Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


2 posters

    bahasa jurnalistik

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    bahasa jurnalistik Empty bahasa jurnalistik

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:51 pm

    BAHASA JURNALISTIK INDONESIA


    Goenawan Mohamad





    Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan
    atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme
    menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif
    terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup
    lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa
    perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih
    efisien. Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat
    dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor.


    Di bawah ini
    diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan
    dalam usaha kita ke arah efisien penulisan.




    HEMAT




    Penghematan
    diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan:


    (1) unsur kata


    (2) unsur kalimat




    Penghematan Unsur Kata




    1a) Beberapa kata
    Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya
    arti. Misalnya:





    agar supaya ................. agar, supaya


    akan tetapi ................. tapi


    apabila ................. bila


    sehingga ................. hingga


    meskipun ................. meski


    walaupun ................. walau


    tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri
    sendiri).





    1b) Kata daripada
    atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.


    Misalnya:


    “Keadaan lebih
    baik dari pada zaman sebelum perang”, menjadi “Keadaan lebih baik sebelum
    perang”. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: “Dari hidup berputih mata,
    lebih baik mati berputih tulang”.





    1c) Ejaan yang
    salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:


    sjah ......... sah


    khawatir ......... kuatir


    akhli ......... ahli


    tammat ......... tamat


    progressive ......... progresif


    effektif ......... efektif





    Catatan:
    Kesulitan pokok kita di waktu yang lalu ialah belum adanya ejaan standard
    bahasa Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat, tentang: roch atau roh?
    Zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan atau kesusastraan? Tehnik
    atau teknik? Dirumah atau di rumah?





    Musah-mudahan
    dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan standard, kita tak akan terus
    bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan merupakan unsur dasar bahasa
    tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa,
    misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan
    sebagainya.





    1d) Beberapa kata
    mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:


    kemudian = lalu


    makin = kian


    terkedjut = kaget


    sangat = amat


    demikian = begitu


    sekarang = kini


    Catatan: Dua kata
    yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal
    perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada
    kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.




    Penghematan Unsur Kalimat




    Lebih efektif
    dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh
    pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.





    2a) Pemakaian
    kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:


    - “Adalah merupakan kenyataan, bahwa
    percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman”.


    (Bisa disingkat:
    “Merupakan kenyataan, bahwa ................”).


    - “Apa yang dinyatakan Wijoyo
    Nitisastro sudah jelas”.


    (Bisa disingkat:
    “Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........”).





    2b) Pemakaian
    apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa
    ditiadakan:


    - “Apakah Indonesia akan terus
    tergantung pada bantuan luar negeri”?


    (Bisa disingkat:
    “Akan terus tergantungkah Indonesia.....”).


    - Baik kita lihat, apa(kah) dia di
    rumah atau tidak”.


    (Bisa disingkat:
    “Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak”).





    2c) Pemakaian
    dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa
    ditiadakan; Juga daripada.


    - “Dalam hal ini pengertian dari
    Pemerintah diperlukan”.


    (Bisa disingkat:
    “Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan”.


    - “Sintaksis adalah bagian daripada
    Tatabahasa”.


    (Bisa disingkat:
    “Sintaksis adalah bagian Tatabahasa”).





    2d) Pemakaian
    untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:


    - “Uni Soviet cenderung untuk mengakui
    hak-hak India”.


    (Bisa disingkat:
    “Uni Soviet cenderung mengakui............”).


    - ''Pendirian semacam itu mudah untuk
    dipahami''.


    (Bisa disingkat:
    ''Pendirian semacam itu mudah dipahami'').


    - ''GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk
    memperbaruhi prosedur barang-barang modal''.


    (Bisa disingkat:
    ''GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......'').





    Catatan: Dalam
    kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan
    dipertahankan.





    2e) Pemakaian
    adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:


    - ''Kera adalah binatang pemamah
    biak''.


    (Bisa disingkat
    ''Kera binatang pemamah biak'').





    Catatan: Dalam
    struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya
    dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih
    baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better
    driver than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang
    lebih baik dari wanita''.





    2f) Pembubuhan
    akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau
    ada keterangan waktu:


    - ''Presiden besok akan meninjau pabrik
    ban Good year''.


    (Bisa disingkat:
    ''Presiden besok meninjau pabrik.........'').


    - ''Tadi telah dikatakan ........''


    (Bisa disingkat:
    ''Tadi dikatakan.'').


    - ''Kini Clay sedang sibuk
    mempersiapkan diri''.


    (Bisa disingkat:
    ''Kini Clay mempersiapkan diri'').





    2g) Pembubuhan
    bahwa sering bisa ditiadakan:


    - ''Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah
    desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti''.


    - ''Tidak diragukan lagi bahwa ialah
    orangnya yang tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak diragukan lagi, ialah orangnya
    yang tepat''.).





    Catatan: Sebagai
    ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (Smile, bila perlu.





    2h) Yang, sebagai
    penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan
    dalam konteks kalimat tertentu:


    - ''Indonesia harus menjadi tetangga
    yang baik dari Australia''.


    (Bisa disingkat:
    ''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').


    - ''Kami adalah pewaris yang sah dari
    kebudayaan dunia''.





    2i) Pembentukan
    kata benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata
    kerja atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah beban
    kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:


    - ''Tanggul kali Citanduy kemarin
    mengalami kebobolan''.


    (Bisa dirumuskan:
    ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol'').


    - ''PN Sandang menderita kerugian Rp 3
    juta''.


    (Bisa dirumuskan:
    ''PN Sandang rugi Rp 3 juta'').


    - ''Ia telah tiga kali melakukan
    penipuan terhadap saya''


    (Bisa disingkat:
    ''Ia telah tiga kali menipu saya'').


    - Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP
    kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh
    partai''.


    (Bisa dirumuskan:
    ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan
    tubuh partai'').





    2j) Penggunaan
    kata sebagai dalam konteks ''dikutip sebagai mengatakan'' yang belakangan ini
    sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris &
    Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang,
    dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted
    as saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat
    ''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen
    Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter
    memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata
    sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga
    kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.





    Bukankah masih
    terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?


    Lagipula, seperti
    sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan
    ekses.


    Contoh: Ali
    Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu
    sebagai berkata: ''Itu akan dilakukan dalam tiga tahap'' Harian Kami, 7
    Desember 1971, halaman 1). Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat,
    selain boros.





    2k) Penggunaan
    dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai
    kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa
    Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.





    1) Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa
    Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian
    dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti
    dengan susunan kalimat Indonesia yang ''tidak meniru jalan bahasa Belanda'',
    dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: ''orang tempat
    dia berutang'' (bukan: pada siapa ia berutang); ''orang kawannya berjanji
    tadi'' (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi).





    Bagaimana
    kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?


    Misalnya: ''Rumah
    dimana saya diam'', yang berasal dari ''The house where I live in'', dalam
    bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya diami''.
    Misal lain: ''Negeri dimana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula
    berbunyi: ''Negeri tempat ia dibesarkan''.





    Dari kedua misal
    itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak
    berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan
    kalimat bahasa Indonesia. Hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan
    dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh
    ekses penggunaan dimana dari 3 koran:





    Kompas, 4
    Desember 1971, halaman I:


    ''Penyakit itu
    dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana
    konsentrasi besar mereka ada di Vietnam''.


    Sinar Harapan, 24
    November 1971, halaman III:


    ''Pihak Kejaksaan
    Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana
    korupsi, dimana ke-9 buah perkara tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan,
    selainnya masih dalam pengusutan.''





    Abadi, 6 Desember
    1971, halaman II:


    ''Selanjutnya
    dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum
    menentu, dimana secara tidak langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha
    pemerintah di dalam menjaga kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi
    dan peningkatan ekspor''.





    Dalam ketiga
    contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan
    tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan
    kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:





    - ''Penyakit itu dianggap berasal (dan
    disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di
    Vietnam''.


    - ''Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di
    Menado dewasa ini menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkata tsb.
    sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih dalam
    pengusutan''.


    - ''Selanjutnya dinyatakan bahwa
    keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini secara
    tidak langsung telah dapat..... dst''.





    Perhatikan:


    1. Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa
    menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.


    2. ''dewasa ini sedang'' cukup jelas
    dengan ''dewasa ini''.


    3. kata ''9 buah'' bisa dihilangkan
    ''buah''-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua
    butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan
    dalam bahasa Indonesia mutahir.


    4. Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua
    ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.





    2l) Dalam
    beberapa kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain
    sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara
    implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:


    - ''Bukan kebetulan jika Gubernur
    menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang,
    proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab
    diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat
    secara implisit sudah jelas).


    - ''Pelatih PSSI Witarsa mengakui
    kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga
    menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain'' (Kata kemudian diawal kalimat
    kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit
    cukup jelas).





    Tak perlu
    diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata
    yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata
    tapi, walau atau meski yang mengesankan ada yang yang mengesankan adanya
    perlawanan tak bisa ditiadakan.




    JELAS




    Setelah
    dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di
    bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas
    membutuhkan dua prasyarat:


    1. Si penulis harus memahami betul soal
    yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan
    pengetahuannya sendiri.


    2. Si penulis harus punya kesadaran
    tentang pembaca.





    Memahami betul
    soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam
    suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil
    pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma
    mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi
    dirinya: menulis terlalu panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan
    kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus
    disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara
    dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan
    yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca.





    Sebelum kita
    menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang
    pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya
    ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya
    akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu
    publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau
    majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau
    sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.
    Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas
    ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu,
    tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek
    yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.





    Sebuah tulisan yang
    jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:


    a. tanda baca yang tertib.


    b. ejaan yang tidak terlampau menyimpang
    dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.


    c. pembagian tulisan secara sistematik
    dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai
    komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan
    pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat
    tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang
    dari hal-hal yang perlu dan relevan.





    Menuju kejelasan
    bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:


    1. unsur kata.


    2. unsur kalimat.





    1a. Berhemat
    dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing
    dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath,
    midnight show, project officer, two China policy, floating mass,
    program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the
    year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi.





    Kata-kata itu
    sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui
    bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan
    sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat
    timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat
    kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.





    Sebelum
    terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah
    diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan
    bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan
    lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module, feasibility study,
    after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how, backhand drive,
    smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner,
    double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari
    perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia
    yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan ''cutbrai'') tetap perlu.





    1b. Menghindari
    sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15
    tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan
    akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat:
    menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.





    Dalam bahasa
    Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata
    dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah.
    ''Hankam'', ''Bappenas'', ''Daswati'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari
    ''Pertahanan & Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'',
    ''Daerah Swantantra Tingkat'' dan ''Hubungan Masyarakat''.





    Tapi kiranya akan
    teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan
    terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk
    alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada
    yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di
    kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran:
    ''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula yang membuat akronim
    untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya
    ''Manikebu'' untuk ''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk
    ''neo-kolonialisme''. ''Cinkom'' untuk ''Cina Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali
    Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan
    akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan
    dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk ''Djaksa Agung'',
    ''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk ''desas-desus''.





    Saya tak
    bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam
    bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin
    mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang
    diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang
    mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim. Misalnya akronim
    ''Gepeng'' jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna
    ''gerakan'' dan ''penghematan'' yang terkandung dalam maksud semula, begitu
    pula akronim ''ASU''. Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali
    makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita
    bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim
    sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting
    dalam bahasa Indonesia.





    Tapi seperti
    halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan
    dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya
    kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih
    lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.





    Pada dasarnya
    setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal
    yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan
    lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari
    itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat
    terlalu banyak data yang dijejalkan.





    Contoh:


    Harian Kami, 4
    Desember 1971, halaman 1:


    ''Sehubungan
    dengan berita 'Harian Kami' tanggal 25 November 1971 hari Kamis berjudul:
    'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan
    keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka
    pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan
    antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan -
    Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan
    'clearing' terhadap berita itu.''





    Perhatikan:
    Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua
    kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada
    pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan
    saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya
    jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya
    kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri.





    Pedoman, 4
    Desember 1971, halaman IV:


    ''Selama tour
    tersebut sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan
    mendapat sambutan hangat.''





    Perhatikan:
    Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat
    setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, ''yang mendapat sambutan hangat ialah
    sambutan masyarakat setempat.''





    Sinar Harapan, 22
    November 1971, halaman VII:


    ''Di
    kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat beserta sayur dan
    sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah
    yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar,
    surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap
    bersama oleh mereka.''





    Perhatikan: Siapa
    yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya
    lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut ''orang-orang kampung''. Mengingat
    dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan kalimat
    surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa berarti aneh
    dan lucu: ''daging berarti aneh dan lucu: ''daging a oleh ketupat-ketupat.@
    detemon
    detemon
    NewBie Member


    Zodiac : Aquarius Jumlah posting : 6
    Join date : 07.08.10
    Age : 70
    Lokasi : Bogor

    bahasa jurnalistik Empty Re: bahasa jurnalistik

    Post by detemon Sat Aug 07, 2010 5:10 am

    Artikel dr Gunawan Muhamad ini sangat membantu saya yang mulai mencoba utk menulis dengan gaya jurnalis ... semoga rekan-2 lain bisa menambahkan utk meningkatkan wawasan saya.
    Salam & Terima kasih

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 6:30 pm