Buku-Buku Kutu Buku
Cerpen: Pamusuk Eneste
SEBETULNYA sudah berulang kali istri Kolbuher memperingatkan agar buku-buku di
perpustakaan suaminya tidak ditambah lagi. Namun, peringatan itu tampaknya
seperti angin lalu saja. Tiap hari ada saja buku yang datang. Tiap hari ada
saja majalah atau jurnal yang datang.
"Lama-lama uang pensiunanmu habis untuk membeli buku, Pak," kata sang
istri.
"Lo, aku kan tidak beli buku-buku itu, Bu. Mereka yang mengirimi aku buku.
Masa aku tolak? Tidak mungkin toh," ujar Kolbuher.
Sejak pensiun beberapa bulan yang lalu, Kolbuher sebetulnya sudah tidak pernah
membeli buku. Itu kesepakatan dengan istrinya dan dengan dirinya sendiri.
"Lagi pula, usia Bapak kan sudah lanjut. Kasihan Bapak harus mengurus
sendiri buku-buku itu."
"Harusnya memang aku menggaji seseorang untuk mengurus
perpustakaanku."
Pada saat lain, istri Kolbuher mengatakan, "Lama-lama perpustakaanmu tidak
bisa lagi menampung buku. Jangan-jangan, rumah kita juga bisa tenggelam karena
buku-bukumu."
Namun, buku tetap saja mengalir ke rumah Kolbuher. Oleh karena itu, istri
Kolbuher malah pernah berkata, "Hati-hati lo, Pak. Suatu ketika Bapak bisa
ditelan buku-buku itu."
***
KALAU sudah masuk ke perpustakaan merangkap ruangan kerjanya itu, Kolbuher
memang tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh istrinya sendiri! Ia juga
tidak suka ada orang lain masuk ke ruangan itu meski hanya untuk membersihkan
debu atau mengepel lantainya sekalipun. Ia tidak mau ada orang yang
memindah-mindahkan susunan buku di perpustakaannya itu. Menurut Kolbuher,
"Kalau letak buku di ruangan itu berubah maka aku akan bingung mencarinya
nanti bila diperlukan."
Perpustakaan Kolbuher berukuran 4x6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau
pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari
kecuali jika turun hujan.
Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak,
dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku
itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak.
Di tengah ruangan menghadap ke jendela, membelakangi pintu masuk, terdapat
kursi empuk dan meja kerja Kolbuher. Di meja itu ada komputer. Namun, meja itu
pun terasa sumpek karena kiri kanannya penuh dengan buku.
Istri Kolbuher sudah mengingatkan agar buku di meja itu disingkirkan sebagian.
Dengan demikian, Kolbuher bisa lebih lega membaca, menulis, ataupun menggunakan
komputer.
Namun, Kolbuher cuek saja. Bahkan, Kolbuher juga bergeming ketika istrinya
berkata sambil meninggalkan perpustakaan yang sumpek itu, "Suatu saat,
buku-buku itu bisa menelanmu hidup-hidup, lo Pak."
***
BUKU-BUKU itu pula yang menyebabkan istri Kolbuher kini berada di kantor
polisi. "Ketika Ibu meninggalkan Bapak menuju warung, apakah Bapak masih
sehat?" istri Kolbuher mengangguk.
"Waktu itu, Bapak tidak mengatakan apa-apa?"
"Tidak, Pak."
"Barangkali memesan sesuatu dari warung?"
Istri Kolbuher menggeleng lagi.
"Misalnya minta dibelikan rokok?"
"Suami saya tidak merokok, Pak."
"Setahu Ibu, apa Bapak punya penyakit?"
"Setahu saya Bapak tidak mengidap penyakit apa-apa."
"Jantung, misalnya?"
Istri Kolbuher menggeleng.
"Atau penyakit lain barangkali?"
"Tidak."
"Paru-paru?"
Istri Kolbuher untuk kesekian kalinya menggeleng dan kemudian berkata,
"penyakitnya cuma satu, Pak...."
"Apa itu, Bu?"
"Penyakitnya suka baca dan dia kutu buku."
***
ISTRI Kolbuher memang tidak habis mengerti. Meski sudah bersepakat untuk tidak
membeli satu eksemplar buku pun, koleksi buku Kolbuher tetap saja bertambah
dari hari ke hari.
Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya
kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi
Kolbuher buku baru mereka. Ada saja kenalan Kolbuher yang baru pulang dari luar
negeri dan mengoleh-olehinya buku. Ada saja tetangga Kolbuher yang bekerja di
penerbit dan percetakan yang menghadiahinya buku baru.
"Lha, rumah kita ini jadi kayak perpustakaan saja, Pak," kata
istrinya pada suatu ketika.
"Ya, tak apa kan, Bu?"
"Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar
tidur, ke ruang keluarga."
"Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya."
Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan
Kolbuher.
"Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya.
Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku
koleksinya yang tak sempat dibaca selama ini.
Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca
buku itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan
untuk menambah uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi
buku. Bukan hanya itu. Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi
direktur sebuah perusahaan. Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan
SDM, dan macam-macam.
Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun.
Pasti banyak kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih
sering diundang berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi
pengalaman'.
Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup
banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman,
serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyak
memakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman.
"Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya
yang pernah mengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian.
***
SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia
menemani istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher
selalu menyempatkan diri ke toko buku.
Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau
tidak beli buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma
tapi tidak ke Koloseum".
Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti
beli buku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya
ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30
pagi Kolbuher sudah meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di
rumah pukul 18.00, kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau
ada rapat mendadak). Sudah capek! Kapan mau baca buku?
"Kalau tak sempat dibaca buat apa beli, Pak?" kata istrinya.
"Siapa tahu bukunya dilarang kelak," jawab Kolbuher. "Jadi, aku
tak perlu heboh mencari bukunya kalau nanti diberedel penguasa."
Pada saat lain, Kolbuher memberi alasan lain,
"Siapa tahu buku itu tidak cetak ulang. Jadi, aku sudah punya
bukunya."
Istrinya masih belum paham jalan pikiran Kolbuher.
"Kalau tidak dibaca, kita kan cuma buang-buang uang, Pak. Lebih baik
ditabung duitnnya. Mana memenuhi rumah lagi, padahal Bapak sendiri tahu, rumah
kita sudah penuh dengan buku."
"Nanti akan kubaca setelah pensiun."
***
KOLEKSI buku Kolbuher aneka ragam. Buku apa saja dia koleksi, baik buku antik
maupun buku baru. Dia punya buku History of Java Raffles. Ada buku Mein
Kampf-nya Hitler. Ada juga Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta edisi
1952. Ada pula novel Siti Nurbaya Marah Roesli cetakan 1922. Ada buku Also
sprach Zarathustra-nya Nietzsche. Atlas juga dia koleksi, termasuk atlas kuno
semisal Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin.
Itu pula yang membingungkan istri Kolbuher.
"Untuk apa sih menyimpan buku-buku kuno itu, Pak? Cuma buang-buang duit
dan membuat rumah kita kayak gudang."
"Siapa tahu anak cucu kita nanti membutuhkannya."
"Kalau anak cucu kita tidak membutuhkan, bagaimana?"
"Mungkin tetangga kita membutuhkannya."
"Kalau mereka tidak membutuhkannya?"
"Siapa tahu anggota masyarakat lain membutuhkan. Pokoknya, aku yakin Bu,
orang, entah siapa, suatu ketika pasti membutuhkan buku yang aku koleksi
ini."
***
DALAM kenyataannya, memang banyak orang yang membutuhkan buku koleksi Kolbuher.
Uniknya, Kolbuher selalu rela meminjamkan bukunya tanpa bayar dan tanpa
jaminan.
"Lo, kok bisa?" Anda barangkali tak percaya.
"Saya percaya, kalau seseorang meminjam buku saya dan tidak
mengembalikannya, orang itu akan kualat dan tak berani datang ke sini
lagi," kata Kolbuher.
Memang, semua buku yang dipinjamkan Kolbuher selalu dikembalikan tepat pada
waktunya. Tidak pernah ada yang mangkir atau hilang atau sobek
halaman-halamannya.
Dengan begitu, banyak orang berutang budi pada Kolbuher. Sering orang mencari
buku ke Perpustakaan Kota atau Perpustakaan Nasional, namun tak menemukannya.
"Kalau sudah begitu, bahagia rasanya dapat membantu orang yang memerlukan
buku itu," kata Kolbuher.
Namun, istri Kolbuher merasa perilaku suaminya itu malah sia-sia saja.
"Rumah kita jadi kayak perpustakaan umum saja, Pak."
"Tidak apa kan kita membantu orang lain."
"Ya, tapi rumah kita kan jadi ribet terus. Tiap hari saja ada orang yang
mencari buku ini dan buku itu."
***
DARI hari ke hari, koleksi buku Kolbuher bertambah terus. Makin lama makin
penuh rumahnya. Hanya kamar mandi dan dapur saja yang tidak dikepung buku.
Tempat tidur Kolbuher yang bagian kepalanya ada raknya dan bisa diisi buku
sampai ke atas pun dipenuhi buku. Pernah suatu malam, Kolbuher terbangun secara
mendadak karena kepalanya kejatuhan buku. Pernah pula seorang cucu Kolbuher
terpeleset karena kebetulan ada buku yang jatuh. Pada saat lain, seorang tamu
pernah menabrak buku ketika hendak ke toilet.
Pendek kata, bagaimana istri Kolbuher menolak bertambahnya koleksi buku di
rumahnya, ada saja alasan Kolbuher untuk membantahnya. Sampai-sampai istri
Kolbuher kehabisan akal untuk menyetop aliran buku ke rumah mereka. Kata sang
istri, "Terserah Bapak saja. Pokoknya, aku sudah peringatkan Bapak, lo.
Kalau ada apa-apa, aku tidak tanggung, lo...."
Tak!
Ada sesuatu yang berdetak dalam dada Kolbuher. Kalau ada apa-apa, kata
istrinya. Ada apa-apa maksudnya? Kolbuher tidak bisa menduga apa makna
kata-kata terakhir istrinya. Ketika Kolbuher mau bertanya, istrinya sudah
ngeloyor pergi.
"Saya mau ke warung sebentar," kata istrinya.
***
"BERAPA lama Ibu di warung?" tanya polisi.
"Tidak lama, Pak."
"Kira-kira lima belas menit, Pak."
"Ketika Ibu pulang, apa yang Ibu saksikan?"
"Pintu ruang perpustakaan Bapak tidak bisa dibuka."
"Lantas apa yang Ibu lakukan?"
"Saya ketok-ketok, sambil memanggil-manggil, 'Pak, Pak. Tolong buka
pintunya'."
"Apa reaksi Bapak?"
"Tak ada reaksi. Biasanya kalau saya ketok-ketok, Bapak menyahut dari
dalam, atau melongok sebentar...."
"Lalu, apa yang Ibu lakukan selanjutnya?"
"Saya ke rumah tetangga."
"Lantas?"
"Tetangga saya sudah melongok dari jendela...."
***
SETELAH beristirahat beberapa menit, karena istri Kolbuher minta minum, polisi
melanjutkan pemeriksaan.
"Setelah tetangga melongok dari jendela, apa yang dia lihat?"
"Kata tetangga perpustakaan Bapak seperti baru diguncang gempa hebat.
Semua bubrah, berantakan, amburadul, dan berjumpalitan. 'Seperti kapal pecah,
Bu', kata tetangga itu."
"Bapak sendiri di mana?"
"Itulah yang tidak saya tahu, Pak."
Polisi diam sebentar.
Lantas, istri Kolbuher hanya mengatakan "jangan-jangan ..." tanpa
melanjutkan kata-katanya. Selanjutnya, istri Kolbuher memejamkan mata. Seperti
menahan sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terduga telah terjadi pada
suaminya.
***
KEESOKAN harinya, setelah pintu ruang perpustakaan Kolbuher dibongkar paksa,
teka-teki yang menimpa Kolbuher terkuak.
TV 24 menyajikan berita: "Seorang pensiunan telah mati ditelan
buku-bukunya. Kejadian itu baru diketahui setelah istrinya pulang dari warung.
Ketika istrinya pergi ke warung, suaminya sedang mencari buku di ruang kerjanya
yang penuh dengan buku. Entah bagaimana, rak-rak buku di keempat sisi ruangan
kerja itu ambruk secara bersamaan waktunya dan menimpa orang yang ada di
ruangan itu. Korban yang merupakan kolektor buku kesohor di negeri ini bernama
Kolbuher."
Beberapa menit kemudian, SMS di HP orang-orang yang pernah meminjam buku dari
Kolbuher secara berantai berbunyi. isi teksnya: "Pak Kolbuher sudah
meninggalkan kita semua untuk selamanya. Besok kita melayat ke rumahnya,
teman-teman."
Koran Pagi menurunkan kepala berita 'Perpustakaan Hidup Itu Telah Tiada'. Pada
Akhir disebutkan, "Negeri ini telah kehilangan kolektor buku ulung dan tak
ada tandingannya. Ia meninggalkan seorang istri, 4 anak, 12 cucu." Menurut
berita itu, "koleksi buku Kolbuher sudah pantas dijadikan museum
tersendiri dan dikelola oleh pemerintah dan swasta. Selain itu, Kolbuher pun
pantas dianugerahi Bintang Mahaputra Kelas I karena sumbangannya bagi generasi
muda. Banyak orang yang meraih gelar sarjana, megister, dan doktor di negeri
ini yang pernah memanfaatkan perpustakaan kolbuher. Secara gratis lagi!"
Tabloid Kesohor memberitakan bahwa setelah polisi memeriksa perpustakaan
Kolbuher, polisi sampai pada kesimpulan bahwa tiang penyangga keempat rak buku
ternyata keropos akibat banjir bandang beberapa waktu lalu. Berita itu ditutup
dengan kalimat, "Dengan demikian, sangkaan polisi bahwa istrinya dengan
sengaja membunuh Kolbuher tidaklah terbukti."
Rumah Kolbuher memang terletak sekitar 50 meter dari pinggir sungai yang selalu
menerima limpahan air dari Bogor-Puncak, yang hutannya banyak ditumbuhi beton
dan pohon-pohonnya banyak ditebangi secara liar.
Jakarta, 4 September 2002
Cerpen: Pamusuk Eneste
SEBETULNYA sudah berulang kali istri Kolbuher memperingatkan agar buku-buku di
perpustakaan suaminya tidak ditambah lagi. Namun, peringatan itu tampaknya
seperti angin lalu saja. Tiap hari ada saja buku yang datang. Tiap hari ada
saja majalah atau jurnal yang datang.
"Lama-lama uang pensiunanmu habis untuk membeli buku, Pak," kata sang
istri.
"Lo, aku kan tidak beli buku-buku itu, Bu. Mereka yang mengirimi aku buku.
Masa aku tolak? Tidak mungkin toh," ujar Kolbuher.
Sejak pensiun beberapa bulan yang lalu, Kolbuher sebetulnya sudah tidak pernah
membeli buku. Itu kesepakatan dengan istrinya dan dengan dirinya sendiri.
"Lagi pula, usia Bapak kan sudah lanjut. Kasihan Bapak harus mengurus
sendiri buku-buku itu."
"Harusnya memang aku menggaji seseorang untuk mengurus
perpustakaanku."
Pada saat lain, istri Kolbuher mengatakan, "Lama-lama perpustakaanmu tidak
bisa lagi menampung buku. Jangan-jangan, rumah kita juga bisa tenggelam karena
buku-bukumu."
Namun, buku tetap saja mengalir ke rumah Kolbuher. Oleh karena itu, istri
Kolbuher malah pernah berkata, "Hati-hati lo, Pak. Suatu ketika Bapak bisa
ditelan buku-buku itu."
***
KALAU sudah masuk ke perpustakaan merangkap ruangan kerjanya itu, Kolbuher
memang tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh istrinya sendiri! Ia juga
tidak suka ada orang lain masuk ke ruangan itu meski hanya untuk membersihkan
debu atau mengepel lantainya sekalipun. Ia tidak mau ada orang yang
memindah-mindahkan susunan buku di perpustakaannya itu. Menurut Kolbuher,
"Kalau letak buku di ruangan itu berubah maka aku akan bingung mencarinya
nanti bila diperlukan."
Perpustakaan Kolbuher berukuran 4x6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau
pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari
kecuali jika turun hujan.
Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak,
dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku
itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak.
Di tengah ruangan menghadap ke jendela, membelakangi pintu masuk, terdapat
kursi empuk dan meja kerja Kolbuher. Di meja itu ada komputer. Namun, meja itu
pun terasa sumpek karena kiri kanannya penuh dengan buku.
Istri Kolbuher sudah mengingatkan agar buku di meja itu disingkirkan sebagian.
Dengan demikian, Kolbuher bisa lebih lega membaca, menulis, ataupun menggunakan
komputer.
Namun, Kolbuher cuek saja. Bahkan, Kolbuher juga bergeming ketika istrinya
berkata sambil meninggalkan perpustakaan yang sumpek itu, "Suatu saat,
buku-buku itu bisa menelanmu hidup-hidup, lo Pak."
***
BUKU-BUKU itu pula yang menyebabkan istri Kolbuher kini berada di kantor
polisi. "Ketika Ibu meninggalkan Bapak menuju warung, apakah Bapak masih
sehat?" istri Kolbuher mengangguk.
"Waktu itu, Bapak tidak mengatakan apa-apa?"
"Tidak, Pak."
"Barangkali memesan sesuatu dari warung?"
Istri Kolbuher menggeleng lagi.
"Misalnya minta dibelikan rokok?"
"Suami saya tidak merokok, Pak."
"Setahu Ibu, apa Bapak punya penyakit?"
"Setahu saya Bapak tidak mengidap penyakit apa-apa."
"Jantung, misalnya?"
Istri Kolbuher menggeleng.
"Atau penyakit lain barangkali?"
"Tidak."
"Paru-paru?"
Istri Kolbuher untuk kesekian kalinya menggeleng dan kemudian berkata,
"penyakitnya cuma satu, Pak...."
"Apa itu, Bu?"
"Penyakitnya suka baca dan dia kutu buku."
***
ISTRI Kolbuher memang tidak habis mengerti. Meski sudah bersepakat untuk tidak
membeli satu eksemplar buku pun, koleksi buku Kolbuher tetap saja bertambah
dari hari ke hari.
Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya
kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi
Kolbuher buku baru mereka. Ada saja kenalan Kolbuher yang baru pulang dari luar
negeri dan mengoleh-olehinya buku. Ada saja tetangga Kolbuher yang bekerja di
penerbit dan percetakan yang menghadiahinya buku baru.
"Lha, rumah kita ini jadi kayak perpustakaan saja, Pak," kata
istrinya pada suatu ketika.
"Ya, tak apa kan, Bu?"
"Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar
tidur, ke ruang keluarga."
"Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya."
Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan
Kolbuher.
"Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya.
Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku
koleksinya yang tak sempat dibaca selama ini.
Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca
buku itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan
untuk menambah uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi
buku. Bukan hanya itu. Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi
direktur sebuah perusahaan. Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan
SDM, dan macam-macam.
Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun.
Pasti banyak kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih
sering diundang berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi
pengalaman'.
Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup
banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman,
serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyak
memakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman.
"Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya
yang pernah mengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian.
***
SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia
menemani istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher
selalu menyempatkan diri ke toko buku.
Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau
tidak beli buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma
tapi tidak ke Koloseum".
Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti
beli buku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya
ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30
pagi Kolbuher sudah meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di
rumah pukul 18.00, kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau
ada rapat mendadak). Sudah capek! Kapan mau baca buku?
"Kalau tak sempat dibaca buat apa beli, Pak?" kata istrinya.
"Siapa tahu bukunya dilarang kelak," jawab Kolbuher. "Jadi, aku
tak perlu heboh mencari bukunya kalau nanti diberedel penguasa."
Pada saat lain, Kolbuher memberi alasan lain,
"Siapa tahu buku itu tidak cetak ulang. Jadi, aku sudah punya
bukunya."
Istrinya masih belum paham jalan pikiran Kolbuher.
"Kalau tidak dibaca, kita kan cuma buang-buang uang, Pak. Lebih baik
ditabung duitnnya. Mana memenuhi rumah lagi, padahal Bapak sendiri tahu, rumah
kita sudah penuh dengan buku."
"Nanti akan kubaca setelah pensiun."
***
KOLEKSI buku Kolbuher aneka ragam. Buku apa saja dia koleksi, baik buku antik
maupun buku baru. Dia punya buku History of Java Raffles. Ada buku Mein
Kampf-nya Hitler. Ada juga Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta edisi
1952. Ada pula novel Siti Nurbaya Marah Roesli cetakan 1922. Ada buku Also
sprach Zarathustra-nya Nietzsche. Atlas juga dia koleksi, termasuk atlas kuno
semisal Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin.
Itu pula yang membingungkan istri Kolbuher.
"Untuk apa sih menyimpan buku-buku kuno itu, Pak? Cuma buang-buang duit
dan membuat rumah kita kayak gudang."
"Siapa tahu anak cucu kita nanti membutuhkannya."
"Kalau anak cucu kita tidak membutuhkan, bagaimana?"
"Mungkin tetangga kita membutuhkannya."
"Kalau mereka tidak membutuhkannya?"
"Siapa tahu anggota masyarakat lain membutuhkan. Pokoknya, aku yakin Bu,
orang, entah siapa, suatu ketika pasti membutuhkan buku yang aku koleksi
ini."
***
DALAM kenyataannya, memang banyak orang yang membutuhkan buku koleksi Kolbuher.
Uniknya, Kolbuher selalu rela meminjamkan bukunya tanpa bayar dan tanpa
jaminan.
"Lo, kok bisa?" Anda barangkali tak percaya.
"Saya percaya, kalau seseorang meminjam buku saya dan tidak
mengembalikannya, orang itu akan kualat dan tak berani datang ke sini
lagi," kata Kolbuher.
Memang, semua buku yang dipinjamkan Kolbuher selalu dikembalikan tepat pada
waktunya. Tidak pernah ada yang mangkir atau hilang atau sobek
halaman-halamannya.
Dengan begitu, banyak orang berutang budi pada Kolbuher. Sering orang mencari
buku ke Perpustakaan Kota atau Perpustakaan Nasional, namun tak menemukannya.
"Kalau sudah begitu, bahagia rasanya dapat membantu orang yang memerlukan
buku itu," kata Kolbuher.
Namun, istri Kolbuher merasa perilaku suaminya itu malah sia-sia saja.
"Rumah kita jadi kayak perpustakaan umum saja, Pak."
"Tidak apa kan kita membantu orang lain."
"Ya, tapi rumah kita kan jadi ribet terus. Tiap hari saja ada orang yang
mencari buku ini dan buku itu."
***
DARI hari ke hari, koleksi buku Kolbuher bertambah terus. Makin lama makin
penuh rumahnya. Hanya kamar mandi dan dapur saja yang tidak dikepung buku.
Tempat tidur Kolbuher yang bagian kepalanya ada raknya dan bisa diisi buku
sampai ke atas pun dipenuhi buku. Pernah suatu malam, Kolbuher terbangun secara
mendadak karena kepalanya kejatuhan buku. Pernah pula seorang cucu Kolbuher
terpeleset karena kebetulan ada buku yang jatuh. Pada saat lain, seorang tamu
pernah menabrak buku ketika hendak ke toilet.
Pendek kata, bagaimana istri Kolbuher menolak bertambahnya koleksi buku di
rumahnya, ada saja alasan Kolbuher untuk membantahnya. Sampai-sampai istri
Kolbuher kehabisan akal untuk menyetop aliran buku ke rumah mereka. Kata sang
istri, "Terserah Bapak saja. Pokoknya, aku sudah peringatkan Bapak, lo.
Kalau ada apa-apa, aku tidak tanggung, lo...."
Tak!
Ada sesuatu yang berdetak dalam dada Kolbuher. Kalau ada apa-apa, kata
istrinya. Ada apa-apa maksudnya? Kolbuher tidak bisa menduga apa makna
kata-kata terakhir istrinya. Ketika Kolbuher mau bertanya, istrinya sudah
ngeloyor pergi.
"Saya mau ke warung sebentar," kata istrinya.
***
"BERAPA lama Ibu di warung?" tanya polisi.
"Tidak lama, Pak."
"Kira-kira lima belas menit, Pak."
"Ketika Ibu pulang, apa yang Ibu saksikan?"
"Pintu ruang perpustakaan Bapak tidak bisa dibuka."
"Lantas apa yang Ibu lakukan?"
"Saya ketok-ketok, sambil memanggil-manggil, 'Pak, Pak. Tolong buka
pintunya'."
"Apa reaksi Bapak?"
"Tak ada reaksi. Biasanya kalau saya ketok-ketok, Bapak menyahut dari
dalam, atau melongok sebentar...."
"Lalu, apa yang Ibu lakukan selanjutnya?"
"Saya ke rumah tetangga."
"Lantas?"
"Tetangga saya sudah melongok dari jendela...."
***
SETELAH beristirahat beberapa menit, karena istri Kolbuher minta minum, polisi
melanjutkan pemeriksaan.
"Setelah tetangga melongok dari jendela, apa yang dia lihat?"
"Kata tetangga perpustakaan Bapak seperti baru diguncang gempa hebat.
Semua bubrah, berantakan, amburadul, dan berjumpalitan. 'Seperti kapal pecah,
Bu', kata tetangga itu."
"Bapak sendiri di mana?"
"Itulah yang tidak saya tahu, Pak."
Polisi diam sebentar.
Lantas, istri Kolbuher hanya mengatakan "jangan-jangan ..." tanpa
melanjutkan kata-katanya. Selanjutnya, istri Kolbuher memejamkan mata. Seperti
menahan sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terduga telah terjadi pada
suaminya.
***
KEESOKAN harinya, setelah pintu ruang perpustakaan Kolbuher dibongkar paksa,
teka-teki yang menimpa Kolbuher terkuak.
TV 24 menyajikan berita: "Seorang pensiunan telah mati ditelan
buku-bukunya. Kejadian itu baru diketahui setelah istrinya pulang dari warung.
Ketika istrinya pergi ke warung, suaminya sedang mencari buku di ruang kerjanya
yang penuh dengan buku. Entah bagaimana, rak-rak buku di keempat sisi ruangan
kerja itu ambruk secara bersamaan waktunya dan menimpa orang yang ada di
ruangan itu. Korban yang merupakan kolektor buku kesohor di negeri ini bernama
Kolbuher."
Beberapa menit kemudian, SMS di HP orang-orang yang pernah meminjam buku dari
Kolbuher secara berantai berbunyi. isi teksnya: "Pak Kolbuher sudah
meninggalkan kita semua untuk selamanya. Besok kita melayat ke rumahnya,
teman-teman."
Koran Pagi menurunkan kepala berita 'Perpustakaan Hidup Itu Telah Tiada'. Pada
Akhir disebutkan, "Negeri ini telah kehilangan kolektor buku ulung dan tak
ada tandingannya. Ia meninggalkan seorang istri, 4 anak, 12 cucu." Menurut
berita itu, "koleksi buku Kolbuher sudah pantas dijadikan museum
tersendiri dan dikelola oleh pemerintah dan swasta. Selain itu, Kolbuher pun
pantas dianugerahi Bintang Mahaputra Kelas I karena sumbangannya bagi generasi
muda. Banyak orang yang meraih gelar sarjana, megister, dan doktor di negeri
ini yang pernah memanfaatkan perpustakaan kolbuher. Secara gratis lagi!"
Tabloid Kesohor memberitakan bahwa setelah polisi memeriksa perpustakaan
Kolbuher, polisi sampai pada kesimpulan bahwa tiang penyangga keempat rak buku
ternyata keropos akibat banjir bandang beberapa waktu lalu. Berita itu ditutup
dengan kalimat, "Dengan demikian, sangkaan polisi bahwa istrinya dengan
sengaja membunuh Kolbuher tidaklah terbukti."
Rumah Kolbuher memang terletak sekitar 50 meter dari pinggir sungai yang selalu
menerima limpahan air dari Bogor-Puncak, yang hutannya banyak ditumbuhi beton
dan pohon-pohonnya banyak ditebangi secara liar.
Jakarta, 4 September 2002
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as