Memborong Buku, Mengunyah, Ilmu lalu menulis
Artikel
Ahmad Erani Yustika
Dalam dunia jurnalistik terdapat berbagai
ragam istilah yang menuntut pemahaman seksama agar tidak terjadi kerancuan
dalam pelaksanaan tugas keredaksian. Istilah-istilah tersebut antara lain bisa
dideretkan sebagai berikut: berita, opini, wawancara, features, essay, kolom
dan artikel. Masing-masing dari istilah tersebut memiliki karakteristik yang
berlainan, sekaligus pada saat yang bersmaan terdapat unsur tumpang tindihnya.
Di sinilah letak menariknya jurnalistik; dengan niat bai bisa digunakan untuk
menjernihkan persoalan atau sebaliknya, lewat tendensi tertentu dapat dipakai
untuk mengaburkan sebuah fakta. Bagi penulis, tidak cukup dengan teori saja
untuk bisa meresapi aspek-aspek jurnalistik tersebut, melainkan dibutuhkan
kepekaan tertentu untuk bisa merabanya dengan jelas. Termasuk dalam hal ini
apabila kita membicarakan mengenai tema (cara penulisan) artikel.
Setidaknya ada dua alasan yang bisa
diketengahkan mengapa artikel cukup menarik untuk diperbincangkan. Pertama,
berbeda dengan penulisan berita atau teknik wawancara (yang relatif memiliki
aturan baku), penulisan artikel justru sangat bertumpu kepada kreativitas dan
ciri khas dari masing-masing penulisnya. Hal ini tentunya, kalaupun ada, dengan
sendirinya meminggirkan aturan-aturan tekhnis yang tersedia. Kedua, juga
berlainan dengan penulisan berita atau tekni wawancara, dalam penulisan artikel
sangat diperlukan kemampuan pemahaman secara mendalam dari penulisnya terhadap
persoalan yang hendak diulas (walaupun dalam derajat yang lebih rendah
kemampuan ini juga harus dimiliki oleh seorang penulis berita atau petugas
wawancara). Dengan dua karakteristik tersebut sebenarnya, kalau mau jujur, yang
diperlukan dalam (penulisan) artikel, melainkan jauh relevan untuk menanyakan
sampai seberapa jauh penguasaan seseorang terhadap materi tulisan yang akan
dibikin. Aspek inilah yang seringkali tidak diperhatikan oleh para penulis
pemula.
Makna Menulis (Artikel)
Sekitar akhir maret atau awal April 1996 yang
lalu, di media massa terjadi perdebatan seru dalam menanggapi keputusan Rektor
UI waktu itu, Prof MK Tadjudin, yang menghapuskan wajib skripsi bagi mahasiswa
strata I di UI. Kejadian tersebut pantas untuk penulis hadirkan mengingat produksi
skripsi, penelitian, artikel, maupun buku sangat berkaitan dengan aktivitas
penulisan (menulis). Dari momentum itulah akhirnya dibuka persoalan usang,
tetapi telah lama dialpakan, yakni mengenai budaya tulis (lawan dari budaya
lisan) masyarakat Indonesia. Perdebatan tersebut begitu seru dengan diselingi
argumentasi rasional dari masing-masing pihak. Tetapi, menurut perspektif
penulis sendiri, perdebatan tentang perlu tidaknya penghapusan skripsi dari
kasus di atas akhirnya tidak menjadi penting lagi, karena yang sebenarnya lebih
layak untuk dipikirkan adalah mengenai budaya tulis tadi.
Secara sederhana, aktivitas menulis dapat
dipahami sebagai suatu kebiasaan atau tradisi untuk mempergunakan aksara dalam
menyatakan pikiran atau perasaan dan dalam jangka panjang dimaksudkan juga
sebagai alat pendokumentasian. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik
kesimpulan, bahwa dalam aktivitas menulis telah masuk unsur opini dari penulis
terhadap suatu bidang yang hendak dibahas. Bidang-bidang tersebut sangat beraneka
dari mulai persoalan ekonomi, politik, budaya, kesenian, seks, mode, ideologi,
militer atau apapun; yang memang menjadi keahlian dari seorang penulisnya.
Sehingga dari pemahaman tersebut diperoleh
sebuah kejelasan, bahwa kegiatan penulisan tidak terhenti pada kegiatan
penyampaian fakta saja; melainkan dari itu sebuah fakta hanyalah merupakan
setting belaka sebagai sumber (bahan) tulisan yang nialai akhirnya tetap berupa
sikap dari penulisnya, yakni setelah melewati proses analisa. Poin penyampaian
pikiran, opini atau analisis ini penting untuk diinformasikan, mengingat di
sinilah letak pentingnya perbedaan antara penulisan artikel (essay, kolom, buku
dan lain-lain) dengan penulisan berita (di mana yang terakhir ini justru tidak
boleh diimbuhi dengan opini atau analisis). Ini sekaligus memperkuat alasan di
depan tadi, bahwa dengan sendirinya ketrampilan penulisan teknis tidaklah
begitu penting dalam sebuah penulisan yang sifatnya opini atau analisis.
Memborong Buku
Dari deskripsi di muka, maka sebelum seseorang
sampai pada kegiatan menulis (artikel, essay, kolom, buku dan lain-lain),
sesungguhnya ia harus melewati beberapa proses terlebih dahulu yang tidak kalah
berat dan pentingnya, yakni prose mengunyah informasi dan pengetahuan (agar
memperoleh pemahaman yang menyakinkan terhdap sesuatu persoalan) yang bisa
diperoleh hanya dengan melakukan kegiatan intelektual semacam diskusi dan
membaca (koran, majalah, buku, jurnal dan lain-lain). Kegiatan ini begitu
pentingnya, sehingga baik-buruknya suatu tulisan (artikel, misalnya) bisa
dideteksi dari sampai seberapa jauh seseorang itu telah melakukan proses ini.
Seseorang yang kurang memiliki daya baca, tidak bisa menutupi kelemahan
tersebut dengan jalan memperbaikinya lewat ketrampilan teknis tulisan.
Sebaliknya, seseorang yang kemampuan teknis menulisnya jelek, bisa diatasi
apabila ia memiliki seperangkat pengetahuan yang mumpuni (karena yang berbicara
di sini adalah “isi” dan bukan “teknik penulisan”)
Sehingga jika kita telah sampai pada
pembicaraan mengenai kegiatan menulis (bukan sekadar menyampaikan fakta, tetapi
membuthkan analisis dan opini), maka sesungguhnya kita tidak berbicara mengenai
tulisan itu sendiri. Tetapi pembicaraan tersebut harus dialihkan kepada
pertanyaan sampai seberapa subur iklim intelektual, seperti membaca
(pembelajaran pasif) dan diskusi (pembelajaran interkatif) telah tumbuh dlam
suatu komunitas. Jika dalam komunitas tersebut kultur membacanya rendah, maka
hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi aktivitas penulisan (yang ada
hanyalah kultur lisan). Ataupun kalau ada kegiatan penulisan pasti kandungan
kedalaman dan kualitasnya sangat jauh dari yang semestinya ada.
Kalau hendak menguji kebenaran dari proses
tersebut, coba sekali-kali bertamu ke tempat orang-orang yang selama ini aktif
melakukan kegiatan menulis (entah artikel, essay, kolom, buku, jurnal ilmiah
dan lain sebagainya). Hampir bisa dapat dipastikan di setiap rumah orang-orang
tersebut akan berserakan buku-buku, jurnal, majalah dan lain-lain. Keadaan
tersebut pertama-tama bukanlah sekadar simbol dari intelektualitas seseorang,
melainkan sebuah kebutuhan mutlak untuk memperoleh informasi dan pengetahuan
sebagai bahan baku kegiatan menulis dan itu cuma bisa diperoleh lewat buku
(atau diskusi) tadi. Bisa juga dianalogikan, jika seorang tentara membutuhkan
latihan fisik yang begitu berat dan kejam agar diperoleh ketahanan dan disiplin
yang mencukupi untuk keperluan aktivitas paling berbahaya (perang, misalnya
maka bagi seorang penulis (intelektual) latihan tersebut berupa kesediaan untuk
“menyakiti diri” dengan jalan belajar keras (baca: membaca).
Persentase
Penduduk 10 tahun ke Atas yang melakukan kegiatan sosial budaya
Sumber: BPS, Statistik Sosial Budaya: Hasil
Susenas 1994 (Jakarta, BPS Pusat, 1995). Dikutip dari Iwan Nugroho, Modal
Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma, No. 6 tahun XXVI Juni-Juli 1997, hal. 10.
Seorang penulis
harus mau menyiksa diri dengan melakukan proses membaca tersebut agar komoditi
yang hendak dijualnya dinilai bermutu. Kata “penyiksaan diri” tersebut sangat
relevan, mengingat bagi sebagian besar orang aktivitas tersebut sangat berat
dan menjemukan. Tabel di atas barangkali bisa mendukung argumen trsebut, dimana
kegiatan membaca koran/majalah (ini belum kategori membca buku atau jurnal
ilmiah) kalah jauh bila dibandingkan dengan kegiatan menonton (radio/televisi).
Kesediaan penyiksaan diri itu penting, karena – seperti halnya tentara yang
menyiksa dirinya dengan latihan-latihan fisik (yang menurut kita tidak
manusiawi dan masuk akal itu) – dari situlah akan diperoleh hasil (tulisan)
yang optimal. Begitulah kurang lebih kita dapat mendudukkan posisi yang
sebenarnya dari kegiatan menulis; bahwasannya ia merupakan kerja pemikiran
melalui proses yang sangat panjang dan bukanlah pelajaran menghapal teori-teori
teknikal seperti yang banyak disangka orang.
Aspek Teknis
Setelah aspek-aspek
fundamental telah dipegang, memang dalam bobot tertentu ada kerangka teknis
yang bisa membantu kelancaran proses penulisan artikel. Ada tiga mainstream
teknis yang biasa digunakan oleh para penulis artikel. Pertama, merinci tema
tulisan dengan jalan membagi ke dalam beberpa sub tema (“metode ranting”).
Misalnya, seorang penulis bisa membuat sub tema dengan membagi, misalnya,
menjelaskan terlebih dahulu kebijakan reformasi yang telah dan sedang ditempuh
oleh Indonesia, kemudian deskripsi pengalaman di beberapa negara rujukan dan
terkahir memberikan poin rekomendasi tertentu (lihat lampiran artikel 1).
Kedua, penulis tidak secara spesifik merinci dalam beberapa sub tema namun
secara sistematik menjelaskan sebuah persoalan dengan alur yang runtut, baik
secara induktif maupun deduktif. Di sini aspek yang ditonjolkan adalah membawa
pembaca mamhami sebuah persoalan dengan sistematika nalar yang logis (lihat
lampiran artikel 2). Ketiga, merupakan jalan kompromi, yakni membagi tulisan
dalam sub tema tidak secara spesifik menunjukkan judul dari sub tema tersebut
(paling hanya diberi tanda tertentu, misalnya ***, untuk menandai telah ada
pergantian kosentrasi tema bahasan – lihat lampiran 3)
Begitulah, dalam hal
yang paling teknis pun tidak ada yang standar dalam penulisan artikel. Dengan
begitu, yang diutamakan dalam penulisan artikel adalah kemampuan menulis dengan
materi yang berbobot tetapi sebisa mungkin mudah dicerna oleh pembacanya
(istilah lain menyebutnya: tulisan ilmiah dengan penyajian populer). Tentu saja
letak keberhasilan dari penulisan artikel akan diukur dari kemampuannya
menyampaikan ide kepada pembacanya secara mudah dan itu berarti sangat
tergantung kepada kreativitas masing-masing individu (penulis). Sampai di sini
penulis ingin memberi advice kepada para pemula, bahwa sebaiknya segala hal
yang berkaitan dengan aturan tekhnis (kalau memang ada) disingkirkan terlebih
dahulu dan mulailah secara teratur melakukan kegiatan menulis dengan segala keterbatasannya,
seperti halnya anda pertama kali belajar bersepeda.
Artikel
Ahmad Erani Yustika
Dalam dunia jurnalistik terdapat berbagai
ragam istilah yang menuntut pemahaman seksama agar tidak terjadi kerancuan
dalam pelaksanaan tugas keredaksian. Istilah-istilah tersebut antara lain bisa
dideretkan sebagai berikut: berita, opini, wawancara, features, essay, kolom
dan artikel. Masing-masing dari istilah tersebut memiliki karakteristik yang
berlainan, sekaligus pada saat yang bersmaan terdapat unsur tumpang tindihnya.
Di sinilah letak menariknya jurnalistik; dengan niat bai bisa digunakan untuk
menjernihkan persoalan atau sebaliknya, lewat tendensi tertentu dapat dipakai
untuk mengaburkan sebuah fakta. Bagi penulis, tidak cukup dengan teori saja
untuk bisa meresapi aspek-aspek jurnalistik tersebut, melainkan dibutuhkan
kepekaan tertentu untuk bisa merabanya dengan jelas. Termasuk dalam hal ini
apabila kita membicarakan mengenai tema (cara penulisan) artikel.
Setidaknya ada dua alasan yang bisa
diketengahkan mengapa artikel cukup menarik untuk diperbincangkan. Pertama,
berbeda dengan penulisan berita atau teknik wawancara (yang relatif memiliki
aturan baku), penulisan artikel justru sangat bertumpu kepada kreativitas dan
ciri khas dari masing-masing penulisnya. Hal ini tentunya, kalaupun ada, dengan
sendirinya meminggirkan aturan-aturan tekhnis yang tersedia. Kedua, juga
berlainan dengan penulisan berita atau tekni wawancara, dalam penulisan artikel
sangat diperlukan kemampuan pemahaman secara mendalam dari penulisnya terhadap
persoalan yang hendak diulas (walaupun dalam derajat yang lebih rendah
kemampuan ini juga harus dimiliki oleh seorang penulis berita atau petugas
wawancara). Dengan dua karakteristik tersebut sebenarnya, kalau mau jujur, yang
diperlukan dalam (penulisan) artikel, melainkan jauh relevan untuk menanyakan
sampai seberapa jauh penguasaan seseorang terhadap materi tulisan yang akan
dibikin. Aspek inilah yang seringkali tidak diperhatikan oleh para penulis
pemula.
Makna Menulis (Artikel)
Sekitar akhir maret atau awal April 1996 yang
lalu, di media massa terjadi perdebatan seru dalam menanggapi keputusan Rektor
UI waktu itu, Prof MK Tadjudin, yang menghapuskan wajib skripsi bagi mahasiswa
strata I di UI. Kejadian tersebut pantas untuk penulis hadirkan mengingat produksi
skripsi, penelitian, artikel, maupun buku sangat berkaitan dengan aktivitas
penulisan (menulis). Dari momentum itulah akhirnya dibuka persoalan usang,
tetapi telah lama dialpakan, yakni mengenai budaya tulis (lawan dari budaya
lisan) masyarakat Indonesia. Perdebatan tersebut begitu seru dengan diselingi
argumentasi rasional dari masing-masing pihak. Tetapi, menurut perspektif
penulis sendiri, perdebatan tentang perlu tidaknya penghapusan skripsi dari
kasus di atas akhirnya tidak menjadi penting lagi, karena yang sebenarnya lebih
layak untuk dipikirkan adalah mengenai budaya tulis tadi.
Secara sederhana, aktivitas menulis dapat
dipahami sebagai suatu kebiasaan atau tradisi untuk mempergunakan aksara dalam
menyatakan pikiran atau perasaan dan dalam jangka panjang dimaksudkan juga
sebagai alat pendokumentasian. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik
kesimpulan, bahwa dalam aktivitas menulis telah masuk unsur opini dari penulis
terhadap suatu bidang yang hendak dibahas. Bidang-bidang tersebut sangat beraneka
dari mulai persoalan ekonomi, politik, budaya, kesenian, seks, mode, ideologi,
militer atau apapun; yang memang menjadi keahlian dari seorang penulisnya.
Sehingga dari pemahaman tersebut diperoleh
sebuah kejelasan, bahwa kegiatan penulisan tidak terhenti pada kegiatan
penyampaian fakta saja; melainkan dari itu sebuah fakta hanyalah merupakan
setting belaka sebagai sumber (bahan) tulisan yang nialai akhirnya tetap berupa
sikap dari penulisnya, yakni setelah melewati proses analisa. Poin penyampaian
pikiran, opini atau analisis ini penting untuk diinformasikan, mengingat di
sinilah letak pentingnya perbedaan antara penulisan artikel (essay, kolom, buku
dan lain-lain) dengan penulisan berita (di mana yang terakhir ini justru tidak
boleh diimbuhi dengan opini atau analisis). Ini sekaligus memperkuat alasan di
depan tadi, bahwa dengan sendirinya ketrampilan penulisan teknis tidaklah
begitu penting dalam sebuah penulisan yang sifatnya opini atau analisis.
Memborong Buku
Dari deskripsi di muka, maka sebelum seseorang
sampai pada kegiatan menulis (artikel, essay, kolom, buku dan lain-lain),
sesungguhnya ia harus melewati beberapa proses terlebih dahulu yang tidak kalah
berat dan pentingnya, yakni prose mengunyah informasi dan pengetahuan (agar
memperoleh pemahaman yang menyakinkan terhdap sesuatu persoalan) yang bisa
diperoleh hanya dengan melakukan kegiatan intelektual semacam diskusi dan
membaca (koran, majalah, buku, jurnal dan lain-lain). Kegiatan ini begitu
pentingnya, sehingga baik-buruknya suatu tulisan (artikel, misalnya) bisa
dideteksi dari sampai seberapa jauh seseorang itu telah melakukan proses ini.
Seseorang yang kurang memiliki daya baca, tidak bisa menutupi kelemahan
tersebut dengan jalan memperbaikinya lewat ketrampilan teknis tulisan.
Sebaliknya, seseorang yang kemampuan teknis menulisnya jelek, bisa diatasi
apabila ia memiliki seperangkat pengetahuan yang mumpuni (karena yang berbicara
di sini adalah “isi” dan bukan “teknik penulisan”)
Sehingga jika kita telah sampai pada
pembicaraan mengenai kegiatan menulis (bukan sekadar menyampaikan fakta, tetapi
membuthkan analisis dan opini), maka sesungguhnya kita tidak berbicara mengenai
tulisan itu sendiri. Tetapi pembicaraan tersebut harus dialihkan kepada
pertanyaan sampai seberapa subur iklim intelektual, seperti membaca
(pembelajaran pasif) dan diskusi (pembelajaran interkatif) telah tumbuh dlam
suatu komunitas. Jika dalam komunitas tersebut kultur membacanya rendah, maka
hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi aktivitas penulisan (yang ada
hanyalah kultur lisan). Ataupun kalau ada kegiatan penulisan pasti kandungan
kedalaman dan kualitasnya sangat jauh dari yang semestinya ada.
Kalau hendak menguji kebenaran dari proses
tersebut, coba sekali-kali bertamu ke tempat orang-orang yang selama ini aktif
melakukan kegiatan menulis (entah artikel, essay, kolom, buku, jurnal ilmiah
dan lain sebagainya). Hampir bisa dapat dipastikan di setiap rumah orang-orang
tersebut akan berserakan buku-buku, jurnal, majalah dan lain-lain. Keadaan
tersebut pertama-tama bukanlah sekadar simbol dari intelektualitas seseorang,
melainkan sebuah kebutuhan mutlak untuk memperoleh informasi dan pengetahuan
sebagai bahan baku kegiatan menulis dan itu cuma bisa diperoleh lewat buku
(atau diskusi) tadi. Bisa juga dianalogikan, jika seorang tentara membutuhkan
latihan fisik yang begitu berat dan kejam agar diperoleh ketahanan dan disiplin
yang mencukupi untuk keperluan aktivitas paling berbahaya (perang, misalnya
maka bagi seorang penulis (intelektual) latihan tersebut berupa kesediaan untuk
“menyakiti diri” dengan jalan belajar keras (baca: membaca).
Persentase
Penduduk 10 tahun ke Atas yang melakukan kegiatan sosial budaya
Kegiatan | 1984 | 1987 | 1991 | 1994 |
Mendengar radio | 63,75 | 63,09 | 72,58 | 63,91 |
Menonton Televisi | 57,50 | 64,42 | 75,11 | 69,43 |
Membaca Harian/majalah | 42,50 | 21,26 | 25,33 | 23,15 |
Melakukan/menonton kesenian | 9,18 | 8,36 | 9,62 | 7,11 |
Menonton Film | 5,66 | 5,18 | 7,55 | 3,74 |
Sumber: BPS, Statistik Sosial Budaya: Hasil
Susenas 1994 (Jakarta, BPS Pusat, 1995). Dikutip dari Iwan Nugroho, Modal
Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma, No. 6 tahun XXVI Juni-Juli 1997, hal. 10.
Seorang penulis
harus mau menyiksa diri dengan melakukan proses membaca tersebut agar komoditi
yang hendak dijualnya dinilai bermutu. Kata “penyiksaan diri” tersebut sangat
relevan, mengingat bagi sebagian besar orang aktivitas tersebut sangat berat
dan menjemukan. Tabel di atas barangkali bisa mendukung argumen trsebut, dimana
kegiatan membaca koran/majalah (ini belum kategori membca buku atau jurnal
ilmiah) kalah jauh bila dibandingkan dengan kegiatan menonton (radio/televisi).
Kesediaan penyiksaan diri itu penting, karena – seperti halnya tentara yang
menyiksa dirinya dengan latihan-latihan fisik (yang menurut kita tidak
manusiawi dan masuk akal itu) – dari situlah akan diperoleh hasil (tulisan)
yang optimal. Begitulah kurang lebih kita dapat mendudukkan posisi yang
sebenarnya dari kegiatan menulis; bahwasannya ia merupakan kerja pemikiran
melalui proses yang sangat panjang dan bukanlah pelajaran menghapal teori-teori
teknikal seperti yang banyak disangka orang.
Aspek Teknis
Setelah aspek-aspek
fundamental telah dipegang, memang dalam bobot tertentu ada kerangka teknis
yang bisa membantu kelancaran proses penulisan artikel. Ada tiga mainstream
teknis yang biasa digunakan oleh para penulis artikel. Pertama, merinci tema
tulisan dengan jalan membagi ke dalam beberpa sub tema (“metode ranting”).
Misalnya, seorang penulis bisa membuat sub tema dengan membagi, misalnya,
menjelaskan terlebih dahulu kebijakan reformasi yang telah dan sedang ditempuh
oleh Indonesia, kemudian deskripsi pengalaman di beberapa negara rujukan dan
terkahir memberikan poin rekomendasi tertentu (lihat lampiran artikel 1).
Kedua, penulis tidak secara spesifik merinci dalam beberapa sub tema namun
secara sistematik menjelaskan sebuah persoalan dengan alur yang runtut, baik
secara induktif maupun deduktif. Di sini aspek yang ditonjolkan adalah membawa
pembaca mamhami sebuah persoalan dengan sistematika nalar yang logis (lihat
lampiran artikel 2). Ketiga, merupakan jalan kompromi, yakni membagi tulisan
dalam sub tema tidak secara spesifik menunjukkan judul dari sub tema tersebut
(paling hanya diberi tanda tertentu, misalnya ***, untuk menandai telah ada
pergantian kosentrasi tema bahasan – lihat lampiran 3)
Begitulah, dalam hal
yang paling teknis pun tidak ada yang standar dalam penulisan artikel. Dengan
begitu, yang diutamakan dalam penulisan artikel adalah kemampuan menulis dengan
materi yang berbobot tetapi sebisa mungkin mudah dicerna oleh pembacanya
(istilah lain menyebutnya: tulisan ilmiah dengan penyajian populer). Tentu saja
letak keberhasilan dari penulisan artikel akan diukur dari kemampuannya
menyampaikan ide kepada pembacanya secara mudah dan itu berarti sangat
tergantung kepada kreativitas masing-masing individu (penulis). Sampai di sini
penulis ingin memberi advice kepada para pemula, bahwa sebaiknya segala hal
yang berkaitan dengan aturan tekhnis (kalau memang ada) disingkirkan terlebih
dahulu dan mulailah secara teratur melakukan kegiatan menulis dengan segala keterbatasannya,
seperti halnya anda pertama kali belajar bersepeda.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as