Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    plot & stilistika

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    plot & stilistika Empty plot & stilistika

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:48 pm

    Plot dan Stilistika


    Oleh Budi Darma


    (pokok-pokok pikiran dalam Lokakarya Penulisan
    Novel, Universitas Brawijaya, Malang, Minggu, 15 Mei 2005)






    Cerita dan Plot


    Dalam percakapan
    sehari-hari cerita (story) identik
    dengan plot (alur). Namun, dalam sastra, dua istilah itu mempunyai makna
    berbeda. Cerita adalah rangkaian peristiwa, sedangkan alur adalah rangkaian
    peristiwa yang diikat oleh hukum sebab-akibat.



    “Tadi pagi saya bangun jam empat, lalu saya
    bersembahyang, dan sesudah itu saya membaca buku, lalu saya mandi, dan sesudah
    mandi saya makan pagi” adalah cerita, karena antara satu peristiwa dan
    peristiwa lain merupakan kelanjutan.



    Plot, sebaliknya, mempunyai kaitan
    sebab-akibat, misalnya: “Sebetulnya tadi pagi saya ingin bangun pukul empat,
    tapi karena tadi malam saya bekerja sampai larut malam, maka saya terlambat
    bangun. Segera setelah bangun saya lanngsung ke kamar mandi, namun ternyata,
    sebelum saya sampai di kamar mandi, tilpun berdering. Ada berita, ibu saya
    sakit keras. Setelah mendengar berita ini saya batalkan niat saya untuk mandi.
    Saya hanya gosok gigi sebentar, berpakaian, lalu dengan amat tergesa-gesa dan
    tanpa mandi, saya meninggalkan rumah untuk menuju ke terminal bis. Tiga jam
    kemudian, sampailah saya di rumah orang tua saya. Ternyata, ibu saya sama
    sekali tidak sakit. Beliau menyuruh pembantunya untuk menilpun saya semata
    karena beliau rindu.”






    Plot dan karakterisasi


    Tanpa karakter (tokoh), dengan sendirinya
    plot tidak mungkin ada. Plot terjadi karena masing-masing karakter mempunyai
    watak sendiri, dan karena itu, pada suatu saat mereka akan berbeda pemandangan.
    Perbedaan pandangan dapat muncul dalam bentuk dialog, pikiran, dan juga
    tindakan. Dialog, pikiran, dan tindakan inilah yang kemudian melahirkan plot.



    Plot juga tidak akan terjadi manakala
    karakter tidak didramatisasikan. Dengan “didramatisasikan” dimaksud,
    masing-masing karakter tidak hanya diam semata-mata, namun “hidup,” sebagaimana
    yang nampak dalam drama. Karakter harus, berbicara, berpikir, dan bertindak. Karena karakter berbicara,
    berpikir, dan bertindak itulah, sekali lagi, plot dapat tercipta.



    Ukuran apakah seorang karakter itu berhasil
    atau tidak juga diambil dari sini: kata-katanya, pikirannya atau apa yang
    bergejolak di otaknya, dan tindakan-tindakannya. Masih ada lagi satu butir yang
    perlu dipikirkan dalam menciptakan seorang karakter yang baik, yaitu, apa
    pendapat dan sikap karakter-karakter lain terhadap karakter tententu itu.






    Eksposisi


    Sebelum masuk ke plot, penulis drama
    tradisional biasanya menuliskan sebuah eksposisi terlebih dahulu. Melalui
    eksposisi pembaca akan tahu kira-kira drama ini nanti mengenai apa, siapa saja
    karakter-karakternya yang penting, apa watak masing-masing karakter itu, dan
    apa saja kira-kira yang akan terjadi dalam drama ini. Setelah eksposisi berakhir,
    barulah drama masuk ke dalam plot.



    Apakah eksposisi diperlukan atau tidak dalam
    novel, tergantung pada pengarangnya sendiri. Dalam novel-novel sastra dunia
    abad ke-19 sampai dengan sekitar tahun 1850-an, pada umumnya pengarang
    memulainya dengan eksposisi terlebih dahulu. Eksposisi bisa panjang, bisa
    pendek, bisa eksplisit, bisa pula implisit.



    Kalau ada eskposisi, eskposisi ini dapat
    diungkapkan dalam berbagai cara. Beberapa cara itu antara lain dikskripsi
    mengenai setting tempat, termasuk nama, waktu, dan suasana tempat itu,
    diskripsi ringkas mengenai beberapa karakter penting, dan lain-lain. Eksposisi
    tidak perlu panjang, cukup ringkas dan padat, dan tidak perlu ditulis dalam
    satu bab khusus, tapi merupakan awal dari bab satu.






    Konflik


    Karena masing-masing
    karakter mempunyai watak masing-masing, kepentingan yang berbeda, suasana hati
    yang tidak sama, maka terciptalah konflik. Watak berbeda, misalnya, yang satu
    suka marah, yang lain tidak. Kepentingan yang berbeda, misalnya, yang satu
    memerlukan berita dari channel berita TV karena pekerjaannya berhubungan dengan
    berita, yang lain memilih channel musik karena dia dalam keadaan lelah dan
    karena itu ingin menghibur diri. Suasana hati berbeda, misalnya, yang satu
    sedih karena tidak lulus ujian, yang lain bahagia karena baru mendapat surat
    dari pacarnya.



    Konflik bisa keras bisa
    pula tidak, bisa dengan kata-kata, bisa juga dengan tindakan. Biasanya, konflik
    yang baik tidak dalam bentuk perkelahian fisik, namun dalam bentuk lain,
    misalnya memilih untuk menghindar.



    Sumber konflik juga
    macam-macam, antara lain masalah moral, masalah sikap yang berbeda, masalah
    dendam, dan sebagainya. Konflik masalah moral, misalnya, yang satu suka
    minum-minum sedangkan yang lain amat alim. Konflik mengenai pendapat yang
    berbeda, misalnya, yang satu ekstrovert, sedangkan yang lain introvert. Konflik
    karena balas dendam, sementara itu, bisa dicari banyak contohnya dari film-film
    silat Hongkong.






    Krisis


    Dengan adanya konflik,
    akan terciptalah krisis. Misalnya,
    sepasang pacar konflik karena cemburu. Mereka bertengkar, dan pertengkaran ini
    menimbulkan ketegangan, bahkan, kadang-kadang sampai menjurus ke perpisahan.
    Inilah krisis. Namun, krisis sering menurun dengan sendirinya, karena sepasang
    pacar yang bertengkar hebat ini kemudian diam-diam berdamai lagi, dan kembali
    mesra seperti sebelumnya. Krisis bisa kecil bisa besar, dan bisa terjadi
    berulang-ulang.






    Klimaks


    Akhir krisis adalah klimaks. Karena krisis bisa terjadi
    beberapa kali, maka klimaks pun bisa pula terjadi beberapa kali. Namun
    akhirnya, krisis yang berulang-ulang itu akan mencapai satu krisis besar.
    Krisis besar inilah yang menciptakan puncak klimaks. Baik krisis besar maupun puncak klimaks hanya
    terjadi satu kali, tidak berkali-kali.



    Puncak klimaks selalu
    menentukan akhir/penutup novel. Kalau puncak klimaksnya begini, maka penutup
    novelnya akan begini, dan kalau puncak klimaksnya tidak begini, maka penutup
    novelnya juga tidak begini. Salah satu tolok ukur novel yang baik adalah
    hubungan antara puncak klimaks dan penutup novel.



    Contoh klimaks dalam
    cerpen dapat dilihat dalam karya D.H. Lawrence, pengarang Inggris awal abad
    ke-20, berjudul “The Rocking Horse Winner.” Dalam cerpen ini terceritalah ada
    sebuah keluarga yang gaya hidupnya berada jauh di atas penghasilannya. Gajih
    keluarga ini kecil, namun mereka ingin hidup di rumah mewah di daerah mewah
    pula, lengkap dengan kolam renangnya, dan sebagainya.



    Karena gaya hidup mereka
    terlalu tinggi, mereka selalu kekurangan uang. Perasaan tertekan karena
    kekurangan uang ini menyebabkan mereka dihantui oleh halusinasi, khususnya pada
    saat-saat menjelang Natal, karena pada waktu Natal mereka memerlukan jumlah
    uang yang jauh lebih besar. Mereka merasa, seolah semua benda di rumah
    berteriak-teriak “kami perlu uang lagi, kami perlu uang lagi, kami perlu uang
    lagi,” tanpa henti. Dinding berteriak, almari berteriak, sepatu berteriak, dan
    semuanya tanpa kecuali berteriak minta uang.



    Keluarga ini mempunyai
    seorang anak laki-laki kecil, Paul namanya. Pada suatu hari dengan nada polos
    Paul bertanya kepada ibunya: “Bu, mengapa kita tidak punya mobil sendiri?
    Mengapa kita selalu tidak punya uang?” Ibunya menjawab: “Karena kita tidak
    punya keberuntungan.” Paul bertanya: “Keberuntungan? Apa keberuntungan itu
    berarti uang?” Ibunya tidak menjawab. Paul berdialog dengan dirinya sendiri:
    “Kalau begitu, saya akan mencari keberuntungan.”



    Sementara itu, ibunya
    membelikan Paul kuda mainan dari kayu. Dengan senang hati Paul menerima kuda mainan itu, lalu dia naik dan
    menjungkat-jungkitkan kudanya. Demikianlah, setiap hari dia bermain-main dengan
    kuda mainannya.



    Pada suatu hari, tukang
    kebun keluarga ini melihat sesuatu yang aneh pada Paul. Setiap kali akan
    mencapai puncaknya dalam bermain-main dengan kudanya, Paul selalu meneriakkan
    satu nama. Tukang kebun ini berpikir keras untuk mengetahui apa makna nama itu
    sebetulnya.



    Akhirnya, sebuah jawaban
    ditemukan oleh tukang kebun ini. Nama yang diteriakkan Paul tidak lain adalah
    nama kuda yang akan menang dalam balap kuda. Maka, tukang kebun ini pun
    memasang taruhan setiap kali ada balap kuda, dan selalu menang.



    Demikianlah, tukang kebun
    dan Paul akhirnya menjadi kaya. Baik Paul maupun tukang kebun itu tidak mau
    mengatakan kepada orang tua Paul mengenai keajaiban ini. Maka melalui
    pengacaranya, dengan tanpa menyebut nama, Paul secara berkala mengirim uang
    yang banyak jumlahnya kepada ibunya. Namun, setiap kali menerima uang, ibunya
    hanya mau menerima uang tanpa keinginan untuk mengetahui dari mana sebetulnya
    uang itu datag.



    Keluarga ini tetap hidup
    boros, namun kaya raya. Pada suatu hari, orang tua Paul menghadiri pesta. Dalam
    pesta itu sekonyong-konyong ibunya merawa was-was. Maka, dia pun pulang
    sendirian. Ternyata, rumahnya gelap.



    Ibunya merasa heran,
    karena dari kamar Paul terdengar sayup-sayup suara ganjil. Maka, dengan
    mengendap-endap dia mendekati kamar Paul. Makin dekat dengan kamar Paul, suara
    ganjil itu terdengar semakin keras. Setelah sampai di depan kamar Paul, dengan
    sangat cepat sekali ibunya membuka pintu, menyalakan lampu, dan langsung berteriak:
    “Paul, apa yang kau lakukan?”



    Paul sedang
    menggoncang-goncang kuda mainannya. Ketika ibunya sekonyong masuk, menyalakan
    lampu, dan berteriak, Paul sedang mencapai puncaknya. Paul sempat meneriakkan
    sebuah nama. Namun, ibunya tidak tahu apa-apa. Ibunya justru mengira, Paul yang
    sudah cukup besar ini sudah menjadi sinting karena masih suka main kuda mainan.



    Karena amat terkejut,
    setelah meneriakkan sebuah nama Paul terjatuh, tidak sadar, dan suhu badannya
    mendadak melonjak menjadi tinggi sekali. Tiga hari kemudian, Paul meninggal.



    Puncak klimaks terjadi,
    ketika dengan mendadak ibu Paul membuka kamar, menyalakan lampu, dan berteriak.
    Seandainya ibunya tidak berbuat itu, maka Paul tetap hidup. Demikianlah, puncak
    klimaks menentukan penutup novel.






    Klimaks eksplisit


    Seperti halnya dalam
    cerpen, tidak semua novel mempunyai klimaks yang jelas. Sebagai contoh,
    ambillah sebuah cerpen karya mahasiswa UNESA di Jawa Pos beberapa tahun yang
    lalu. Siapa pengarang dan apa judulnya, maaf, tidak dapat dilacak kembali.



    Terceritalah, aku seorang
    mahasiswa, pada saat-saat kegiatan akademis mencapai puncak. Aku harus
    menyiapkan banyak makalah, mencari data, membaca, dan seterusnya, yang membuat
    aku benar-benar lelah. Maka, meskipun tugas masih banyak sekali dan semuanya harus
    cepat aku selesaikan, aku putuskan untuk tidur sebentar.



    Tiba-tiba aku terjaga,
    karena mendengar ibuku berteriak-teriak sambil terus-menerus menyebut namaku.
    Aku pun membuka pintu kamar, dan tahulah aku, bahwa ibuku menangis keras-keras
    karena melihat aku sudah mati. Itu, di tengah ruang tamu itu, mayatku
    tergeletak di atas dipan. Lalu, kakak saya datang. Sambil meneriak-neriakkan
    namaku, kakakku lari ke arah mayatku. Seperti ibu, dia pun
    menggoncang-goncangkan mayatku, menyatakan keheranannya mengapa aku yang masih
    semuda ini, meninggal.



    Tidak lama kemudian, para
    pelayat pun datang. Sebagian besar pelayat adalah orang-orang yang sudah aku
    kenal dengan akrab. Mereka mengobrol, membicarakan tentang kematianku,
    sebagaimana layaknya para pelayat pada umumnya.



    Aku berjalan-jalan di
    antara para pelayat, dan tidak satu pun di antara mereka yang tahu bahwa saya
    berada di antara mereka. Upacara demi upacara dilakukan, termasuk pidato-pidato
    teman-temanku dan tetangga-tetanggaku. Setelah acara pemberangkatan selesai,
    mayatku pun diusung ke makam.



    Di makam, setelah melalui
    berbagai upacara lagi, mereka memasukkan mayatku ke dalam liang lahat. Aku pun
    ikut berdesak-desakan di antara para pelayat untuk menyaksikan mayatku
    diturunkan perlahan-lahan. Setelah upacara pemakaman selesai, pergilah semua
    orang meninggalkan makam, termasuk aku pula.



    Aku pun pulang, sampai
    akhirnya, sampailah aku di rumah kembali. Aku terbangun, dan aku sangka, semua
    yang aku saksikan tadi hanyalah mimpi, namun, tidak mungkin. Seandainya tadi
    aku benar-benar bermimpi, tidak mungkin pakaianku kotor, penuh dengan lumpur
    makam.



    Dalam cerpen ini mungkin
    puncak klimaksnya ada, mungkin pula tidak ada. Seandainya memang ada, di mana
    letaknya, tidak jelas. Alasannuya, tidak lain, karena hakikat cerpen ini
    berbeda dengan “The Rocking Horse Winner.”



    Lalu, apakah novel yang
    baik harus memiliki puncak klimaks yang jelas atau tidak, tergantung pada
    pengarangnya sendiri. Namun dalam perkembangan penulisan sastra, baik dalam
    cerpen maupun dalam novel, ada kecenderungan untuk membuat puncak klimaks
    terselubung. Bahkan, nampaknya, akhir-akhir ini, para pengarang, sadar atau
    tidak, meniadakan puncak klimaks.









    Non-konflik


    Sebagaimana yang sering
    diungkapkan oleh bebagai pihak, baik cerpen maupun novel Indonesia kurang mampu
    untuk menampilkan konflik yang signifikan. Ada gejala, kata bebagai pihak
    tersebut, bahwa pengarang justru menghinadari konflik antar-karakternya.
    Menurut Kuntowijoyo dalam esainya di majalah kebudayaan Basis awal tahun 1980-an, sadar atau tidak para pengarang Indonesia
    masih terikat tradisi wayang, dan karena itu, cenderung untuk menghindari
    konflik.



    Dalam wayang hanya ada dua
    macam karakter, yaitu karakter hitam dan karakter putih. Plot disusun untuk
    memperkuat karakterisasi hitam putih itu. Akibatnya, konflik signifikan tidak
    ada, karena bisa diselesaikan dengan pola hitam putih.



    Ketiadaan konflik yang
    signifikan ini mendorong berbagai fihak untuk menuduh sastra Indonesia sebagai
    sastra yang lemah. Apa betul lemah atau tidak, biarlah khalayak menilainya
    sendiri. Namun, kecenderungan untuk “meniadakan” konflik yang signifikan
    merupakan gejala umum baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.






    Gaya
    bahasa emotif



    Sebagai sarana ekspresi, dengan sendirinya bahasa
    mencerminkan logika pengguna bahasa itu. Sementara itu, seorang skolar Perancis
    abad ke-17, Buffon namanya, menyatakan, “le style, c’est l’homme.” Gaya bahasa
    sebagai refleksi dari logika seseorang, menurut Buffon, tidak lain merupakan
    pencerminan orang itu sendiri.



    Karena novel bukan cerpen, maka bahasanya pun, pada
    umumnya, tidak sama dengan bahasa koran atau bahasa percakapan sehari-hari.
    Kendati sementara pihak menganggap bahwa novel adalah cerminan realita, realita
    dalam novel sudah tidak murni lagi. Betapa kuat pun pengarang diikat oleh
    realita, instink kepengarangan seorang pengarang pasti mendorong dia untuk
    mempergunakan imajinasinya.



    Disamping penggunaan imajinasi, pengarang pun terikat
    oleh faktor lain, yaitu tuntutan estetika. Sebagimana halnya dalam seni lukis,
    lukisan “dibuat lebih indah” daripada objeknya sendiri. Lukisan dan novel,
    dengan demikian, dianggap sebagai “metaphora realita.” Untuk mencapai tahap
    “metaphoris,” pengarang novel “mempermainkan” penggunaan bahasanya dengan
    kemahiran seni yang tinggi. Karena itulah, kemudian tercipta bahasa emotif.



    Bahasa emotif, sementara itu, adalah bahasa yang
    dipergunakan oleh pengarang untuk menarik empati pembacanya. Pembaca dibuat
    bersimpati, berantipati, ikut marah-marah, kecewa, bahagia, dan lai-lain,
    itulah fungsi bahasa emotif. Dengan demikian, pembaca, tanpa sadar, merasa
    terlibat dalam dunia novel itu sendiri.



    Tentu saja, bahasa emotif bukan satu-satunya sarana untuk
    menarik empati, sebab, bahasa yang deskriptif pun, yaitu menggambarkan realita
    sebagaimana adanya, dapat juga mengajak pembaca untuk ikut sedih, marah,
    kecewa, dan sebagainya.



    Pengarang yang nampak gigih memperjuangkan bahasa emotif
    adalah Nukila Amal, sebagaimana yang nampak dalam novel Cala Ibi. Sebelum diterbitkan dalam bentuk novel, beberapa bagian Cala Ibi pernah dimuat di jurnal Kalam, dan karena itu memberi kesan
    sebagai cerpen. Nukila berjuang keras, agar bahasa benar-benar puitik, karena,
    bahasa puitik adalah salah satu komponen penting dalam bahasa emotif:






    "Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku
    mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan.
    Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan"






    Untuk kepentingan menarik empati pembaca, oleh Nukila
    Amal, logika dikorbankan, tentu saja dengan catatan, bahwa Cala Ibi bukan novel realis. Ingat, yang dikorbankan adalah logika,
    bukan pengurangan atau penambahan realita. Sementara itu, dalam New Criticism
    yang biasa ngurusi puisi namun akhirnya masuk pula ke prosa, bahasa emotif
    dapat pula menciptakan fallacy alias
    “pemalsuan” untuk menarik empati pembaca.



    Dalam New Criticism, dengan demikian, ada berbagai fallacy, yang semuanya merupakan
    “pemalsuan” realita guna menciptakan bahasa emotif. Intentional fallacy, misalnya, mengacu pada tujuan pengarang dalam
    menulis. Dengan mengadakan “pemalsuan” realita, maka tujuan pengarang menjadi
    samar, namun justru menjadi lebih efektif dalam menarik empati pembaca. Lalu,
    ada pula affective fallacy, yaitu
    mengacu pada “pemalsuan” realita agar pembaca, setelah menangkap tujuan
    pengarang, akan jatuh cinta pada karya itu.



    Realita orang yang sangat marah digambarkan menjadi “dia
    amat sangat marah, dan karena itu seluruh wajahnya menjadi merah bagaikan
    darah,” adalah “pemalsuan” atau fallacy,
    namun bukan pelanggaran terhadap logika. Fallacy
    semacam ini dapat pula dipergunakan untuk tekanan, sebagaimana yang pernah
    dipakai oleh Djenar Maesa Ayu dalam “Waktu Nayla”:






    “Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia
    hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak dalam
    keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya
    buntu.”






    Fallacy dengan bahasa puisi, yaitu dengan mempermainkan
    bunyi akhir suku kata telah menjadi kebiasaan dalam penulisan cerpen,
    sebagaimana yang nampak pula dalam cerpen Radhar Panca Dahana, “Sepi Pun Menari
    Di Tepi Hari”:






    “Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan
    adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan
    saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun
    mengasingkan diri”.






    Agus Noor dalam cerpen “Kupu-Kupu Seribu Peluru” (Kompas Minggu) juga mempergunakan bahasa
    puisi untuk menarik empati pembaca, sebagaimana misalnya, “ia melihat gadis
    kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil” dengan catatan, bahwa
    Agus Noor tidak memililih cerita realis.






    Gaya
    bahasa lakonik



    Awalnya gaya bahasa lakonik hanya dipergunakan dalam
    esai, dan bukan dalam fiksi. Namun ingat, kendati esai bukan fiksi, esai dapat
    pula dikategorikan sebagai karya sastra. Mengepa demikian, tidak lain, karena
    esai yang baik pasti ditulis dengan cita rasa seni yang tinggi pula.



    Esai pertama kali dipraktekkan oleh seorang filsuf
    Perancis abad ke-16, Michel Eyquem de Montaigne namanya. Kecuali dikenal
    sebagai filsuf, Montaigne juga dikenal sebagai sastrawan. Dengan menggabungkan
    kehebatannya sebagai filsof di satu pihak dan sastrawan di pihak lain itulah,
    maka esai Montaigne dikenal sebagai karya sastra yang cemerlang.



    Titik berat esai adalah penyampaian pikiran kepada
    pembaca, sedangkan titik berat novel adalah penyampaian kisah tertentu kepada
    pembaca. Gaya bahasa emotif dipergunakan untuk memancing empati pembaca yang
    berada di kawasan emosi dan perasaan, sedangkan bahasa lakonik esai lebih
    banyak dipergunakan untuk membangkitkan keterlibatan intelektual pembaca.
    Mengapa demikian, tidak lain karena novel adalah dunia kisah, sedangkan esai
    adalah dunia logika intelektual.



    Dari Perancis esai masuk ke Inggris, dan di Inggris esai
    kemudian dikembangkan oleh Francis Bacon. Sebagai halnya Montaigne, Francis
    Bacon juga seorang filsul dan saintis. Francis Baconlah yang pertama kali
    menganjurkan, agar segala sesuatu dalam sains tidak didasarkan pada
    asumsi-asumsi semata, namun harus didasarkan pada eksperimen.



    Untuk mengetahui contoh esai yang sebenarnya, tengoklah
    misalnya satu petikan esai Francis Bacon mengenai ambisi, suatu topik yang
    selamanya hangat baik dalam filsafat maupun psikologi:






    Ambition is like
    choler; which is an humour that makes men active, earnest, full of
    alacitry, and stirring, if it be not stopped. But if it be stopped, and cannot
    have his way, it becomes adust, and thereby malign and venomenous. So ambitious
    men, if they find the way open for their rising, and still get forward, they
    are rather busy than dangerous; but if they be check in their desires, they
    become secretly discontent, and look upon men and matters with an evil eye, and
    are best please when things go backward ….”






    Inilah ambisi, dan ini pulalah
    manusia ambisius. Dia punya semangat tinggi, penuh aktivitas, dan
    berkobar-kobar selama ambisinya tidak dihambat. Dalam keadaan ambisinya tidak
    dihambat dia akan benar-benar sibuk dan tidak berbahaya, namun ingat, begitu
    ambisinya terhambat, dia akan berubah. Dia akan lebih senang melihat segala
    sesuatunya mundur, sehingga dialah yang paling menonjol. Dalam tahap ini, tentu
    saja seseorang yang ambisius bukan hanya sibuk, namun cenderung berbahaya. Dia
    merupakan ancaman bagi sekelilingnya.



    Gagasan esai ini kompleks, diam-diam
    tapi pasti mengurai dengan cermat masalah ambisi dan manusia ambisius, serta
    menelusurinya sampai mencapai titik kesimpulan yang sahih: “Inilah ambisi, dan
    inilah manusia ambisius.” Bahasanya laconic,
    yaitu patah-patah, seolah seperti kepak-kepak burung elang yang sedang
    melayang-layang di angkasa, kadang naik, kadang turun, kadang mengambang di
    udara.






    Kendati gaya bahasa lakonik awalnya
    dipergunakan dalam esai, gaya bahasa lakonik kemudian masuk pula ke dalam
    novel, sebagaimana yang nampak dalam novel Jane Austen, Pride and Prejudice. Di sana-sini dia mempergunakan esai sebagai
    senjata untuk menulis fiksi yang bagus. Nampaklah, bahwa esai bukan hanya
    bermanfaat dalam non-fiksi, sebab dalam novel pun, ternyata esai dapat
    dipergunakan dengan baik. Tengoklah, misalnya, bagian pertama Pride and Prejudice, suatu bagian dengan
    gaya laconic, dan benar-benar esaistik:






    It is a truth
    universally acknowledged, that a single man in



    possession of a good fortune,
    must be in want of a wife.



    However little known the
    feelings or views of such a man



    may be on his first entering a
    neighbourhood, this truth



    is so well fixed in the minds
    of the surrounding families,



    that he is considered as the
    rightful property of some one



    or other of their daughters.





    Inilah kisah kedatangan seorang
    bujangan kaya di suatu daerah, di mana tinggal beberapa perawan yang sudah
    saatnya menikah. Bujangan ini pasti akan memerlukan isteri, dan para orang tua
    perawan di daearah ini pasti akan berbahagia apabila salah seorang perawan
    mereka dipilih. Berbeda dengan kalimat-kalimat argumentatif Francis Bacon, dan
    karena itu tidak berhubungan dengan plot, dua kalimat Jane Austen ini
    dimaksudkan untuk menampung plot.



    Ingat, Jane Austen menyampaikan sebuah berita kebenaran
    untuk konteks abad ke-19, yang memang tepat. Gaya laconic dikuasainya dengan baik, dan karena itu, ke-esai-an
    kalimat-kalimatnya sebagai sarana pengucapan gagasannya juga memenuhi sasaran.
    Gagasannya cemerlang, demikian pula cara penyampaian gagasannya.



    Ernest Hemingway berbeda. Dia juga mempergunakan esai
    dalam bagian-bagian tertentu novelnya, sebagaimana yang nampak dalam
    adikaryanya, The Old Man and the Sea.
    Sepintas dia nampak “tergelincir” ke penggunaan slogan, namun, sebetulnya
    tidak:






    “But man is not made of
    defeat,” he said. “A man can be destroyed



    but not be defeated.”





    Inilah kisah mengenai seorang
    nelayan tua yang dijauhi sesama nelayan, karena dia dianggap sebagai orang
    sial, dan karena itu, barang siapa bergaul dengannya, pasti akan menjadi sial
    pula. Telah berkali-kali dia berlayar untuk menangkap ikan, namun selalu gagal.
    Dalam berlayar biasanya dia ditemani seorang anak kecil, namun sekarang anak
    kecil ini sudah dilarang ayahnya untuk menemaninya lagi.



    Demikianlah, dia berlayar sendirian, menghadapi kesepian,
    masa lalu yang indah, dan kesialan yang sekarang menimpanya. Bahaya demi bahaya
    dihadapinya sendiri, dengan mengandalkan tubuhnya yang sudah tua. Baginya,
    manusia tidak diciptakan untuk dikalahkan, dan dia sendiri yakin bahwa dia bisa
    saja dihancurkan, namun tidak mungkin bisa dikalahkan.



    Jane Austen telah membuktikan bahwa
    esai tidak tabu terhadap plot, demikian pula Ernest Hemingway, kendati dengan
    cara berbeda. Esai tidak tabu terhadap kontemplasi (Fancis Bacon), tidak tabu
    terhadap kontemplasi dan argumentasi (Francis Bacon dan Bertrand Russel), tidak
    tabu terhadap plot (Jane Austen), tidak pula tabu terhadap plot yang berbaur
    dengan pandangan hidup dan karena itu menyerempet sloganisme (Ernest
    Hemingway). Dalam berhadapan dengan semua dunia pemikiran, sesuai dengan
    hakikatnya sebagai sebuah karya seni, esai tidak melanggar kaedah mendasar
    karya seni, yaitu dulce atau
    kenikmatan, dan utile, yaitu
    kegunaan.






    =0=





    Rujukan Utama





    Budi Darma. “Esai adalah Sebuah
    Jendela Terbuka.” Dalam Jendela Terbuka:
    Antologi Esai Mastera. Eds. Dendy
    Sugono dan Budi Darma. 2005. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
    Nasional. Hlm. IX-XX



    Budi Darma. “Mensonge.” Pengantar Cerpen Pilihan Kompas. 2005. Ed. Kompas.
    Jakarta: Kompas, akan diluncurkan pada tanggal 28 Juni 2005 di Jakarta






    =0=

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 4:20 pm