Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    peringatan G30 S Soeharto

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    peringatan G30 S Soeharto Empty peringatan G30 S Soeharto

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:11 pm

    “INDONESIA
    HOUSE” Nederland
    MEMPERINGATI “Peristiwa 30 September” Pada


    tgl l 27.09.02





    September yang lalu, INDONESIA
    HOUSE, Amsterdam,


    mengorganisasi diskusi bulanan
    dalam rangka memperingati “Peristiwa 30 September 1965”. Tampil sebagai
    pembicara pokok adalah Sucipto Munandar, Wakil Ketua SAS (Stichting Azïe
    Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam – dan mantan Pimpinan Akademi Ilmu
    Sosial dan Politik Aliarcham, Jakarta; dan wartawan kawakan Belanda, Joop
    Morïen, mantan Redaktur


    “Indonesia Feiten en Meningen”,
    suatu penerbitan oleh Komite Indonesia Nederland. Suatu kegiatan yang perlu
    disambut dan disokong sebagai sumbangan kecil untuk meluruskan sejarah bangsa
    kita, dalam rangka berangsur-angsur mengikis kebohongan, pemelintiran sejarah
    kita serta pembodohan rakyatkita oleh Orba, selama lebih dari 32 tahun. Dalam
    diskusi yang berlangsung hangat dan hidup, sesudah 2 makalah disampaikan


    masing-masing oleh Sucipto
    Munandar dan Joop Morïen, dari hadirin a.l. diajukan fikiran, tentang perlunya
    mengatasi keengganan dan kekhawatiran sementara korban Peristiwa 30 September
    untuk membicarakan apalagi mengungkap dan bahkan menggugat masih berlangsungnya
    “kebal hukum” (impunity) bagi


    para pelaku kejahatan pembantaian
    65-66, dan pelanggaran hak-hak demokrasi/HAM lainnya di sepanjang periode Orba,
    bahkan sampai saat ini.Halmana disebabkan oleh trauma yang diderita oleh para
    korban akibat teror politik dan mental serta kekejamanluar biasa yang dilakukan
    oleh Orba terhadap siapa saja yang


    dianggap “terlibat” ataupun
    “berindikasi” terlibat dengan yang Orba namakan sebagai “Pemberontakan
    G30S-PKI”. Juga berlangsung diskusi hangat mengenai masalah: Bagaimana
    memandang dan meneliti Peristiwa 30 September 65. Apakah masalah G30S itu
    sendiri, apakah itu suatu kup, dan kalau itu kup, kup oleh siapa terhadap
    siapa, serta bagaimana peranan fihak luar khususnya CIA


    dab Intelijen Inggris--- dengan
    tegas dipisahkan dari apa yang terjadi sesudah itu, yaitu pembunuhan masal yang
    dilakukan oleh fihak militer Suharto, dan pendukung-pendukungnya ketika itu;
    dari pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM yang terjadi sesudah itu.








    Pendapat yang menganggap perlu
    memisahkan dua hal tsb, beranggapan bahwa mengenai Peristiwa 30 September itu
    sendiri, - - - - itu merupakan kasus yang cukup rumit. Akan makan waktu panjang
    untuk tercapainya suatu kesimpulan. Karena berbagai


    fihak punya pendangannya sendiri.
    Pandangan-p undangan tsb,bukan saja satu-sama-lainnya berbeda, tetapi juga ada
    yang linea-recta bertentangan. Bila kedua hal itu tidak dipisahkan,
    menurutpandangan pertama tadi, mak! a tidak bisa memusatkan pada hal-


    hal yang sudah jelas terjadi dan
    tidak perlu pembuktian lagi, yaitu pembunuhan masal (yang diakui sendiri oleh
    sementara fihak pelaku, seperti a.l. oleh mantan komandan RPKAD ketika itu,
    Jendral Sarwo Edhie) dan pelanggaran-pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM,
    yang dilakukan oleh Orba. Maka, menurut pendapat pertama, sebaiknya kedua hal
    tsb dipisahkan. Sedangkan


    pendapat kedua, yang berbeda
    dengan pandangan pertama tadi, menyatakan bahwa kedua hal tsb: Peristiwa 30
    September itu sendiri, - - - dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta
    pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sesudah itu, satu sama lainnya amat
    erat berhubungan. Juga karena, fihak pelaku pembantaian tsb, dalam hal ini
    fihak klik Jendral Suharto dan militernya, dengan sadar menggunakan Peristiwa
    30 September,


    sebagai DALIH, untuk
    menjustifikasi dan membenarkan


    pembunuhan dan kejahatan lainnya
    terhadap rakyat yang tidak bersalah. Maka antara sebab dan kelanjutannya tidak
    bisa dipisahkan. Dalam diskusi selanjutnya bisa dilihat bahwa sebenarnya kedua
    pendapat tsb tidak mesti bertentangan.








    Perbedaannya hanyalah pada
    penekanan masalah. Karena, baik pendapat pertama maupun pendapat yang kedua,
    tidak saling menyisihkan tentang perlunya dilakukan penelitian untuk kedua
    kasus, yaitu kasus Perisitwa 30 September itu sendiri, maupun


    kasus kejahatan kemanusiaan yang
    dilakukan oleh Jendral Suharto dan kliknya terhadap rakyat yang tidak bersalah.
    Besok, 30 September 2002, tepat 37 tahun yang lalu merupakan mula suatu bencana
    nasional yang paling besar dalam sejarah nasion Indonesia. Bencana tersebut
    sesungguhnya dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965. Maka, tidaklah salah Bung
    Karno memberikannya


    nama “GESTOK”, pada “G.30S” -
    Gerakan 30 September 1965. Sedangkan klik jendral TNI-AD yang dikepalai oleh
    Jendral Suharto, suatu ketika memberikannya nama GESTAPU.


    Maksudnya jelas, untuk secara
    implisit menyamakannya dengan GESTAPO, yaitu suatu kesatuan polisi rahasia Jerman
    Hiler, mirip KENPEITAI, suatu kesatuan polisi militer tentara pendudukan Jepang
    di Indonesia, yang amat kejam. Mengerti tujuan dari Suharto, maka Bung Karno
    melakukan pengkoreksian. Bung Karno


    memberikannya nama GESTOK,
    “Gerakan 1 Oktober”. Memang,kenyataannya gerakan militer yang berlangsung di Jakarta pada waktu itu,
    terjadi lewat tengah malam, yang jatuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Mengenai
    nama apa yang lebih tepat digunakan untuk Peristiwa 30 September itu,
    tampaknya, dari fakta sejarah


    gerakan itu lebih tepat dinamakan
    GESTOK, Gerakan 1 Oktober “. sedangkan dari fihak pelaku gerakan itu sendiri,
    manamakannya








    “GERAKAN 30 SEPTEMBER”. Melihat
    sendiri bahwa nama


    GESTAPU itu, tidak begitu “laku”
    dan tidak digunakan oleh media internasional, maka Jendral Suharto
    menggantikannya dengan nama ‘G30S-PKI”. Didepan kata-kata “G.30.S” diselipkan
    kata “pemberontakan”, kemuudian dibelakang ditambah kata “PKI”. Penamaan
    terakhir dari klik Jendral Suharto, yaitu “Pemberontakan G30S-PKI”,
    mengungkapkan maksud strategis mereka yang sesungguhnya, yaitu mengarahkan
    ujung tombak serangan mereka kepada PKI. Jadi, G30S itu sekadar stasiun
    perantara saja, yang pokok adalah menampilkan PKI sebagai “pemberontak”, yang
    harus dihancur-musnahkan. Ujung tombak pada PKI , punya latar belakang yang
    lebih besar dan lebih strategis lagi, bisa dikatakan tujuan terkahir yang!
    nyambung dengan strategi “Perang Dingin”


    mengenai Indonesia,
    yaitu menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno. Tidak sulit untuk melihat
    bahwa sesungguhnya sejak Proklamasi Republik Indonesia, 17 Agustus 1945,
    Amerika Serikat dan Blok Barat yang dikepalainya, secara berencana dan terus
    menerus berusaha untuk memasukkan Republik Indonesia ke


    dalam blok Anti-Komunis Amerika
    Serikat. Satu kali tempo usaha tsb dilakukan melalui jalan diplomasi, seperti
    yang dilakukan oleh utusan AS dalam Komisi Tiga Negara, yang berusaha untuk
    mengkompromikan fihak-fihak Republik Indonesia dan Nederland, pada tahun-tahun
    perang kemerdekaan (1945-1949), dengan “Red


    Drive Proposalnya” terhadap RI.
    Usaha ini dilanjutkan sesudah kemerdekaan Indonesia
    diakui secara internasional dengan ditandatanganinya Persetujuan Konferensi
    Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia
    dan Nederland.
    Yaitu dalam bentuk mendesakkan kepada Indonesia
    untuk ambil bagian dalam persetujuan militer dengan Amerika (Mutual Security
    Act),kemudian melalui usaha untuk menarik Indonesia masuk menjadi


    anggota SEATO – South East Asia
    Tre! aty Organization -. Usaha- usaha “lunak » ataupun “diplomatis’ Amerika ini
    ditolak oleh Indonesia,
    yang menjalankan politik luarnegero yang “BEBAS AKTIF UNTUK PERDAMAIAN DUNIA
    DAN MENYOKONG GERAKAN KEMERDEKAAN DI ASIA DAN AFRIKA”. Politik luarnegeri Indonesia ini amat jelas termanifestasi dengan
    usaha Indonesia
    mempersatukan bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk mentuntaskan tugas dekolonisasi
    di Asia dan Afrika, dalam inisaitif


    dan pengorganisasin KONFERENSI
    ASIA–AFRIKA DIBANDUNG, April 1955. Melihat bahwa usaha ini tetap ditolak oleh
    Republik Indonesia,
    maka Amerika beralih ke cara “under-cover” , yang terutama menggunakan CIA
    untuk melakukan intervensi militer lewat pemberontakan PRRI/Permesta. Ketika
    semua ini gagal, meletuslah “Red
    Drive” secara besar-besaran yang telah menimbulkan
    lebih sejuta korban rakyat Indonesia
    yang tidak bersalah. Dimulai, dengan direbutnya kekuasan negara oleh


    Suharto pada bulan Oktober 1965,
    dengan licik dan canggih menggunakan Perisitiwa Gerakan 30 September,! dan
    terbunuhnya 6 jendral dan seorang pewira menengah, menggulingkan dan akhirnya
    menahan serta membunuh (secara peralahan-lahan)








    Presiden Republik Indonesia
    Ir.Sukarno.PENGGULINGAN PRESIDEN SUKARNO akhirnya dicapai oleh Amerika
    Serikat,Inggris dan Blok Barat, lewat tercetusnya Peristiwa 30 September 1965,
    melalui penghancuran PKI dan kekuatan Kiri Indonesia, sesudah dilakukannya
    pembantaian lebih sejuta rakyat yang tidak bersalah, lewat penghancuran hak-hak
    demokrasi dan HAM di Indonesia. Yang berlangsung terus selama 32 tahun sampai
    digulingkannya Suharto oleh Gerakan Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia.
    Di bawah ini disajikan pokok-pokok


    makalah yang dikemukan oleh
    SUCIPTO MUNDANDAR di dalam diskusi kemarin di INDONESIA HOUSE, sbb: POKOK-POKOK
    MAKALAH SUCIPTO MUNANDAR: TEGAKNYA ORBA


    MEMBUNUH PERGERAKAN KEMERDEKAAN
    NASIONAL! Versi


    rezim Orba mengenai kejadian-kejadian
    30 September 1965 dan peristiwa-peristiwa selanjutnya mendominasi masyarakat Indonesia
    selama 30 th lebih. Setiap pandangan yang menyimpang dari versi


    itu tidak ditolerir dan
    ditindas/ditindak. Hanya di l.n. dapat beredar pengupasan dan analisa yang
    berusaha secara obyektif dan berdasarkan fakta memahami apa sesungguhnya yang
    terjadi. Rezim Orba atas dasar versi menuduh PKI sebagai dalang G30S mengambil
    tindakan merepresi seluruh gerakan demokratik, menangkap dan membunuhi ratusa
    ribu orang atas tuduhan PKI


    atau penganut aliran Kiri. Tapi
    pada tahun-tahun terakhir rezim Orba muncullah makin santer suara-suara yang
    meragukan versi pemerintah itu. Pendapat-pendapat itu dipublikasi dalam
    berbagai penerbitan. Misalnya “Primadosa” oleh Wimanjaya. “Memoar Oei


    Tjoe Tat”, buku Manai Sophian
    “Kehormatan Bagi Yang Berhak”, “Bayang-bayang PKI”, terbitan ISAI, dll. Buku
    putih terbitan Sekretariat Negara “Gerakan 30 September – pemberontakan partai
    komunis Indonesia”
    yang bertujuan memperkuat versi pemerintah, malah manambah keraguan pada versi
    pemerintah itu sendiri. Dengan turunnya presiden Suharto, 21 Mei 1998, sebagai


    hasil perlawanan massa rakyat, khususnya gerakan mahasiswa,
    rakyat meraih beberapa kebebasan berexpresi. Kelaliman rezim Orba Suharto di berbagai
    bidang kekuasannya mulai diungkap, termasuk penindasan dan pembunuhan gerakan
    kiri dan demokratis sejak September 1965. Ex-menlu Subandrio


    menerbitkan kesaksiannya mengenai
    G30S. Walau mula-mula penerbitannya mendapat hambatan, akhirnya dapat juga
    disebarkan secara luas. Omar Dhani, ex-pangau yang divonis hukuman mati yang
    kemudian diubah menjadi seumur hidup, dalam bukunya « Tuhan, pergunakanlah
    hati, pikiran dan tanganku » memuat lengkap pidato pembelannya di depan
    Mahmilub. Dari proses pengadilan itu jelas sekali bahwa bukan kebenaran dan
    keadilan yang dikejar Mahmilub. Penghukuman dan vonis sudah


    ditetapkan sejak semula.
    Penerbitan penting adalah pledoi kolonel Latief yang melibatkan Suharto dalam
    peristiwa G30S, karena sudah dilapori oleh Latief sebelum gerakan dimulai. Sa!
    lah seorang tokoh PKI, Hasan Raid, menerbitkan otobiagrafinya dengan judul
    “Pergulatan Muslim Komunis”. Pada tahun 2001 Maulwi Saelan, ex wakil komandan
    Cakrabirawa menerbitkan


    memoarnya berjudul “Dari Revolsui
    Agustus 1945 sampai kudeta 1966”. Menurut berita di internet, pada 1 Oktober
    yad ini, akan ada peluncuran dan bedah buku dr Ribka Ciptaning berjudul “AKU
    BANGGA JADI ANAK PKI”. Selama di Indonesia dapat dipertahankan dan diperkuat
    kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan penerbitan, pasti penerbitan
    demikian akan susul- menyusul. Sesuatu yang patut kita sambut demi memperoleh
    kejernihan mengenai tragedi nasional yang menimpa bangsa Indonesia pada
    37 tahun yang lalu. Selain publikasi berbagai penerbitan itu perlu kita catat
    adanya seminar, sarasehan, diskusi


    dls mengenai tema “ Peristiwa
    G30S”. Timbul juga tuntutan supaya buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah
    dikoreksi. Di salah satu sekolah di Jakarta,
    para siswa menggugat guru sejarah dalam kaitan uraiannya mengenai G30S. Para siswa mengorganisasi forum studi dengan mengundang
    berbagai narasumber yang relevan. Kelanjutan dari kegiatan-kegiatan ini maka di
    kalangan


    masyrakat Indonesia
    penamaan G30S mulai dilepas kaitannya dengan PKI. Walaupun tetap ada kalangan
    yang keras mengkaitkan G30S dengan PKI. Untuk mengenal peranan luar negeri
    dalam kaitan dengan peristiwa G30S sangat penting, bahwa belum lama ini
    dipublikasi dalam bahasa Indonesia
    “Dokumen CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan konspirasi G30S 1965”.








    Semua dokumen dalam buku ini
    dibuka secara resmi kepada publik oleh State
    Department USA.
    Kata pengantar pada buku ini mengutip kata-kata Bung Karno, bahwa “Abad ke-20
    adalah abad intervensi!” Intervensi asing/Amerika dalam politik dalamnegeri-


    negeri lain, d.h.i. Indonesia. Kita
    tentu mengenal buku George Kahin, “Subversion as Foreign Policy”. Intervensi
    dan subversi tak dapat dipisahkan dengan pekerjaan intelijen. Maka kata
    pengantar tsb dengan mengkaji dan mendalami rumusan Bung Karno tentang Abad
    Intervensi, menyimpulkan, bahwa secara hakiki tepat sekali


    menamakan abad ke-20 juga sebagai
    “Abad Intel”. Meneliti


    masalah G30S dan
    peristiwa-peristiwa lanjutannya, demi


    mengungkapkan fakta-fakta yang
    benar dengan pasti terkait dengan pekerjaan intel yang complicated.
    Syarat-syarat untuk meneliti G30S lebih tersedia sekarang, tapi belum mungkin
    diahiri dengan memuaskan. Siapa mendalangi G30S masih tandatanya.








    Tetapi atas dasar belum ada
    kejelasan mengenai dalam itu, rezim Suharto lpada 37 tahun yl bertindak dengan
    melanggar perintah Bung Karno, membubarkan PKI dan semua organisasi kiri dan
    demokratis, melancarkan penangkapan dan pembunuhan sewenang-wenang dan
    besar-besaran. Rezim Orba dibangun atas dasar pembunuhan dan penindasan ini.
    Tegaknya rezim Orba pada hakekatnya membunuh pergerakan kemerdekaan nasional
    yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu pergerakan yang mempersatukan
    aliran-aliran polititik besar nasionalis, agama dan komunis, yang berhasil
    memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
    dan berdirinya Republik Indonesia.
    Penghancuran kekuatan pergerakan nasional itu menja! di benih disintegrasi
    bangsa. Fakta-fakta mengenai pembunuhan/pembantaian yang


    terjadi sejak 1965 –1966 juga
    makin banyak tersingkap. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966
    sejak beberapa tahun melakukan penelitian untuk dapat mendata jumlah korban dan
    daerah kejadian. Hermawan Sulistiyo dalam bukunya “Palu Arit di Ladang
    Tebu”menulis tentang pembantaian masal 1965-1966 di daerah Jombang dan Kediri. Ada juga desertasi Iwan Gardono Sujatmiko
    yang membahas pembunuhan itu dan membuat p


    yaerbandingan Jawa Timur dan Bali. Setahu saya disertasi ini belum luas tersebar.
    Studi-studi itu hanya bisa dilakukan di universitas-universitas luarnegeri.
    Kita sesungguhnya masih sangat sedikit mengetahui skala pembantaian dan
    lingkungan kawasan yang dicakupnya. Ada
    perkiraan bahwa kita hanya tahu 5 – 10% tentang apa yang sesungguhnya
    terjadi.Ada yang mengira bahwa


    itu terjadi pada pokoknya di
    Jawa-Bali dan Sumatera. Sedang mulai terungkap bahwa di pulau Flores
    pun terjadsi pembantaian. Semua terjadi tanpa dasar hukum « impunity »
    kekebalan hukum


    para pelakunya yang tidak bisa
    diganggu-gugat selama


    tigapuluhtahun lebih. Rezim
    Suharto telah menyusun sistem kekuasaan yang bersandar pada penanaman ketakutan
    di kalangan rakyat. Walaupun rezim Suharto sudah diganti, sudah dilaksanakan
    pemilihan demokratik dan disusun pemerintah baru, sendi-sendi


    kekuasaan yang dibangun Suharto
    belum diruntuhkan. « Impunity », kekebalan hukum masih belaku seperti terbukti dalam
    praksis militer di Aceh, Papua, Maluku dan daerah-daerah lain. Satu warisan
    yang ditinggalkan dari kejadian-kejadian pada 37 tahun y.l. ialah para korban
    pembunuhan, korban penangkapan dan anak-


    cucu para korban tersebut. Rezim
    Orba merupakan rezim yang membuat napol/tapol dalam jumlah terbesar dalam
    sejarah Indonesia
    modern. Ratusan ribu tapol/napol dalam jumlah terbesar dalam sejarah Indonesia
    modern. Ratusan ribu tapol/napol dengan keluarga isteri-anak-cucu berjumlah
    jutaan yang selama bertahun- tahun diperlakukan sebagai paria. Bahkan pada saat
    inipun belum


    ada rehabilitasi. Presiden
    Abdurrahman Wahid dengan lapang dada berusaha melangkah ke arah rehabilitasi
    itu dengan menyatakan maaf atas pembunuhan-pembunuhan masalalu.





    Beliau mengajukan usul supaya
    mencabut Ketetapaan MPRS 25/1966 mengenai larangan atasPKI dan
    Marxisme-Leninisme. Ini usul yang berangkat dari pendirian prinsipil untuk
    sungguh-sungguh menegakkan syarat masyarakat demokratik di Indonesia,
    bukan karena setuju atgau melarang PKI. Tapi usul itu ditolak meyoritas MPR dan
    bahkan Gus Dur kemudian digulingkan. Kesewenang-


    wenangan menangkap dan membunuh
    orang dengan merasa kebal hukum (impunity) menjadi karakteristik rezim Suharto
    dan diwujudkan dalam berbagai katagori tapol/napol. Pada bulan Januari 2002 ini
    di Jakarta
    diselenggarakan temu raya X-Tanapol dan DPO yang dihadiri 600 orang lebih. Dari
    para peserta itu,


    mayoritas adalah ex-tanapol G30S.
    Disamping itu ada dari ex- DI/TII, Papua, Komando Jihad, gerakan mahasiswa
    1977-78, Borobudur, Lampung, PRD, 27 Juli, HKBP, Tanjung Priok, buruh, tani,
    golput/mahasiswa, primadosa, usroh dll. Segi baiknya temu raya ini bahw
    ex-tanapol dari latarbelakang sosial-politik yang sangat berbeda-beda dapat
    bertemu atas dasar kesamaan nasib,


    yaitgu sama-sama pernah menjadi
    tanapol dan DPO rezim orde baru Suharto dan bertemu sebagai sesama warganegara
    bangsa Indonesia.
    Ini menunjukkan bahwa diantara sesama warganegara bangsa Indonesia dapat
    ditumbuhkan saling pengertian dan tak diperlukan rekonsiliasi khusus.
    Masalahnya bukan antara sesama


    tanapol, tapi antaqra
    negara/kekuasaan dengan warga


    masyarakatnya. Yang harus
    dikoreksi adalah perlakuan negara yangtidak adil, sewenang-wenang dan
    diskriminatif atas warganegaranya sendiri. Koreksi ini hanyalah dengan pengakuan
    kesalahannya, dengan rehabilitasi – memulihkan semua hak sebagai warganegara Indonesia.
    Tanapol G30S boleh dikatakan meliputi segala lapisan/sektor/katagori
    masyarakat. Mereka mengorganisir diri dalam berbagai organisasi atau kelompok
    untuk


    kepentingan advokasi. (Sedikitnya
    terdapat 11 organisasi semacam itu – I.I.)). Diluar negeri pun terdapat jumlah
    yang tidak kecil warga Indonesia
    yang tersebar di berbagai negeri Eropa, Amerika dan Asia yang dicabut
    kewarganegaraannya dan terancam keselamatannya bila pulang ke Indonesia. Gus
    Durlah yang juga memberi perhatian pada masalah tsb. Dengan Instruksi Presiden


    Pertama Januari 2000 beliau
    mengirim Menteri Kehakimannya ke Belanda untuk memecahkan masalah ini. Tapi
    sampai September 2002 ini belum ada langkah hukum konkret apapun yang menuju
    pemecahannya. Bagaimana harapan ke depan bagi semua « korban » orde baru ini ?
    Kita harus realis ! Dalam kondisi Indonesia


    sekarang ini yang
    bertumpuk-tumpuk masalah mendesak yang menuntut pemecahan, yang satu lebih
    urgen dari yang lain, sama- sama menempati prioritas, tidak dapat diharapkan
    apa-apa. Usaha berbagai organisasi itu adil dan perlu dilanjutkan betapa
    beratpun rintangannya. Tapi usaha itu harus berpadu dengan usaha bersama-sama
    di bidang-bidang yang dapat digeluti untuk memperjuangkan demokratisasi,
    menegakkan keadilan hukum,


    mengorganisir bermacam-macam
    organisasi massa
    rakyat yang memperjuangkan dan membela kepentingannya di berbagai sektor
    measyarkat. Perlu menuntut pada pemerintah, tapi rakyat tidak menggantungkan
    diri pada kemauan baik, melainkan memberdayakan diri di semua bidang kegiatan
    masyarakat. Pada saat ini nampaknya proses itu sedang berjalan. Kita, menurut
    syarat yang ada pada kita masing-masing wajib berpartisipasi


    dalam proses itu.


















    |back to top|

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Sun Apr 28, 2024 8:07 pm