MEMFASILITASI
PELATIHAN PARTISIPATIF
(Pengantar Pendidikan Orang Dewasa)
Tanggal: Wednesday, 24 May 2006
Topik: depsos
PENGANTAR PENDIDIKAN ORANG DEWASA
Pendahuluan
Banyak upaya-upaya peningkatan kemampuan Sumber Daya
Manusia di lingkungan instansi pemerintah melalui berbagai pelatihan. Upaya
tersebut pada umumnya dilakukan oleh Badan atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan
(PUSDIKLAT) instansi yang bersangkutan. Namun demikian, tidak sedikit pula
pengembangan Sumber Daya Manusia tersebut dilakukan melalui kegiatan pelatihan
di dalam kegiatan proyek.
Pelatihan-pelatihan
tersebut pada umumnya diikuti oleh staf atau karyawan instansi yang
bersangkutan. Pada umumnya mereka adalah "orang dewasa" yang telah
mempunyai berbagai pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman
lain dan mempunyai latar belakang yang beragam.
Tentu
saja untuk menghadapi peserta pelatihan yang pada umumnya adalah "orang
dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan pendekatan yang berbeda dengan
"pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan
tradisional. Pendidikan ala sekolah ini sering disebut dengan pendekatan
Pedagogis. Seringkali, dalam praktek banyak "pendekatan pedagogis" diterapkan
dalam pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemerintah, yang seringkali tidak
cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan
"kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman
peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal
dengan "Pendidikan Orang
Dewasa" (Adult Education).
Pengertian
Malcolm Knowles
dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species"
mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah
istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan
khususnya para ahli pendidikan.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata
andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang dewasa, dan
agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping itu, ada istilah lain
yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang
ditarik dari kata "paid"
artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka
dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau
pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau
pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah
pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena
mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang,
banyak praktek proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang
pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi
pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang
dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya
sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harafiah dapat diartikan sebagai
ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu
yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi
yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri
yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan
seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner
Centered Training / Teaching)
Asumsi-Asumsi Pokok
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep
andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
•
Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari
ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri
sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung
sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian
inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai
manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang
dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan
timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan
penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai
kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun
dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya
yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan
serta proses perencanaan pelatihan.
•
Peranan Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh
dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu
mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana
hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya,
dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk
belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi
pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik
transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi
lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal
dengan "Experiential Learning
Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan
teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan
diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan
praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan
peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
•
Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan
waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan
akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan
perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak
belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang
dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus
menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin
organisasi.
Hal
ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan
tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan
kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
• Orientasi
Belajar
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah
ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi
pembelajaran (Subject Matter
Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai
kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan
permasalahan yang dihadapi (Problem
Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang
dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang
dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan
peranan sosial orang dewasa.
Selain
itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif
waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau
dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari
masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada
kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian
dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal in menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan
bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan
dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Beberapa Implikasi Untuk Praktek
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan
disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan
pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena
berpusat pada materi pembelajaran (Subject
Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada
umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan.
Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya
sebagai "Sistem Bank" (Banking
System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
•
Penentuan mengenai materi pengetahuan dan
ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
•
Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme
serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk
menyampaikan materi pembelajaran.
•
Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
•
Adanya standard evaluasi yang baku untuk
menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat
untuk mengukur tingkat pengetahuan.
• Adanya
batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses
pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam
andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan
fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan
melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan
pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
•
Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung
proses belajar mandiri.
•
Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk
perencanaan bersama dan partisipatif
•
Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang
spesifik
•
Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan belajar
•
Merencanakan pola pengalaman belajar
•
Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar
ini dengan metoda dan teknik yang memadai
• Mengevaluasi
hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah
model proses.
Oleh
karena itu dalam memproses interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa
kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan
ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah
mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar
mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang
dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan
belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Dengan begitu maka tugas dan peranan
fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas, dari
instansi, dari dinas, yang mereka buat di atas meja terlepas dari kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi.
Langkah-Langkah Pokok Dalam Pelatihan Partisipatif
(Andragogi)
Berdasarkan pada implikasi andragogi untuk praktek
dalam proses pembelajaran kegiatan pelatihan, maka perlu ditempuh
langkah-langkah pokok sebagai berikut:
Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan
mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
•
Pengaturan Lingkungan Fisik
Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa
merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman
mungkin:
•
Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan
dengan kondisi orang dewasa
•
Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan
hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa
• Penataan
ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan
terjadinya interaksi sosial
•
Pengaturan Lingkungan Sosial
dan Psikologis
Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang
dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung.
•
Fasilitator lebih bersifat membantu dan
mendukung
•
Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan
santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai
•
Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan
untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
•
Mengembangkan semangat kebersamaan
•
Menghindari adanya pengarahan dari
"pejabat-pejabat" pemerintah
• Menyusun
kontrak belajar yang disepakati bersama
Diagnosis
Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga
belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis
kebutuhan belajarnya:
•
Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang
terkena dampak langsung atas kegiatan itu
•
Membangun dan mengembangkan suatu model
kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
•
Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan
• Lakukan
perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan
kompetensi tertentu
Proses
Perencanaan
Dalam perencanaan pelatihan hendaknya
melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas
kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak
tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa
'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta
dalam pengambilan keputusan:
•
Libatkan peserta untuk menyusun rencana
pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu
dan lain-lain
•
Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan
berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut
•
Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah
diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan.
• Tentukan
pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa
melakukan apa dan kapan.
Memformulasikan
Tujuan
Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang
ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam
proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan
dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut di atas.
Mengembangkan Model Umum
Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana
harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan
diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya.
Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas
satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
•
Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya
ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan
•
Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis
•
Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya
menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada
peserta
• Metoda
dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat
partisipatif.
Peranan
Evaluasi
Pendekatan evaluasi secara konvensional
(pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu
pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang
dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang
dewasa yakni:
•
Evaluasi hendaknya berorientasi kepada
pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran / pelatihan
•
Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui
pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation)
•
Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur
keberhasilan
•
Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan
bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh
pihak terkait yang terlibat.
•
Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas
dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun
kelemahan program
• Menilai
efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan
perilaku.
Secara terperinci hal-hal tersebut akan dibahas
dalam bab-bab berikutnya.
Sumber naskah ; DIKNAS, Pendidikan Luar Sekolah
PELATIHAN PARTISIPATIF
(Pengantar Pendidikan Orang Dewasa)
Tanggal: Wednesday, 24 May 2006
Topik: depsos
PENGANTAR PENDIDIKAN ORANG DEWASA
Pendahuluan
Banyak upaya-upaya peningkatan kemampuan Sumber Daya
Manusia di lingkungan instansi pemerintah melalui berbagai pelatihan. Upaya
tersebut pada umumnya dilakukan oleh Badan atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan
(PUSDIKLAT) instansi yang bersangkutan. Namun demikian, tidak sedikit pula
pengembangan Sumber Daya Manusia tersebut dilakukan melalui kegiatan pelatihan
di dalam kegiatan proyek.
Pelatihan-pelatihan
tersebut pada umumnya diikuti oleh staf atau karyawan instansi yang
bersangkutan. Pada umumnya mereka adalah "orang dewasa" yang telah
mempunyai berbagai pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman
lain dan mempunyai latar belakang yang beragam.
Tentu
saja untuk menghadapi peserta pelatihan yang pada umumnya adalah "orang
dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan pendekatan yang berbeda dengan
"pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan
tradisional. Pendidikan ala sekolah ini sering disebut dengan pendekatan
Pedagogis. Seringkali, dalam praktek banyak "pendekatan pedagogis" diterapkan
dalam pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemerintah, yang seringkali tidak
cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan
"kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman
peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal
dengan "Pendidikan Orang
Dewasa" (Adult Education).
Pengertian
Malcolm Knowles
dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species"
mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah
istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan
khususnya para ahli pendidikan.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata
andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang dewasa, dan
agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping itu, ada istilah lain
yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang
ditarik dari kata "paid"
artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka
dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau
pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau
pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah
pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena
mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang,
banyak praktek proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang
pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi
pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang
dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya
sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harafiah dapat diartikan sebagai
ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu
yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi
yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri
yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan
seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner
Centered Training / Teaching)
Asumsi-Asumsi Pokok
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep
andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
•
Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari
ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri
sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung
sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian
inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai
manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang
dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan
timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan
penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai
kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun
dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya
yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan
serta proses perencanaan pelatihan.
•
Peranan Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh
dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu
mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana
hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya,
dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk
belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi
pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik
transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi
lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal
dengan "Experiential Learning
Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan
teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan
diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan
praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan
peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
•
Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan
waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan
akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan
perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak
belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang
dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus
menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin
organisasi.
Hal
ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan
tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan
kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
• Orientasi
Belajar
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah
ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi
pembelajaran (Subject Matter
Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai
kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan
permasalahan yang dihadapi (Problem
Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang
dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang
dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan
peranan sosial orang dewasa.
Selain
itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif
waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau
dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari
masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada
kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian
dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal in menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan
bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan
dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Beberapa Implikasi Untuk Praktek
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan
disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan
pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena
berpusat pada materi pembelajaran (Subject
Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada
umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan.
Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya
sebagai "Sistem Bank" (Banking
System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
•
Penentuan mengenai materi pengetahuan dan
ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
•
Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme
serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk
menyampaikan materi pembelajaran.
•
Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
•
Adanya standard evaluasi yang baku untuk
menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat
untuk mengukur tingkat pengetahuan.
• Adanya
batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses
pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam
andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan
fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan
melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan
pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
•
Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung
proses belajar mandiri.
•
Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk
perencanaan bersama dan partisipatif
•
Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang
spesifik
•
Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan belajar
•
Merencanakan pola pengalaman belajar
•
Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar
ini dengan metoda dan teknik yang memadai
• Mengevaluasi
hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah
model proses.
Oleh
karena itu dalam memproses interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa
kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan
ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah
mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar
mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang
dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan
belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Dengan begitu maka tugas dan peranan
fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas, dari
instansi, dari dinas, yang mereka buat di atas meja terlepas dari kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi.
Langkah-Langkah Pokok Dalam Pelatihan Partisipatif
(Andragogi)
Berdasarkan pada implikasi andragogi untuk praktek
dalam proses pembelajaran kegiatan pelatihan, maka perlu ditempuh
langkah-langkah pokok sebagai berikut:
Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan
mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
•
Pengaturan Lingkungan Fisik
Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa
merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman
mungkin:
•
Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan
dengan kondisi orang dewasa
•
Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan
hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa
• Penataan
ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan
terjadinya interaksi sosial
•
Pengaturan Lingkungan Sosial
dan Psikologis
Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang
dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung.
•
Fasilitator lebih bersifat membantu dan
mendukung
•
Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan
santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai
•
Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan
untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
•
Mengembangkan semangat kebersamaan
•
Menghindari adanya pengarahan dari
"pejabat-pejabat" pemerintah
• Menyusun
kontrak belajar yang disepakati bersama
Diagnosis
Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga
belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis
kebutuhan belajarnya:
•
Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang
terkena dampak langsung atas kegiatan itu
•
Membangun dan mengembangkan suatu model
kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
•
Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan
• Lakukan
perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan
kompetensi tertentu
Proses
Perencanaan
Dalam perencanaan pelatihan hendaknya
melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas
kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak
tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa
'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta
dalam pengambilan keputusan:
•
Libatkan peserta untuk menyusun rencana
pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu
dan lain-lain
•
Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan
berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut
•
Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah
diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan.
• Tentukan
pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa
melakukan apa dan kapan.
Memformulasikan
Tujuan
Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang
ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam
proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan
dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut di atas.
Mengembangkan Model Umum
Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana
harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan
diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya.
Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas
satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
•
Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya
ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan
•
Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis
•
Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya
menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada
peserta
• Metoda
dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat
partisipatif.
Peranan
Evaluasi
Pendekatan evaluasi secara konvensional
(pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu
pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang
dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang
dewasa yakni:
•
Evaluasi hendaknya berorientasi kepada
pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran / pelatihan
•
Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui
pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation)
•
Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur
keberhasilan
•
Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan
bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh
pihak terkait yang terlibat.
•
Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas
dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun
kelemahan program
• Menilai
efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan
perilaku.
Secara terperinci hal-hal tersebut akan dibahas
dalam bab-bab berikutnya.
Sumber naskah ; DIKNAS, Pendidikan Luar Sekolah
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as