Yang Tak Berubah
Sinta Yudisia
Sejak kecil Ramadhan selalu menjadi bulan yang
mengesankan lebih dari waktu-waktu yang lain. Bahkan Lebaran atau Tahun Baru
tak disambut semeriah seperti saat menyambut datangnya bulan puasa. Pertengahan
Sya’ban, masjid-masjid Arab mulai mendengungkan Al-Quran sejak pukul dua belas
malam. Masjid tradisional lain mulai berbenah, memperbarui cat tembok atau bila
kas berlebih takmir masjid akan mengganti mimbar dan permadani sekaligus
mengganti ubin teras dengan yang baru.
Aku dan teman-teman semasa kecil ikut larut dalam kemeriahan. Kami berlomba
menyiapkan sarung dan sajadah baru, gadis-gadis sibuk menjahitkan baju dan
mukena. Bahkan kami berusaha menabung membeli baju beberapa karena tiap tarawih
dan kuliah subuh harus tampil keluar rumah dalam pakaian bersih. Bapak dan
ibuku bukan orang kaya, tapi Ibu selalu berusaha mengganti baju anak-anaknya
tiap memasuki Ramadhan. Ibu akan mencari bahan murah di kain kiloan kemudian
menjahit sendiri. Sekalipun jahitan beliau terkadang kurang pas, tapi aku
senang sekali memakainya karena hemku bertambah beberapa buah. Saat yang paling
menyenangkan adalah ta’jil atau menikmati makanan berbuka puasa. Jangan dikata
kami menikmati makanan mewah. Kampungku lebih banyak dihuni orang-orang dari
kalangan menengah ke bawah. Namun masjid kami, Nurul Huda, tetaplah meriah.
Sebungkus kolak, kacang hijau atau koktail, cukup membuat kami berebut hingga
terkadang tumpah pecah beberapa buah yang menyebabkab takmir masjid marah
besar. Aku dan teman-teman akan segera membersihkan sembari cekikikan.
Terkadang ta’jil juga berupa nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya. Ibu lebih
senang membuat nasi bungkus saat mendapat giliran karena menurutnya ini lebih
mengenyangkan, sekaligus beliau memasak untuk sekeluarga. Biasanya ibu membuat
mie, sambal kering tempe, dan telur rebus separo. Alangkah nikmatnya aku
menyantap makanan itu di teras masjid, berlomba menghabiskan bersama
teman-teman kecilku karena sebentar lagi kami akan berebut tempat wudhu.
Ada kejadian memalukan yang tak akan pernah terlupa. Ibu memintaku membawa
Arifin, adikku, ke masjid saat pengajian asar menyambut datangnya buka puasa.
Beliau harus pergi mengunjungi salah satu kerabat yang sakit di Rumah Sakit Kardinah
sementara Bapak masih harus menjaga kios obat di dekat terminal. Walau berat
hati kuturuti permintaan Ibu, bukan karena aku tak mau menjaga Arifin tapi
karena adikku yang satu itu luar biasa bandelnya. Ia tak cukup hanya berdiam
diri mendengarkan ceramah walau telah berbekal seplastik kresek kue dan permen
kesukaannya. Ia berlari-lari di tengah masjid, naik mimbar, meloncat-loncat di
atas meja panjang pengajian, hingga naik ke pagar besi yang membuat bapak-bapak
dan para ibu di situ berteriak-teriak mengkhawatirkan keselamatannya.
Lengkaplah pederitaanku ketika tiba-tiba ia tanpa bersalah menghentikan
aktivitasnya lalu menunduk, memandang di antara kedua kakinya, melihat sebuah
cairan kuning hangat merembes keluar. Teriakan teman-temanku menandakan sebuah
bencana telah terjadi.
“Ardi! Adikmu ngompol!”
Aku pucat pasi dengan dada berdegup hebat. Ngompol? Di tengah masjid, di atas
sajadah-sajadah? Merah padam mukaku mengemasi sajadah yang najis sembari
mengepel lantai. Tatapan takmir serasa menghukumku tanpa ampun, aku pulang
sambil menggendong Arifin. Kucubiti ia sepanjang jalan hingga meraung. Di rumah
Ibu pun menegur lantaran aku bersikap kasar pada adik hingga aku menangis
karena sedih dan malu, walau di malam hari Ibu meminta maaf atas kejadian tersebut.
Rasanya belum pernah aku menjadi pahlawan penuh pengorbanan seperti itu.
Sepanjang kereta api ekonomi yang mengguncang tubuhku sejak dari Yogya,
bayangan demi bayangan masa kecilku melintas begitu rupa. Yudha, Erwin, Bagas,
Firdaus. Si centil Eka dan Risma. Apa kabar teman-teman masa kecilku sekarang?
Aku mendekap erat tas ransel di perut, melindungi bunyi kemeriuk yang muncul
dari perut. Fajar tadi aku bangun terlalu lambat hingga hanya sempat minum
sesendok madu dan segelas air putih. Indekos di akhir Ramadhan mulai sepi,
hanya tinggal aku dan Fajar, anak Lampung. Bausasran mulai ditinggalkan celoteh
anak-anak muda yang tak pernah kehabisan bahan diskusi.
Sekarang penghuninya hanya penduduk asli dan kerabat dekat mereka yang pulang
kampung merayakan Lebaran. Aku pulang H minus tiga karena anak lesku tak mau
ditinggalkan. Bagi anak kelas dua SMP itu aku bukan hanya sekedar guru
matematika, tapi juga teman berbagi mengingat kedua orang tuanya sibuk dari
pagi hingga selepas magrib. Aku sendiri tak begitu memahami kerja mamanya yang
cantik bak bintang film, kabarnya ia bekerja di Sheraton Hotel yang justru
makin sibuk menjelang Idul Fitri. Aku menyandarkan kepala ke belakang,
mengatasi rasa pusing dan lapar. Jangan dikata seperti apa gerbong ini sekarang.
Penuh sesak berjejal seperti para peserta transmigrasi. Kalau saja di Tegal
tersedia lapangan terbang, aku pasti memilih jalur udara yang tiketnya sangat
bersaing sekarang. Bila terbang ke Makassar cukup empat puluh dua ribu,
barangkali ke Tegal hanya butuh dua puluh ribu.
Aku memejamkan mata meski sesekali mengintip dari balik kelopak mata yang
tertutup topi. Lalu-lalang orang. Penjaja makanan. Sekarang orang tak malu lagi
makan di siang hari atau merokok saat bulan puasa. Sedih dan kecewa, apalagi
bila kuingat masa kecilku. Temanku akan malu luar biasa bila ketahuan tidak
puasa dan akan menjadi bahan ledekan sepanjang hari. Kini jangankan anak-anak,
di Malioboro Mall para pemuda tak malu-malu nongkrong di kafe saat matahari
masih terang benderang. Kueratkan dekapan ransel. Tas butut yang berisi harta
karun oleh-oleh hasil keringatku sendiri dari mengajar les dan bisnis souvenir.
Bakpia, yangko, kue kipo khas Kotagede kesukaan Ibu. Tak ketinggalan
Silverqueen selera Arifin meski ia telah menginjak bangku SMU. Cokelat itu
sudah banyak dijual di Tegal tentu saja, tapi membawanya jauh-jauh sebagai
oleh-oleh akan terasa berbeda.
***
Aku seperti kue kering yang sudah sangat kemeriuk di dalam oven.
Panas terik. Penumpang berjejal. Setiap kaki berniat ingin turun terlebih
dahulu. Logat Betawi dan Ngapak bertumpang tindih. Antara lu dan nyong sering
salah kaprah. Orang-orang perantauan ini ingin terlihat pulang dalam keadaan
mapan. Baju beraneka ragam. Tas-tas sarat beban, meski tak seorang pun tahu kehidupan
seperti apa yang mereka jalani sehari-hari. Temanku yang kuliah di UNJ cerita,
banyak orang Tegal sukses merantau tapi tak berhasil membangun daerah asalnya
sendiri lantaran terlalu sibuk menghamburkan uang mengejar gengsi sebagaimana
layaknya tuntutan kota besar.
Aku tetap mendekap ransel, khawatir tukang copet mulai berkeliaran.
Uangku tak seberapa tapi rasanya tak rela sepeserpun hasil jerih payah ini
raib. Kuseka keringat di leher sembari melirik arloji di pergelangan. Naif
sekali melihat jam berapa sekarang, seolah mengukur berapa lama lagi aku harus
bersabar menahan dahaga. Tukang becak dan sopir taksi berebut menyambut. Aku
sibuk mengangguk sembari menggeleng, campuran antara salam menghormat pada
mereka yang sudah sepuh mengayuh pedal sekaligus menolak tawaran baik itu. Aku
berjalan keluar peron, menanti di lapangan parkir stasiun dekat Taman Poci.
Mataku berkeliling, tersenyum sendiri mengingat betapa dekatnya hidupku selama
ini dengan pohon-pohon akasia rindang dan suasana sederhana yang belum lepas
dari kehidupan keseharian di sini.
“Slawi, Den…”
“Binjaran, Mas?”
“Lebaksiu, Lebaksiu!”
“Martoloyo, monggo. Terserah Mas berapa, asal pantes.”
Aku tersenyum gugup. Hatiku terluka terpaksa menolak permintaan mereka.
Seandainya aku punya uang banyak. Kupercepat langkah meninggalkan kerumunan
orang yang membuatku semakin merasa terhimpit rasa bersalah. Di ujung lapangan
parkir aku berhenti sebentar mengatur napas.
Sudah tidak lagi tampak orang-orang mengerumuniku meski beberapa pasang mata sopir
angkot masih meneliti apakah aku bersedia naik mobil mereka ataukah tidak. Di
tepi parkiran ini lebih sejuk. Tak banyak tukang becak maupun mobil angkot
ngetem, pohon akasia pun masih rimbun berjajar. Mataku tertumbuk tiba-tiba pada
tugu tua dekat pom bensin. Tugu batu kokoh yang telah berlumut berusia ratusan
tahun. Ilalang tinggi mengelilinginya, menutupi sebagian teras kecil berpelur
semen yang telah retak di depan tugu. Bukan tugu itu yang membuat mataku
terhujam. Tapi sosok seseorang. Seseorang yang masih tetap duduk setia di situ,
bertopi lobe rajutan wol usang, berselimutkan sarung tua. Buntalan kain masih
ada di sisinya, tak lekang menemani bersama segelas besar cangkir seng yang
sudah terkelupas catnya di banyak tempat. Ia masih di situ. Lelaki itu masih di
situ. Wajahnya masih tetap sama seperti ketika aku melewatinya setiap hari
bersama teman-teman beriringan naik sepeda menuju sekolah dasar kami di
Mangkusuman.
***
Ibu menghujaniku dengan ciuman. Diana dan Arifin bergantian memelukku, Bapak
mengacak-acak rambutku. Dari sekian banyak anugerah Allah yang diberikan,
keluarga inilah nikmat terbesar yang kumiliki. Aku mengeluarkan jilbab dan kain
bermotif bunga kecil-kecil sebagai hadiah untuk Diana. Ia sedang belajar
menjahit sendiri dari gurunya, ibu kami, yang juga penjahit amatiran. Aku
sering meledeknya kenapa sudah terampil ini itu padahal ia baru kelas tiga SMU.
“Mau nikah cepat yeee?” ledekku.
Mukanya memerah.
“Sembarangan!” umpatnya. “Aku pingin nanti kalau kuliah punya keahlian khusus.
Di koran beberapa kali kubaca, anak kuliah yang sukses mengelola bisnis boneka
atau selimut patchwork. Biar tamat kuliah nggak jadi pengangguran.”
“Iyaa. Percaya, percayaaa…”
Buka puasa bersama hari itu adalah kebahagiaan luar biasa yang akan selalu kukenang.
Ibu mengumumkan bahwa beliau telah menjahit seragam warna hijau lumut bagi kami
semua. Ia juga telah membuat nastar dan kaastengels yang rasanya membuat aku
dan Diana cengar cengir. Tapi untuk urusan memasak masakan tradisional seperti
nagasari dan ketupat opor, ibu adalah ahlinya. Sekali berbuka telah kucomot
tiga bungkus nagasari. Rasa nikmat di mulut tiba-tiba terhenti.
“Gimana perjalanannya, Mas?” tanya Diana.
“Baik. Maksudmu sepanjang naik kereta kan?”
“Iya. Aku dan Ibu sempat khawatir mendengar berita di tivi tentang arus mudik
Lebaran. Belum lagi rel kereta ambles, kecelakaan, kriminal.”
Aku tersenyum dikulum.
“Itulah, makanya saat mudik seperti ini bukannya menghamburkan kesenangan tanpa
kontrol tapi justru makin minta perlindungan sama Yang Di Atas. Namanya musibah
ada di mana-mana.”
Bukan kengerian mudik itu yang membuat kenikmatan mengunyah nagasari hilang
seketika. Bayangan kepulanganku siang tadi, kerumunan tukang becak, dan tentu
saja. Tugu tua dan penghuni setianya.
“Kamu masih sering lewat tugu stasiun?” tanyaku pada Diana yang tengah
membenahi meja makan.
“Ya sering. Tiap hari kan aku lewat situ kalau mau ke Slerok, ke sekolahku.”
Aku terdiam, menyeruput teh hangat.
“Kamu suka lihat pak tua yang duduk depan tugu?”
“Apa? Siapa?”
“Pak tua,” ulangku setengah tak sabar. “Yang di depan tugu.”
Diana terlihat berpikir.
“Yang di pom bensin? Tukang-tukang jual burung itu?”
“Bukan!” dengusku. “Yang di tugu tua, kok di pom bensin. Iya, memang tugunya di
depan pom bensin. Masa kamu nggak pernah lihat sih?”
“Ooo…..yang di tugu tua,” ulang Diana. “Tugu yang mana?”
Aku menarik jilbab Diana ke belakang hingga poninya berantakan. Ia merengut
tapi terkekeh kemudian.
“Kenapa sih Mas? Segitunya. Pake marah-marah lagi.”
Aku menghela napas.
“Bukan apa-apa,” suaraku melunak. “Cuma….ya….rasanya kasihan saja lihat pak tua
itu bertahun-tahun hanya duduk di situ.”
Diana mengangguk.
“Mas masih ingat pengemis buta yang selalu tertawa di Tegalsari? Dekat
minimarket Tiara?”
Aku mengiyakan. Sesosok tubuh yang tak pernah lepas tersenyum menengadahkan
tangan sembari bertelekan pada sebuah tongkat bambu panjang, di sambung dengan
payung hitam di atasnya. Garis wajahnya menunjukkan ia bukan orang berpikiran
normal, apalagi senyum kekanakan selalu menghias wajahnya.
“Dia masih mengemis di Tegalsari?”
“Masih. Sekali waktu aku malah lihat dia naik becak jalan-jalan di pantai PAI
atau keliling pasar pagi.”
Aku tertegun, menggigit bibir.
“Banyak yang tidak atau belum berubah, Mas,” Diana meletakkan gerabah kotor di
tempat cucian. Ia menatapku lekat. “Tapi banyak juga yang sudah berubah.”
Aku melongo. Tak sempat berpikir lama karena Ibu sudah mengajak kami semua ke
masjid bersipa mengikuti shalat isya dan tarawih.
********
Melihat masjid kami, Nuruk Huda, mengantarkanku pada kenangan-kenangan di masa
silam. Teman-teman kecilku yang periang dan banyak akal. Tak peduli lelaki atau
perempuan kami banyak menghabiskan bermain bersama apalagi di saat berpuasa.
Main perang-perangan pak-pak dor atau main sandiwara-sandiwaraan. Arenanya
bergantian dari satu rumah ke rumah lain, tetapi rumahku yang berhalaman cukup
luas, ditumbuhi pohon mangga dan jambu menjadi tempat favorit teman-teman. Aneh
sekali, kerumunan sholat tarawih itu tak semeriah saat aku kecil dulu.
“Banyak yang belum pulang kampung, ya?” tanyaku.
“Siapa?” tanya Diana.
“Yudha, Firdaus, Eka, Risma, dan lain-lain.”
Malam itu, meski tubuhku lelah luar biasa aku tak ingin segera berangkat tidur.
Rasa kangen pada Bapak Ibu dan adik-adik membuat mulutku ingin banyak bercerita
dan bertanya.
“Kok tadarrusannya cuma bapak-bapak tua?” lamat telingaku mendengar suara
ayat-ayat suci dilantunkan. “Sudah pada sibuk buat kue ya?”
“Sejak awal memang lebih banyak bapak-bapak kok, Mas.”
“Lho, kamu nggak ikut?”
Diana angkat bahu.
“Malas. Nggak ada teman.”
“Lha itu, Mbak Eka sama Mbak Risma. Juga teman-teman kamu si Fifi sama Galuh
yang satu sekolah sama kamu. Ke mana mereka?”
Diana terdiam.
“Mbak Eka…..” mulut Diana terbuka tapi urung bercerita. “Ah, sudahlah. Nggak
usah diceritakan.”
Dahiku berkerut. Punggungku yang sudah sempat melorot di sofa tertegak lagi.
“Ada apa sama Eka?” Ingatanku melayang pada seraut wajah manis dengan dua mata
bundar yang bening sekali.
“Mbak Eka sibuk,” sahut Diana singkat. Ia beranjak ke dapur sebentar mengambil
semangkok kolak bertabur cacahan es batu di atasnya. Aku serta merta menimbrung
mengganggunya.
“Sibuk?” mulutku penuh pisang. “Lagi skripsi ya?”
“Bukan!” sergah Diana. Ia terlihat ragu sebentar. “Sibuk sama anaknya!”
Sendokku tergelincir jatuh ke lantai. Hampir saja pisang di mulutku ikut
tercecer juga kalau tidak buru-buru kudorong masuk ke kerongkongan.
“Anak….anaknya? Anaknya siapa?”
“Ya anaknya ibunya sama bapaknya,” sahut Diana sewot. “Masa anaknya kucing!”
Mulutku menganga lebar sekali.
***
Aku mencoba baju koko hijau lumut bermotif kotak yang dibuatkan Ibu. Meski
rasanya kurang pas untuk kulitku yang cenderung gelap, aku tetap berterima
kasih. Bagaimanapun Ibu pasti telah susah payah memilih bahan di tengah panas
terik bulan puasa belum lagi mengebut melembur membuatnya. Aku cenderung
mengikuti garis Bapak yang gelap dan berahang tegas, sementara kedua adikku
berkulit terang seperti Ibu dan berparas lembut. Ibu mengelus rambutku.
“Anak Ibu ganteng,” pujinya tulus. Pujian yang sering kudengar sejak aku duduk
di bangku taman kanak-kanak. Membuatku seperti pangeran nomor satu sementara
setelah kulihat aslinya di cermin tak lebih bernilai tujuh, bolehnya diberi
angak delapan bila jurinya tengah mengantuk.
Kuamati wajahku di cermin. Bukan cuma raut itu yang muncul di sana. Wajah manis
Eka ikut membayang.
“Eka nikah sama siapa, Bu?”
Ibu menghela napas.
“Sama teman kamu sendiri,” ujarnya pelan. “Bagas.”
Aku menelan ludah. Perih. Suara Bagas yang lantang mengumandangkan azan
maghrib, dalam busana koko putih bersih dan peci rapi terlintas di khayalan.
Eka yang mengenakan jilbab miring-miring, seringkali menangis jika kami
menarik-narik kerudungnya hingga jatuh mencekik leher. Aku dan teman-teman yang
berebut meminta jatah mengaji terlebih dahulu dari guru kami, Ustadz Muhammad.
“Kenapa mereka, Bu?” aku menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
“Yudha sekarang di gundul plontos kepalanya, hidungnya pake anting-anting,”
jelas Ibu. “Dia jadi bandar togel di kawasan dekat terminal lama. Risma? Dia
sepertinya jadi apa itu… espe… espe... pokoknya apalah. Promosi produk teh.”
“SPG,” aku meralat. “Sales Promotion Girl. Iya, memang tugasnya mempromosikan
barang.”
Aku teringat sosok kurus dan jangkung Risma sewaktu kecil. Ia mungkin masih
tetap seperti itu kini, mungkin ditambah perubahan balutan kaos dan celana
panjang ketat. Berpoles lipstik merah dan pandai bermain kata. Tak sepadan
dengan ingatanku pada seorang gadis bertahun lalu yang sering mendapat pujian
dari Ustadz Muhammad akan tulisan khot-nya yang rapi dan indah.
“Yang tetap mungkin Firdaus,” jelas Ibu sedikit melegakan. “Selepas STM dia
ikut bekerja di bengkel bubut pamannya di Kejambon.”
Aku mengangguk. Sebersit kental kerinduan membuatku ingin segera bertemu
Firdaus.
“Apa yang salah dengan teman-temanku, Bu?”
Ibu menatapku dalam.
“Bu Hamidah, ibu Bagas dan Bu Esti, ibu Yudha sama-sama teman Ibu di pengajian
tiap Jumat sore. Mereka para ibu yang sholehah, mereka menangis ketika
mengadukan perihal anaknya pada Ibu. Sebetulnya ibu malu sekali karena seolah
mereka meminta nasihat pada Ibu bagaimana caranya mendidik anak jadi seperti
kamu dan adik-adikmu. Penurut. Taat ibadah.”
Aku menunduk, sangat tak pantas menerima sanjungan semacam itu. Rezeki Allah
yang berlimpah atas diriku dipertemukan lingkungan yang sholeh di kampus Gajah
Mada hingga aku mengenal Islam semakin dalam.
“Terus Ibu bilang apa?”
“Ibu bilang, tak ada yang tetap di dunia ini. Semua dapat berubah jika kita
yakin berdoa. Cobaan mereka dapat menjadi hikmah bila terus menerus bermunajat,
sebaliknya jika Ibu tak pandai bersyukur Ibu akan kehilangan semua nikmat ini.”
Aku tersenyum, mengagumi kesederhanaan dan ketawadu’an Ibu. Aku masih berdiam
di kamar Ibu, duduk menemaninya di saat Bapak masih sibuk bekerja di kiosnya.
“Aku kadang nggak mengerti, Bu, kenapa orang tak memanfaatkan apa yang telah
diberikan Allah sebaik-baiknya. Bagas dan Eka lebih baik kehidupannya dari
kita, juga Yudha. Sementara itu pun aku ingat pak tua di tugu dan pengemis buta
di Tegalsari. Jika saja mereka punya kesempatan lebih baik, mereka mungkin akan
mencapai apa yang diinginkan.”
“Begitu kan selalu benak manusia?” ibu tersenyum. “Jika, jika, dan jika. Siapa
tahu kehadiran orang-orang seperti pak tua dan pengemis itu justru senantiasa
mengingatkan orang-orang seperti kita betapa beruntungnya hidup kita selama
ini..”
Aku tertawa lirih.
“Ya… justru mereka ya, Bu, orang-orang yang nggak pernah berubah. Tetap saja
merasa cukup dengan keterbelakangan mereka. Tetap memberikan suatu penyadaran
ruhani tanpa mereka sendiri sadari.”
Ibu mengangguk. Aku meringkuk di kasur Ibu, kebiasaan yang belum berubah
semenjak kecil, menganggap tempat paling nyaman di dunia adalah kamar kedua
orangtuaku. Diana dan Arifin pun begitu. Samar kudengar Ibu masih memainkan
mesin jahit, memperbaiki potongan pakaianku yang terasa kurang pas. Ada yang
selalu berubah dalam hidup ini, ada yang tetap senantiasa. Segala yang fana
akan berubah, segala yang hakikat akan tetap . Sama seperti kasih sayang Bapak
Ibu kepadaku.
Sinta Yudisia
Sejak kecil Ramadhan selalu menjadi bulan yang
mengesankan lebih dari waktu-waktu yang lain. Bahkan Lebaran atau Tahun Baru
tak disambut semeriah seperti saat menyambut datangnya bulan puasa. Pertengahan
Sya’ban, masjid-masjid Arab mulai mendengungkan Al-Quran sejak pukul dua belas
malam. Masjid tradisional lain mulai berbenah, memperbarui cat tembok atau bila
kas berlebih takmir masjid akan mengganti mimbar dan permadani sekaligus
mengganti ubin teras dengan yang baru.
Aku dan teman-teman semasa kecil ikut larut dalam kemeriahan. Kami berlomba
menyiapkan sarung dan sajadah baru, gadis-gadis sibuk menjahitkan baju dan
mukena. Bahkan kami berusaha menabung membeli baju beberapa karena tiap tarawih
dan kuliah subuh harus tampil keluar rumah dalam pakaian bersih. Bapak dan
ibuku bukan orang kaya, tapi Ibu selalu berusaha mengganti baju anak-anaknya
tiap memasuki Ramadhan. Ibu akan mencari bahan murah di kain kiloan kemudian
menjahit sendiri. Sekalipun jahitan beliau terkadang kurang pas, tapi aku
senang sekali memakainya karena hemku bertambah beberapa buah. Saat yang paling
menyenangkan adalah ta’jil atau menikmati makanan berbuka puasa. Jangan dikata
kami menikmati makanan mewah. Kampungku lebih banyak dihuni orang-orang dari
kalangan menengah ke bawah. Namun masjid kami, Nurul Huda, tetaplah meriah.
Sebungkus kolak, kacang hijau atau koktail, cukup membuat kami berebut hingga
terkadang tumpah pecah beberapa buah yang menyebabkab takmir masjid marah
besar. Aku dan teman-teman akan segera membersihkan sembari cekikikan.
Terkadang ta’jil juga berupa nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya. Ibu lebih
senang membuat nasi bungkus saat mendapat giliran karena menurutnya ini lebih
mengenyangkan, sekaligus beliau memasak untuk sekeluarga. Biasanya ibu membuat
mie, sambal kering tempe, dan telur rebus separo. Alangkah nikmatnya aku
menyantap makanan itu di teras masjid, berlomba menghabiskan bersama
teman-teman kecilku karena sebentar lagi kami akan berebut tempat wudhu.
Ada kejadian memalukan yang tak akan pernah terlupa. Ibu memintaku membawa
Arifin, adikku, ke masjid saat pengajian asar menyambut datangnya buka puasa.
Beliau harus pergi mengunjungi salah satu kerabat yang sakit di Rumah Sakit Kardinah
sementara Bapak masih harus menjaga kios obat di dekat terminal. Walau berat
hati kuturuti permintaan Ibu, bukan karena aku tak mau menjaga Arifin tapi
karena adikku yang satu itu luar biasa bandelnya. Ia tak cukup hanya berdiam
diri mendengarkan ceramah walau telah berbekal seplastik kresek kue dan permen
kesukaannya. Ia berlari-lari di tengah masjid, naik mimbar, meloncat-loncat di
atas meja panjang pengajian, hingga naik ke pagar besi yang membuat bapak-bapak
dan para ibu di situ berteriak-teriak mengkhawatirkan keselamatannya.
Lengkaplah pederitaanku ketika tiba-tiba ia tanpa bersalah menghentikan
aktivitasnya lalu menunduk, memandang di antara kedua kakinya, melihat sebuah
cairan kuning hangat merembes keluar. Teriakan teman-temanku menandakan sebuah
bencana telah terjadi.
“Ardi! Adikmu ngompol!”
Aku pucat pasi dengan dada berdegup hebat. Ngompol? Di tengah masjid, di atas
sajadah-sajadah? Merah padam mukaku mengemasi sajadah yang najis sembari
mengepel lantai. Tatapan takmir serasa menghukumku tanpa ampun, aku pulang
sambil menggendong Arifin. Kucubiti ia sepanjang jalan hingga meraung. Di rumah
Ibu pun menegur lantaran aku bersikap kasar pada adik hingga aku menangis
karena sedih dan malu, walau di malam hari Ibu meminta maaf atas kejadian tersebut.
Rasanya belum pernah aku menjadi pahlawan penuh pengorbanan seperti itu.
Sepanjang kereta api ekonomi yang mengguncang tubuhku sejak dari Yogya,
bayangan demi bayangan masa kecilku melintas begitu rupa. Yudha, Erwin, Bagas,
Firdaus. Si centil Eka dan Risma. Apa kabar teman-teman masa kecilku sekarang?
Aku mendekap erat tas ransel di perut, melindungi bunyi kemeriuk yang muncul
dari perut. Fajar tadi aku bangun terlalu lambat hingga hanya sempat minum
sesendok madu dan segelas air putih. Indekos di akhir Ramadhan mulai sepi,
hanya tinggal aku dan Fajar, anak Lampung. Bausasran mulai ditinggalkan celoteh
anak-anak muda yang tak pernah kehabisan bahan diskusi.
Sekarang penghuninya hanya penduduk asli dan kerabat dekat mereka yang pulang
kampung merayakan Lebaran. Aku pulang H minus tiga karena anak lesku tak mau
ditinggalkan. Bagi anak kelas dua SMP itu aku bukan hanya sekedar guru
matematika, tapi juga teman berbagi mengingat kedua orang tuanya sibuk dari
pagi hingga selepas magrib. Aku sendiri tak begitu memahami kerja mamanya yang
cantik bak bintang film, kabarnya ia bekerja di Sheraton Hotel yang justru
makin sibuk menjelang Idul Fitri. Aku menyandarkan kepala ke belakang,
mengatasi rasa pusing dan lapar. Jangan dikata seperti apa gerbong ini sekarang.
Penuh sesak berjejal seperti para peserta transmigrasi. Kalau saja di Tegal
tersedia lapangan terbang, aku pasti memilih jalur udara yang tiketnya sangat
bersaing sekarang. Bila terbang ke Makassar cukup empat puluh dua ribu,
barangkali ke Tegal hanya butuh dua puluh ribu.
Aku memejamkan mata meski sesekali mengintip dari balik kelopak mata yang
tertutup topi. Lalu-lalang orang. Penjaja makanan. Sekarang orang tak malu lagi
makan di siang hari atau merokok saat bulan puasa. Sedih dan kecewa, apalagi
bila kuingat masa kecilku. Temanku akan malu luar biasa bila ketahuan tidak
puasa dan akan menjadi bahan ledekan sepanjang hari. Kini jangankan anak-anak,
di Malioboro Mall para pemuda tak malu-malu nongkrong di kafe saat matahari
masih terang benderang. Kueratkan dekapan ransel. Tas butut yang berisi harta
karun oleh-oleh hasil keringatku sendiri dari mengajar les dan bisnis souvenir.
Bakpia, yangko, kue kipo khas Kotagede kesukaan Ibu. Tak ketinggalan
Silverqueen selera Arifin meski ia telah menginjak bangku SMU. Cokelat itu
sudah banyak dijual di Tegal tentu saja, tapi membawanya jauh-jauh sebagai
oleh-oleh akan terasa berbeda.
***
Aku seperti kue kering yang sudah sangat kemeriuk di dalam oven.
Panas terik. Penumpang berjejal. Setiap kaki berniat ingin turun terlebih
dahulu. Logat Betawi dan Ngapak bertumpang tindih. Antara lu dan nyong sering
salah kaprah. Orang-orang perantauan ini ingin terlihat pulang dalam keadaan
mapan. Baju beraneka ragam. Tas-tas sarat beban, meski tak seorang pun tahu kehidupan
seperti apa yang mereka jalani sehari-hari. Temanku yang kuliah di UNJ cerita,
banyak orang Tegal sukses merantau tapi tak berhasil membangun daerah asalnya
sendiri lantaran terlalu sibuk menghamburkan uang mengejar gengsi sebagaimana
layaknya tuntutan kota besar.
Aku tetap mendekap ransel, khawatir tukang copet mulai berkeliaran.
Uangku tak seberapa tapi rasanya tak rela sepeserpun hasil jerih payah ini
raib. Kuseka keringat di leher sembari melirik arloji di pergelangan. Naif
sekali melihat jam berapa sekarang, seolah mengukur berapa lama lagi aku harus
bersabar menahan dahaga. Tukang becak dan sopir taksi berebut menyambut. Aku
sibuk mengangguk sembari menggeleng, campuran antara salam menghormat pada
mereka yang sudah sepuh mengayuh pedal sekaligus menolak tawaran baik itu. Aku
berjalan keluar peron, menanti di lapangan parkir stasiun dekat Taman Poci.
Mataku berkeliling, tersenyum sendiri mengingat betapa dekatnya hidupku selama
ini dengan pohon-pohon akasia rindang dan suasana sederhana yang belum lepas
dari kehidupan keseharian di sini.
“Slawi, Den…”
“Binjaran, Mas?”
“Lebaksiu, Lebaksiu!”
“Martoloyo, monggo. Terserah Mas berapa, asal pantes.”
Aku tersenyum gugup. Hatiku terluka terpaksa menolak permintaan mereka.
Seandainya aku punya uang banyak. Kupercepat langkah meninggalkan kerumunan
orang yang membuatku semakin merasa terhimpit rasa bersalah. Di ujung lapangan
parkir aku berhenti sebentar mengatur napas.
Sudah tidak lagi tampak orang-orang mengerumuniku meski beberapa pasang mata sopir
angkot masih meneliti apakah aku bersedia naik mobil mereka ataukah tidak. Di
tepi parkiran ini lebih sejuk. Tak banyak tukang becak maupun mobil angkot
ngetem, pohon akasia pun masih rimbun berjajar. Mataku tertumbuk tiba-tiba pada
tugu tua dekat pom bensin. Tugu batu kokoh yang telah berlumut berusia ratusan
tahun. Ilalang tinggi mengelilinginya, menutupi sebagian teras kecil berpelur
semen yang telah retak di depan tugu. Bukan tugu itu yang membuat mataku
terhujam. Tapi sosok seseorang. Seseorang yang masih tetap duduk setia di situ,
bertopi lobe rajutan wol usang, berselimutkan sarung tua. Buntalan kain masih
ada di sisinya, tak lekang menemani bersama segelas besar cangkir seng yang
sudah terkelupas catnya di banyak tempat. Ia masih di situ. Lelaki itu masih di
situ. Wajahnya masih tetap sama seperti ketika aku melewatinya setiap hari
bersama teman-teman beriringan naik sepeda menuju sekolah dasar kami di
Mangkusuman.
***
Ibu menghujaniku dengan ciuman. Diana dan Arifin bergantian memelukku, Bapak
mengacak-acak rambutku. Dari sekian banyak anugerah Allah yang diberikan,
keluarga inilah nikmat terbesar yang kumiliki. Aku mengeluarkan jilbab dan kain
bermotif bunga kecil-kecil sebagai hadiah untuk Diana. Ia sedang belajar
menjahit sendiri dari gurunya, ibu kami, yang juga penjahit amatiran. Aku
sering meledeknya kenapa sudah terampil ini itu padahal ia baru kelas tiga SMU.
“Mau nikah cepat yeee?” ledekku.
Mukanya memerah.
“Sembarangan!” umpatnya. “Aku pingin nanti kalau kuliah punya keahlian khusus.
Di koran beberapa kali kubaca, anak kuliah yang sukses mengelola bisnis boneka
atau selimut patchwork. Biar tamat kuliah nggak jadi pengangguran.”
“Iyaa. Percaya, percayaaa…”
Buka puasa bersama hari itu adalah kebahagiaan luar biasa yang akan selalu kukenang.
Ibu mengumumkan bahwa beliau telah menjahit seragam warna hijau lumut bagi kami
semua. Ia juga telah membuat nastar dan kaastengels yang rasanya membuat aku
dan Diana cengar cengir. Tapi untuk urusan memasak masakan tradisional seperti
nagasari dan ketupat opor, ibu adalah ahlinya. Sekali berbuka telah kucomot
tiga bungkus nagasari. Rasa nikmat di mulut tiba-tiba terhenti.
“Gimana perjalanannya, Mas?” tanya Diana.
“Baik. Maksudmu sepanjang naik kereta kan?”
“Iya. Aku dan Ibu sempat khawatir mendengar berita di tivi tentang arus mudik
Lebaran. Belum lagi rel kereta ambles, kecelakaan, kriminal.”
Aku tersenyum dikulum.
“Itulah, makanya saat mudik seperti ini bukannya menghamburkan kesenangan tanpa
kontrol tapi justru makin minta perlindungan sama Yang Di Atas. Namanya musibah
ada di mana-mana.”
Bukan kengerian mudik itu yang membuat kenikmatan mengunyah nagasari hilang
seketika. Bayangan kepulanganku siang tadi, kerumunan tukang becak, dan tentu
saja. Tugu tua dan penghuni setianya.
“Kamu masih sering lewat tugu stasiun?” tanyaku pada Diana yang tengah
membenahi meja makan.
“Ya sering. Tiap hari kan aku lewat situ kalau mau ke Slerok, ke sekolahku.”
Aku terdiam, menyeruput teh hangat.
“Kamu suka lihat pak tua yang duduk depan tugu?”
“Apa? Siapa?”
“Pak tua,” ulangku setengah tak sabar. “Yang di depan tugu.”
Diana terlihat berpikir.
“Yang di pom bensin? Tukang-tukang jual burung itu?”
“Bukan!” dengusku. “Yang di tugu tua, kok di pom bensin. Iya, memang tugunya di
depan pom bensin. Masa kamu nggak pernah lihat sih?”
“Ooo…..yang di tugu tua,” ulang Diana. “Tugu yang mana?”
Aku menarik jilbab Diana ke belakang hingga poninya berantakan. Ia merengut
tapi terkekeh kemudian.
“Kenapa sih Mas? Segitunya. Pake marah-marah lagi.”
Aku menghela napas.
“Bukan apa-apa,” suaraku melunak. “Cuma….ya….rasanya kasihan saja lihat pak tua
itu bertahun-tahun hanya duduk di situ.”
Diana mengangguk.
“Mas masih ingat pengemis buta yang selalu tertawa di Tegalsari? Dekat
minimarket Tiara?”
Aku mengiyakan. Sesosok tubuh yang tak pernah lepas tersenyum menengadahkan
tangan sembari bertelekan pada sebuah tongkat bambu panjang, di sambung dengan
payung hitam di atasnya. Garis wajahnya menunjukkan ia bukan orang berpikiran
normal, apalagi senyum kekanakan selalu menghias wajahnya.
“Dia masih mengemis di Tegalsari?”
“Masih. Sekali waktu aku malah lihat dia naik becak jalan-jalan di pantai PAI
atau keliling pasar pagi.”
Aku tertegun, menggigit bibir.
“Banyak yang tidak atau belum berubah, Mas,” Diana meletakkan gerabah kotor di
tempat cucian. Ia menatapku lekat. “Tapi banyak juga yang sudah berubah.”
Aku melongo. Tak sempat berpikir lama karena Ibu sudah mengajak kami semua ke
masjid bersipa mengikuti shalat isya dan tarawih.
********
Melihat masjid kami, Nuruk Huda, mengantarkanku pada kenangan-kenangan di masa
silam. Teman-teman kecilku yang periang dan banyak akal. Tak peduli lelaki atau
perempuan kami banyak menghabiskan bermain bersama apalagi di saat berpuasa.
Main perang-perangan pak-pak dor atau main sandiwara-sandiwaraan. Arenanya
bergantian dari satu rumah ke rumah lain, tetapi rumahku yang berhalaman cukup
luas, ditumbuhi pohon mangga dan jambu menjadi tempat favorit teman-teman. Aneh
sekali, kerumunan sholat tarawih itu tak semeriah saat aku kecil dulu.
“Banyak yang belum pulang kampung, ya?” tanyaku.
“Siapa?” tanya Diana.
“Yudha, Firdaus, Eka, Risma, dan lain-lain.”
Malam itu, meski tubuhku lelah luar biasa aku tak ingin segera berangkat tidur.
Rasa kangen pada Bapak Ibu dan adik-adik membuat mulutku ingin banyak bercerita
dan bertanya.
“Kok tadarrusannya cuma bapak-bapak tua?” lamat telingaku mendengar suara
ayat-ayat suci dilantunkan. “Sudah pada sibuk buat kue ya?”
“Sejak awal memang lebih banyak bapak-bapak kok, Mas.”
“Lho, kamu nggak ikut?”
Diana angkat bahu.
“Malas. Nggak ada teman.”
“Lha itu, Mbak Eka sama Mbak Risma. Juga teman-teman kamu si Fifi sama Galuh
yang satu sekolah sama kamu. Ke mana mereka?”
Diana terdiam.
“Mbak Eka…..” mulut Diana terbuka tapi urung bercerita. “Ah, sudahlah. Nggak
usah diceritakan.”
Dahiku berkerut. Punggungku yang sudah sempat melorot di sofa tertegak lagi.
“Ada apa sama Eka?” Ingatanku melayang pada seraut wajah manis dengan dua mata
bundar yang bening sekali.
“Mbak Eka sibuk,” sahut Diana singkat. Ia beranjak ke dapur sebentar mengambil
semangkok kolak bertabur cacahan es batu di atasnya. Aku serta merta menimbrung
mengganggunya.
“Sibuk?” mulutku penuh pisang. “Lagi skripsi ya?”
“Bukan!” sergah Diana. Ia terlihat ragu sebentar. “Sibuk sama anaknya!”
Sendokku tergelincir jatuh ke lantai. Hampir saja pisang di mulutku ikut
tercecer juga kalau tidak buru-buru kudorong masuk ke kerongkongan.
“Anak….anaknya? Anaknya siapa?”
“Ya anaknya ibunya sama bapaknya,” sahut Diana sewot. “Masa anaknya kucing!”
Mulutku menganga lebar sekali.
***
Aku mencoba baju koko hijau lumut bermotif kotak yang dibuatkan Ibu. Meski
rasanya kurang pas untuk kulitku yang cenderung gelap, aku tetap berterima
kasih. Bagaimanapun Ibu pasti telah susah payah memilih bahan di tengah panas
terik bulan puasa belum lagi mengebut melembur membuatnya. Aku cenderung
mengikuti garis Bapak yang gelap dan berahang tegas, sementara kedua adikku
berkulit terang seperti Ibu dan berparas lembut. Ibu mengelus rambutku.
“Anak Ibu ganteng,” pujinya tulus. Pujian yang sering kudengar sejak aku duduk
di bangku taman kanak-kanak. Membuatku seperti pangeran nomor satu sementara
setelah kulihat aslinya di cermin tak lebih bernilai tujuh, bolehnya diberi
angak delapan bila jurinya tengah mengantuk.
Kuamati wajahku di cermin. Bukan cuma raut itu yang muncul di sana. Wajah manis
Eka ikut membayang.
“Eka nikah sama siapa, Bu?”
Ibu menghela napas.
“Sama teman kamu sendiri,” ujarnya pelan. “Bagas.”
Aku menelan ludah. Perih. Suara Bagas yang lantang mengumandangkan azan
maghrib, dalam busana koko putih bersih dan peci rapi terlintas di khayalan.
Eka yang mengenakan jilbab miring-miring, seringkali menangis jika kami
menarik-narik kerudungnya hingga jatuh mencekik leher. Aku dan teman-teman yang
berebut meminta jatah mengaji terlebih dahulu dari guru kami, Ustadz Muhammad.
“Kenapa mereka, Bu?” aku menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
“Yudha sekarang di gundul plontos kepalanya, hidungnya pake anting-anting,”
jelas Ibu. “Dia jadi bandar togel di kawasan dekat terminal lama. Risma? Dia
sepertinya jadi apa itu… espe… espe... pokoknya apalah. Promosi produk teh.”
“SPG,” aku meralat. “Sales Promotion Girl. Iya, memang tugasnya mempromosikan
barang.”
Aku teringat sosok kurus dan jangkung Risma sewaktu kecil. Ia mungkin masih
tetap seperti itu kini, mungkin ditambah perubahan balutan kaos dan celana
panjang ketat. Berpoles lipstik merah dan pandai bermain kata. Tak sepadan
dengan ingatanku pada seorang gadis bertahun lalu yang sering mendapat pujian
dari Ustadz Muhammad akan tulisan khot-nya yang rapi dan indah.
“Yang tetap mungkin Firdaus,” jelas Ibu sedikit melegakan. “Selepas STM dia
ikut bekerja di bengkel bubut pamannya di Kejambon.”
Aku mengangguk. Sebersit kental kerinduan membuatku ingin segera bertemu
Firdaus.
“Apa yang salah dengan teman-temanku, Bu?”
Ibu menatapku dalam.
“Bu Hamidah, ibu Bagas dan Bu Esti, ibu Yudha sama-sama teman Ibu di pengajian
tiap Jumat sore. Mereka para ibu yang sholehah, mereka menangis ketika
mengadukan perihal anaknya pada Ibu. Sebetulnya ibu malu sekali karena seolah
mereka meminta nasihat pada Ibu bagaimana caranya mendidik anak jadi seperti
kamu dan adik-adikmu. Penurut. Taat ibadah.”
Aku menunduk, sangat tak pantas menerima sanjungan semacam itu. Rezeki Allah
yang berlimpah atas diriku dipertemukan lingkungan yang sholeh di kampus Gajah
Mada hingga aku mengenal Islam semakin dalam.
“Terus Ibu bilang apa?”
“Ibu bilang, tak ada yang tetap di dunia ini. Semua dapat berubah jika kita
yakin berdoa. Cobaan mereka dapat menjadi hikmah bila terus menerus bermunajat,
sebaliknya jika Ibu tak pandai bersyukur Ibu akan kehilangan semua nikmat ini.”
Aku tersenyum, mengagumi kesederhanaan dan ketawadu’an Ibu. Aku masih berdiam
di kamar Ibu, duduk menemaninya di saat Bapak masih sibuk bekerja di kiosnya.
“Aku kadang nggak mengerti, Bu, kenapa orang tak memanfaatkan apa yang telah
diberikan Allah sebaik-baiknya. Bagas dan Eka lebih baik kehidupannya dari
kita, juga Yudha. Sementara itu pun aku ingat pak tua di tugu dan pengemis buta
di Tegalsari. Jika saja mereka punya kesempatan lebih baik, mereka mungkin akan
mencapai apa yang diinginkan.”
“Begitu kan selalu benak manusia?” ibu tersenyum. “Jika, jika, dan jika. Siapa
tahu kehadiran orang-orang seperti pak tua dan pengemis itu justru senantiasa
mengingatkan orang-orang seperti kita betapa beruntungnya hidup kita selama
ini..”
Aku tertawa lirih.
“Ya… justru mereka ya, Bu, orang-orang yang nggak pernah berubah. Tetap saja
merasa cukup dengan keterbelakangan mereka. Tetap memberikan suatu penyadaran
ruhani tanpa mereka sendiri sadari.”
Ibu mengangguk. Aku meringkuk di kasur Ibu, kebiasaan yang belum berubah
semenjak kecil, menganggap tempat paling nyaman di dunia adalah kamar kedua
orangtuaku. Diana dan Arifin pun begitu. Samar kudengar Ibu masih memainkan
mesin jahit, memperbaiki potongan pakaianku yang terasa kurang pas. Ada yang
selalu berubah dalam hidup ini, ada yang tetap senantiasa. Segala yang fana
akan berubah, segala yang hakikat akan tetap . Sama seperti kasih sayang Bapak
Ibu kepadaku.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as