Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    memborong buku mengunyah ilmu

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    memborong buku mengunyah ilmu Empty memborong buku mengunyah ilmu

    Post by admin Wed May 19, 2010 2:50 pm

    Memborong Buku, Mengunyah, Ilmu lalu menulis
    Artikel


    Ahmad Erani Yustika





    Dalam dunia jurnalistik terdapat berbagai
    ragam istilah yang menuntut pemahaman seksama agar tidak terjadi kerancuan
    dalam pelaksanaan tugas keredaksian. Istilah-istilah tersebut antara lain bisa
    dideretkan sebagai berikut: berita, opini, wawancara, features, essay, kolom
    dan artikel. Masing-masing dari istilah tersebut memiliki karakteristik yang
    berlainan, sekaligus pada saat yang bersmaan terdapat unsur tumpang tindihnya.
    Di sinilah letak menariknya jurnalistik; dengan niat bai bisa digunakan untuk
    menjernihkan persoalan atau sebaliknya, lewat tendensi tertentu dapat dipakai
    untuk mengaburkan sebuah fakta. Bagi penulis, tidak cukup dengan teori saja
    untuk bisa meresapi aspek-aspek jurnalistik tersebut, melainkan dibutuhkan
    kepekaan tertentu untuk bisa merabanya dengan jelas. Termasuk dalam hal ini
    apabila kita membicarakan mengenai tema (cara penulisan) artikel.


    Setidaknya ada dua alasan yang bisa
    diketengahkan mengapa artikel cukup menarik untuk diperbincangkan. Pertama,
    berbeda dengan penulisan berita atau teknik wawancara (yang relatif memiliki
    aturan baku), penulisan artikel justru sangat bertumpu kepada kreativitas dan
    ciri khas dari masing-masing penulisnya. Hal ini tentunya, kalaupun ada, dengan
    sendirinya meminggirkan aturan-aturan tekhnis yang tersedia. Kedua, juga
    berlainan dengan penulisan berita atau tekni wawancara, dalam penulisan artikel
    sangat diperlukan kemampuan pemahaman secara mendalam dari penulisnya terhadap
    persoalan yang hendak diulas (walaupun dalam derajat yang lebih rendah
    kemampuan ini juga harus dimiliki oleh seorang penulis berita atau petugas
    wawancara). Dengan dua karakteristik tersebut sebenarnya, kalau mau jujur, yang
    diperlukan dalam (penulisan) artikel, melainkan jauh relevan untuk menanyakan
    sampai seberapa jauh penguasaan seseorang terhadap materi tulisan yang akan
    dibikin. Aspek inilah yang seringkali tidak diperhatikan oleh para penulis
    pemula.





    Makna Menulis (Artikel)


    Sekitar akhir maret atau awal April 1996 yang
    lalu, di media massa terjadi perdebatan seru dalam menanggapi keputusan Rektor
    UI waktu itu, Prof MK Tadjudin, yang menghapuskan wajib skripsi bagi mahasiswa
    strata I di UI. Kejadian tersebut pantas untuk penulis hadirkan mengingat produksi
    skripsi, penelitian, artikel, maupun buku sangat berkaitan dengan aktivitas
    penulisan (menulis). Dari momentum itulah akhirnya dibuka persoalan usang,
    tetapi telah lama dialpakan, yakni mengenai budaya tulis (lawan dari budaya
    lisan) masyarakat Indonesia. Perdebatan tersebut begitu seru dengan diselingi
    argumentasi rasional dari masing-masing pihak. Tetapi, menurut perspektif
    penulis sendiri, perdebatan tentang perlu tidaknya penghapusan skripsi dari
    kasus di atas akhirnya tidak menjadi penting lagi, karena yang sebenarnya lebih
    layak untuk dipikirkan adalah mengenai budaya tulis tadi.


    Secara sederhana, aktivitas menulis dapat
    dipahami sebagai suatu kebiasaan atau tradisi untuk mempergunakan aksara dalam
    menyatakan pikiran atau perasaan dan dalam jangka panjang dimaksudkan juga
    sebagai alat pendokumentasian. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik
    kesimpulan, bahwa dalam aktivitas menulis telah masuk unsur opini dari penulis
    terhadap suatu bidang yang hendak dibahas. Bidang-bidang tersebut sangat beraneka
    dari mulai persoalan ekonomi, politik, budaya, kesenian, seks, mode, ideologi,
    militer atau apapun; yang memang menjadi keahlian dari seorang penulisnya.


    Sehingga dari pemahaman tersebut diperoleh
    sebuah kejelasan, bahwa kegiatan penulisan tidak terhenti pada kegiatan
    penyampaian fakta saja; melainkan dari itu sebuah fakta hanyalah merupakan
    setting belaka sebagai sumber (bahan) tulisan yang nialai akhirnya tetap berupa
    sikap dari penulisnya, yakni setelah melewati proses analisa. Poin penyampaian
    pikiran, opini atau analisis ini penting untuk diinformasikan, mengingat di
    sinilah letak pentingnya perbedaan antara penulisan artikel (essay, kolom, buku
    dan lain-lain) dengan penulisan berita (di mana yang terakhir ini justru tidak
    boleh diimbuhi dengan opini atau analisis). Ini sekaligus memperkuat alasan di
    depan tadi, bahwa dengan sendirinya ketrampilan penulisan teknis tidaklah
    begitu penting dalam sebuah penulisan yang sifatnya opini atau analisis.





    Memborong Buku


    Dari deskripsi di muka, maka sebelum seseorang
    sampai pada kegiatan menulis (artikel, essay, kolom, buku dan lain-lain),
    sesungguhnya ia harus melewati beberapa proses terlebih dahulu yang tidak kalah
    berat dan pentingnya, yakni prose mengunyah informasi dan pengetahuan (agar
    memperoleh pemahaman yang menyakinkan terhdap sesuatu persoalan) yang bisa
    diperoleh hanya dengan melakukan kegiatan intelektual semacam diskusi dan
    membaca (koran, majalah, buku, jurnal dan lain-lain). Kegiatan ini begitu
    pentingnya, sehingga baik-buruknya suatu tulisan (artikel, misalnya) bisa
    dideteksi dari sampai seberapa jauh seseorang itu telah melakukan proses ini.
    Seseorang yang kurang memiliki daya baca, tidak bisa menutupi kelemahan
    tersebut dengan jalan memperbaikinya lewat ketrampilan teknis tulisan.
    Sebaliknya, seseorang yang kemampuan teknis menulisnya jelek, bisa diatasi
    apabila ia memiliki seperangkat pengetahuan yang mumpuni (karena yang berbicara
    di sini adalah “isi” dan bukan “teknik penulisan”)


    Sehingga jika kita telah sampai pada
    pembicaraan mengenai kegiatan menulis (bukan sekadar menyampaikan fakta, tetapi
    membuthkan analisis dan opini), maka sesungguhnya kita tidak berbicara mengenai
    tulisan itu sendiri. Tetapi pembicaraan tersebut harus dialihkan kepada
    pertanyaan sampai seberapa subur iklim intelektual, seperti membaca
    (pembelajaran pasif) dan diskusi (pembelajaran interkatif) telah tumbuh dlam
    suatu komunitas. Jika dalam komunitas tersebut kultur membacanya rendah, maka
    hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi aktivitas penulisan (yang ada
    hanyalah kultur lisan). Ataupun kalau ada kegiatan penulisan pasti kandungan
    kedalaman dan kualitasnya sangat jauh dari yang semestinya ada.


    Kalau hendak menguji kebenaran dari proses
    tersebut, coba sekali-kali bertamu ke tempat orang-orang yang selama ini aktif
    melakukan kegiatan menulis (entah artikel, essay, kolom, buku, jurnal ilmiah
    dan lain sebagainya). Hampir bisa dapat dipastikan di setiap rumah orang-orang
    tersebut akan berserakan buku-buku, jurnal, majalah dan lain-lain. Keadaan
    tersebut pertama-tama bukanlah sekadar simbol dari intelektualitas seseorang,
    melainkan sebuah kebutuhan mutlak untuk memperoleh informasi dan pengetahuan
    sebagai bahan baku kegiatan menulis dan itu cuma bisa diperoleh lewat buku
    (atau diskusi) tadi. Bisa juga dianalogikan, jika seorang tentara membutuhkan
    latihan fisik yang begitu berat dan kejam agar diperoleh ketahanan dan disiplin
    yang mencukupi untuk keperluan aktivitas paling berbahaya (perang, misalnya
    maka bagi seorang penulis (intelektual) latihan tersebut berupa kesediaan untuk
    “menyakiti diri” dengan jalan belajar keras (baca: membaca).





    Persentase
    Penduduk 10 tahun ke Atas yang melakukan kegiatan sosial budaya


    Kegiatan

    1984

    1987

    1991

    1994

    Mendengar
    radio

    63,75

    63,09

    72,58

    63,91

    Menonton
    Televisi

    57,50

    64,42

    75,11

    69,43

    Membaca
    Harian/majalah

    42,50

    21,26

    25,33

    23,15

    Melakukan/menonton
    kesenian

    9,18

    8,36

    9,62

    7,11

    Menonton
    Film

    5,66

    5,18

    7,55

    3,74


    Sumber: BPS, Statistik Sosial Budaya: Hasil
    Susenas 1994 (Jakarta, BPS Pusat, 1995). Dikutip dari Iwan Nugroho, Modal
    Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma, No. 6 tahun XXVI Juni-Juli 1997, hal. 10.





    Seorang penulis
    harus mau menyiksa diri dengan melakukan proses membaca tersebut agar komoditi
    yang hendak dijualnya dinilai bermutu. Kata “penyiksaan diri” tersebut sangat
    relevan, mengingat bagi sebagian besar orang aktivitas tersebut sangat berat
    dan menjemukan. Tabel di atas barangkali bisa mendukung argumen trsebut, dimana
    kegiatan membaca koran/majalah (ini belum kategori membca buku atau jurnal
    ilmiah) kalah jauh bila dibandingkan dengan kegiatan menonton (radio/televisi).
    Kesediaan penyiksaan diri itu penting, karena – seperti halnya tentara yang
    menyiksa dirinya dengan latihan-latihan fisik (yang menurut kita tidak
    manusiawi dan masuk akal itu) – dari situlah akan diperoleh hasil (tulisan)
    yang optimal. Begitulah kurang lebih kita dapat mendudukkan posisi yang
    sebenarnya dari kegiatan menulis; bahwasannya ia merupakan kerja pemikiran
    melalui proses yang sangat panjang dan bukanlah pelajaran menghapal teori-teori
    teknikal seperti yang banyak disangka orang.





    Aspek Teknis


    Setelah aspek-aspek
    fundamental telah dipegang, memang dalam bobot tertentu ada kerangka teknis
    yang bisa membantu kelancaran proses penulisan artikel. Ada tiga mainstream
    teknis yang biasa digunakan oleh para penulis artikel. Pertama, merinci tema
    tulisan dengan jalan membagi ke dalam beberpa sub tema (“metode ranting”).
    Misalnya, seorang penulis bisa membuat sub tema dengan membagi, misalnya,
    menjelaskan terlebih dahulu kebijakan reformasi yang telah dan sedang ditempuh
    oleh Indonesia, kemudian deskripsi pengalaman di beberapa negara rujukan dan
    terkahir memberikan poin rekomendasi tertentu (lihat lampiran artikel 1).
    Kedua, penulis tidak secara spesifik merinci dalam beberapa sub tema namun
    secara sistematik menjelaskan sebuah persoalan dengan alur yang runtut, baik
    secara induktif maupun deduktif. Di sini aspek yang ditonjolkan adalah membawa
    pembaca mamhami sebuah persoalan dengan sistematika nalar yang logis (lihat
    lampiran artikel 2). Ketiga, merupakan jalan kompromi, yakni membagi tulisan
    dalam sub tema tidak secara spesifik menunjukkan judul dari sub tema tersebut
    (paling hanya diberi tanda tertentu, misalnya ***, untuk menandai telah ada
    pergantian kosentrasi tema bahasan – lihat lampiran 3)


    Begitulah, dalam hal
    yang paling teknis pun tidak ada yang standar dalam penulisan artikel. Dengan
    begitu, yang diutamakan dalam penulisan artikel adalah kemampuan menulis dengan
    materi yang berbobot tetapi sebisa mungkin mudah dicerna oleh pembacanya
    (istilah lain menyebutnya: tulisan ilmiah dengan penyajian populer). Tentu saja
    letak keberhasilan dari penulisan artikel akan diukur dari kemampuannya
    menyampaikan ide kepada pembacanya secara mudah dan itu berarti sangat
    tergantung kepada kreativitas masing-masing individu (penulis). Sampai di sini
    penulis ingin memberi advice kepada para pemula, bahwa sebaiknya segala hal
    yang berkaitan dengan aturan tekhnis (kalau memang ada) disingkirkan terlebih
    dahulu dan mulailah secara teratur melakukan kegiatan menulis dengan segala keterbatasannya,
    seperti halnya anda pertama kali belajar bersepeda.

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 10:22 pm