati… Dan kini… begitu saja kamu datang kembali… Kamu pikir
semudah itu kamu dapat mempermainkan aku?!”, dalam tangisannya Dhillah terus
berkata-kata, “Cinta itu sudah hilang bersama kepergianmu! Sekarang aku… aku…
aku sudah tidak mencintaimu lagi! Sebaiknya kamu pergi saja sekarang! Pergi
dari hidupku dan tidak usah menggangguku lagi! Apa sebenarnya yang kau mau
dariku?! Aku mohon jangan ganggu hidupku…”
“Sttt… Dhillah… Sejak dulu kamu
tak pantas dan tak pernah pantas untuk marah… Kamu terlalu anggun dan baik
untuk itu… Kebencianmu hanya sesaat… Dan aku tahu, amarahmu akan segera reda…
Segera reda… Sesaat setelah kemarahanmu… Dan kamu akan kembali seperti
semula…”, lirih Khaje yang disertai dengan terdiamnya Dhillah. “Aku sayang
kamu… Aku cinta kamu, Dhilah.. Maafkan aku…”, ucap Khaje sembari memeluk tubuh
Dhillah. Tak seperti sebelumnya, kali ini Dhillah langsung membalas pelukan
Khaje, lebih erat dari sebelumnya.
“Aku juga cinta kamu…”, lirih
Dhillah.
Keajaiban
dari sesuatu yang ada
dalam diri sepasang anak manusia terpancar malam itu ditengah kota
Bogor. Sampai larut mereka membayar rindu yang tertunda selama
bertahun-tahun. Tak banyak
kata yang terucap dari mereka malam itu. Sejuk udara kota Bogor cukup
menjadi
pencerita tentang rindu sepasang hati.
* * *
“Khaje, maaf aku tak bisa
mengatakan ini semua langsung kepadamu… Bacalah surat ini..”, lirih Dhillah
dengan mata yang berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan Khaje.
“Dhillah! Dhillah!”, teriak Khaje
memanggil Dhillah. Dhillah terus melaju dan melaju. Tak menoleh sedikitpun.
Hingga hilang tertelan jarak. “Dhillah… Ada apa ini?”, galau Khaje dalam
berdirinya menatap jejak langkah Dhillah.
Dengan resah ia membuka surat itu dan membacanya…
Masa kanak-kanak itu kini sudah
tiada lagi. Kita telah sama-sama dewasa! 8 tahun rupanya bukanlah waktu yang
sebentar. Ia telah berhasil merubah segala yang kita lihat. Rumput-rumput itu
kini sudah menjadi aspal. Pagar bambu yang dulu mudah kita rusak kini sudah menjadi
tugu beton kokoh yang angkuh. Segalanya sudah berubah sekarang, dan semuanya
tak bisa kembali lagi, termasuk masa kanak-kanak kita dahulu. Angin sepoi-sepoi
yang dulu berhembus kini sudah menjadi badai. Dan jika cinta tak mampu
menghentikan badai itu, lebih baik kita yang berganti arah.
Dhillah
Seakan remuk hati Khaje membaca
itu semua. Seorang Dhillah tidak mungkin seperti ini, hal itu yang pertama
terbesit di hati Khaje. Dalam kesendiriannya ditengah rumput luas yang tanpa
Dhillah, Khaje berucap lirih, “Tuhan, jika memang benar masa kanak-kanak itu
tak bisa kembali… Paling tidak izinkanlah cinta itu kembali… Dan jika cinta tak
mampu menghentikan badai… Izinkan cinta itu turut mati bersama badai itu,
hingga aku takkan menemukan cinta itu lagi… Tapi, aku yakin, cinta mampu
menghadapi segalanya… Ya, walaupun harus mati didalamnya… Tuhan…”. Khaje lalu
meremas secarik kertas yang tadi dibacanya, lalu dengan senyum yang entah
menyiratkan apa ia melangkah menyusul langkah Dhillah yang entah telah sampai mana…
“Jey, itu dompet siapa, Jey?”,
tanya Opik setelah melihat sebuah dompet tebal tergeletak di pinggir jalan
sepulang dari kampus.
“Wah, kayaknya dompet yang jatuh
deh”, jawab Ajey cuek, berbarengan dengan diambilnya dompet itu oleh Opik.
“Wah, gila, Jey, isinya banyak
banget…”, ucap Opik takjub.
“Emangnya berapa?”, tanya Ajey.
“Mungkin dua jutaan lebih, Jey”,
jawab Opik.
“Gila, banyak banget”, ucap Ajey.
“Eh, Jey, ada fotonya” ucap Opik
sambil terus memeriksa isi dompet.
“Eh, gila, cantik banget. Wah,
Pik, kayaknya kita harus balikin dompet ini deh.”, ucap Ajey.
“Tapi, Jey…”
“Udah, uang bisa di cari, tapi
kenalan sama cewek secanti ini… kapan lagi?”
“Oke deh, Jey. Tapi kemana kita
harus balikin dompet ini?”, bingung Opik.
“Ya, loe lihatlah didalamnya, ada
KTP atau kartu namanya nggak?”
Tanpa menjawab, Opik langsung
memeriksa kembali dompet itu. Didalammnya tampak ada beberapa kartu ATM dan
kartu kredit, serta sebuah KTP dan kartu nama atas nama Santi.
“Yap, ada Jey. Nama cewek itu Santi.
Ini kartu namanya. Kapan kita mau balikin dompet ini?” ucap Opik.
“Wah, kalau sekarang udah
kesorean, gimana kalau besok saja?”, saran Ajey di jawab dengan anggukan Opik
tanda setuju.
* * *
Pada waktu yang disepakati, Ajey
dan Opikpun tampak tengah bersiap berangkat untuk mengembalikan dompet yang
ditemukannya kemarin ke alamat yang tertera di KTP yang ada didalam dompet itu.
Dengan sandal jepit, kaos oblong, dan celana jeans, mereka menaiki angkot
menuju alamat yang di maksud.
“Kayaknya ini deh Jey rumahnya”,
yakin Opik sambil menyesuaikan alamat yang ada dalam dompet pada nomor rumah
yang terpampang besar disebuah pintu pagar menjulang tinggi dan besar.
“Gila, ini rumah atau istana, gede
banget. Coba deh cek lagi alamatnya, udah benar atau belum?”, saran Ajey.
“Iya, benar yang ini rumahnya
Jey”, ucap Opik. Tiba-tiba seorang satpam menghampiri mereka dari dalam pagar
itu.
“Maaf, mas, dari tadi saya melihat
mas-mas ini didepan pagar, ada apa ya mas?” tegur satpam itu.
“Eh, begini pak, kami mau ketemu
sama Santi. Santinya ada tidak ya pak?”, celetuk Ajey spontan menjawab
pertanyaan satpam itu.
“Oh, non Santi. Memangnya mas-mas
ini siapa?” tanya stpam itu lagi.
“Kami temannya, pak”, jawab Ajey
lagi. Tampak kening satpam itu mengkerut tanda heran atau mungkin tidak
percaya. Matanya tampak menatap curiga melihat penampilan Ajey dan Opik.
“Lho, kenapa pak?” tanya Opik
merasa kesal diperlakukan seperti itu.
“Maaf, mas. Apa benar mas-mas ini
temannya non Santi?” tanya satpam itu lagi. Opikpun langsung mengeluarkan kartu
nama atas nama santi dan menunjukkannya pada satpam itu.
“Ini buktinya, pak.”, ucap Opik.
Sesaat setelah satpam itu
memeriksa kartu nama itu, kembali satpam itu bertanya, “Dapat dari mana mas
kartu nama non Santi ini?”
“Dengan kesal Ajey menjawab, “Ya
dari Santilah, memangnya dari siapa lagi? Sekarang, Santinya ada atau tidak
sih?!”
“Baiklah, tapi tunggu dulu disini
sebentar, saya hubungi non Santi dulu. Oya, nama mas-mas ini siapa ya?” tanya
satpam itu.
“Ajey dan Opik”, jawab Ajey.
“Baiklah, sebentar ya mas.” ucap
Satpam itu sambil kembali masuk ke balik pagar besi, lalu tampak satpam itu
menelepon dari dalam pos satpam didekat pagar.
“Halo, non, ada dua orang yang
mengaku temen non, mau bertemu sama non.” Ucap satpam itu.
“Siapa, pak?”, tanya dari ujung
telepon sana.
“Mereka mengaku bernama Ajey dan
Opik, Non.”, jawab satpam.
“Ajey? Opik? Siapa mereka?”, tanya
santi lagi.
“Tidak tahu, non. Semula saya
tidak percaya, tapi mereka punya kartu nama non. Katanya dapat dari non Santi.”
“Ya sudah, pak. Suruh saja mereka
masuk, saya tunggu didalam.”
“Baik, Non.” Patuh satpam itu
sambil menutup telpon dan kembali menghampiri Ajey dan Opik.
“Ya, silakan masuk mas, kata non
santi,non santinya menunggu didalam”.
“Terimakasih, pak”, ucap Ajey
sembari menegakkan badannya, dan bergegas masuk kedalam. Namun, tiba-tiba
satpam itu menghentikan langkah Ajey dan Opik.
“Maaf, mas. Bisa saya periksa
mas-mas dulu. Silakan menempel ke tembok”, ucap satpam itu.
Sesaat Ajey dan Opik saling
berpandangan tanda heran. Namun, karena enggan berkomentar, mereka menuruti
saja permintaan satpam itu. Badan mereka merapat ke tembok, kaki agak melebar,
tangan keatas, lalu satpam itu mulai memeriksa badan Ajey dan Opik, ya kayak di
film-film lah.
“Baik, mas, bersih. Maklum ya mas,
sekarang kan lagi banyak kasus bom, jadi harus hati-hati…”
“Oh, tidak apa-apa kok pak”, ucap
Opik.
Akhirnya Ajey dan Opikpun berhasil
melewati pagar besi tinggi besar itu. Sambil menunggu Santi keluar, mereka
duduk-duduk diteras depan.
“Gila, Jey… Gede banget rumahnya,
tamannya juga luas dan indah banget”, takjub Opik.
“Iya, gila, pasti Santi itu
anaknya orang kaya, kata gua juga apa? Nggak sia-sia kita mengembalikan dompet
ini.” Ucap Ajey.
“Iya, Jey. Sudah cantik, kaya
lagi. Siapa tahu jodoh kita ya…”
“Iya, Pik”
“Ehm..., maaf, anda berdua yang
kata satpam tadi mau bertemu saya?” ucap seorang wanita yang tiba-tiba keluar
dari pintu rumah dan memotong pembicaraan Ajey dan Opik.
“Eh, uh, iya mbak.”, jawab Opik.
“Anda-anda siapa ya?”
“Eh, kenalkan, nama saya Opik”,
ucap Opik sambil menjulurkan tangannya, disusul oleh Ajey.
“Ada perlu apa ya?”, tanya Santi
lagi.
“Ini, mbak, kami mau mengembalikan
dompet mbak yang kami temukan di jalan.”
“Dompet?”, ucap Santi sambil
mengernyitkan dahinya.
“Iya, dompet. Apa ini betul dompet
mbak?”, tanya Opik lagi sambil menjulurkan dompet itu ke arah Santi.
Setelah sesaat memeriksa dompet
itu, santipun berkata, “ya, ini memang dompet saya, kemarin dompet ini hilang.”
“Diperiksa dulu mbak isinya, takut
ada yang hilang”, ucap Ajey.
“Ah, tidak usah”, jawab santi
sambil mengeluarkan 4 lembar seratus ribuan dari dalam dompet itu dan
memberikannya pada Ajey dan Opik. “Ini uang untuk balas jasanya”
“Lho, apa maksudnya ini mbak?”,
heran Ajey.
“Iya mbak, tidak usah, kami ikhlas
kok”, tambah Opik.
“Sudahlah, terima saja uang ini,
saya tidak ingin merasa berhutang budi”
“Nggak kok mbak, nggak apa-apa,
kami benar-benar ikhlas kok”, ucap Opik lagi.
“Oh, atau kurang? Kalau begitu ini
saya tambah lagi”, u\cap Santi sambil mengluarkan beberapa lemnbar seratus
ribuan lagi.
“Lho, bukan itu maksud kami
mbak."
“Sudahlah, tidak usah jual mahal.
Kalau begitu silahkan mabil smeua uang di dalam dompet ini.” Ucap Santi lagi.
Ajey langsung tertegun mendengar
hal itu. “Maaf, mbak. Kami benar-benar tidak mengharapkan imbalan jasa dari
mbak, kami ikhlas, mbak.”
“Ah, mana mungkin dizaman sekarang
ini masih ada orang yang ikhlas, terlebih lagi dengan kasus seperti ini.”
“Oh, masih ada, mbak. Ya kami
inilah”, ucap Opik.
“Memangnya apa yang mas-mas ini
mau sih? Diberi uang tidak mau? Diberi semua juga tidak mau?”
“Kami tidak mau apa-apa mbak,
cukup bisa kenalan sama mbak saja kami sudah puas”, ungkap Opik.
“Oh, jadi mau kenalan sama saya.
Kalau begitu, rasanya lebnih baik dompet ini tidak kembali lagi ke saya,
daripada saya harus kenal sama orang-orang semacam situ. Silakan kalau dompet
ini mau di bawa lagi, lengkap dengan semua isinya.”
Wajah Ajey dan Opik langsung
memerah, merek jelas-jelas tersinggung dengan ungkapan kalimat seperti itu.
“Maaf, mbak. Mbak pikir semuanya
bisa mbak beli dengan uang. Mbka pikir semuanya bisa mbak ukur dengan harta.
Tidak, mbak! Tidak! Memang semula kami mengembalikan dompet ini agar dapat
berkenalan dengan mbak. Tapi kami belum tahu siapa sebenarnya mbak. Andai saja
kami sudah tahu sebelumnya siapa yang akan kami hadapi, tentu kami akan teramat
enggan untuk mengembalikan dompet ini. Terimaksih mbak. Saya lebih baik pergi
daripada harus mengenal orang semacam mbak!” Tegas Ajey sembari membalikkan
badannya dan bergegas pergi.
“Eh, jey, mau kemana loe?”, heran
Opik.
“Sudah, ayo kita pergi dari sini”,
ucap Jey sambil menarik tangan Opik.
“Eh, uh, tapi Jey…”
“Sudah…!”
Ajey terus bergegas sambil tetap
menaruk tangan opik. Sementara dengan santai santi kembali masuk ke dalam
rumahnya, sambil berucap “Orang aneh!”
Jam kuliahku begitu padat! Gerah
aku dengan semua ini. Praktikum, tugas, quiz, seakan tiada akhir… Ah, begitu
penat hidupku hari ini, dan selalu begitu.
Dengan 5 buku tebal didalam tas
punggungku, terasa langkah kaki ini semakin berat. Asap polusi seakan membuatku
ingin berteriak namun sesak. Ribuan pasang kaki yang melangkah disekelilingku
terasa berbeda dari biasanya. Aku sedikit mengeluh melihat langit yang mulai
mendung sore ini sambil mempercepat langkahku. Tas punggungku terasa semakin
berat dengan buku-buku itu didalamnya.
Sial! Akhirnya aku kalah juga
dengan waktu. Hujan turun. Orang-orang disekelilingku berlarian mencari tempat
berteduh, atau sedikit menghindar dari guyuran hujan sore ini.
Ditengah keramaian manusia,
tiba-tiba aku melihat sebuah wajah yang pernah sangat kukenal. Aku mengernyitkan
dahiku. Dhillah! Aku masih mengingat nama dari pemilik wajah itu. Langkah kaki
yang hendak berlari ini menjadi kaku. Dalam guyuran air hujan aku terpaku
menatap wajah itu, lalu tak lama wajah itupun lenyap dalam keramaian manusia
yang saling berlari menghindari deras air hujan.
Aku tetap terpaku seorang diri
ditengah hujan. Tak peduli seluruh pakaian, bahkan buku-buku dalam tasku
menjadi basah. Yang kurasakan hanyalah sakit, ya, sakit. Begitu tersayatnya
hati ini! Tubuhku seperti beku dalam terpaan hujan.
Betapa kecewanya aku sore ini.
Usaha yang sangat lama dan begitu sulit untuk melupakannya menjadi sia-sia. Ya,
hanya karena meihat wajah yang hanya selintas saja!
Dhillah, betapa teganya kau
menyakiti hati kembali! Lebih sakit dari sebelumnya! Lama aku berjuang hanya
untuk membuang ingatan dalam diriku akan dirimu… Tapi, dengan begitu mudahnya
engkau mengembalikan segalanya, menarik kembali semua ingatan yang telah lama
kubuang!
Dengan sulit aku melupakanmu,
bahkan hampir tak mampu! Dengan sangat sulit kurobek semuanya tentangmu,
kuhancurkan hingga berkeping-keping, lalu kubiang tanpa sisa ke deras air
sungai, hingga terus terbawa ke laut lepas dan terapung-apung diatasnya, hingga
tiada lagi seorangpun yang menemukannya.
Sial! Setelah bertahun-tahun,
rupanya matahari telah menguapkan air laut, dan kau terbawa bersama uap itu
hingga mengapung dan membeku diatas langit dalam wujud awan mendung… Dan, kini
awan mendung itu telah membasahi seluruh tubuhku, dan kau lagi-lagi hadir
dihadapanku…!
Sementara hujan telah reda, langit
kembali cerah, orang-orang kembali dengan tenang berlalu lalang, dan kau telah
lenyap ditelan keramaian, aku masih terpaku dengan pakaian yang basah dan
dengan semua ingatan yang kembali. Teganya kau! Aku benci kamu!
Sabtu,
16 April 05
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as