Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    aku benci kamu

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 59
    Lokasi : di belakangmu

    aku benci kamu Empty aku benci kamu

    Post by sumanto Sun Aug 08, 2010 8:33 pm

    Aku
    Benci Kamu



    oleh : Khajeya Lavista





    “…ima wa mada kanashii love song
    atarashii uta utaeru made…”, lantunan merdu lagu First Love-nya Utada Hikaru
    malam itu tiba-tiba bergema dari satu kamar di sebuah rumah kosan mungil. Jeje
    tengah berada di ruang tamu tampak mengahayati benar setiap bait dari lirik
    lagu tersebut. Secangkir kopi panas mengepul di atas meja, menemaninya duduk di
    sofa bututnya itu.



    “Cie…, kenapa loe? Lagi jatuh
    cinta atau lagi patah hati tiba-tiba nyetel lagu kayak ginian segala? Atau
    jangan-jangan loe lagi sakit?”, tiba-tiba Panji muncul dari balik pintu
    kamarnya, lalu duduk tak jauh dari tempat Jeje terduduk



    “Enak aja loe bilang gue lagi
    sakit!”, jawab Jeje singkat tidak begitu menanggapi pertanyaan Panji.



    “Yeee… Abis, nggak ada hujan nggak
    ada angin tiba-tiba loe jadi melo gini.” komentar panji lagi.



    “Eh, Ji, loe percaya nggak kalo
    cinta pertama itu nggak akan pernah mati?” Jeje justru membalas komentar Panji
    dengan satu pertanyaan. Wajah Jeje tampak serius.



    “Ya percaya nggak percaya sih…
    Tapi kalo iblis itu nggak akan pernah mati sampai kiamat, gue percaya.” jawab
    Panji enteng.



    “Gue nanya serius tahu!” gerutu
    Jeje mendengar jawaban Panji.



    “Yeee, gue juga serius tahu! Iblis
    itu nggak akan pernah mati sampai kiamat.”



    “Iya! Dan loe iblisnya!”, Jeje
    kesal dengan ketidakseriusan Panji.



    “Deuuhhh… Segitu sewotnya… Oke
    deh, oke. Kita serius. So, pertanyaan apa tadi yang mau loe ajukan?” ungkap
    Panji sambil meraih kopi Jeje lalu meminumnya.



    “Eh, kopi gue tuh!”


    “Bagi sedikit, jangan pelit kayak
    iblis gitu dong… Hehehe…”



    “Dasar cucu iblis!” lalu Jeje
    bangkit dari duduknya dan beranjak masuk kekamarnya.



    “Eh, mau kemana loe? Nggak jadi
    bertanyanya?” tanya Panji.



    “Mau tidur! Percuma gue nanya sama
    iblis, jawabannya pasti menyesatkan!” jawab Jeje enteng, lalu menutup pintu
    kamarnya.



    “Itu berarti kopi ini buat gue
    semuanya dong? Makasih, loe emang iblis paling baik yang pernah gue kenal…
    Hehehe…”



    “Terserah!”, tiba-tiba Jeje muncul
    dari balik pintu kamarnya, “Eh! Tapi jangan lupa cuci tuh gelas!” ucap Jeje
    singkat lalu kembali menutup pintu kamarnya.



    “Oke deh kakak, tapi loe juga
    jangan lupa minum obat cacing ya… Hehehe…”



    “Oya”, teriak Jeje dari dalam
    kamar, “Sekalian juga cuciin piring bekas gue makan tadi ya, thank before!”



    “Apa?!” Panji balas berteriak,
    namun kata-kata selanjutnya tidak lagi terdengar oleh Jeje karena alunan musik
    yang semula pelan tiba-tiba menjadi sangat bergema dari dalam kamar Jeje.



    Didalam kamar rupanya Jeje tidak
    langsung tertidur. Pandangannya kembali menerawang. Lalu tak lama ia beranjak
    ke meja belajarnya dan menulis sesuatu, Jeje tampak serius sekali menulisi
    kertas di hadapannya. Lalu dibacanya berulang-ulang tulisannya itu dengan mata
    yang berkaca-kaca sampai akhirnya ia tertidur di meja belajarnya. Isi tulisan
    itu :



    “Bandung, 15 September 2004


    Untuk Dina, semoga suatu saat kau
    membaca tulisan ini



    Dina, aku tidak pernah tahu apakah
    kau akan membaca tulisan ini atau tidak, karena aku memang tidak pernah
    mempunyai nyali untuk mengirimkannya kepadamu. Entah aku kekanak-kanakan atau
    tidak, namun yang jelas sebenarnya aku sangat malu padamu dan pada diriku
    sendiri untuk menyampaikan semua ini padamu, menyampaikan semua hal yang telah
    aku pendam sesaat setelah semuanya aku hancurkan sendiri, semua hal yang aku
    tetap pendam karena keegoisanku.



    Dina, maafkan jika aku kembali
    mengorek luka lama di hatimu, namun kau harus tahu, saat itu, saat bibir ini
    mengucapkan kata ‘putus’, bukan hatiku yang berbicara, melainkan keegoisan,
    jiwa kekanak-kanakan, dan segala kekhilafanku. Bahkan sesaat setelah itu aku
    begitu menyesali semua tindakanku, namun keegoisan begitu mendominasi jiwaku
    saat itu, sedang aku tahu kau begitu sakit dan kecewa dengan semua itu, dan
    kaupun harus tahu, kini aku sendiri begitu kecewa dengan diriku sendiri atas
    semua yang telah aku lakukan padamu.



    Dina, bertahun-tahun aku tersesak
    memendam semua keegoisan ini. Bahkan aku terus membohongi diriku sendiri dengan
    mencari cinta di lain hati. Terakhir, aku hampir tersesat dengan penamaan cinta
    sejati pada satu hati yang lain. Dan malam ini aku tersadarkan pada semuanya.
    Mustahil aku dapat temukan kembali cintaku yang hilang jika aku mencari pada
    hati-hati yang lain, aku baru tersadar jika semua cinta itu telah aku berikan
    padamu.



    Dina, 7 tahun bukanlah waktu yang
    sebentar. Dan selama itu aku gelisah! Hidupku seperti kehilangan arah tujuan.
    Aku begitu kacau! Mungkin sudah teramat terlambat untuk ku raih kembali cinta
    itu dari hatimu. Dan mungkin semua cinta itu bahkan sudah tidak ada lagi di
    hatimu, mungkin sudah kau buang jauh, mungkin sudah kau hancurkan dan tercecer
    begitu saja. Satu kekhwatiran yang sangat, aku takkan pernah dapat merangkai
    kembali cinta yang telah hancur berkeping-keping itu, bahkan menjadi abu dan
    debu! Namun bukankah cinta mampu merubah apa saja, termasuk segala
    kekhawatiranku itu? Ya, dengan cinta, kekhawatiran itu bisa menjadi tidak
    beralasan. Kesaktian cinta mampu mengabulkan segala permintaan, dan dengan
    restumu tentunya aku akan bisa merangkai kembali semua kepingan, abu, dan debu
    itu menjadi satu kesatuan yang utuh. Dan atas nama cinta, aku akan terus berjuang
    mengembalikan segalanya meskipun harus kunikmati sendiri.



    Dina, kau berhak untuk membalas
    semuanya. Dengan tetap tertutupnya restumu, semua kekhawatiran dan mimpi
    burukku akan menjadi nyata, dan aku akan terima semuanya selama itu memang
    memuaskan dan membahagiakanmu. Namun aku yakin, peri kasih dalam dirimu akan
    tetap bijaksana, dan apapun kebijaksanaan itu, sekali lagi, harus aku terima.



    Dina, tak ada salahnya bukan jika
    aku berharap masih bisa menikmati senyummu setiap saat? Senyuman seorang Dina
    yang takkan usang dimakan masa. Terakhir, aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan
    mau membukakan pintu hatimu untukku.



    Bel
    pulang sekolah telah berbunyi
    nyaring. Dhillah berjalan terburu-buru, bahkan hampir berlari. Wajahnya
    penuh
    dengan amarah dan kekecewaan. “Dhillah! Dhillah! Tunggu…!” teriakan
    Jeje seolah
    tak didengarnya. Dhillah terus melaju tanpa menoleh. “Dhillah! Tunggu
    dulu! Ada apa ini?!” tiba-tiba langkah Dhillah tertahan oleh sepasang
    tangan yang memegang erat
    pundaknya.



    “Sudahlah! Tidak ada lagi yang
    harus dijelaskan. Dan tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!” kata-kata itu
    mengalir lancar dari lidah Dhillah sambil menatap Jeje penuh kebencian.



    “Ta.. tapi… ada apa ini?!” Jeje
    mengerutkan dahinya.



    “Tolong jangan lagi mengganggu
    aku! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Dan itu pilihan
    kamu! Selamat tinggal!” seluncuran kata kembali terucap oleh Dhillah sebagai
    jawaban atas pertanyaan Jeje. Lalu ia pergi dengan cepat meninggalkan Jeje yang
    berdiri kaku penuh kebingungan.



    “Dhillah..! Dhillah..!” kembali
    Jeje memanggil Dhillah yang terus menjauh dan menjauh, namun Dhillah tetap
    berlalu.



    ***


    “Kring.. Kring..” dering telepon
    berbunyi nyaring. Dhillah mengangkat telepon itu dengan penuh enggan.



    “Haloo… Dhillah?” suara lirih
    diujung telepon sana ketika telepon diangkat. Dhillah diam tak menjawab suara
    itu. “Dhillah.. Please.. Kita harus bicara…”



    “Tut... Tut… Tut…” tiba-tiba
    telepon terputus. Jeje yang berada disudut telepon sana mencoba kembali
    menghubungi telepon Dhillah, namun tak ada lagi yang mengangkatnya. Beberapa
    kali dicobanya, hasilnya tetap nihil.



    ***


    Bel istirahat berbunyi lantang,
    membuat suasana sekolah menjadi ramai seketika. Jeje mencoba menghampiri dan
    menyapa Dhillah. Namun seperti orang yang belum mengenal, Dhillah tidak
    menanggapi sapaan Jeje. Ia begitu beku. Sementara Jeje hanya dapat berdiri
    kaku. Sampai seluruh jam pelajaran hari itu habis dan seluruh sekolah telah
    sepi, Jeje terus termenung disudut kelas, sementara Dhillah tetap beku dan tak
    tahu tengah berada dimana.



    ***


    “Haloo..” ucap Dhillah menganggkat
    teleponnya.



    “Dhillah, please.. Kita harus
    bicara…”



    “Tut... Tut... Tut…” Dhillah
    langsung menutup teleponnya.



    “Haloo..” ucap Dhillah kembali
    mengangkat gagang teleponnya ketika teleponnya kembali berbunyi.



    “Dhillah… Please, hentikan semua
    ini… Aku…”, tiba-tiba telepon kembali terputus.



    Telepon kembali berbunyi, Dhillah
    kembali mengangkat teleponnya. Belum sempat terucap kata halo, suara diujung
    telepon sana telah mendahului, “Dhillah, baiklah, aku minta maaf jika aku
    bersalah, tapi…”, lagi-lagi telepon ditutup oleh Dhillah.



    “Kring.. Kring.. Kring…”, suara
    telepon menggema ke seluruh sudut rumah Dhillah, namun tak juga diangkatnya,
    dan deringan-deringan selanjutnya tak lagi terdengar seiring dengan diputusnya
    kabel telepon oleh Dhillah.



    ***


    Tiga hari berlalu, Dhillah tetap
    beku dan seolah tak mau lagi mengenal seseorang yang bernama Jeje. Ia terus
    menghindar dari Jeje, bahkan walau Jeje telah berusaha mendekatinya sekalipun.
    Jeje tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia terus termenung memikirkan Dhillah.
    “Dhillah.. Ada apa sebenarnya ini?” lirih Jeje dalam hati sambil duduk sendiri
    di satu sudut sekolahnya.



    Lalu mata Jeje menatap tajam pada
    sekumpulan bunga-bunga mekar dihalaman sekolah. Ia melirik ke segala arah, tak
    ada penjaga kebun, tak ada guru… “Ahh, aman..” ucap Jeje sendiri, lalu memetik
    sebuah bunga melati dan membawanya kebelakang sekolah. Dirobeknya secarik
    kertas dari buku tulisnya, lalu ia menulisinya, dan menempelkanya pada tangkai
    melati itu.



    Diakhir jam sekolah, Jeje berlari
    cepat mengejar Dhillah, lalu berdiri dihadapannya. Kedua tangan Jeje
    menghalangi Dhillah yang mencoba untuk terus menghindar.



    “Dhillah! Dhillah! Baik jika
    memang itu yang kamu mau. Tapi aku mohon untuk yang terakhir kalinya, terimalah
    bunga ini, maka aku berjanji takkan mengganggu hidupmu lagi!” ucap Jeje sambil
    menatap tajam mata Dhillah. Dhillah membalas menatap Jeje dengan tak kalah
    tajam, namun mulutnya tetap bungkam seolah bisu. Jeje kemudian menarik tangan
    kanan Dhillah, digenggamkannya sepucuk melati itu ke tangan Dhillah, lalu Jeje
    berlalu pergi meninggalkan Dhillah yang masih berdiri kaku di tempatnya setelah
    dihadang Jeje sebelumnya.



    Dhillah menatap tajam melati yang
    tengah digenggamnya itu, lalu membuka secarik kertas yang menempel pada tangkai
    bunga itu. Dalam kertas itu tertulis :



    Dhillah, sepucuk melati ini
    untukmu. Lihatlah melati ini. Melati ini penuh dengan noda dan bercak hitam
    karena asap knalpot. Begitu juga dengan cinta. Jika ada cinta yang bersih tanpa
    noda, itu bukan cinta, tapi kepalsuan. Cinta penuh dengan halang dan rintang,
    yang jika kita mampu menghadapinya, itulah kesejatian cinta.



    Jeje


    Dhillah membaca tulisan itu,
    kemudian menggenggam erat sepucuk melati yang memang tengah digenggamnya.
    Sementara Jeje telah menghilang dari pandangan, pulang ke rumah dengan penuh
    kekecewaan dan kehampaan.



    Siang kota Bogor hari itu begitu
    cerah. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya dengan sinar matahari yang
    sekedar menerangi. Lalu lalang manusia di sepanjang trotoar tak kalah ramai
    dengan mobil-mobil yang berhamburan di badan jalan aspal. Rupanya suasana yang
    sedikit berbeda ini tak ingin dilewati begitu saja, dengan ceria mereka
    menikmati hari. Orang-orang terlihat lebih bersemangat hari itu.



    Begitu pula dengan seorang gadis
    ayu di sebrang jalan sana. Dengan tas di pundak kirinya dan beberapa buku dalam
    pangkuan tangannya, gadis itu berdiri tenang menanti mobil jemputannya untuk
    menuju pulang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa rambutnya membuat ia tampil lebih
    anggun. Wajah ayunya terus tertepa udara sejuk hari itu. Dan tetap bertahan
    anggun hingga seluruh kawan-kawan sekampusnya pergi meninggalkannya seorang
    diri.



    Hari semakin sore, pelataran
    kampus sudah mulai sepi. Orang-orang yang berlalu lalangpun mulai surut. Entah
    untuk yang keberapa kali gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya sambil
    sesekali memainkan ponselnya. Wajahnya mulai tampak gusar ketika matahari mulai
    memerah. Lalu tampak tangannya mulai melambai pada kendaraan-kendaraan umum,
    namun tak satu pun yang berhenti. Hampir setiap kendaraan yang melalui jalan
    itu selalu penuh jika hari mulai menuju malam minggu. Ia tampak semakin kesal
    saja.



    Hari benar-benar telah senja.
    Lampu-lampu di sepanjang sisi jalan telah menyala. Gadis itu tetap saja tak
    mendapat tumpangan pulang. Sesaat ia menarik nafas lega ketika sebuah kendaraan
    umum berhenti menyambut lambaian tangannya, namun tiba-tiba tersentak terkejut
    mendengar sebuah klakson panjang dari sebuah sedan hitam di ujung jalan. Ia
    hafal betul mobil itu. Dengan tersenyum ia berucap, “Maaf, Mang, tidak jadi,
    mobil jemputan saya sudah datang.” Senyumannya dibalas kecut oleh supir
    kendaraan umum tersebut, dan sambil membanting setirnya, mobil itu kembali
    melaju di jalan raya.



    Dalam hitungan detik, mobil yang
    dinantinya sudah berada di hadapannya. Tapi, tak seperti biasa, mobil itu hanya
    berhenti saja. Tak ada sopir yang keluar untuk membukakan pintu pada majikannya
    itu. Dengan sedikit kesal, gadis itu membuka sendiri pintu depan mobil itu,
    lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh sedikitpun pada sang sopir. Rupanya gadis
    itu mulai kesal. Namun, tetap saja jiwanya yang ramah tetap terpancar dengan
    terbungkamnya mulut sang gadis itu dari sebuah omelan pun. Bahkan ia tetap
    memilih duduk di depan bersama sang supir, tanda ia sangat menghargai sopirnya
    itu, tak seperti banyak orang yang enggan duduk bersama sopirnya.



    Belum sempat ia menikmati
    duduknya, tiba-tiba ia harus dikejutkan lagi oleh laju kendaraannya sang sangat
    mendadak. Sesaat gadis itu berteriak terkejut, namun tersendak melihat wajah
    orang yang memegang kendali mobilnya.



    “Hei!
    Siapa kamu?! Kemana mang
    Udin?! Hei! Hentikan mobil ini! Hentikan!”, teriak gadis itu, namun tak
    dipedulikan oleh pemuda yang mengemudikan mobil itu, malah kecepatan
    mobil itu
    semakin ditambah. “Hei, cukup! Hentikan! Hentikan mobil ini!
    Hentikan!”, teriak
    kembali gadis itu yang tetap tak dipedulikan oleh pemuda yang memegang
    setir di
    sampingnya. Mobil itu terus melaju pada kecepatan tinggi melintasi
    jalan kota. Lalu tiba-tiba berhenti disebuah taman kota. Tanpa menoleh
    pada gadis di sebelahnya,
    ia menghentikan mobil itu begitu saja, lalu terdiam. Gadis itu dengan
    dahi
    mengkerut dan wajah yang geram tetapi takut itu pun turut terdiam.
    Sambil
    mencoba menarik napas lega, gadis itu bertanya setengah teriak, “Siapa
    kamu?!
    Apa maumu?! Kemana mang Udin?!”



    Mendapat tubian pertanyaan yang
    dengan teriakan itu, pemuda itu tetap tenang. Lalu sambil berkata tenang, ia
    mulai menatap wajah gadis itu, “Sttt… Tak perlu berteriak, aku bisa mendengar
    suaramu dengan jelas… Tenanglah…”



    “Ta.. Tapi, siapa kamu?!”, tanya
    gadis itu kembali.



    “Aku adalah cinta…”, jawab lelaki
    itu masih dengan tenang.



    “Cinta?”, dahi gasis itu semakin
    mengerut.



    “Dhillah…”, lirih pemuda itu
    menyebutkan sebuah nama.



    Gadis itu terkejut setengah mati
    mendengar sebuah nama itu. Wajahnya yang telah memerah sejak tadi semakin
    memerah. Matanya yang semula menggambarkan amarah dan ketakutan kini berubah
    menjadi berkaca-kaca. Dalam hidupnya hanya ada satu orang di dunia ini yang
    memanggilanya dengan sebutan itu, Dhillah.



    “Kha.. Khaje…?”, tanya lirih gadis
    itu seakan tak percaya.



    “Ya, ini aku, Dhillah…”, jawab
    pemuda itu sembari mencoba memeluk tubuh gadis itu yang tak segera dibalas,
    namun gadis itu diam saja tak percaya pada apa yang dialaminya saat itu.
    “Dhillah…”, lirih pemuda itu lagi tepat di sisi telinga wanita itu.



    “Kha.. Khaje…!”, gadis itu kini
    membalas pelukan lelaki itu dengan pelukan yang sangat erat. Namun pelukan itu
    tidak berlangsung lama, tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukannya, “Ti.. Tidak!
    Tidak!”, teriaknya kembali sembari berusaha membuka pintu mobilnya sambil
    berlari cepat menjauh.



    “Dhillah! Dhillah! Tunggu!”, kini
    lelaki itu turut berteriak memanggil Dhillah sambil berusaha menyusul lari
    gadis itu.



    Belum terlalu jauh dari area taman
    kota itu, Khaje telah berhasil menggapai tubuh Dhillah.



    “Dhillah! Dhillah! Jangan pergi…”
    lirih Khaje sesaat setelah berhasil merengkuh tubuh Dhillah dan memeluknya
    erat. Dhillah tidak berkata-kata untuk sesaat, yang terdengar hanyalah tangisan
    derasnya. “Dhillah…”, lirih Khaje kembali.



    “Ti.. Tidak mungkin! Tidak
    mungkin!” teriak Dhillah dalam isakannya.



    “Maafkan aku, Dhillah…”, lirih
    Khaje menjawab teriakan Dhillah sambil melepas pelukannya dan menatap dalam
    wajah Dhillah.



    “Kemana saja kamu selama ini?!
    Kamu pergi begitu saja! Tidak ada kabar, tidak ada surat! Bahkan… bahkan aku
    mengira kamu sudah mati… Dan kini… begitu saja kamu datang kembali… Kamu pikir
    semudah itu kamu dapat mempermainkan aku?!”, dalam tangisannya Dhillah terus
    berkata-kata, “Cinta itu sudah hilang bersama kepergianmu! Sekarang aku… aku…
    aku sudah tidak mencintaimu lagi! Sebaiknya kamu pergi saja sekarang! Pergi
    dari hidupku dan tidak usah menggangguku lagi! Apa sebenarnya yang kau mau
    dariku?! Aku mohon jangan ganggu hidupku…”



    “Sttt… Dhillah… Sejak dulu kamu
    tak pantas dan tak pernah pantas untuk marah… Kamu terlalu anggun dan baik
    untuk itu… Kebencianmu hanya sesaat… Dan aku tahu, amarahmu akan segera reda…
    Segera reda… Sesaat setelah kemarahanmu… Dan kamu akan kembali seperti
    semula…”, lirih Khaje yang disertai dengan terdiamnya Dhillah. “Aku sayang
    kamu… Aku cinta kamu, Dhilah.. Maafkan aku…”, ucap Khaje sembari memeluk tubuh
    Dhillah. Tak seperti sebelumnya, kali ini Dhillah langsung membalas pelukan
    Khaje, lebih erat dari sebelumnya.



    “Aku juga cinta kamu…”, lirih
    Dhillah.



    Keajaiban
    dari sesuatu yang ada
    dalam diri sepasang anak manusia terpancar malam itu ditengah kota
    Bogor. Sampai larut mereka membayar rindu yang tertunda selama
    bertahun-tahun. Tak banyak
    kata yang terucap dari mereka malam itu. Sejuk udara kota Bogor cukup
    menjadi
    pencerita tentang rindu sepasang hati.



    * * *


    “Khaje, maaf aku tak bisa
    mengatakan ini semua langsung kepadamu… Bacalah surat ini..”, lirih Dhillah
    dengan mata yang berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan Khaje.



    “Dhillah! Dhillah!”, teriak Khaje
    memanggil Dhillah. Dhillah terus melaju dan melaju. Tak menoleh sedikitpun.
    Hingga hilang tertelan jarak. “Dhillah… Ada apa ini?”, galau Khaje dalam
    berdirinya menatap jejak langkah Dhillah.



    Dengan resah ia membuka surat itu dan membacanya…


    Masa kanak-kanak itu kini sudah
    tiada lagi. Kita telah sama-sama dewasa! 8 tahun rupanya bukanlah waktu yang
    sebentar. Ia telah berhasil merubah segala yang kita lihat. Rumput-rumput itu
    kini sudah menjadi aspal. Pagar bambu yang dulu mudah kita rusak kini sudah menjadi
    tugu beton kokoh yang angkuh. Segalanya sudah berubah sekarang, dan semuanya
    tak bisa kembali lagi, termasuk masa kanak-kanak kita dahulu. Angin sepoi-sepoi
    yang dulu berhembus kini sudah menjadi badai. Dan jika cinta tak mampu
    menghentikan badai itu, lebih baik kita yang berganti arah.



    Dhillah


    Seakan remuk hati Khaje membaca
    itu semua. Seorang Dhillah tidak mungkin seperti ini, hal itu yang pertama
    terbesit di hati Khaje. Dalam kesendiriannya ditengah rumput luas yang tanpa
    Dhillah, Khaje berucap lirih, “Tuhan, jika memang benar masa kanak-kanak itu
    tak bisa kembali… Paling tidak izinkanlah cinta itu kembali… Dan jika cinta tak
    mampu menghentikan badai… Izinkan cinta itu turut mati bersama badai itu,
    hingga aku takkan menemukan cinta itu lagi… Tapi, aku yakin, cinta mampu
    menghadapi segalanya… Ya, walaupun harus mati didalamnya… Tuhan…”. Khaje lalu
    meremas secarik kertas yang tadi dibacanya, lalu dengan senyum yang entah
    menyiratkan apa ia melangkah menyusul langkah Dhillah yang entah telah sampai mana…



    “Jey, itu dompet siapa, Jey?”,
    tanya Opik setelah melihat sebuah dompet tebal tergeletak di pinggir jalan
    sepulang dari kampus.



    “Wah, kayaknya dompet yang jatuh
    deh”, jawab Ajey cuek, berbarengan dengan diambilnya dompet itu oleh Opik.



    “Wah, gila, Jey, isinya banyak
    banget…”, ucap Opik takjub.



    “Emangnya berapa?”, tanya Ajey.


    “Mungkin dua jutaan lebih, Jey”,
    jawab Opik.



    “Gila, banyak banget”, ucap Ajey.


    “Eh, Jey, ada fotonya” ucap Opik
    sambil terus memeriksa isi dompet.



    “Eh, gila, cantik banget. Wah,
    Pik, kayaknya kita harus balikin dompet ini deh.”, ucap Ajey.



    “Tapi, Jey…”


    “Udah, uang bisa di cari, tapi
    kenalan sama cewek secanti ini… kapan lagi?”



    “Oke deh, Jey. Tapi kemana kita
    harus balikin dompet ini?”, bingung Opik.



    “Ya, loe lihatlah didalamnya, ada
    KTP atau kartu namanya nggak?”



    Tanpa menjawab, Opik langsung
    memeriksa kembali dompet itu. Didalammnya tampak ada beberapa kartu ATM dan
    kartu kredit, serta sebuah KTP dan kartu nama atas nama Santi.



    “Yap, ada Jey. Nama cewek itu Santi.
    Ini kartu namanya. Kapan kita mau balikin dompet ini?” ucap Opik.



    “Wah, kalau sekarang udah
    kesorean, gimana kalau besok saja?”, saran Ajey di jawab dengan anggukan Opik
    tanda setuju.



    * * *


    Pada waktu yang disepakati, Ajey
    dan Opikpun tampak tengah bersiap berangkat untuk mengembalikan dompet yang
    ditemukannya kemarin ke alamat yang tertera di KTP yang ada didalam dompet itu.
    Dengan sandal jepit, kaos oblong, dan celana jeans, mereka menaiki angkot
    menuju alamat yang di maksud.



    “Kayaknya ini deh Jey rumahnya”,
    yakin Opik sambil menyesuaikan alamat yang ada dalam dompet pada nomor rumah
    yang terpampang besar disebuah pintu pagar menjulang tinggi dan besar.



    “Gila, ini rumah atau istana, gede
    banget. Coba deh cek lagi alamatnya, udah benar atau belum?”, saran Ajey.



    “Iya, benar yang ini rumahnya
    Jey”, ucap Opik. Tiba-tiba seorang satpam menghampiri mereka dari dalam pagar
    itu.



    “Maaf, mas, dari tadi saya melihat
    mas-mas ini didepan pagar, ada apa ya mas?” tegur satpam itu.



    “Eh, begini pak, kami mau ketemu
    sama Santi. Santinya ada tidak ya pak?”, celetuk Ajey spontan menjawab
    pertanyaan satpam itu.



    “Oh, non Santi. Memangnya mas-mas
    ini siapa?” tanya stpam itu lagi.



    “Kami temannya, pak”, jawab Ajey
    lagi. Tampak kening satpam itu mengkerut tanda heran atau mungkin tidak
    percaya. Matanya tampak menatap curiga melihat penampilan Ajey dan Opik.



    “Lho, kenapa pak?” tanya Opik
    merasa kesal diperlakukan seperti itu.



    “Maaf, mas. Apa benar mas-mas ini
    temannya non Santi?” tanya satpam itu lagi. Opikpun langsung mengeluarkan kartu
    nama atas nama santi dan menunjukkannya pada satpam itu.



    “Ini buktinya, pak.”, ucap Opik.


    Sesaat setelah satpam itu
    memeriksa kartu nama itu, kembali satpam itu bertanya, “Dapat dari mana mas
    kartu nama non Santi ini?”



    “Dengan kesal Ajey menjawab, “Ya
    dari Santilah, memangnya dari siapa lagi? Sekarang, Santinya ada atau tidak
    sih?!”



    “Baiklah, tapi tunggu dulu disini
    sebentar, saya hubungi non Santi dulu. Oya, nama mas-mas ini siapa ya?” tanya
    satpam itu.



    “Ajey dan Opik”, jawab Ajey.


    “Baiklah, sebentar ya mas.” ucap
    Satpam itu sambil kembali masuk ke balik pagar besi, lalu tampak satpam itu
    menelepon dari dalam pos satpam didekat pagar.



    “Halo, non, ada dua orang yang
    mengaku temen non, mau bertemu sama non.” Ucap satpam itu.



    “Siapa, pak?”, tanya dari ujung
    telepon sana.



    “Mereka mengaku bernama Ajey dan
    Opik, Non.”, jawab satpam.



    “Ajey? Opik? Siapa mereka?”, tanya
    santi lagi.



    “Tidak tahu, non. Semula saya
    tidak percaya, tapi mereka punya kartu nama non. Katanya dapat dari non Santi.”



    “Ya sudah, pak. Suruh saja mereka
    masuk, saya tunggu didalam.”



    “Baik, Non.” Patuh satpam itu
    sambil menutup telpon dan kembali menghampiri Ajey dan Opik.



    “Ya, silakan masuk mas, kata non
    santi,non santinya menunggu didalam”.



    “Terimakasih, pak”, ucap Ajey
    sembari menegakkan badannya, dan bergegas masuk kedalam. Namun, tiba-tiba
    satpam itu menghentikan langkah Ajey dan Opik.



    “Maaf, mas. Bisa saya periksa
    mas-mas dulu. Silakan menempel ke tembok”, ucap satpam itu.



    Sesaat Ajey dan Opik saling
    berpandangan tanda heran. Namun, karena enggan berkomentar, mereka menuruti
    saja permintaan satpam itu. Badan mereka merapat ke tembok, kaki agak melebar,
    tangan keatas, lalu satpam itu mulai memeriksa badan Ajey dan Opik, ya kayak di
    film-film lah.



    “Baik, mas, bersih. Maklum ya mas,
    sekarang kan lagi banyak kasus bom, jadi harus hati-hati…”



    “Oh, tidak apa-apa kok pak”, ucap
    Opik.



    Akhirnya Ajey dan Opikpun berhasil
    melewati pagar besi tinggi besar itu. Sambil menunggu Santi keluar, mereka
    duduk-duduk diteras depan.



    “Gila, Jey… Gede banget rumahnya,
    tamannya juga luas dan indah banget”, takjub Opik.



    “Iya, gila, pasti Santi itu
    anaknya orang kaya, kata gua juga apa? Nggak sia-sia kita mengembalikan dompet
    ini.” Ucap Ajey.



    “Iya, Jey. Sudah cantik, kaya
    lagi. Siapa tahu jodoh kita ya…”



    “Iya, Pik”


    “Ehm..., maaf, anda berdua yang
    kata satpam tadi mau bertemu saya?” ucap seorang wanita yang tiba-tiba keluar
    dari pintu rumah dan memotong pembicaraan Ajey dan Opik.



    “Eh, uh, iya mbak.”, jawab Opik.


    “Anda-anda siapa ya?”


    “Eh, kenalkan, nama saya Opik”,
    ucap Opik sambil menjulurkan tangannya, disusul oleh Ajey.



    “Ada perlu apa ya?”, tanya Santi
    lagi.



    “Ini, mbak, kami mau mengembalikan
    dompet mbak yang kami temukan di jalan.”



    “Dompet?”, ucap Santi sambil
    mengernyitkan dahinya.



    “Iya, dompet. Apa ini betul dompet
    mbak?”, tanya Opik lagi sambil menjulurkan dompet itu ke arah Santi.



    Setelah sesaat memeriksa dompet
    itu, santipun berkata, “ya, ini memang dompet saya, kemarin dompet ini hilang.”



    “Diperiksa dulu mbak isinya, takut
    ada yang hilang”, ucap Ajey.



    “Ah, tidak usah”, jawab santi
    sambil mengeluarkan 4 lembar seratus ribuan dari dalam dompet itu dan
    memberikannya pada Ajey dan Opik. “Ini uang untuk balas jasanya”



    “Lho, apa maksudnya ini mbak?”,
    heran Ajey.



    “Iya mbak, tidak usah, kami ikhlas
    kok”, tambah Opik.



    “Sudahlah, terima saja uang ini,
    saya tidak ingin merasa berhutang budi”



    “Nggak kok mbak, nggak apa-apa,
    kami benar-benar ikhlas kok”, ucap Opik lagi.



    “Oh, atau kurang? Kalau begitu ini
    saya tambah lagi”, u\cap Santi sambil mengluarkan beberapa lemnbar seratus
    ribuan lagi.



    “Lho, bukan itu maksud kami
    mbak."



    “Sudahlah, tidak usah jual mahal.
    Kalau begitu silahkan mabil smeua uang di dalam dompet ini.” Ucap Santi lagi.



    Ajey langsung tertegun mendengar
    hal itu. “Maaf, mbak. Kami benar-benar tidak mengharapkan imbalan jasa dari
    mbak, kami ikhlas, mbak.”



    “Ah, mana mungkin dizaman sekarang
    ini masih ada orang yang ikhlas, terlebih lagi dengan kasus seperti ini.”



    “Oh, masih ada, mbak. Ya kami
    inilah”, ucap Opik.



    “Memangnya apa yang mas-mas ini
    mau sih? Diberi uang tidak mau? Diberi semua juga tidak mau?”



    “Kami tidak mau apa-apa mbak,
    cukup bisa kenalan sama mbak saja kami sudah puas”, ungkap Opik.



    “Oh, jadi mau kenalan sama saya.
    Kalau begitu, rasanya lebnih baik dompet ini tidak kembali lagi ke saya,
    daripada saya harus kenal sama orang-orang semacam situ. Silakan kalau dompet
    ini mau di bawa lagi, lengkap dengan semua isinya.”



    Wajah Ajey dan Opik langsung
    memerah, merek jelas-jelas tersinggung dengan ungkapan kalimat seperti itu.



    “Maaf, mbak. Mbak pikir semuanya
    bisa mbak beli dengan uang. Mbka pikir semuanya bisa mbak ukur dengan harta.
    Tidak, mbak! Tidak! Memang semula kami mengembalikan dompet ini agar dapat
    berkenalan dengan mbak. Tapi kami belum tahu siapa sebenarnya mbak. Andai saja
    kami sudah tahu sebelumnya siapa yang akan kami hadapi, tentu kami akan teramat
    enggan untuk mengembalikan dompet ini. Terimaksih mbak. Saya lebih baik pergi
    daripada harus mengenal orang semacam mbak!” Tegas Ajey sembari membalikkan
    badannya dan bergegas pergi.



    “Eh, jey, mau kemana loe?”, heran
    Opik.



    “Sudah, ayo kita pergi dari sini”,
    ucap Jey sambil menarik tangan Opik.



    “Eh, uh, tapi Jey…”


    “Sudah…!”


    Ajey terus bergegas sambil tetap
    menaruk tangan opik. Sementara dengan santai santi kembali masuk ke dalam
    rumahnya, sambil berucap “Orang aneh!”



    Jam kuliahku begitu padat! Gerah
    aku dengan semua ini. Praktikum, tugas, quiz, seakan tiada akhir… Ah, begitu
    penat hidupku hari ini, dan selalu begitu.



    Dengan 5 buku tebal didalam tas
    punggungku, terasa langkah kaki ini semakin berat. Asap polusi seakan membuatku
    ingin berteriak namun sesak. Ribuan pasang kaki yang melangkah disekelilingku
    terasa berbeda dari biasanya. Aku sedikit mengeluh melihat langit yang mulai
    mendung sore ini sambil mempercepat langkahku. Tas punggungku terasa semakin
    berat dengan buku-buku itu didalamnya.



    Sial! Akhirnya aku kalah juga
    dengan waktu. Hujan turun. Orang-orang disekelilingku berlarian mencari tempat
    berteduh, atau sedikit menghindar dari guyuran hujan sore ini.



    Ditengah keramaian manusia,
    tiba-tiba aku melihat sebuah wajah yang pernah sangat kukenal. Aku mengernyitkan
    dahiku. Dhillah! Aku masih mengingat nama dari pemilik wajah itu. Langkah kaki
    yang hendak berlari ini menjadi kaku. Dalam guyuran air hujan aku terpaku
    menatap wajah itu, lalu tak lama wajah itupun lenyap dalam keramaian manusia
    yang saling berlari menghindari deras air hujan.



    Aku tetap terpaku seorang diri
    ditengah hujan. Tak peduli seluruh pakaian, bahkan buku-buku dalam tasku
    menjadi basah. Yang kurasakan hanyalah sakit, ya, sakit. Begitu tersayatnya
    hati ini! Tubuhku seperti beku dalam terpaan hujan.



    Betapa kecewanya aku sore ini.
    Usaha yang sangat lama dan begitu sulit untuk melupakannya menjadi sia-sia. Ya,
    hanya karena meihat wajah yang hanya selintas saja!



    Dhillah, betapa teganya kau
    menyakiti hati kembali! Lebih sakit dari sebelumnya! Lama aku berjuang hanya
    untuk membuang ingatan dalam diriku akan dirimu… Tapi, dengan begitu mudahnya
    engkau mengembalikan segalanya, menarik kembali semua ingatan yang telah lama
    kubuang!



    Dengan sulit aku melupakanmu,
    bahkan hampir tak mampu! Dengan sangat sulit kurobek semuanya tentangmu,
    kuhancurkan hingga berkeping-keping, lalu kubiang tanpa sisa ke deras air
    sungai, hingga terus terbawa ke laut lepas dan terapung-apung diatasnya, hingga
    tiada lagi seorangpun yang menemukannya.



    Sial! Setelah bertahun-tahun,
    rupanya matahari telah menguapkan air laut, dan kau terbawa bersama uap itu
    hingga mengapung dan membeku diatas langit dalam wujud awan mendung… Dan, kini
    awan mendung itu telah membasahi seluruh tubuhku, dan kau lagi-lagi hadir
    dihadapanku…!



    Sementara hujan telah reda, langit
    kembali cerah, orang-orang kembali dengan tenang berlalu lalang, dan kau telah
    lenyap ditelan keramaian, aku masih terpaku dengan pakaian yang basah dan
    dengan semua ingatan yang kembali. Teganya kau! Aku benci kamu!






    Sabtu,
    16 April 05

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 2:29 pm