Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    menulis feature

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    menulis feature Empty menulis feature

    Post by admin Wed May 19, 2010 2:47 pm

    Sekedar Pengantar


    Oleh: Nurdin Kalim





    Saya
    akan memulai dengan penggal cerita seorang wartawan kawakan. Alkisah, suatu
    hari sang wartawan ditanya mengenai teori yang digunakan untuk menuangkan ide
    ke dalam tulisan-tulisannya. Apa yang terjadi?


    Mendengar
    pertanyaan itu si wartawan kelihatan tak “siap”. Meski sejatinya, profesi itu
    telah bertahun-tahun digelutinya. Ia jadi tercenung kala dihadapkan dengan
    persoalan teori. Maka, dengan nada agak lirih, bung jurnalis kawakan ini
    menjawab, “Apa saudara tahu adanya teori naik sepeda?”


    Pekerjaan
    utama seorang wartawan memang bukan naik sepeda. Bukan pula melukis. Bukan
    membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau mengutak-atik komputer.
    Pekerjaan pokok seorang jurnalis adalah menulis.


    Cuma,
    banyak wartawan – dan penulis lepas (free lance) – kerap mengalami kesulitan
    untuk menjelaskan: bagaimana cara ia melakukan pekerjaan pokoknya tersebut?
    Seringkali seorang wartawan sulit memberi jawaban, tatkala ia disodorkan
    pertanyaan: bagaimana cara menulis (yang baik)?


    Kesulitan
    yang dihadapi sebenarnya bukan pada cara ia menyajikan tulisan. Tapi, bagaimana
    ia merumuskan langkah-langkah tersebut – hingga menjadi tulisan (yang baik).
    Maksudnya, ia sudah mengerti “caranya”, tetapi sulit mengutarakan
    “bagaimananya”.


    Nah,
    menurut pemikiran saya, bagaimana cara menulis feature – ya, barangkali – bisa
    diibaratkan dengan bagaimana cara naik sepeda? Bagaimana cara melukis?
    Bagaimana cara membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau
    mengutak-utik komputer? Atau – deretkan sajalah – segerobak bagaimana cara...?
    Repot, khan?





    Apa sih feature itu?


    Merujuk
    kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, feature
    (baca:ficer) adalah karangan istimewa yang menarik pembaca. Feature bisa juga:
    karangan khas yang menghibur – sekedar santapan tambahan agar yang berat-berat
    terasa nyaman (Wolseley dan Campbell).


    Atau,
    feature merupakan tulisan yang menghibur, memberi informasi dan mengajar (Elmo
    Scott Watson). Untuk menghibur, menimbulkan rasa heran, geli, takjub, cemas,
    haru dan jengkel; atau untuk mendidik, menambah pengetahuan dan membangkitkan
    rasa estetis atau pengenak pembaca (Mochtar Lubis).


    Perkembangan
    dewasa ini menunjukkan, feature merupakan wadah bertemunya keterampilan
    jurnalisme dengan prosa. Karena itu, kemudian diperkenalkanlah “jalan pintas”
    bagi yang ingin menjadi penulis feature: bila ingin menjadi penulis feature,
    belajarlah menjadi penulis cerpen alias cerita pendek!


    Akan
    tetapi, harus pula disadari, menulis cerpen sendiri bukan pula suatu perkara enteng.
    Itu sebabnya “fatwa” tadi harus dipahami secara tepat. Ia lebih dimaksudkan
    pada penguasaan umum terhadap syarat-syarat yang dituntut sebuah cerpen.
    Misalnya, ada tema, ada plot, ada pembukaan (opening), ada penutup (ending) dan
    – di sela opening dan ending – ada aneka bumbu serta warna, seperti: humor,
    suasana, suspense (ketegangan), misteri, bahkan impresi penulis.


    Seperti
    kita ketahui, berita (straight news), secara umum: kaku, kering dan sekedar
    mengumpulkan fakta-fakta. Dalam penulisan berita pendapat pribadi sejauh
    mungkin harus dihindari. Sementara feature lebih luwes, santai dan pendapat
    pribadi “sah” masuknya. Atau feature lebih “mengisahkan cerita”.


    Jadi,
    intinya, penulis feature adalah penulis yang berkisah. Ia melukiskan gambar,
    menghidupkan imajinasi pembaca dan menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita –
    dari awal hingga akhir.


    Bila
    seorang wartawan kampus menggambarkan rektor dengan sepatunya yang gemerlapan
    dan rambutnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur pendidikan akan marah
    dengan tulisan itu bertele-tele. Tapi, sebaiknya, bila reporter itu melupakan
    gambaran sang rektor pada saat ia menulis feature, redaktur pendidikan
    barangkali akan berujar, “Orangnya seperti apa? Saya tak bisa membayangkannya”


    Penulis
    feature sebagian besar tetap menerapkan kaidah dasar penulisan jurnalistik,
    karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi.
    Tapi, bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu
    cerita, maka ia akan segera menerabas aturan itu.


    Lebih
    jauh lagi, penulis feature tentu saja membutuhkan imajinasi yang baik, karena
    ia harus menjahit kata-kata dan rangkaian kalimat menjadi cerita yang menarik.
    Tapi, seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, feature bukan fiksi dan
    imajinasi penulis tak boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya. Pendek kata,
    cerita khayalan haram hukumnya dalam penulisan feature.


    Etika
    menyebutkan bahwa, opini dan fiksi boleh ada – kecuali pada bagian tertentu
    surat kabar. Tajuk Rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan opini.
    Dan Edisi Minggu sebuah surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi –
    misalnya, cerita pendek.


    Yang
    pasti, feature tak boleh berupa fiksi. Dan setiap “pewarnaan” kata-kata tak
    boleh menipu pembaca. Seorang wartawan profesional tak akan menipu pembacanya,
    walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan bahaya yang akan mengancam.





    Lantas,
    sebenarnya, seperti apa sih feature itu?


    Sekarang
    kita sampai pada “sosok” sebuah feature. Seperti layaknya sebuah cerpen,
    feature dapat menyentuh apa saja serta semua masalah. Bisa bertema oleh raga,
    kriminal, kesehatan, gaya hidup dan sebagainya. Satu hal yang kudu diingat:
    berusahalah mengangkat tema yang hangat (topical) dan yang khas (typical).
    Pasalnya, tema yang mengandung kedua faktor ini biasanya lebih mudah mencapai
    target sebuah feature – biasa disebut: Human Interest.


    Hangat
    (topical di sini maksudnya tak serta-merta berhubungan dengan newspeg (berita
    lempang), sesuatu yang menjadi pekerjaan para penulis hard news. Daya pikatnya
    justru muncul karena ada tenggang waktu. Ia bisa bertahan selama beberapa
    minggu. Memang demikianlah sebuah feature diupayakan, agar mempunyai “nafas”
    lebih panjang dibandingkan dengan berita biasa.


    Sedangkan
    khas (typical) berarti topiknya benar-benar khas. Ia menyentuh dan menyangkut
    minat serta perhatian publik. Padat dan semrawutnya lalu lintas, misalnya,
    adalah sebuah topik abadi untuk kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi,
    ketika kerap terjadi penodongan dan pencongkelan kaca spion di perempatan jalan,
    ia menjadi topik yang cukup khas untuk beberapa saat. Nah, dari tema seperti
    itulah kita bisa mengangkat sederet feature di seputar lalu lintas kota
    sehari-hari.


    Ragam
    Feature


    Nah,
    setelah kita mencoba mengindentifikasi apa itu feature, kini kita lihar yang
    disebut mengandung berita dan yang tidak mengandung berita. Yakni, feature
    berita dan feature human interest. Acapkali batasan kedua jenis feature
    tersebut sangat tipis – yah, bak kulit bawang merahlah.


    Feature
    Berita adalah yang terpengaruh unsur waktu, yang berhubungan dengan peristiwa
    hangat menarik perhatian publik. Sementara feature Human Interest tak mempunyai
    nilai berita. Biasanya ia tak lekang oleh waktu. Ia tak memberi informasi
    mengenai kepentingan yang vital. Ia hanya menghimbau rasa ingin tahu pembaca
    tentang, upamanya, orang lain, soal-soal yang jadi perhatian bersama, sejarah
    dan sebagainya.


    Sekadar
    untuk diketahui, ada sejumlah ragam feature yang kerap kita temui dalam media
    massa. Antara lain, profilel personality feature (memperkenalkan seorang tokoh,
    sekolompok orang atau lembaga. Pembaca bisa mengetahui sepak terjang tokoh
    tersebut, motivasinya, pandangannya, wawasan, serta kerangka pikirnya. Meski
    selalu, penulisan profil biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa yang
    dilakukan/melibatkan tokoh.


    Historical
    Feature mengungkapkan apa yang pernah terjadi di masa silam, ditulis dengan
    berita lempang (nespeg) masa kini yang berunsur kebaruan. Feature ini mengacu
    pada keterkaitan antara masa lampau dan masa kini. Maksud dari feature jenis
    ini adalah untuk menyegarkan ingatan pembaca tentang kejadian yang bersejarah.


    Seasonal
    Feature: mengisahkan aspek baru dari suatu peristiwa teragenda, misalnya, saat
    lebaran, natal, peringatan hari tertentu dan sebagainya. Jadi, feature ini
    mengacu kepada peristiwa yang berkenaan dengan hari-hari besar (hari raya) dan
    yang dituangkan dalam feature ini adalah hal-hal non-fisik yang menyangkut
    emosi atau hal-hal ironis.


    Adventure
    Feature: menyajikan kejadian unik dan menarik yang dialami seseorang, sekolompol
    orang atau lembaga – baik dalam perjalanan, ekspedisi, percobaan, kecelakaan
    dan sebagainya. Feature jenis ini juga disebut Cerita Perjalanan. Dengan kata
    lain, ia berisi pengalaman penulis ketika melakukan perjalanan ke sebuah tempat
    yang menarik. Misalnya, oyek wisata, pedalaman Baduy, hutan Amazon, puncak
    gunung Jayawijaya dan lain-lain.


    Trend
    Feature: menyuguhkan kisah sekelompok anak manusia yang berubah gaya hidupnya,
    dalam proses transformasi sosial-budaya, yang kadangkala bergulir begitu cepat.


    Human
    Interest Feature: mengisahkan kejadian yang menyentuh perasaan, lewat penuturan
    yang mampu mengajak pembaca bercermin dan melihat dirinya sebagai anak manusia
    yang bergelut dalam tragedi atau komedi kehidupan. Pendek kata, feature ini
    menonjolkan aspek-aspek dramatis, emosional dan materi latar belakang yang
    menyangkut manusia. Tujuannya untuk memberi sentuhan kepada pembaca yang dapat
    memberikan perasaan simpati, empati, senang, benci atau marah.





    Memikat
    dengan Lead


    Untuk
    memikat dan menarik minat pembaca memasuki tulisannya, sebuah feature harus
    punya kepala (lead) yang menggoda. Lead yang menarik merupakan kunci
    keberhasilan sebuah feature. Mencoba menangkap minat pembaca tanpa lead yang
    baik, ya, ibarat kita mengail ikan tanpa umpan.


    Feature
    memiliki perbedaan dalam penempatan lead. Dalam berita, lead mengadung sesuatu
    yang penting. Sementara pada feature, apa yang penting dan menarik bisa
    ditempatkan di tengah tulisan. Bisa pula di akhir tulisan. Kepentingan tulisan
    dan ketertarikan pembaca dijaga pada setiap bagian tulisan, agar pembaca
    terpikat untuk membaca sampai akhir tulisan.


    Yang
    pasti, lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menarik
    pembaca mengikuti cerita. Dan kedua, membuat jalan seupaya alur ceritanya
    lancar. Banyak pilihan lead; sebagian untuk menuentak pembaca, sebagian untuk
    menggelitik rasa ingin tahu pembaca dan memberi pembaca tentang cerita yang
    bersangkutan secar ringkas.


    Ada
    berbagai lead yang telah dikenal selama ini. Antara lain, menuliskan langsung
    inti ceritanya (lead ringkasan); melukiskan suasananya (lead bercerita);
    mendeskripsikan sosok tokoh cerita (lead deskriptif); membuka dengan kutipan
    (lead kutipan); membukan dengan pertanyaan (lead pertanyaan); menggoda dengan
    humor atau misteri (lead penggoda); atau gabungan dari semua itu (lead
    gabungan).





    Persiapkanlah
    senjata dan amunisi


    Selain
    lead, yang tak boleh disepelekan adalah fokus. Agar aman dan tetap pada
    persoalan yang akan dituangkan, sebaiknya dibuat sebuah out-line atau kerangka.
    Apalagi bila penulis diberi tugas untuk membuat tulisasn yang sangat panjang.


    Meski
    dalam proses penulisan acapkali tiba-tiba muncul ide baru, adanya out-line
    tetap akan membantu memudahkan penulis menyelesaikan tugasnya dengan memikat.
    Singkat kata, sebuah out-line menghindarkan kekacauan urutan dan
    pengulangan-pengulangan yang tak perlu – alias mubazir!


    Karena
    harus “mengisahkan cerita” (menghidupkan imajinasi pembaca, menarik pembaca
    menarik masuk ke dalam cerita dan melukis dengan kata-kata), seorang penulis
    feature harus menyiapkan senjata. Dan dengan senjata ini ia bisa “menaklukkan”
    pembacanya. Ada empat senjata pokok yang dibutuhkan sang penulis feature.
    Yakni, fokus, deskripsi, anekdot dan kutipan.





    Penguasaan
    Bahasa


    Pokok
    paling penting selanjutnya adalah penguasaan terhadap bahasa. Yaitu, perangkat
    ang digunakan sebagai medium sebuah feature dituturkan. Tentu saja, bahasa
    Indonesia yang baik dan benar.


    Namun,
    kalau mau jujur, bahasa yang baik dan benar (menurut aturan resmi saja)
    terkadang belum cukup untuk melahirkan feature bagus. Penggunaan bahasa sering
    membuat tulisan itu komunikatif, seringkali “memaksa” kita menggunakan bahasa
    sehari-hari, bahasa daerah, bahasa gaulm dialek tertentu – yang tak atau belum
    ada di kamus. Itu, menurut saya, sah-sah saja – sejauh tak semakin menyulitkan
    pembaca.





    Penutup



    Berbeda
    dengan Arswendo Atmowiloto, yang menganggap “Mengarang itu Gampang”, saya
    menganggap “Mengarang itu Susah-suasah Gampang”. Susahnya, mengarang perlu
    bakat (talenta) dasar. Tanpa bakat yang memadai, betapapun besarnya nminat, tak
    akan berhasil maksimal. Sebaliknya, tanpa minat, bkat akan menjadi barang
    tambang yang tak tereksplorasi.


    Namun,
    bakat dan minat saja tidak cukup. Bakat dan minat harus dikembangkan secara
    bersam. Bahkan harus diasah terus-menerus – hingga anda ingin berhenti menjadi
    seorang pengarang. Jika bakat, minat dan usaha besar, maka mengarang itu memang
    menjadi gampang sekali.


    Akhirnya,
    kembali ke soal seluk-beluk feature, menurut hemat saya, penulis feature yang
    baik, biasanya kaya kosa kata, kreatif, punya daya imajinasi tinggi, peka dan
    (tentu saja) pengenalan yang cukup terhadap masalah yang hendak ditulisnya.


    Kalau
    masih ada waktu, sebaiknya penulis feature “mengendapkan” dulu tulisannya untuk
    beberapa saat, sebelum dikirim ke meja redaksi. Sebab, biasanya, dengan cara
    itu, setelah otak segar kembali dan sedikit berjarak, penulis akan menemukan
    kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Bukankah akurasi merupakan (salah satu)
    unsur yang sangat penting dalam dunia jurnalisme?


    Jakarta, pertengahan Mei 2002





    Catatan :


    Makalah ini disampaikan pada “Diklat
    Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut Se-Jawa, Bali dan Nusa Tenggara” yang
    diselenggarakan Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UAPKM) Universitas
    Brawijaya, 13 – 15 Mei 2002, di Malang, Jawa Timur.

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 9:46 pm