Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    yang tak berubah

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    yang tak berubah Empty yang tak berubah

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:21 pm

    Yang Tak Berubah
    Sinta Yudisia

    Sejak kecil Ramadhan selalu menjadi bulan yang
    mengesankan lebih dari waktu-waktu yang lain. Bahkan Lebaran atau Tahun Baru
    tak disambut semeriah seperti saat menyambut datangnya bulan puasa. Pertengahan
    Sya’ban, masjid-masjid Arab mulai mendengungkan Al-Quran sejak pukul dua belas
    malam. Masjid tradisional lain mulai berbenah, memperbarui cat tembok atau bila
    kas berlebih takmir masjid akan mengganti mimbar dan permadani sekaligus
    mengganti ubin teras dengan yang baru.

    Aku dan teman-teman semasa kecil ikut larut dalam kemeriahan. Kami berlomba
    menyiapkan sarung dan sajadah baru, gadis-gadis sibuk menjahitkan baju dan
    mukena. Bahkan kami berusaha menabung membeli baju beberapa karena tiap tarawih
    dan kuliah subuh harus tampil keluar rumah dalam pakaian bersih. Bapak dan
    ibuku bukan orang kaya, tapi Ibu selalu berusaha mengganti baju anak-anaknya
    tiap memasuki Ramadhan. Ibu akan mencari bahan murah di kain kiloan kemudian
    menjahit sendiri. Sekalipun jahitan beliau terkadang kurang pas, tapi aku
    senang sekali memakainya karena hemku bertambah beberapa buah. Saat yang paling
    menyenangkan adalah ta’jil atau menikmati makanan berbuka puasa. Jangan dikata
    kami menikmati makanan mewah. Kampungku lebih banyak dihuni orang-orang dari
    kalangan menengah ke bawah. Namun masjid kami, Nurul Huda, tetaplah meriah.
    Sebungkus kolak, kacang hijau atau koktail, cukup membuat kami berebut hingga
    terkadang tumpah pecah beberapa buah yang menyebabkab takmir masjid marah
    besar. Aku dan teman-teman akan segera membersihkan sembari cekikikan.
    Terkadang ta’jil juga berupa nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya. Ibu lebih
    senang membuat nasi bungkus saat mendapat giliran karena menurutnya ini lebih
    mengenyangkan, sekaligus beliau memasak untuk sekeluarga. Biasanya ibu membuat
    mie, sambal kering tempe, dan telur rebus separo. Alangkah nikmatnya aku
    menyantap makanan itu di teras masjid, berlomba menghabiskan bersama
    teman-teman kecilku karena sebentar lagi kami akan berebut tempat wudhu.

    Ada kejadian memalukan yang tak akan pernah terlupa. Ibu memintaku membawa
    Arifin, adikku, ke masjid saat pengajian asar menyambut datangnya buka puasa.
    Beliau harus pergi mengunjungi salah satu kerabat yang sakit di Rumah Sakit Kardinah
    sementara Bapak masih harus menjaga kios obat di dekat terminal. Walau berat
    hati kuturuti permintaan Ibu, bukan karena aku tak mau menjaga Arifin tapi
    karena adikku yang satu itu luar biasa bandelnya. Ia tak cukup hanya berdiam
    diri mendengarkan ceramah walau telah berbekal seplastik kresek kue dan permen
    kesukaannya. Ia berlari-lari di tengah masjid, naik mimbar, meloncat-loncat di
    atas meja panjang pengajian, hingga naik ke pagar besi yang membuat bapak-bapak
    dan para ibu di situ berteriak-teriak mengkhawatirkan keselamatannya.
    Lengkaplah pederitaanku ketika tiba-tiba ia tanpa bersalah menghentikan
    aktivitasnya lalu menunduk, memandang di antara kedua kakinya, melihat sebuah
    cairan kuning hangat merembes keluar. Teriakan teman-temanku menandakan sebuah
    bencana telah terjadi.

    “Ardi! Adikmu ngompol!”
    Aku pucat pasi dengan dada berdegup hebat. Ngompol? Di tengah masjid, di atas
    sajadah-sajadah? Merah padam mukaku mengemasi sajadah yang najis sembari
    mengepel lantai. Tatapan takmir serasa menghukumku tanpa ampun, aku pulang
    sambil menggendong Arifin. Kucubiti ia sepanjang jalan hingga meraung. Di rumah
    Ibu pun menegur lantaran aku bersikap kasar pada adik hingga aku menangis
    karena sedih dan malu, walau di malam hari Ibu meminta maaf atas kejadian tersebut.
    Rasanya belum pernah aku menjadi pahlawan penuh pengorbanan seperti itu.

    Sepanjang kereta api ekonomi yang mengguncang tubuhku sejak dari Yogya,
    bayangan demi bayangan masa kecilku melintas begitu rupa. Yudha, Erwin, Bagas,
    Firdaus. Si centil Eka dan Risma. Apa kabar teman-teman masa kecilku sekarang?
    Aku mendekap erat tas ransel di perut, melindungi bunyi kemeriuk yang muncul
    dari perut. Fajar tadi aku bangun terlalu lambat hingga hanya sempat minum
    sesendok madu dan segelas air putih. Indekos di akhir Ramadhan mulai sepi,
    hanya tinggal aku dan Fajar, anak Lampung. Bausasran mulai ditinggalkan celoteh
    anak-anak muda yang tak pernah kehabisan bahan diskusi.

    Sekarang penghuninya hanya penduduk asli dan kerabat dekat mereka yang pulang
    kampung merayakan Lebaran. Aku pulang H minus tiga karena anak lesku tak mau
    ditinggalkan. Bagi anak kelas dua SMP itu aku bukan hanya sekedar guru
    matematika, tapi juga teman berbagi mengingat kedua orang tuanya sibuk dari
    pagi hingga selepas magrib. Aku sendiri tak begitu memahami kerja mamanya yang
    cantik bak bintang film, kabarnya ia bekerja di Sheraton Hotel yang justru
    makin sibuk menjelang Idul Fitri. Aku menyandarkan kepala ke belakang,
    mengatasi rasa pusing dan lapar. Jangan dikata seperti apa gerbong ini sekarang.
    Penuh sesak berjejal seperti para peserta transmigrasi. Kalau saja di Tegal
    tersedia lapangan terbang, aku pasti memilih jalur udara yang tiketnya sangat
    bersaing sekarang. Bila terbang ke Makassar cukup empat puluh dua ribu,
    barangkali ke Tegal hanya butuh dua puluh ribu.

    Aku memejamkan mata meski sesekali mengintip dari balik kelopak mata yang
    tertutup topi. Lalu-lalang orang. Penjaja makanan. Sekarang orang tak malu lagi
    makan di siang hari atau merokok saat bulan puasa. Sedih dan kecewa, apalagi
    bila kuingat masa kecilku. Temanku akan malu luar biasa bila ketahuan tidak
    puasa dan akan menjadi bahan ledekan sepanjang hari. Kini jangankan anak-anak,
    di Malioboro Mall para pemuda tak malu-malu nongkrong di kafe saat matahari
    masih terang benderang. Kueratkan dekapan ransel. Tas butut yang berisi harta
    karun oleh-oleh hasil keringatku sendiri dari mengajar les dan bisnis souvenir.
    Bakpia, yangko, kue kipo khas Kotagede kesukaan Ibu. Tak ketinggalan
    Silverqueen selera Arifin meski ia telah menginjak bangku SMU. Cokelat itu
    sudah banyak dijual di Tegal tentu saja, tapi membawanya jauh-jauh sebagai
    oleh-oleh akan terasa berbeda.

    ***
    Aku seperti kue kering yang sudah sangat kemeriuk di dalam oven.
    Panas terik. Penumpang berjejal. Setiap kaki berniat ingin turun terlebih
    dahulu. Logat Betawi dan Ngapak bertumpang tindih. Antara lu dan nyong sering
    salah kaprah. Orang-orang perantauan ini ingin terlihat pulang dalam keadaan
    mapan. Baju beraneka ragam. Tas-tas sarat beban, meski tak seorang pun tahu kehidupan
    seperti apa yang mereka jalani sehari-hari. Temanku yang kuliah di UNJ cerita,
    banyak orang Tegal sukses merantau tapi tak berhasil membangun daerah asalnya
    sendiri lantaran terlalu sibuk menghamburkan uang mengejar gengsi sebagaimana
    layaknya tuntutan kota besar.

    Aku tetap mendekap ransel, khawatir tukang copet mulai berkeliaran.
    Uangku tak seberapa tapi rasanya tak rela sepeserpun hasil jerih payah ini
    raib. Kuseka keringat di leher sembari melirik arloji di pergelangan. Naif
    sekali melihat jam berapa sekarang, seolah mengukur berapa lama lagi aku harus
    bersabar menahan dahaga. Tukang becak dan sopir taksi berebut menyambut. Aku
    sibuk mengangguk sembari menggeleng, campuran antara salam menghormat pada
    mereka yang sudah sepuh mengayuh pedal sekaligus menolak tawaran baik itu. Aku
    berjalan keluar peron, menanti di lapangan parkir stasiun dekat Taman Poci.
    Mataku berkeliling, tersenyum sendiri mengingat betapa dekatnya hidupku selama
    ini dengan pohon-pohon akasia rindang dan suasana sederhana yang belum lepas
    dari kehidupan keseharian di sini.

    “Slawi, Den…”
    “Binjaran, Mas?”
    “Lebaksiu, Lebaksiu!”
    “Martoloyo, monggo. Terserah Mas berapa, asal pantes.”

    Aku tersenyum gugup. Hatiku terluka terpaksa menolak permintaan mereka.
    Seandainya aku punya uang banyak. Kupercepat langkah meninggalkan kerumunan
    orang yang membuatku semakin merasa terhimpit rasa bersalah. Di ujung lapangan
    parkir aku berhenti sebentar mengatur napas.

    Sudah tidak lagi tampak orang-orang mengerumuniku meski beberapa pasang mata sopir
    angkot masih meneliti apakah aku bersedia naik mobil mereka ataukah tidak. Di
    tepi parkiran ini lebih sejuk. Tak banyak tukang becak maupun mobil angkot
    ngetem, pohon akasia pun masih rimbun berjajar. Mataku tertumbuk tiba-tiba pada
    tugu tua dekat pom bensin. Tugu batu kokoh yang telah berlumut berusia ratusan
    tahun. Ilalang tinggi mengelilinginya, menutupi sebagian teras kecil berpelur
    semen yang telah retak di depan tugu. Bukan tugu itu yang membuat mataku
    terhujam. Tapi sosok seseorang. Seseorang yang masih tetap duduk setia di situ,
    bertopi lobe rajutan wol usang, berselimutkan sarung tua. Buntalan kain masih
    ada di sisinya, tak lekang menemani bersama segelas besar cangkir seng yang
    sudah terkelupas catnya di banyak tempat. Ia masih di situ. Lelaki itu masih di
    situ. Wajahnya masih tetap sama seperti ketika aku melewatinya setiap hari
    bersama teman-teman beriringan naik sepeda menuju sekolah dasar kami di
    Mangkusuman.

    ***
    Ibu menghujaniku dengan ciuman. Diana dan Arifin bergantian memelukku, Bapak
    mengacak-acak rambutku. Dari sekian banyak anugerah Allah yang diberikan,
    keluarga inilah nikmat terbesar yang kumiliki. Aku mengeluarkan jilbab dan kain
    bermotif bunga kecil-kecil sebagai hadiah untuk Diana. Ia sedang belajar
    menjahit sendiri dari gurunya, ibu kami, yang juga penjahit amatiran. Aku
    sering meledeknya kenapa sudah terampil ini itu padahal ia baru kelas tiga SMU.


    “Mau nikah cepat yeee?” ledekku.
    Mukanya memerah.
    “Sembarangan!” umpatnya. “Aku pingin nanti kalau kuliah punya keahlian khusus.
    Di koran beberapa kali kubaca, anak kuliah yang sukses mengelola bisnis boneka
    atau selimut patchwork. Biar tamat kuliah nggak jadi pengangguran.”

    “Iyaa. Percaya, percayaaa…”
    Buka puasa bersama hari itu adalah kebahagiaan luar biasa yang akan selalu kukenang.
    Ibu mengumumkan bahwa beliau telah menjahit seragam warna hijau lumut bagi kami
    semua. Ia juga telah membuat nastar dan kaastengels yang rasanya membuat aku
    dan Diana cengar cengir. Tapi untuk urusan memasak masakan tradisional seperti
    nagasari dan ketupat opor, ibu adalah ahlinya. Sekali berbuka telah kucomot
    tiga bungkus nagasari. Rasa nikmat di mulut tiba-tiba terhenti.

    “Gimana perjalanannya, Mas?” tanya Diana.
    “Baik. Maksudmu sepanjang naik kereta kan?”
    “Iya. Aku dan Ibu sempat khawatir mendengar berita di tivi tentang arus mudik
    Lebaran. Belum lagi rel kereta ambles, kecelakaan, kriminal.”

    Aku tersenyum dikulum.
    “Itulah, makanya saat mudik seperti ini bukannya menghamburkan kesenangan tanpa
    kontrol tapi justru makin minta perlindungan sama Yang Di Atas. Namanya musibah
    ada di mana-mana.”

    Bukan kengerian mudik itu yang membuat kenikmatan mengunyah nagasari hilang
    seketika. Bayangan kepulanganku siang tadi, kerumunan tukang becak, dan tentu
    saja. Tugu tua dan penghuni setianya.

    “Kamu masih sering lewat tugu stasiun?” tanyaku pada Diana yang tengah
    membenahi meja makan.

    “Ya sering. Tiap hari kan aku lewat situ kalau mau ke Slerok, ke sekolahku.”

    Aku terdiam, menyeruput teh hangat.
    “Kamu suka lihat pak tua yang duduk depan tugu?”

    “Apa? Siapa?”
    “Pak tua,” ulangku setengah tak sabar. “Yang di depan tugu.”
    Diana terlihat berpikir.
    “Yang di pom bensin? Tukang-tukang jual burung itu?”

    “Bukan!” dengusku. “Yang di tugu tua, kok di pom bensin. Iya, memang tugunya di
    depan pom bensin. Masa kamu nggak pernah lihat sih?”

    “Ooo…..yang di tugu tua,” ulang Diana. “Tugu yang mana?”
    Aku menarik jilbab Diana ke belakang hingga poninya berantakan. Ia merengut
    tapi terkekeh kemudian.

    “Kenapa sih Mas? Segitunya. Pake marah-marah lagi.”
    Aku menghela napas.
    “Bukan apa-apa,” suaraku melunak. “Cuma….ya….rasanya kasihan saja lihat pak tua
    itu bertahun-tahun hanya duduk di situ.”

    Diana mengangguk.
    “Mas masih ingat pengemis buta yang selalu tertawa di Tegalsari? Dekat
    minimarket Tiara?”

    Aku mengiyakan. Sesosok tubuh yang tak pernah lepas tersenyum menengadahkan
    tangan sembari bertelekan pada sebuah tongkat bambu panjang, di sambung dengan
    payung hitam di atasnya. Garis wajahnya menunjukkan ia bukan orang berpikiran
    normal, apalagi senyum kekanakan selalu menghias wajahnya.

    “Dia masih mengemis di Tegalsari?”
    “Masih. Sekali waktu aku malah lihat dia naik becak jalan-jalan di pantai PAI
    atau keliling pasar pagi.”

    Aku tertegun, menggigit bibir.
    “Banyak yang tidak atau belum berubah, Mas,” Diana meletakkan gerabah kotor di
    tempat cucian. Ia menatapku lekat. “Tapi banyak juga yang sudah berubah.”

    Aku melongo. Tak sempat berpikir lama karena Ibu sudah mengajak kami semua ke
    masjid bersipa mengikuti shalat isya dan tarawih.

    ********

    Melihat masjid kami, Nuruk Huda, mengantarkanku pada kenangan-kenangan di masa
    silam. Teman-teman kecilku yang periang dan banyak akal. Tak peduli lelaki atau
    perempuan kami banyak menghabiskan bermain bersama apalagi di saat berpuasa.
    Main perang-perangan pak-pak dor atau main sandiwara-sandiwaraan. Arenanya
    bergantian dari satu rumah ke rumah lain, tetapi rumahku yang berhalaman cukup
    luas, ditumbuhi pohon mangga dan jambu menjadi tempat favorit teman-teman. Aneh
    sekali, kerumunan sholat tarawih itu tak semeriah saat aku kecil dulu.

    “Banyak yang belum pulang kampung, ya?” tanyaku.
    “Siapa?” tanya Diana.
    “Yudha, Firdaus, Eka, Risma, dan lain-lain.”

    Malam itu, meski tubuhku lelah luar biasa aku tak ingin segera berangkat tidur.
    Rasa kangen pada Bapak Ibu dan adik-adik membuat mulutku ingin banyak bercerita
    dan bertanya.

    “Kok tadarrusannya cuma bapak-bapak tua?” lamat telingaku mendengar suara
    ayat-ayat suci dilantunkan. “Sudah pada sibuk buat kue ya?”

    “Sejak awal memang lebih banyak bapak-bapak kok, Mas.”
    “Lho, kamu nggak ikut?”
    Diana angkat bahu.
    “Malas. Nggak ada teman.”

    “Lha itu, Mbak Eka sama Mbak Risma. Juga teman-teman kamu si Fifi sama Galuh
    yang satu sekolah sama kamu. Ke mana mereka?”

    Diana terdiam.
    “Mbak Eka…..” mulut Diana terbuka tapi urung bercerita. “Ah, sudahlah. Nggak
    usah diceritakan.”

    Dahiku berkerut. Punggungku yang sudah sempat melorot di sofa tertegak lagi.

    “Ada apa sama Eka?” Ingatanku melayang pada seraut wajah manis dengan dua mata
    bundar yang bening sekali.

    “Mbak Eka sibuk,” sahut Diana singkat. Ia beranjak ke dapur sebentar mengambil
    semangkok kolak bertabur cacahan es batu di atasnya. Aku serta merta menimbrung
    mengganggunya.

    “Sibuk?” mulutku penuh pisang. “Lagi skripsi ya?”
    “Bukan!” sergah Diana. Ia terlihat ragu sebentar. “Sibuk sama anaknya!”

    Sendokku tergelincir jatuh ke lantai. Hampir saja pisang di mulutku ikut
    tercecer juga kalau tidak buru-buru kudorong masuk ke kerongkongan.

    “Anak….anaknya? Anaknya siapa?”
    “Ya anaknya ibunya sama bapaknya,” sahut Diana sewot. “Masa anaknya kucing!”
    Mulutku menganga lebar sekali.

    ***
    Aku mencoba baju koko hijau lumut bermotif kotak yang dibuatkan Ibu. Meski
    rasanya kurang pas untuk kulitku yang cenderung gelap, aku tetap berterima
    kasih. Bagaimanapun Ibu pasti telah susah payah memilih bahan di tengah panas
    terik bulan puasa belum lagi mengebut melembur membuatnya. Aku cenderung
    mengikuti garis Bapak yang gelap dan berahang tegas, sementara kedua adikku
    berkulit terang seperti Ibu dan berparas lembut. Ibu mengelus rambutku.

    “Anak Ibu ganteng,” pujinya tulus. Pujian yang sering kudengar sejak aku duduk
    di bangku taman kanak-kanak. Membuatku seperti pangeran nomor satu sementara
    setelah kulihat aslinya di cermin tak lebih bernilai tujuh, bolehnya diberi
    angak delapan bila jurinya tengah mengantuk.

    Kuamati wajahku di cermin. Bukan cuma raut itu yang muncul di sana. Wajah manis
    Eka ikut membayang.

    “Eka nikah sama siapa, Bu?”
    Ibu menghela napas.
    “Sama teman kamu sendiri,” ujarnya pelan. “Bagas.”

    Aku menelan ludah. Perih. Suara Bagas yang lantang mengumandangkan azan
    maghrib, dalam busana koko putih bersih dan peci rapi terlintas di khayalan.
    Eka yang mengenakan jilbab miring-miring, seringkali menangis jika kami
    menarik-narik kerudungnya hingga jatuh mencekik leher. Aku dan teman-teman yang
    berebut meminta jatah mengaji terlebih dahulu dari guru kami, Ustadz Muhammad.

    “Kenapa mereka, Bu?” aku menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.

    “Yudha sekarang di gundul plontos kepalanya, hidungnya pake anting-anting,”
    jelas Ibu. “Dia jadi bandar togel di kawasan dekat terminal lama. Risma? Dia
    sepertinya jadi apa itu… espe… espe... pokoknya apalah. Promosi produk teh.”

    “SPG,” aku meralat. “Sales Promotion Girl. Iya, memang tugasnya mempromosikan
    barang.”
    Aku teringat sosok kurus dan jangkung Risma sewaktu kecil. Ia mungkin masih
    tetap seperti itu kini, mungkin ditambah perubahan balutan kaos dan celana
    panjang ketat. Berpoles lipstik merah dan pandai bermain kata. Tak sepadan
    dengan ingatanku pada seorang gadis bertahun lalu yang sering mendapat pujian
    dari Ustadz Muhammad akan tulisan khot-nya yang rapi dan indah.

    “Yang tetap mungkin Firdaus,” jelas Ibu sedikit melegakan. “Selepas STM dia
    ikut bekerja di bengkel bubut pamannya di Kejambon.”

    Aku mengangguk. Sebersit kental kerinduan membuatku ingin segera bertemu
    Firdaus.
    “Apa yang salah dengan teman-temanku, Bu?”

    Ibu menatapku dalam.
    “Bu Hamidah, ibu Bagas dan Bu Esti, ibu Yudha sama-sama teman Ibu di pengajian
    tiap Jumat sore. Mereka para ibu yang sholehah, mereka menangis ketika
    mengadukan perihal anaknya pada Ibu. Sebetulnya ibu malu sekali karena seolah
    mereka meminta nasihat pada Ibu bagaimana caranya mendidik anak jadi seperti
    kamu dan adik-adikmu. Penurut. Taat ibadah.”

    Aku menunduk, sangat tak pantas menerima sanjungan semacam itu. Rezeki Allah
    yang berlimpah atas diriku dipertemukan lingkungan yang sholeh di kampus Gajah
    Mada hingga aku mengenal Islam semakin dalam.

    “Terus Ibu bilang apa?”
    “Ibu bilang, tak ada yang tetap di dunia ini. Semua dapat berubah jika kita
    yakin berdoa. Cobaan mereka dapat menjadi hikmah bila terus menerus bermunajat,
    sebaliknya jika Ibu tak pandai bersyukur Ibu akan kehilangan semua nikmat ini.”


    Aku tersenyum, mengagumi kesederhanaan dan ketawadu’an Ibu. Aku masih berdiam
    di kamar Ibu, duduk menemaninya di saat Bapak masih sibuk bekerja di kiosnya.

    “Aku kadang nggak mengerti, Bu, kenapa orang tak memanfaatkan apa yang telah
    diberikan Allah sebaik-baiknya. Bagas dan Eka lebih baik kehidupannya dari
    kita, juga Yudha. Sementara itu pun aku ingat pak tua di tugu dan pengemis buta
    di Tegalsari. Jika saja mereka punya kesempatan lebih baik, mereka mungkin akan
    mencapai apa yang diinginkan.”

    “Begitu kan selalu benak manusia?” ibu tersenyum. “Jika, jika, dan jika. Siapa
    tahu kehadiran orang-orang seperti pak tua dan pengemis itu justru senantiasa
    mengingatkan orang-orang seperti kita betapa beruntungnya hidup kita selama
    ini..”

    Aku tertawa lirih.
    “Ya… justru mereka ya, Bu, orang-orang yang nggak pernah berubah. Tetap saja
    merasa cukup dengan keterbelakangan mereka. Tetap memberikan suatu penyadaran
    ruhani tanpa mereka sendiri sadari.”

    Ibu mengangguk. Aku meringkuk di kasur Ibu, kebiasaan yang belum berubah
    semenjak kecil, menganggap tempat paling nyaman di dunia adalah kamar kedua
    orangtuaku. Diana dan Arifin pun begitu. Samar kudengar Ibu masih memainkan
    mesin jahit, memperbaiki potongan pakaianku yang terasa kurang pas. Ada yang
    selalu berubah dalam hidup ini, ada yang tetap senantiasa. Segala yang fana
    akan berubah, segala yang hakikat akan tetap . Sama seperti kasih sayang Bapak
    Ibu kepadaku.




      Waktu sekarang Fri May 03, 2024 8:49 am