Sekedar Pengantar[1]
M. Salim Nabhani2
Berbicara
tentang etika atau etik, pikiran pertama kita akan melangkah ke dalam sesuatu
yang mutlak dan absolut. Dimana dalam setiap pemberlakuannya terlebih dahulu
memerlukan kajian yang membutuhkan kurun waktu lama dalam pembelajarannya. Ini
diatur itu diatur.
Seperti
halnya pertemuan kita kali ini dalam diklat jurnalistik Lembaga Pers Mahasiswa
F-MIPA Pikiran-peikiran kita tentunya, apa saja sih yang harus ditaati
dalam jurnalistik itu? Prinsip apa saja yang harus dikedepankan dalam
jurnalistik itu?
Sedikit berbeda
dengan etika dan norma-norma dalam tataran filosofis. Etika jurnalistik sendiri
mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Sebab, secara umum,
jurnalistik itu sendiri merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa sejarah yang
terentang dari waktu ke waktu. Hingga sekarang kita mengenal apa yang disebut
dengan jurnalistik itu sendiri. Semisal, etika makan harus duduk tidak boleh
makan sambil berdiri, menurut orang Jawa (juga sebagian orang Indonesia yang
lainnya) merupakan sesuatu pamali, tabu dan tidak boleh dilakukan. Namun
selaras dengan perkembangan jaman, saat ini kita mengenal dan kadang diantara
dari kita juga melakukannya, kita makan sambil berdiri. Lihat saja bagaimana
ketika sebuah pesta cokctail diselenggarakan dan hidangan prasmanan disajikan.
Hampir seluruh hadirin makan dan minum sambil berdiri. Lalu apakah saat itu
menjadi hal yang tabu, pamali dan tidak boleh dilakukan?
Menjadi seorang
Jurnalis sebegitu juga ruwetnya. Kadang dia menjadi hero dengan
membongkar konspirasi, menguak kebusukan dan berbagai informasi lainnya yang
sangat penting bagi masyarakat. Sedangkan di sisi lain, kadang jurnalis
dianggap sebagai preman, sebab dengan kekuasaan yang dipunyainya, mampu
menjadikan orang baik-baik terdengar buruk dan begitu juga sebaliknya. Belum
lagi dengan ulah beberapa oknum yang meminta uang saku kepada narasumber yang
diwawancarainya. Seperti tuduhan salah seorang pengawal Tommy Winata ketika
menyerang kantor Tempo “Wartawan itu tahi, nulis ini-itu tapi
ujung-ujungya duit,” semprotnya kepada salah seorang wartawan Tempo.
Nah....,
sebenarnya bagaimana sih menjadi jurnalis yang baik? Agar kita tak kena
semprot seperti yang dialami oleh wartawan Tempo tersebut. Pun apabila ada
semprotan dari pihak lain. Hal itu bukanlah semata kesalahan kita, tapi memang
kesalahan dari si Penyemprot.
Jika kita melihat
lebih jauh lagi. Tak hanya sekedar semprotan yang diterima Jurnalis, namun juga
beberapa hal yang malah menjerumuskan Jurnalis itu sendiri. Ambil misal saja
pembreidelan dan penutupan media tempat Si Jurnalis tersebut bekerja. Seperti
halnya Ketawang Gede, majalah mahasiswa Universitas Brawijaya yang dibreidel
tahun 1994 karena dianggap telah memicu konflik SARA lewat tampilan cover
belakangnya.
Dari beberapa
yang sudah dicatat, para Jurnalis sendiri membatasi ruang lingkupnya dengan
aturan yang bersifat fungsional. Hal itu termaktub dalam kode etik, di mana
kode etik tersebut tergantung dari organisasi mana dan ideologi apa yang
menjadi landasan dari pergerakan dari organisasi tersebut yang membuat kode
etik.
Namun dari
kesekian hal tersebut, muara kita akan kembali lagi kepada kebenaran fungsional
mana yang menjadi landasan dari kode etik tersebut. Untuk memperjelas itu, kita
akan lebih masuk lagi dengan berdiskusi.
1. Disampaikan dalam
Diklat Lembaga Pers Mahasiswa F-MIPA 1 Juni 2003
2. Mahasiswa biasa saja
yang kebetulan aktif di Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa Universitas
Brawijaya (UAPKM-UB) sebagai koordinator departemen Kavling
10 UAPKM-UB dan reporter Mimbar Mahasiswa
M. Salim Nabhani2
Berbicara
tentang etika atau etik, pikiran pertama kita akan melangkah ke dalam sesuatu
yang mutlak dan absolut. Dimana dalam setiap pemberlakuannya terlebih dahulu
memerlukan kajian yang membutuhkan kurun waktu lama dalam pembelajarannya. Ini
diatur itu diatur.
Seperti
halnya pertemuan kita kali ini dalam diklat jurnalistik Lembaga Pers Mahasiswa
F-MIPA Pikiran-peikiran kita tentunya, apa saja sih yang harus ditaati
dalam jurnalistik itu? Prinsip apa saja yang harus dikedepankan dalam
jurnalistik itu?
Sedikit berbeda
dengan etika dan norma-norma dalam tataran filosofis. Etika jurnalistik sendiri
mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Sebab, secara umum,
jurnalistik itu sendiri merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa sejarah yang
terentang dari waktu ke waktu. Hingga sekarang kita mengenal apa yang disebut
dengan jurnalistik itu sendiri. Semisal, etika makan harus duduk tidak boleh
makan sambil berdiri, menurut orang Jawa (juga sebagian orang Indonesia yang
lainnya) merupakan sesuatu pamali, tabu dan tidak boleh dilakukan. Namun
selaras dengan perkembangan jaman, saat ini kita mengenal dan kadang diantara
dari kita juga melakukannya, kita makan sambil berdiri. Lihat saja bagaimana
ketika sebuah pesta cokctail diselenggarakan dan hidangan prasmanan disajikan.
Hampir seluruh hadirin makan dan minum sambil berdiri. Lalu apakah saat itu
menjadi hal yang tabu, pamali dan tidak boleh dilakukan?
Menjadi seorang
Jurnalis sebegitu juga ruwetnya. Kadang dia menjadi hero dengan
membongkar konspirasi, menguak kebusukan dan berbagai informasi lainnya yang
sangat penting bagi masyarakat. Sedangkan di sisi lain, kadang jurnalis
dianggap sebagai preman, sebab dengan kekuasaan yang dipunyainya, mampu
menjadikan orang baik-baik terdengar buruk dan begitu juga sebaliknya. Belum
lagi dengan ulah beberapa oknum yang meminta uang saku kepada narasumber yang
diwawancarainya. Seperti tuduhan salah seorang pengawal Tommy Winata ketika
menyerang kantor Tempo “Wartawan itu tahi, nulis ini-itu tapi
ujung-ujungya duit,” semprotnya kepada salah seorang wartawan Tempo.
Nah....,
sebenarnya bagaimana sih menjadi jurnalis yang baik? Agar kita tak kena
semprot seperti yang dialami oleh wartawan Tempo tersebut. Pun apabila ada
semprotan dari pihak lain. Hal itu bukanlah semata kesalahan kita, tapi memang
kesalahan dari si Penyemprot.
Jika kita melihat
lebih jauh lagi. Tak hanya sekedar semprotan yang diterima Jurnalis, namun juga
beberapa hal yang malah menjerumuskan Jurnalis itu sendiri. Ambil misal saja
pembreidelan dan penutupan media tempat Si Jurnalis tersebut bekerja. Seperti
halnya Ketawang Gede, majalah mahasiswa Universitas Brawijaya yang dibreidel
tahun 1994 karena dianggap telah memicu konflik SARA lewat tampilan cover
belakangnya.
Dari beberapa
yang sudah dicatat, para Jurnalis sendiri membatasi ruang lingkupnya dengan
aturan yang bersifat fungsional. Hal itu termaktub dalam kode etik, di mana
kode etik tersebut tergantung dari organisasi mana dan ideologi apa yang
menjadi landasan dari pergerakan dari organisasi tersebut yang membuat kode
etik.
Namun dari
kesekian hal tersebut, muara kita akan kembali lagi kepada kebenaran fungsional
mana yang menjadi landasan dari kode etik tersebut. Untuk memperjelas itu, kita
akan lebih masuk lagi dengan berdiskusi.
1. Disampaikan dalam
Diklat Lembaga Pers Mahasiswa F-MIPA 1 Juni 2003
2. Mahasiswa biasa saja
yang kebetulan aktif di Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa Universitas
Brawijaya (UAPKM-UB) sebagai koordinator departemen Kavling
10 UAPKM-UB dan reporter Mimbar Mahasiswa
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as