“INDONESIA
HOUSE” Nederland
MEMPERINGATI “Peristiwa 30 September” Pada
tgl l 27.09.02
September yang lalu, INDONESIA
HOUSE, Amsterdam,
mengorganisasi diskusi bulanan
dalam rangka memperingati “Peristiwa 30 September 1965”. Tampil sebagai
pembicara pokok adalah Sucipto Munandar, Wakil Ketua SAS (Stichting Azïe
Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam – dan mantan Pimpinan Akademi Ilmu
Sosial dan Politik Aliarcham, Jakarta; dan wartawan kawakan Belanda, Joop
Morïen, mantan Redaktur
“Indonesia Feiten en Meningen”,
suatu penerbitan oleh Komite Indonesia Nederland. Suatu kegiatan yang perlu
disambut dan disokong sebagai sumbangan kecil untuk meluruskan sejarah bangsa
kita, dalam rangka berangsur-angsur mengikis kebohongan, pemelintiran sejarah
kita serta pembodohan rakyatkita oleh Orba, selama lebih dari 32 tahun. Dalam
diskusi yang berlangsung hangat dan hidup, sesudah 2 makalah disampaikan
masing-masing oleh Sucipto
Munandar dan Joop Morïen, dari hadirin a.l. diajukan fikiran, tentang perlunya
mengatasi keengganan dan kekhawatiran sementara korban Peristiwa 30 September
untuk membicarakan apalagi mengungkap dan bahkan menggugat masih berlangsungnya
“kebal hukum” (impunity) bagi
para pelaku kejahatan pembantaian
65-66, dan pelanggaran hak-hak demokrasi/HAM lainnya di sepanjang periode Orba,
bahkan sampai saat ini.Halmana disebabkan oleh trauma yang diderita oleh para
korban akibat teror politik dan mental serta kekejamanluar biasa yang dilakukan
oleh Orba terhadap siapa saja yang
dianggap “terlibat” ataupun
“berindikasi” terlibat dengan yang Orba namakan sebagai “Pemberontakan
G30S-PKI”. Juga berlangsung diskusi hangat mengenai masalah: Bagaimana
memandang dan meneliti Peristiwa 30 September 65. Apakah masalah G30S itu
sendiri, apakah itu suatu kup, dan kalau itu kup, kup oleh siapa terhadap
siapa, serta bagaimana peranan fihak luar khususnya CIA
dab Intelijen Inggris--- dengan
tegas dipisahkan dari apa yang terjadi sesudah itu, yaitu pembunuhan masal yang
dilakukan oleh fihak militer Suharto, dan pendukung-pendukungnya ketika itu;
dari pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM yang terjadi sesudah itu.
Pendapat yang menganggap perlu
memisahkan dua hal tsb, beranggapan bahwa mengenai Peristiwa 30 September itu
sendiri, - - - - itu merupakan kasus yang cukup rumit. Akan makan waktu panjang
untuk tercapainya suatu kesimpulan. Karena berbagai
fihak punya pendangannya sendiri.
Pandangan-p undangan tsb,bukan saja satu-sama-lainnya berbeda, tetapi juga ada
yang linea-recta bertentangan. Bila kedua hal itu tidak dipisahkan,
menurutpandangan pertama tadi, mak! a tidak bisa memusatkan pada hal-
hal yang sudah jelas terjadi dan
tidak perlu pembuktian lagi, yaitu pembunuhan masal (yang diakui sendiri oleh
sementara fihak pelaku, seperti a.l. oleh mantan komandan RPKAD ketika itu,
Jendral Sarwo Edhie) dan pelanggaran-pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM,
yang dilakukan oleh Orba. Maka, menurut pendapat pertama, sebaiknya kedua hal
tsb dipisahkan. Sedangkan
pendapat kedua, yang berbeda
dengan pandangan pertama tadi, menyatakan bahwa kedua hal tsb: Peristiwa 30
September itu sendiri, - - - dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sesudah itu, satu sama lainnya amat
erat berhubungan. Juga karena, fihak pelaku pembantaian tsb, dalam hal ini
fihak klik Jendral Suharto dan militernya, dengan sadar menggunakan Peristiwa
30 September,
sebagai DALIH, untuk
menjustifikasi dan membenarkan
pembunuhan dan kejahatan lainnya
terhadap rakyat yang tidak bersalah. Maka antara sebab dan kelanjutannya tidak
bisa dipisahkan. Dalam diskusi selanjutnya bisa dilihat bahwa sebenarnya kedua
pendapat tsb tidak mesti bertentangan.
Perbedaannya hanyalah pada
penekanan masalah. Karena, baik pendapat pertama maupun pendapat yang kedua,
tidak saling menyisihkan tentang perlunya dilakukan penelitian untuk kedua
kasus, yaitu kasus Perisitwa 30 September itu sendiri, maupun
kasus kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh Jendral Suharto dan kliknya terhadap rakyat yang tidak bersalah.
Besok, 30 September 2002, tepat 37 tahun yang lalu merupakan mula suatu bencana
nasional yang paling besar dalam sejarah nasion Indonesia. Bencana tersebut
sesungguhnya dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965. Maka, tidaklah salah Bung
Karno memberikannya
nama “GESTOK”, pada “G.30S” -
Gerakan 30 September 1965. Sedangkan klik jendral TNI-AD yang dikepalai oleh
Jendral Suharto, suatu ketika memberikannya nama GESTAPU.
Maksudnya jelas, untuk secara
implisit menyamakannya dengan GESTAPO, yaitu suatu kesatuan polisi rahasia Jerman
Hiler, mirip KENPEITAI, suatu kesatuan polisi militer tentara pendudukan Jepang
di Indonesia, yang amat kejam. Mengerti tujuan dari Suharto, maka Bung Karno
melakukan pengkoreksian. Bung Karno
memberikannya nama GESTOK,
“Gerakan 1 Oktober”. Memang,kenyataannya gerakan militer yang berlangsung di Jakarta pada waktu itu,
terjadi lewat tengah malam, yang jatuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Mengenai
nama apa yang lebih tepat digunakan untuk Peristiwa 30 September itu,
tampaknya, dari fakta sejarah
gerakan itu lebih tepat dinamakan
GESTOK, Gerakan 1 Oktober “. sedangkan dari fihak pelaku gerakan itu sendiri,
manamakannya
“GERAKAN 30 SEPTEMBER”. Melihat
sendiri bahwa nama
GESTAPU itu, tidak begitu “laku”
dan tidak digunakan oleh media internasional, maka Jendral Suharto
menggantikannya dengan nama ‘G30S-PKI”. Didepan kata-kata “G.30.S” diselipkan
kata “pemberontakan”, kemuudian dibelakang ditambah kata “PKI”. Penamaan
terakhir dari klik Jendral Suharto, yaitu “Pemberontakan G30S-PKI”,
mengungkapkan maksud strategis mereka yang sesungguhnya, yaitu mengarahkan
ujung tombak serangan mereka kepada PKI. Jadi, G30S itu sekadar stasiun
perantara saja, yang pokok adalah menampilkan PKI sebagai “pemberontak”, yang
harus dihancur-musnahkan. Ujung tombak pada PKI , punya latar belakang yang
lebih besar dan lebih strategis lagi, bisa dikatakan tujuan terkahir yang!
nyambung dengan strategi “Perang Dingin”
mengenai Indonesia,
yaitu menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno. Tidak sulit untuk melihat
bahwa sesungguhnya sejak Proklamasi Republik Indonesia, 17 Agustus 1945,
Amerika Serikat dan Blok Barat yang dikepalainya, secara berencana dan terus
menerus berusaha untuk memasukkan Republik Indonesia ke
dalam blok Anti-Komunis Amerika
Serikat. Satu kali tempo usaha tsb dilakukan melalui jalan diplomasi, seperti
yang dilakukan oleh utusan AS dalam Komisi Tiga Negara, yang berusaha untuk
mengkompromikan fihak-fihak Republik Indonesia dan Nederland, pada tahun-tahun
perang kemerdekaan (1945-1949), dengan “Red
Drive Proposalnya” terhadap RI.
Usaha ini dilanjutkan sesudah kemerdekaan Indonesia
diakui secara internasional dengan ditandatanganinya Persetujuan Konferensi
Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia
dan Nederland.
Yaitu dalam bentuk mendesakkan kepada Indonesia
untuk ambil bagian dalam persetujuan militer dengan Amerika (Mutual Security
Act),kemudian melalui usaha untuk menarik Indonesia masuk menjadi
anggota SEATO – South East Asia
Tre! aty Organization -. Usaha- usaha “lunak » ataupun “diplomatis’ Amerika ini
ditolak oleh Indonesia,
yang menjalankan politik luarnegero yang “BEBAS AKTIF UNTUK PERDAMAIAN DUNIA
DAN MENYOKONG GERAKAN KEMERDEKAAN DI ASIA DAN AFRIKA”. Politik luarnegeri Indonesia ini amat jelas termanifestasi dengan
usaha Indonesia
mempersatukan bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk mentuntaskan tugas dekolonisasi
di Asia dan Afrika, dalam inisaitif
dan pengorganisasin KONFERENSI
ASIA–AFRIKA DIBANDUNG, April 1955. Melihat bahwa usaha ini tetap ditolak oleh
Republik Indonesia,
maka Amerika beralih ke cara “under-cover” , yang terutama menggunakan CIA
untuk melakukan intervensi militer lewat pemberontakan PRRI/Permesta. Ketika
semua ini gagal, meletuslah “Red
Drive” secara besar-besaran yang telah menimbulkan
lebih sejuta korban rakyat Indonesia
yang tidak bersalah. Dimulai, dengan direbutnya kekuasan negara oleh
Suharto pada bulan Oktober 1965,
dengan licik dan canggih menggunakan Perisitiwa Gerakan 30 September,! dan
terbunuhnya 6 jendral dan seorang pewira menengah, menggulingkan dan akhirnya
menahan serta membunuh (secara peralahan-lahan)
Presiden Republik Indonesia
Ir.Sukarno.PENGGULINGAN PRESIDEN SUKARNO akhirnya dicapai oleh Amerika
Serikat,Inggris dan Blok Barat, lewat tercetusnya Peristiwa 30 September 1965,
melalui penghancuran PKI dan kekuatan Kiri Indonesia, sesudah dilakukannya
pembantaian lebih sejuta rakyat yang tidak bersalah, lewat penghancuran hak-hak
demokrasi dan HAM di Indonesia. Yang berlangsung terus selama 32 tahun sampai
digulingkannya Suharto oleh Gerakan Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia.
Di bawah ini disajikan pokok-pokok
makalah yang dikemukan oleh
SUCIPTO MUNDANDAR di dalam diskusi kemarin di INDONESIA HOUSE, sbb: POKOK-POKOK
MAKALAH SUCIPTO MUNANDAR: TEGAKNYA ORBA
MEMBUNUH PERGERAKAN KEMERDEKAAN
NASIONAL! Versi
rezim Orba mengenai kejadian-kejadian
30 September 1965 dan peristiwa-peristiwa selanjutnya mendominasi masyarakat Indonesia
selama 30 th lebih. Setiap pandangan yang menyimpang dari versi
itu tidak ditolerir dan
ditindas/ditindak. Hanya di l.n. dapat beredar pengupasan dan analisa yang
berusaha secara obyektif dan berdasarkan fakta memahami apa sesungguhnya yang
terjadi. Rezim Orba atas dasar versi menuduh PKI sebagai dalang G30S mengambil
tindakan merepresi seluruh gerakan demokratik, menangkap dan membunuhi ratusa
ribu orang atas tuduhan PKI
atau penganut aliran Kiri. Tapi
pada tahun-tahun terakhir rezim Orba muncullah makin santer suara-suara yang
meragukan versi pemerintah itu. Pendapat-pendapat itu dipublikasi dalam
berbagai penerbitan. Misalnya “Primadosa” oleh Wimanjaya. “Memoar Oei
Tjoe Tat”, buku Manai Sophian
“Kehormatan Bagi Yang Berhak”, “Bayang-bayang PKI”, terbitan ISAI, dll. Buku
putih terbitan Sekretariat Negara “Gerakan 30 September – pemberontakan partai
komunis Indonesia”
yang bertujuan memperkuat versi pemerintah, malah manambah keraguan pada versi
pemerintah itu sendiri. Dengan turunnya presiden Suharto, 21 Mei 1998, sebagai
hasil perlawanan massa rakyat, khususnya gerakan mahasiswa,
rakyat meraih beberapa kebebasan berexpresi. Kelaliman rezim Orba Suharto di berbagai
bidang kekuasannya mulai diungkap, termasuk penindasan dan pembunuhan gerakan
kiri dan demokratis sejak September 1965. Ex-menlu Subandrio
menerbitkan kesaksiannya mengenai
G30S. Walau mula-mula penerbitannya mendapat hambatan, akhirnya dapat juga
disebarkan secara luas. Omar Dhani, ex-pangau yang divonis hukuman mati yang
kemudian diubah menjadi seumur hidup, dalam bukunya « Tuhan, pergunakanlah
hati, pikiran dan tanganku » memuat lengkap pidato pembelannya di depan
Mahmilub. Dari proses pengadilan itu jelas sekali bahwa bukan kebenaran dan
keadilan yang dikejar Mahmilub. Penghukuman dan vonis sudah
ditetapkan sejak semula.
Penerbitan penting adalah pledoi kolonel Latief yang melibatkan Suharto dalam
peristiwa G30S, karena sudah dilapori oleh Latief sebelum gerakan dimulai. Sa!
lah seorang tokoh PKI, Hasan Raid, menerbitkan otobiagrafinya dengan judul
“Pergulatan Muslim Komunis”. Pada tahun 2001 Maulwi Saelan, ex wakil komandan
Cakrabirawa menerbitkan
memoarnya berjudul “Dari Revolsui
Agustus 1945 sampai kudeta 1966”. Menurut berita di internet, pada 1 Oktober
yad ini, akan ada peluncuran dan bedah buku dr Ribka Ciptaning berjudul “AKU
BANGGA JADI ANAK PKI”. Selama di Indonesia dapat dipertahankan dan diperkuat
kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan penerbitan, pasti penerbitan
demikian akan susul- menyusul. Sesuatu yang patut kita sambut demi memperoleh
kejernihan mengenai tragedi nasional yang menimpa bangsa Indonesia pada
37 tahun yang lalu. Selain publikasi berbagai penerbitan itu perlu kita catat
adanya seminar, sarasehan, diskusi
dls mengenai tema “ Peristiwa
G30S”. Timbul juga tuntutan supaya buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah
dikoreksi. Di salah satu sekolah di Jakarta,
para siswa menggugat guru sejarah dalam kaitan uraiannya mengenai G30S. Para siswa mengorganisasi forum studi dengan mengundang
berbagai narasumber yang relevan. Kelanjutan dari kegiatan-kegiatan ini maka di
kalangan
masyrakat Indonesia
penamaan G30S mulai dilepas kaitannya dengan PKI. Walaupun tetap ada kalangan
yang keras mengkaitkan G30S dengan PKI. Untuk mengenal peranan luar negeri
dalam kaitan dengan peristiwa G30S sangat penting, bahwa belum lama ini
dipublikasi dalam bahasa Indonesia
“Dokumen CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan konspirasi G30S 1965”.
Semua dokumen dalam buku ini
dibuka secara resmi kepada publik oleh State
Department USA.
Kata pengantar pada buku ini mengutip kata-kata Bung Karno, bahwa “Abad ke-20
adalah abad intervensi!” Intervensi asing/Amerika dalam politik dalamnegeri-
negeri lain, d.h.i. Indonesia. Kita
tentu mengenal buku George Kahin, “Subversion as Foreign Policy”. Intervensi
dan subversi tak dapat dipisahkan dengan pekerjaan intelijen. Maka kata
pengantar tsb dengan mengkaji dan mendalami rumusan Bung Karno tentang Abad
Intervensi, menyimpulkan, bahwa secara hakiki tepat sekali
menamakan abad ke-20 juga sebagai
“Abad Intel”. Meneliti
masalah G30S dan
peristiwa-peristiwa lanjutannya, demi
mengungkapkan fakta-fakta yang
benar dengan pasti terkait dengan pekerjaan intel yang complicated.
Syarat-syarat untuk meneliti G30S lebih tersedia sekarang, tapi belum mungkin
diahiri dengan memuaskan. Siapa mendalangi G30S masih tandatanya.
Tetapi atas dasar belum ada
kejelasan mengenai dalam itu, rezim Suharto lpada 37 tahun yl bertindak dengan
melanggar perintah Bung Karno, membubarkan PKI dan semua organisasi kiri dan
demokratis, melancarkan penangkapan dan pembunuhan sewenang-wenang dan
besar-besaran. Rezim Orba dibangun atas dasar pembunuhan dan penindasan ini.
Tegaknya rezim Orba pada hakekatnya membunuh pergerakan kemerdekaan nasional
yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu pergerakan yang mempersatukan
aliran-aliran polititik besar nasionalis, agama dan komunis, yang berhasil
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
dan berdirinya Republik Indonesia.
Penghancuran kekuatan pergerakan nasional itu menja! di benih disintegrasi
bangsa. Fakta-fakta mengenai pembunuhan/pembantaian yang
terjadi sejak 1965 –1966 juga
makin banyak tersingkap. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966
sejak beberapa tahun melakukan penelitian untuk dapat mendata jumlah korban dan
daerah kejadian. Hermawan Sulistiyo dalam bukunya “Palu Arit di Ladang
Tebu”menulis tentang pembantaian masal 1965-1966 di daerah Jombang dan Kediri. Ada juga desertasi Iwan Gardono Sujatmiko
yang membahas pembunuhan itu dan membuat p
yaerbandingan Jawa Timur dan Bali. Setahu saya disertasi ini belum luas tersebar.
Studi-studi itu hanya bisa dilakukan di universitas-universitas luarnegeri.
Kita sesungguhnya masih sangat sedikit mengetahui skala pembantaian dan
lingkungan kawasan yang dicakupnya. Ada
perkiraan bahwa kita hanya tahu 5 – 10% tentang apa yang sesungguhnya
terjadi.Ada yang mengira bahwa
itu terjadi pada pokoknya di
Jawa-Bali dan Sumatera. Sedang mulai terungkap bahwa di pulau Flores
pun terjadsi pembantaian. Semua terjadi tanpa dasar hukum « impunity »
kekebalan hukum
para pelakunya yang tidak bisa
diganggu-gugat selama
tigapuluhtahun lebih. Rezim
Suharto telah menyusun sistem kekuasaan yang bersandar pada penanaman ketakutan
di kalangan rakyat. Walaupun rezim Suharto sudah diganti, sudah dilaksanakan
pemilihan demokratik dan disusun pemerintah baru, sendi-sendi
kekuasaan yang dibangun Suharto
belum diruntuhkan. « Impunity », kekebalan hukum masih belaku seperti terbukti dalam
praksis militer di Aceh, Papua, Maluku dan daerah-daerah lain. Satu warisan
yang ditinggalkan dari kejadian-kejadian pada 37 tahun y.l. ialah para korban
pembunuhan, korban penangkapan dan anak-
cucu para korban tersebut. Rezim
Orba merupakan rezim yang membuat napol/tapol dalam jumlah terbesar dalam
sejarah Indonesia
modern. Ratusan ribu tapol/napol dalam jumlah terbesar dalam sejarah Indonesia
modern. Ratusan ribu tapol/napol dengan keluarga isteri-anak-cucu berjumlah
jutaan yang selama bertahun- tahun diperlakukan sebagai paria. Bahkan pada saat
inipun belum
ada rehabilitasi. Presiden
Abdurrahman Wahid dengan lapang dada berusaha melangkah ke arah rehabilitasi
itu dengan menyatakan maaf atas pembunuhan-pembunuhan masalalu.
Beliau mengajukan usul supaya
mencabut Ketetapaan MPRS 25/1966 mengenai larangan atasPKI dan
Marxisme-Leninisme. Ini usul yang berangkat dari pendirian prinsipil untuk
sungguh-sungguh menegakkan syarat masyarakat demokratik di Indonesia,
bukan karena setuju atgau melarang PKI. Tapi usul itu ditolak meyoritas MPR dan
bahkan Gus Dur kemudian digulingkan. Kesewenang-
wenangan menangkap dan membunuh
orang dengan merasa kebal hukum (impunity) menjadi karakteristik rezim Suharto
dan diwujudkan dalam berbagai katagori tapol/napol. Pada bulan Januari 2002 ini
di Jakarta
diselenggarakan temu raya X-Tanapol dan DPO yang dihadiri 600 orang lebih. Dari
para peserta itu,
mayoritas adalah ex-tanapol G30S.
Disamping itu ada dari ex- DI/TII, Papua, Komando Jihad, gerakan mahasiswa
1977-78, Borobudur, Lampung, PRD, 27 Juli, HKBP, Tanjung Priok, buruh, tani,
golput/mahasiswa, primadosa, usroh dll. Segi baiknya temu raya ini bahw
ex-tanapol dari latarbelakang sosial-politik yang sangat berbeda-beda dapat
bertemu atas dasar kesamaan nasib,
yaitgu sama-sama pernah menjadi
tanapol dan DPO rezim orde baru Suharto dan bertemu sebagai sesama warganegara
bangsa Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa diantara sesama warganegara bangsa Indonesia dapat
ditumbuhkan saling pengertian dan tak diperlukan rekonsiliasi khusus.
Masalahnya bukan antara sesama
tanapol, tapi antaqra
negara/kekuasaan dengan warga
masyarakatnya. Yang harus
dikoreksi adalah perlakuan negara yangtidak adil, sewenang-wenang dan
diskriminatif atas warganegaranya sendiri. Koreksi ini hanyalah dengan pengakuan
kesalahannya, dengan rehabilitasi – memulihkan semua hak sebagai warganegara Indonesia.
Tanapol G30S boleh dikatakan meliputi segala lapisan/sektor/katagori
masyarakat. Mereka mengorganisir diri dalam berbagai organisasi atau kelompok
untuk
kepentingan advokasi. (Sedikitnya
terdapat 11 organisasi semacam itu – I.I.)). Diluar negeri pun terdapat jumlah
yang tidak kecil warga Indonesia
yang tersebar di berbagai negeri Eropa, Amerika dan Asia yang dicabut
kewarganegaraannya dan terancam keselamatannya bila pulang ke Indonesia. Gus
Durlah yang juga memberi perhatian pada masalah tsb. Dengan Instruksi Presiden
Pertama Januari 2000 beliau
mengirim Menteri Kehakimannya ke Belanda untuk memecahkan masalah ini. Tapi
sampai September 2002 ini belum ada langkah hukum konkret apapun yang menuju
pemecahannya. Bagaimana harapan ke depan bagi semua « korban » orde baru ini ?
Kita harus realis ! Dalam kondisi Indonesia
sekarang ini yang
bertumpuk-tumpuk masalah mendesak yang menuntut pemecahan, yang satu lebih
urgen dari yang lain, sama- sama menempati prioritas, tidak dapat diharapkan
apa-apa. Usaha berbagai organisasi itu adil dan perlu dilanjutkan betapa
beratpun rintangannya. Tapi usaha itu harus berpadu dengan usaha bersama-sama
di bidang-bidang yang dapat digeluti untuk memperjuangkan demokratisasi,
menegakkan keadilan hukum,
mengorganisir bermacam-macam
organisasi massa
rakyat yang memperjuangkan dan membela kepentingannya di berbagai sektor
measyarkat. Perlu menuntut pada pemerintah, tapi rakyat tidak menggantungkan
diri pada kemauan baik, melainkan memberdayakan diri di semua bidang kegiatan
masyarakat. Pada saat ini nampaknya proses itu sedang berjalan. Kita, menurut
syarat yang ada pada kita masing-masing wajib berpartisipasi
dalam proses itu.
|back to top|
HOUSE” Nederland
MEMPERINGATI “Peristiwa 30 September” Pada
tgl l 27.09.02
September yang lalu, INDONESIA
HOUSE, Amsterdam,
mengorganisasi diskusi bulanan
dalam rangka memperingati “Peristiwa 30 September 1965”. Tampil sebagai
pembicara pokok adalah Sucipto Munandar, Wakil Ketua SAS (Stichting Azïe
Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam – dan mantan Pimpinan Akademi Ilmu
Sosial dan Politik Aliarcham, Jakarta; dan wartawan kawakan Belanda, Joop
Morïen, mantan Redaktur
“Indonesia Feiten en Meningen”,
suatu penerbitan oleh Komite Indonesia Nederland. Suatu kegiatan yang perlu
disambut dan disokong sebagai sumbangan kecil untuk meluruskan sejarah bangsa
kita, dalam rangka berangsur-angsur mengikis kebohongan, pemelintiran sejarah
kita serta pembodohan rakyatkita oleh Orba, selama lebih dari 32 tahun. Dalam
diskusi yang berlangsung hangat dan hidup, sesudah 2 makalah disampaikan
masing-masing oleh Sucipto
Munandar dan Joop Morïen, dari hadirin a.l. diajukan fikiran, tentang perlunya
mengatasi keengganan dan kekhawatiran sementara korban Peristiwa 30 September
untuk membicarakan apalagi mengungkap dan bahkan menggugat masih berlangsungnya
“kebal hukum” (impunity) bagi
para pelaku kejahatan pembantaian
65-66, dan pelanggaran hak-hak demokrasi/HAM lainnya di sepanjang periode Orba,
bahkan sampai saat ini.Halmana disebabkan oleh trauma yang diderita oleh para
korban akibat teror politik dan mental serta kekejamanluar biasa yang dilakukan
oleh Orba terhadap siapa saja yang
dianggap “terlibat” ataupun
“berindikasi” terlibat dengan yang Orba namakan sebagai “Pemberontakan
G30S-PKI”. Juga berlangsung diskusi hangat mengenai masalah: Bagaimana
memandang dan meneliti Peristiwa 30 September 65. Apakah masalah G30S itu
sendiri, apakah itu suatu kup, dan kalau itu kup, kup oleh siapa terhadap
siapa, serta bagaimana peranan fihak luar khususnya CIA
dab Intelijen Inggris--- dengan
tegas dipisahkan dari apa yang terjadi sesudah itu, yaitu pembunuhan masal yang
dilakukan oleh fihak militer Suharto, dan pendukung-pendukungnya ketika itu;
dari pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM yang terjadi sesudah itu.
Pendapat yang menganggap perlu
memisahkan dua hal tsb, beranggapan bahwa mengenai Peristiwa 30 September itu
sendiri, - - - - itu merupakan kasus yang cukup rumit. Akan makan waktu panjang
untuk tercapainya suatu kesimpulan. Karena berbagai
fihak punya pendangannya sendiri.
Pandangan-p undangan tsb,bukan saja satu-sama-lainnya berbeda, tetapi juga ada
yang linea-recta bertentangan. Bila kedua hal itu tidak dipisahkan,
menurutpandangan pertama tadi, mak! a tidak bisa memusatkan pada hal-
hal yang sudah jelas terjadi dan
tidak perlu pembuktian lagi, yaitu pembunuhan masal (yang diakui sendiri oleh
sementara fihak pelaku, seperti a.l. oleh mantan komandan RPKAD ketika itu,
Jendral Sarwo Edhie) dan pelanggaran-pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM,
yang dilakukan oleh Orba. Maka, menurut pendapat pertama, sebaiknya kedua hal
tsb dipisahkan. Sedangkan
pendapat kedua, yang berbeda
dengan pandangan pertama tadi, menyatakan bahwa kedua hal tsb: Peristiwa 30
September itu sendiri, - - - dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sesudah itu, satu sama lainnya amat
erat berhubungan. Juga karena, fihak pelaku pembantaian tsb, dalam hal ini
fihak klik Jendral Suharto dan militernya, dengan sadar menggunakan Peristiwa
30 September,
sebagai DALIH, untuk
menjustifikasi dan membenarkan
pembunuhan dan kejahatan lainnya
terhadap rakyat yang tidak bersalah. Maka antara sebab dan kelanjutannya tidak
bisa dipisahkan. Dalam diskusi selanjutnya bisa dilihat bahwa sebenarnya kedua
pendapat tsb tidak mesti bertentangan.
Perbedaannya hanyalah pada
penekanan masalah. Karena, baik pendapat pertama maupun pendapat yang kedua,
tidak saling menyisihkan tentang perlunya dilakukan penelitian untuk kedua
kasus, yaitu kasus Perisitwa 30 September itu sendiri, maupun
kasus kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh Jendral Suharto dan kliknya terhadap rakyat yang tidak bersalah.
Besok, 30 September 2002, tepat 37 tahun yang lalu merupakan mula suatu bencana
nasional yang paling besar dalam sejarah nasion Indonesia. Bencana tersebut
sesungguhnya dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965. Maka, tidaklah salah Bung
Karno memberikannya
nama “GESTOK”, pada “G.30S” -
Gerakan 30 September 1965. Sedangkan klik jendral TNI-AD yang dikepalai oleh
Jendral Suharto, suatu ketika memberikannya nama GESTAPU.
Maksudnya jelas, untuk secara
implisit menyamakannya dengan GESTAPO, yaitu suatu kesatuan polisi rahasia Jerman
Hiler, mirip KENPEITAI, suatu kesatuan polisi militer tentara pendudukan Jepang
di Indonesia, yang amat kejam. Mengerti tujuan dari Suharto, maka Bung Karno
melakukan pengkoreksian. Bung Karno
memberikannya nama GESTOK,
“Gerakan 1 Oktober”. Memang,kenyataannya gerakan militer yang berlangsung di Jakarta pada waktu itu,
terjadi lewat tengah malam, yang jatuh pada tanggal 1 Oktober 1965. Mengenai
nama apa yang lebih tepat digunakan untuk Peristiwa 30 September itu,
tampaknya, dari fakta sejarah
gerakan itu lebih tepat dinamakan
GESTOK, Gerakan 1 Oktober “. sedangkan dari fihak pelaku gerakan itu sendiri,
manamakannya
“GERAKAN 30 SEPTEMBER”. Melihat
sendiri bahwa nama
GESTAPU itu, tidak begitu “laku”
dan tidak digunakan oleh media internasional, maka Jendral Suharto
menggantikannya dengan nama ‘G30S-PKI”. Didepan kata-kata “G.30.S” diselipkan
kata “pemberontakan”, kemuudian dibelakang ditambah kata “PKI”. Penamaan
terakhir dari klik Jendral Suharto, yaitu “Pemberontakan G30S-PKI”,
mengungkapkan maksud strategis mereka yang sesungguhnya, yaitu mengarahkan
ujung tombak serangan mereka kepada PKI. Jadi, G30S itu sekadar stasiun
perantara saja, yang pokok adalah menampilkan PKI sebagai “pemberontak”, yang
harus dihancur-musnahkan. Ujung tombak pada PKI , punya latar belakang yang
lebih besar dan lebih strategis lagi, bisa dikatakan tujuan terkahir yang!
nyambung dengan strategi “Perang Dingin”
mengenai Indonesia,
yaitu menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno. Tidak sulit untuk melihat
bahwa sesungguhnya sejak Proklamasi Republik Indonesia, 17 Agustus 1945,
Amerika Serikat dan Blok Barat yang dikepalainya, secara berencana dan terus
menerus berusaha untuk memasukkan Republik Indonesia ke
dalam blok Anti-Komunis Amerika
Serikat. Satu kali tempo usaha tsb dilakukan melalui jalan diplomasi, seperti
yang dilakukan oleh utusan AS dalam Komisi Tiga Negara, yang berusaha untuk
mengkompromikan fihak-fihak Republik Indonesia dan Nederland, pada tahun-tahun
perang kemerdekaan (1945-1949), dengan “Red
Drive Proposalnya” terhadap RI.
Usaha ini dilanjutkan sesudah kemerdekaan Indonesia
diakui secara internasional dengan ditandatanganinya Persetujuan Konferensi
Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia
dan Nederland.
Yaitu dalam bentuk mendesakkan kepada Indonesia
untuk ambil bagian dalam persetujuan militer dengan Amerika (Mutual Security
Act),kemudian melalui usaha untuk menarik Indonesia masuk menjadi
anggota SEATO – South East Asia
Tre! aty Organization -. Usaha- usaha “lunak » ataupun “diplomatis’ Amerika ini
ditolak oleh Indonesia,
yang menjalankan politik luarnegero yang “BEBAS AKTIF UNTUK PERDAMAIAN DUNIA
DAN MENYOKONG GERAKAN KEMERDEKAAN DI ASIA DAN AFRIKA”. Politik luarnegeri Indonesia ini amat jelas termanifestasi dengan
usaha Indonesia
mempersatukan bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk mentuntaskan tugas dekolonisasi
di Asia dan Afrika, dalam inisaitif
dan pengorganisasin KONFERENSI
ASIA–AFRIKA DIBANDUNG, April 1955. Melihat bahwa usaha ini tetap ditolak oleh
Republik Indonesia,
maka Amerika beralih ke cara “under-cover” , yang terutama menggunakan CIA
untuk melakukan intervensi militer lewat pemberontakan PRRI/Permesta. Ketika
semua ini gagal, meletuslah “Red
Drive” secara besar-besaran yang telah menimbulkan
lebih sejuta korban rakyat Indonesia
yang tidak bersalah. Dimulai, dengan direbutnya kekuasan negara oleh
Suharto pada bulan Oktober 1965,
dengan licik dan canggih menggunakan Perisitiwa Gerakan 30 September,! dan
terbunuhnya 6 jendral dan seorang pewira menengah, menggulingkan dan akhirnya
menahan serta membunuh (secara peralahan-lahan)
Presiden Republik Indonesia
Ir.Sukarno.PENGGULINGAN PRESIDEN SUKARNO akhirnya dicapai oleh Amerika
Serikat,Inggris dan Blok Barat, lewat tercetusnya Peristiwa 30 September 1965,
melalui penghancuran PKI dan kekuatan Kiri Indonesia, sesudah dilakukannya
pembantaian lebih sejuta rakyat yang tidak bersalah, lewat penghancuran hak-hak
demokrasi dan HAM di Indonesia. Yang berlangsung terus selama 32 tahun sampai
digulingkannya Suharto oleh Gerakan Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia.
Di bawah ini disajikan pokok-pokok
makalah yang dikemukan oleh
SUCIPTO MUNDANDAR di dalam diskusi kemarin di INDONESIA HOUSE, sbb: POKOK-POKOK
MAKALAH SUCIPTO MUNANDAR: TEGAKNYA ORBA
MEMBUNUH PERGERAKAN KEMERDEKAAN
NASIONAL! Versi
rezim Orba mengenai kejadian-kejadian
30 September 1965 dan peristiwa-peristiwa selanjutnya mendominasi masyarakat Indonesia
selama 30 th lebih. Setiap pandangan yang menyimpang dari versi
itu tidak ditolerir dan
ditindas/ditindak. Hanya di l.n. dapat beredar pengupasan dan analisa yang
berusaha secara obyektif dan berdasarkan fakta memahami apa sesungguhnya yang
terjadi. Rezim Orba atas dasar versi menuduh PKI sebagai dalang G30S mengambil
tindakan merepresi seluruh gerakan demokratik, menangkap dan membunuhi ratusa
ribu orang atas tuduhan PKI
atau penganut aliran Kiri. Tapi
pada tahun-tahun terakhir rezim Orba muncullah makin santer suara-suara yang
meragukan versi pemerintah itu. Pendapat-pendapat itu dipublikasi dalam
berbagai penerbitan. Misalnya “Primadosa” oleh Wimanjaya. “Memoar Oei
Tjoe Tat”, buku Manai Sophian
“Kehormatan Bagi Yang Berhak”, “Bayang-bayang PKI”, terbitan ISAI, dll. Buku
putih terbitan Sekretariat Negara “Gerakan 30 September – pemberontakan partai
komunis Indonesia”
yang bertujuan memperkuat versi pemerintah, malah manambah keraguan pada versi
pemerintah itu sendiri. Dengan turunnya presiden Suharto, 21 Mei 1998, sebagai
hasil perlawanan massa rakyat, khususnya gerakan mahasiswa,
rakyat meraih beberapa kebebasan berexpresi. Kelaliman rezim Orba Suharto di berbagai
bidang kekuasannya mulai diungkap, termasuk penindasan dan pembunuhan gerakan
kiri dan demokratis sejak September 1965. Ex-menlu Subandrio
menerbitkan kesaksiannya mengenai
G30S. Walau mula-mula penerbitannya mendapat hambatan, akhirnya dapat juga
disebarkan secara luas. Omar Dhani, ex-pangau yang divonis hukuman mati yang
kemudian diubah menjadi seumur hidup, dalam bukunya « Tuhan, pergunakanlah
hati, pikiran dan tanganku » memuat lengkap pidato pembelannya di depan
Mahmilub. Dari proses pengadilan itu jelas sekali bahwa bukan kebenaran dan
keadilan yang dikejar Mahmilub. Penghukuman dan vonis sudah
ditetapkan sejak semula.
Penerbitan penting adalah pledoi kolonel Latief yang melibatkan Suharto dalam
peristiwa G30S, karena sudah dilapori oleh Latief sebelum gerakan dimulai. Sa!
lah seorang tokoh PKI, Hasan Raid, menerbitkan otobiagrafinya dengan judul
“Pergulatan Muslim Komunis”. Pada tahun 2001 Maulwi Saelan, ex wakil komandan
Cakrabirawa menerbitkan
memoarnya berjudul “Dari Revolsui
Agustus 1945 sampai kudeta 1966”. Menurut berita di internet, pada 1 Oktober
yad ini, akan ada peluncuran dan bedah buku dr Ribka Ciptaning berjudul “AKU
BANGGA JADI ANAK PKI”. Selama di Indonesia dapat dipertahankan dan diperkuat
kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan penerbitan, pasti penerbitan
demikian akan susul- menyusul. Sesuatu yang patut kita sambut demi memperoleh
kejernihan mengenai tragedi nasional yang menimpa bangsa Indonesia pada
37 tahun yang lalu. Selain publikasi berbagai penerbitan itu perlu kita catat
adanya seminar, sarasehan, diskusi
dls mengenai tema “ Peristiwa
G30S”. Timbul juga tuntutan supaya buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah
dikoreksi. Di salah satu sekolah di Jakarta,
para siswa menggugat guru sejarah dalam kaitan uraiannya mengenai G30S. Para siswa mengorganisasi forum studi dengan mengundang
berbagai narasumber yang relevan. Kelanjutan dari kegiatan-kegiatan ini maka di
kalangan
masyrakat Indonesia
penamaan G30S mulai dilepas kaitannya dengan PKI. Walaupun tetap ada kalangan
yang keras mengkaitkan G30S dengan PKI. Untuk mengenal peranan luar negeri
dalam kaitan dengan peristiwa G30S sangat penting, bahwa belum lama ini
dipublikasi dalam bahasa Indonesia
“Dokumen CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan konspirasi G30S 1965”.
Semua dokumen dalam buku ini
dibuka secara resmi kepada publik oleh State
Department USA.
Kata pengantar pada buku ini mengutip kata-kata Bung Karno, bahwa “Abad ke-20
adalah abad intervensi!” Intervensi asing/Amerika dalam politik dalamnegeri-
negeri lain, d.h.i. Indonesia. Kita
tentu mengenal buku George Kahin, “Subversion as Foreign Policy”. Intervensi
dan subversi tak dapat dipisahkan dengan pekerjaan intelijen. Maka kata
pengantar tsb dengan mengkaji dan mendalami rumusan Bung Karno tentang Abad
Intervensi, menyimpulkan, bahwa secara hakiki tepat sekali
menamakan abad ke-20 juga sebagai
“Abad Intel”. Meneliti
masalah G30S dan
peristiwa-peristiwa lanjutannya, demi
mengungkapkan fakta-fakta yang
benar dengan pasti terkait dengan pekerjaan intel yang complicated.
Syarat-syarat untuk meneliti G30S lebih tersedia sekarang, tapi belum mungkin
diahiri dengan memuaskan. Siapa mendalangi G30S masih tandatanya.
Tetapi atas dasar belum ada
kejelasan mengenai dalam itu, rezim Suharto lpada 37 tahun yl bertindak dengan
melanggar perintah Bung Karno, membubarkan PKI dan semua organisasi kiri dan
demokratis, melancarkan penangkapan dan pembunuhan sewenang-wenang dan
besar-besaran. Rezim Orba dibangun atas dasar pembunuhan dan penindasan ini.
Tegaknya rezim Orba pada hakekatnya membunuh pergerakan kemerdekaan nasional
yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu pergerakan yang mempersatukan
aliran-aliran polititik besar nasionalis, agama dan komunis, yang berhasil
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
dan berdirinya Republik Indonesia.
Penghancuran kekuatan pergerakan nasional itu menja! di benih disintegrasi
bangsa. Fakta-fakta mengenai pembunuhan/pembantaian yang
terjadi sejak 1965 –1966 juga
makin banyak tersingkap. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966
sejak beberapa tahun melakukan penelitian untuk dapat mendata jumlah korban dan
daerah kejadian. Hermawan Sulistiyo dalam bukunya “Palu Arit di Ladang
Tebu”menulis tentang pembantaian masal 1965-1966 di daerah Jombang dan Kediri. Ada juga desertasi Iwan Gardono Sujatmiko
yang membahas pembunuhan itu dan membuat p
yaerbandingan Jawa Timur dan Bali. Setahu saya disertasi ini belum luas tersebar.
Studi-studi itu hanya bisa dilakukan di universitas-universitas luarnegeri.
Kita sesungguhnya masih sangat sedikit mengetahui skala pembantaian dan
lingkungan kawasan yang dicakupnya. Ada
perkiraan bahwa kita hanya tahu 5 – 10% tentang apa yang sesungguhnya
terjadi.Ada yang mengira bahwa
itu terjadi pada pokoknya di
Jawa-Bali dan Sumatera. Sedang mulai terungkap bahwa di pulau Flores
pun terjadsi pembantaian. Semua terjadi tanpa dasar hukum « impunity »
kekebalan hukum
para pelakunya yang tidak bisa
diganggu-gugat selama
tigapuluhtahun lebih. Rezim
Suharto telah menyusun sistem kekuasaan yang bersandar pada penanaman ketakutan
di kalangan rakyat. Walaupun rezim Suharto sudah diganti, sudah dilaksanakan
pemilihan demokratik dan disusun pemerintah baru, sendi-sendi
kekuasaan yang dibangun Suharto
belum diruntuhkan. « Impunity », kekebalan hukum masih belaku seperti terbukti dalam
praksis militer di Aceh, Papua, Maluku dan daerah-daerah lain. Satu warisan
yang ditinggalkan dari kejadian-kejadian pada 37 tahun y.l. ialah para korban
pembunuhan, korban penangkapan dan anak-
cucu para korban tersebut. Rezim
Orba merupakan rezim yang membuat napol/tapol dalam jumlah terbesar dalam
sejarah Indonesia
modern. Ratusan ribu tapol/napol dalam jumlah terbesar dalam sejarah Indonesia
modern. Ratusan ribu tapol/napol dengan keluarga isteri-anak-cucu berjumlah
jutaan yang selama bertahun- tahun diperlakukan sebagai paria. Bahkan pada saat
inipun belum
ada rehabilitasi. Presiden
Abdurrahman Wahid dengan lapang dada berusaha melangkah ke arah rehabilitasi
itu dengan menyatakan maaf atas pembunuhan-pembunuhan masalalu.
Beliau mengajukan usul supaya
mencabut Ketetapaan MPRS 25/1966 mengenai larangan atasPKI dan
Marxisme-Leninisme. Ini usul yang berangkat dari pendirian prinsipil untuk
sungguh-sungguh menegakkan syarat masyarakat demokratik di Indonesia,
bukan karena setuju atgau melarang PKI. Tapi usul itu ditolak meyoritas MPR dan
bahkan Gus Dur kemudian digulingkan. Kesewenang-
wenangan menangkap dan membunuh
orang dengan merasa kebal hukum (impunity) menjadi karakteristik rezim Suharto
dan diwujudkan dalam berbagai katagori tapol/napol. Pada bulan Januari 2002 ini
di Jakarta
diselenggarakan temu raya X-Tanapol dan DPO yang dihadiri 600 orang lebih. Dari
para peserta itu,
mayoritas adalah ex-tanapol G30S.
Disamping itu ada dari ex- DI/TII, Papua, Komando Jihad, gerakan mahasiswa
1977-78, Borobudur, Lampung, PRD, 27 Juli, HKBP, Tanjung Priok, buruh, tani,
golput/mahasiswa, primadosa, usroh dll. Segi baiknya temu raya ini bahw
ex-tanapol dari latarbelakang sosial-politik yang sangat berbeda-beda dapat
bertemu atas dasar kesamaan nasib,
yaitgu sama-sama pernah menjadi
tanapol dan DPO rezim orde baru Suharto dan bertemu sebagai sesama warganegara
bangsa Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa diantara sesama warganegara bangsa Indonesia dapat
ditumbuhkan saling pengertian dan tak diperlukan rekonsiliasi khusus.
Masalahnya bukan antara sesama
tanapol, tapi antaqra
negara/kekuasaan dengan warga
masyarakatnya. Yang harus
dikoreksi adalah perlakuan negara yangtidak adil, sewenang-wenang dan
diskriminatif atas warganegaranya sendiri. Koreksi ini hanyalah dengan pengakuan
kesalahannya, dengan rehabilitasi – memulihkan semua hak sebagai warganegara Indonesia.
Tanapol G30S boleh dikatakan meliputi segala lapisan/sektor/katagori
masyarakat. Mereka mengorganisir diri dalam berbagai organisasi atau kelompok
untuk
kepentingan advokasi. (Sedikitnya
terdapat 11 organisasi semacam itu – I.I.)). Diluar negeri pun terdapat jumlah
yang tidak kecil warga Indonesia
yang tersebar di berbagai negeri Eropa, Amerika dan Asia yang dicabut
kewarganegaraannya dan terancam keselamatannya bila pulang ke Indonesia. Gus
Durlah yang juga memberi perhatian pada masalah tsb. Dengan Instruksi Presiden
Pertama Januari 2000 beliau
mengirim Menteri Kehakimannya ke Belanda untuk memecahkan masalah ini. Tapi
sampai September 2002 ini belum ada langkah hukum konkret apapun yang menuju
pemecahannya. Bagaimana harapan ke depan bagi semua « korban » orde baru ini ?
Kita harus realis ! Dalam kondisi Indonesia
sekarang ini yang
bertumpuk-tumpuk masalah mendesak yang menuntut pemecahan, yang satu lebih
urgen dari yang lain, sama- sama menempati prioritas, tidak dapat diharapkan
apa-apa. Usaha berbagai organisasi itu adil dan perlu dilanjutkan betapa
beratpun rintangannya. Tapi usaha itu harus berpadu dengan usaha bersama-sama
di bidang-bidang yang dapat digeluti untuk memperjuangkan demokratisasi,
menegakkan keadilan hukum,
mengorganisir bermacam-macam
organisasi massa
rakyat yang memperjuangkan dan membela kepentingannya di berbagai sektor
measyarkat. Perlu menuntut pada pemerintah, tapi rakyat tidak menggantungkan
diri pada kemauan baik, melainkan memberdayakan diri di semua bidang kegiatan
masyarakat. Pada saat ini nampaknya proses itu sedang berjalan. Kita, menurut
syarat yang ada pada kita masing-masing wajib berpartisipasi
dalam proses itu.
|back to top|
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as