Plot dan Stilistika
Oleh Budi Darma
(pokok-pokok pikiran dalam Lokakarya Penulisan
Novel, Universitas Brawijaya, Malang, Minggu, 15 Mei 2005)
Cerita dan Plot
Dalam percakapan
sehari-hari cerita (story) identik
dengan plot (alur). Namun, dalam sastra, dua istilah itu mempunyai makna
berbeda. Cerita adalah rangkaian peristiwa, sedangkan alur adalah rangkaian
peristiwa yang diikat oleh hukum sebab-akibat.
“Tadi pagi saya bangun jam empat, lalu saya
bersembahyang, dan sesudah itu saya membaca buku, lalu saya mandi, dan sesudah
mandi saya makan pagi” adalah cerita, karena antara satu peristiwa dan
peristiwa lain merupakan kelanjutan.
Plot, sebaliknya, mempunyai kaitan
sebab-akibat, misalnya: “Sebetulnya tadi pagi saya ingin bangun pukul empat,
tapi karena tadi malam saya bekerja sampai larut malam, maka saya terlambat
bangun. Segera setelah bangun saya lanngsung ke kamar mandi, namun ternyata,
sebelum saya sampai di kamar mandi, tilpun berdering. Ada berita, ibu saya
sakit keras. Setelah mendengar berita ini saya batalkan niat saya untuk mandi.
Saya hanya gosok gigi sebentar, berpakaian, lalu dengan amat tergesa-gesa dan
tanpa mandi, saya meninggalkan rumah untuk menuju ke terminal bis. Tiga jam
kemudian, sampailah saya di rumah orang tua saya. Ternyata, ibu saya sama
sekali tidak sakit. Beliau menyuruh pembantunya untuk menilpun saya semata
karena beliau rindu.”
Plot dan karakterisasi
Tanpa karakter (tokoh), dengan sendirinya
plot tidak mungkin ada. Plot terjadi karena masing-masing karakter mempunyai
watak sendiri, dan karena itu, pada suatu saat mereka akan berbeda pemandangan.
Perbedaan pandangan dapat muncul dalam bentuk dialog, pikiran, dan juga
tindakan. Dialog, pikiran, dan tindakan inilah yang kemudian melahirkan plot.
Plot juga tidak akan terjadi manakala
karakter tidak didramatisasikan. Dengan “didramatisasikan” dimaksud,
masing-masing karakter tidak hanya diam semata-mata, namun “hidup,” sebagaimana
yang nampak dalam drama. Karakter harus, berbicara, berpikir, dan bertindak. Karena karakter berbicara,
berpikir, dan bertindak itulah, sekali lagi, plot dapat tercipta.
Ukuran apakah seorang karakter itu berhasil
atau tidak juga diambil dari sini: kata-katanya, pikirannya atau apa yang
bergejolak di otaknya, dan tindakan-tindakannya. Masih ada lagi satu butir yang
perlu dipikirkan dalam menciptakan seorang karakter yang baik, yaitu, apa
pendapat dan sikap karakter-karakter lain terhadap karakter tententu itu.
Eksposisi
Sebelum masuk ke plot, penulis drama
tradisional biasanya menuliskan sebuah eksposisi terlebih dahulu. Melalui
eksposisi pembaca akan tahu kira-kira drama ini nanti mengenai apa, siapa saja
karakter-karakternya yang penting, apa watak masing-masing karakter itu, dan
apa saja kira-kira yang akan terjadi dalam drama ini. Setelah eksposisi berakhir,
barulah drama masuk ke dalam plot.
Apakah eksposisi diperlukan atau tidak dalam
novel, tergantung pada pengarangnya sendiri. Dalam novel-novel sastra dunia
abad ke-19 sampai dengan sekitar tahun 1850-an, pada umumnya pengarang
memulainya dengan eksposisi terlebih dahulu. Eksposisi bisa panjang, bisa
pendek, bisa eksplisit, bisa pula implisit.
Kalau ada eskposisi, eskposisi ini dapat
diungkapkan dalam berbagai cara. Beberapa cara itu antara lain dikskripsi
mengenai setting tempat, termasuk nama, waktu, dan suasana tempat itu,
diskripsi ringkas mengenai beberapa karakter penting, dan lain-lain. Eksposisi
tidak perlu panjang, cukup ringkas dan padat, dan tidak perlu ditulis dalam
satu bab khusus, tapi merupakan awal dari bab satu.
Konflik
Karena masing-masing
karakter mempunyai watak masing-masing, kepentingan yang berbeda, suasana hati
yang tidak sama, maka terciptalah konflik. Watak berbeda, misalnya, yang satu
suka marah, yang lain tidak. Kepentingan yang berbeda, misalnya, yang satu
memerlukan berita dari channel berita TV karena pekerjaannya berhubungan dengan
berita, yang lain memilih channel musik karena dia dalam keadaan lelah dan
karena itu ingin menghibur diri. Suasana hati berbeda, misalnya, yang satu
sedih karena tidak lulus ujian, yang lain bahagia karena baru mendapat surat
dari pacarnya.
Konflik bisa keras bisa
pula tidak, bisa dengan kata-kata, bisa juga dengan tindakan. Biasanya, konflik
yang baik tidak dalam bentuk perkelahian fisik, namun dalam bentuk lain,
misalnya memilih untuk menghindar.
Sumber konflik juga
macam-macam, antara lain masalah moral, masalah sikap yang berbeda, masalah
dendam, dan sebagainya. Konflik masalah moral, misalnya, yang satu suka
minum-minum sedangkan yang lain amat alim. Konflik mengenai pendapat yang
berbeda, misalnya, yang satu ekstrovert, sedangkan yang lain introvert. Konflik
karena balas dendam, sementara itu, bisa dicari banyak contohnya dari film-film
silat Hongkong.
Krisis
Dengan adanya konflik,
akan terciptalah krisis. Misalnya,
sepasang pacar konflik karena cemburu. Mereka bertengkar, dan pertengkaran ini
menimbulkan ketegangan, bahkan, kadang-kadang sampai menjurus ke perpisahan.
Inilah krisis. Namun, krisis sering menurun dengan sendirinya, karena sepasang
pacar yang bertengkar hebat ini kemudian diam-diam berdamai lagi, dan kembali
mesra seperti sebelumnya. Krisis bisa kecil bisa besar, dan bisa terjadi
berulang-ulang.
Klimaks
Akhir krisis adalah klimaks. Karena krisis bisa terjadi
beberapa kali, maka klimaks pun bisa pula terjadi beberapa kali. Namun
akhirnya, krisis yang berulang-ulang itu akan mencapai satu krisis besar.
Krisis besar inilah yang menciptakan puncak klimaks. Baik krisis besar maupun puncak klimaks hanya
terjadi satu kali, tidak berkali-kali.
Puncak klimaks selalu
menentukan akhir/penutup novel. Kalau puncak klimaksnya begini, maka penutup
novelnya akan begini, dan kalau puncak klimaksnya tidak begini, maka penutup
novelnya juga tidak begini. Salah satu tolok ukur novel yang baik adalah
hubungan antara puncak klimaks dan penutup novel.
Contoh klimaks dalam
cerpen dapat dilihat dalam karya D.H. Lawrence, pengarang Inggris awal abad
ke-20, berjudul “The Rocking Horse Winner.” Dalam cerpen ini terceritalah ada
sebuah keluarga yang gaya hidupnya berada jauh di atas penghasilannya. Gajih
keluarga ini kecil, namun mereka ingin hidup di rumah mewah di daerah mewah
pula, lengkap dengan kolam renangnya, dan sebagainya.
Karena gaya hidup mereka
terlalu tinggi, mereka selalu kekurangan uang. Perasaan tertekan karena
kekurangan uang ini menyebabkan mereka dihantui oleh halusinasi, khususnya pada
saat-saat menjelang Natal, karena pada waktu Natal mereka memerlukan jumlah
uang yang jauh lebih besar. Mereka merasa, seolah semua benda di rumah
berteriak-teriak “kami perlu uang lagi, kami perlu uang lagi, kami perlu uang
lagi,” tanpa henti. Dinding berteriak, almari berteriak, sepatu berteriak, dan
semuanya tanpa kecuali berteriak minta uang.
Keluarga ini mempunyai
seorang anak laki-laki kecil, Paul namanya. Pada suatu hari dengan nada polos
Paul bertanya kepada ibunya: “Bu, mengapa kita tidak punya mobil sendiri?
Mengapa kita selalu tidak punya uang?” Ibunya menjawab: “Karena kita tidak
punya keberuntungan.” Paul bertanya: “Keberuntungan? Apa keberuntungan itu
berarti uang?” Ibunya tidak menjawab. Paul berdialog dengan dirinya sendiri:
“Kalau begitu, saya akan mencari keberuntungan.”
Sementara itu, ibunya
membelikan Paul kuda mainan dari kayu. Dengan senang hati Paul menerima kuda mainan itu, lalu dia naik dan
menjungkat-jungkitkan kudanya. Demikianlah, setiap hari dia bermain-main dengan
kuda mainannya.
Pada suatu hari, tukang
kebun keluarga ini melihat sesuatu yang aneh pada Paul. Setiap kali akan
mencapai puncaknya dalam bermain-main dengan kudanya, Paul selalu meneriakkan
satu nama. Tukang kebun ini berpikir keras untuk mengetahui apa makna nama itu
sebetulnya.
Akhirnya, sebuah jawaban
ditemukan oleh tukang kebun ini. Nama yang diteriakkan Paul tidak lain adalah
nama kuda yang akan menang dalam balap kuda. Maka, tukang kebun ini pun
memasang taruhan setiap kali ada balap kuda, dan selalu menang.
Demikianlah, tukang kebun
dan Paul akhirnya menjadi kaya. Baik Paul maupun tukang kebun itu tidak mau
mengatakan kepada orang tua Paul mengenai keajaiban ini. Maka melalui
pengacaranya, dengan tanpa menyebut nama, Paul secara berkala mengirim uang
yang banyak jumlahnya kepada ibunya. Namun, setiap kali menerima uang, ibunya
hanya mau menerima uang tanpa keinginan untuk mengetahui dari mana sebetulnya
uang itu datag.
Keluarga ini tetap hidup
boros, namun kaya raya. Pada suatu hari, orang tua Paul menghadiri pesta. Dalam
pesta itu sekonyong-konyong ibunya merawa was-was. Maka, dia pun pulang
sendirian. Ternyata, rumahnya gelap.
Ibunya merasa heran,
karena dari kamar Paul terdengar sayup-sayup suara ganjil. Maka, dengan
mengendap-endap dia mendekati kamar Paul. Makin dekat dengan kamar Paul, suara
ganjil itu terdengar semakin keras. Setelah sampai di depan kamar Paul, dengan
sangat cepat sekali ibunya membuka pintu, menyalakan lampu, dan langsung berteriak:
“Paul, apa yang kau lakukan?”
Paul sedang
menggoncang-goncang kuda mainannya. Ketika ibunya sekonyong masuk, menyalakan
lampu, dan berteriak, Paul sedang mencapai puncaknya. Paul sempat meneriakkan
sebuah nama. Namun, ibunya tidak tahu apa-apa. Ibunya justru mengira, Paul yang
sudah cukup besar ini sudah menjadi sinting karena masih suka main kuda mainan.
Karena amat terkejut,
setelah meneriakkan sebuah nama Paul terjatuh, tidak sadar, dan suhu badannya
mendadak melonjak menjadi tinggi sekali. Tiga hari kemudian, Paul meninggal.
Puncak klimaks terjadi,
ketika dengan mendadak ibu Paul membuka kamar, menyalakan lampu, dan berteriak.
Seandainya ibunya tidak berbuat itu, maka Paul tetap hidup. Demikianlah, puncak
klimaks menentukan penutup novel.
Klimaks eksplisit
Seperti halnya dalam
cerpen, tidak semua novel mempunyai klimaks yang jelas. Sebagai contoh,
ambillah sebuah cerpen karya mahasiswa UNESA di Jawa Pos beberapa tahun yang
lalu. Siapa pengarang dan apa judulnya, maaf, tidak dapat dilacak kembali.
Terceritalah, aku seorang
mahasiswa, pada saat-saat kegiatan akademis mencapai puncak. Aku harus
menyiapkan banyak makalah, mencari data, membaca, dan seterusnya, yang membuat
aku benar-benar lelah. Maka, meskipun tugas masih banyak sekali dan semuanya harus
cepat aku selesaikan, aku putuskan untuk tidur sebentar.
Tiba-tiba aku terjaga,
karena mendengar ibuku berteriak-teriak sambil terus-menerus menyebut namaku.
Aku pun membuka pintu kamar, dan tahulah aku, bahwa ibuku menangis keras-keras
karena melihat aku sudah mati. Itu, di tengah ruang tamu itu, mayatku
tergeletak di atas dipan. Lalu, kakak saya datang. Sambil meneriak-neriakkan
namaku, kakakku lari ke arah mayatku. Seperti ibu, dia pun
menggoncang-goncangkan mayatku, menyatakan keheranannya mengapa aku yang masih
semuda ini, meninggal.
Tidak lama kemudian, para
pelayat pun datang. Sebagian besar pelayat adalah orang-orang yang sudah aku
kenal dengan akrab. Mereka mengobrol, membicarakan tentang kematianku,
sebagaimana layaknya para pelayat pada umumnya.
Aku berjalan-jalan di
antara para pelayat, dan tidak satu pun di antara mereka yang tahu bahwa saya
berada di antara mereka. Upacara demi upacara dilakukan, termasuk pidato-pidato
teman-temanku dan tetangga-tetanggaku. Setelah acara pemberangkatan selesai,
mayatku pun diusung ke makam.
Di makam, setelah melalui
berbagai upacara lagi, mereka memasukkan mayatku ke dalam liang lahat. Aku pun
ikut berdesak-desakan di antara para pelayat untuk menyaksikan mayatku
diturunkan perlahan-lahan. Setelah upacara pemakaman selesai, pergilah semua
orang meninggalkan makam, termasuk aku pula.
Aku pun pulang, sampai
akhirnya, sampailah aku di rumah kembali. Aku terbangun, dan aku sangka, semua
yang aku saksikan tadi hanyalah mimpi, namun, tidak mungkin. Seandainya tadi
aku benar-benar bermimpi, tidak mungkin pakaianku kotor, penuh dengan lumpur
makam.
Dalam cerpen ini mungkin
puncak klimaksnya ada, mungkin pula tidak ada. Seandainya memang ada, di mana
letaknya, tidak jelas. Alasannuya, tidak lain, karena hakikat cerpen ini
berbeda dengan “The Rocking Horse Winner.”
Lalu, apakah novel yang
baik harus memiliki puncak klimaks yang jelas atau tidak, tergantung pada
pengarangnya sendiri. Namun dalam perkembangan penulisan sastra, baik dalam
cerpen maupun dalam novel, ada kecenderungan untuk membuat puncak klimaks
terselubung. Bahkan, nampaknya, akhir-akhir ini, para pengarang, sadar atau
tidak, meniadakan puncak klimaks.
Non-konflik
Sebagaimana yang sering
diungkapkan oleh bebagai pihak, baik cerpen maupun novel Indonesia kurang mampu
untuk menampilkan konflik yang signifikan. Ada gejala, kata bebagai pihak
tersebut, bahwa pengarang justru menghinadari konflik antar-karakternya.
Menurut Kuntowijoyo dalam esainya di majalah kebudayaan Basis awal tahun 1980-an, sadar atau tidak para pengarang Indonesia
masih terikat tradisi wayang, dan karena itu, cenderung untuk menghindari
konflik.
Dalam wayang hanya ada dua
macam karakter, yaitu karakter hitam dan karakter putih. Plot disusun untuk
memperkuat karakterisasi hitam putih itu. Akibatnya, konflik signifikan tidak
ada, karena bisa diselesaikan dengan pola hitam putih.
Ketiadaan konflik yang
signifikan ini mendorong berbagai fihak untuk menuduh sastra Indonesia sebagai
sastra yang lemah. Apa betul lemah atau tidak, biarlah khalayak menilainya
sendiri. Namun, kecenderungan untuk “meniadakan” konflik yang signifikan
merupakan gejala umum baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.
Gaya
bahasa emotif
Sebagai sarana ekspresi, dengan sendirinya bahasa
mencerminkan logika pengguna bahasa itu. Sementara itu, seorang skolar Perancis
abad ke-17, Buffon namanya, menyatakan, “le style, c’est l’homme.” Gaya bahasa
sebagai refleksi dari logika seseorang, menurut Buffon, tidak lain merupakan
pencerminan orang itu sendiri.
Karena novel bukan cerpen, maka bahasanya pun, pada
umumnya, tidak sama dengan bahasa koran atau bahasa percakapan sehari-hari.
Kendati sementara pihak menganggap bahwa novel adalah cerminan realita, realita
dalam novel sudah tidak murni lagi. Betapa kuat pun pengarang diikat oleh
realita, instink kepengarangan seorang pengarang pasti mendorong dia untuk
mempergunakan imajinasinya.
Disamping penggunaan imajinasi, pengarang pun terikat
oleh faktor lain, yaitu tuntutan estetika. Sebagimana halnya dalam seni lukis,
lukisan “dibuat lebih indah” daripada objeknya sendiri. Lukisan dan novel,
dengan demikian, dianggap sebagai “metaphora realita.” Untuk mencapai tahap
“metaphoris,” pengarang novel “mempermainkan” penggunaan bahasanya dengan
kemahiran seni yang tinggi. Karena itulah, kemudian tercipta bahasa emotif.
Bahasa emotif, sementara itu, adalah bahasa yang
dipergunakan oleh pengarang untuk menarik empati pembacanya. Pembaca dibuat
bersimpati, berantipati, ikut marah-marah, kecewa, bahagia, dan lai-lain,
itulah fungsi bahasa emotif. Dengan demikian, pembaca, tanpa sadar, merasa
terlibat dalam dunia novel itu sendiri.
Tentu saja, bahasa emotif bukan satu-satunya sarana untuk
menarik empati, sebab, bahasa yang deskriptif pun, yaitu menggambarkan realita
sebagaimana adanya, dapat juga mengajak pembaca untuk ikut sedih, marah,
kecewa, dan sebagainya.
Pengarang yang nampak gigih memperjuangkan bahasa emotif
adalah Nukila Amal, sebagaimana yang nampak dalam novel Cala Ibi. Sebelum diterbitkan dalam bentuk novel, beberapa bagian Cala Ibi pernah dimuat di jurnal Kalam, dan karena itu memberi kesan
sebagai cerpen. Nukila berjuang keras, agar bahasa benar-benar puitik, karena,
bahasa puitik adalah salah satu komponen penting dalam bahasa emotif:
"Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku
mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan.
Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan"
Untuk kepentingan menarik empati pembaca, oleh Nukila
Amal, logika dikorbankan, tentu saja dengan catatan, bahwa Cala Ibi bukan novel realis. Ingat, yang dikorbankan adalah logika,
bukan pengurangan atau penambahan realita. Sementara itu, dalam New Criticism
yang biasa ngurusi puisi namun akhirnya masuk pula ke prosa, bahasa emotif
dapat pula menciptakan fallacy alias
“pemalsuan” untuk menarik empati pembaca.
Dalam New Criticism, dengan demikian, ada berbagai fallacy, yang semuanya merupakan
“pemalsuan” realita guna menciptakan bahasa emotif. Intentional fallacy, misalnya, mengacu pada tujuan pengarang dalam
menulis. Dengan mengadakan “pemalsuan” realita, maka tujuan pengarang menjadi
samar, namun justru menjadi lebih efektif dalam menarik empati pembaca. Lalu,
ada pula affective fallacy, yaitu
mengacu pada “pemalsuan” realita agar pembaca, setelah menangkap tujuan
pengarang, akan jatuh cinta pada karya itu.
Realita orang yang sangat marah digambarkan menjadi “dia
amat sangat marah, dan karena itu seluruh wajahnya menjadi merah bagaikan
darah,” adalah “pemalsuan” atau fallacy,
namun bukan pelanggaran terhadap logika. Fallacy
semacam ini dapat pula dipergunakan untuk tekanan, sebagaimana yang pernah
dipakai oleh Djenar Maesa Ayu dalam “Waktu Nayla”:
“Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia
hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak dalam
keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya
buntu.”
Fallacy dengan bahasa puisi, yaitu dengan mempermainkan
bunyi akhir suku kata telah menjadi kebiasaan dalam penulisan cerpen,
sebagaimana yang nampak pula dalam cerpen Radhar Panca Dahana, “Sepi Pun Menari
Di Tepi Hari”:
“Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan
adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan
saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun
mengasingkan diri”.
Agus Noor dalam cerpen “Kupu-Kupu Seribu Peluru” (Kompas Minggu) juga mempergunakan bahasa
puisi untuk menarik empati pembaca, sebagaimana misalnya, “ia melihat gadis
kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil” dengan catatan, bahwa
Agus Noor tidak memililih cerita realis.
Gaya
bahasa lakonik
Awalnya gaya bahasa lakonik hanya dipergunakan dalam
esai, dan bukan dalam fiksi. Namun ingat, kendati esai bukan fiksi, esai dapat
pula dikategorikan sebagai karya sastra. Mengepa demikian, tidak lain, karena
esai yang baik pasti ditulis dengan cita rasa seni yang tinggi pula.
Esai pertama kali dipraktekkan oleh seorang filsuf
Perancis abad ke-16, Michel Eyquem de Montaigne namanya. Kecuali dikenal
sebagai filsuf, Montaigne juga dikenal sebagai sastrawan. Dengan menggabungkan
kehebatannya sebagai filsof di satu pihak dan sastrawan di pihak lain itulah,
maka esai Montaigne dikenal sebagai karya sastra yang cemerlang.
Titik berat esai adalah penyampaian pikiran kepada
pembaca, sedangkan titik berat novel adalah penyampaian kisah tertentu kepada
pembaca. Gaya bahasa emotif dipergunakan untuk memancing empati pembaca yang
berada di kawasan emosi dan perasaan, sedangkan bahasa lakonik esai lebih
banyak dipergunakan untuk membangkitkan keterlibatan intelektual pembaca.
Mengapa demikian, tidak lain karena novel adalah dunia kisah, sedangkan esai
adalah dunia logika intelektual.
Dari Perancis esai masuk ke Inggris, dan di Inggris esai
kemudian dikembangkan oleh Francis Bacon. Sebagai halnya Montaigne, Francis
Bacon juga seorang filsul dan saintis. Francis Baconlah yang pertama kali
menganjurkan, agar segala sesuatu dalam sains tidak didasarkan pada
asumsi-asumsi semata, namun harus didasarkan pada eksperimen.
Untuk mengetahui contoh esai yang sebenarnya, tengoklah
misalnya satu petikan esai Francis Bacon mengenai ambisi, suatu topik yang
selamanya hangat baik dalam filsafat maupun psikologi:
Ambition is like
choler; which is an humour that makes men active, earnest, full of
alacitry, and stirring, if it be not stopped. But if it be stopped, and cannot
have his way, it becomes adust, and thereby malign and venomenous. So ambitious
men, if they find the way open for their rising, and still get forward, they
are rather busy than dangerous; but if they be check in their desires, they
become secretly discontent, and look upon men and matters with an evil eye, and
are best please when things go backward ….”
Inilah ambisi, dan ini pulalah
manusia ambisius. Dia punya semangat tinggi, penuh aktivitas, dan
berkobar-kobar selama ambisinya tidak dihambat. Dalam keadaan ambisinya tidak
dihambat dia akan benar-benar sibuk dan tidak berbahaya, namun ingat, begitu
ambisinya terhambat, dia akan berubah. Dia akan lebih senang melihat segala
sesuatunya mundur, sehingga dialah yang paling menonjol. Dalam tahap ini, tentu
saja seseorang yang ambisius bukan hanya sibuk, namun cenderung berbahaya. Dia
merupakan ancaman bagi sekelilingnya.
Gagasan esai ini kompleks, diam-diam
tapi pasti mengurai dengan cermat masalah ambisi dan manusia ambisius, serta
menelusurinya sampai mencapai titik kesimpulan yang sahih: “Inilah ambisi, dan
inilah manusia ambisius.” Bahasanya laconic,
yaitu patah-patah, seolah seperti kepak-kepak burung elang yang sedang
melayang-layang di angkasa, kadang naik, kadang turun, kadang mengambang di
udara.
Kendati gaya bahasa lakonik awalnya
dipergunakan dalam esai, gaya bahasa lakonik kemudian masuk pula ke dalam
novel, sebagaimana yang nampak dalam novel Jane Austen, Pride and Prejudice. Di sana-sini dia mempergunakan esai sebagai
senjata untuk menulis fiksi yang bagus. Nampaklah, bahwa esai bukan hanya
bermanfaat dalam non-fiksi, sebab dalam novel pun, ternyata esai dapat
dipergunakan dengan baik. Tengoklah, misalnya, bagian pertama Pride and Prejudice, suatu bagian dengan
gaya laconic, dan benar-benar esaistik:
It is a truth
universally acknowledged, that a single man in
possession of a good fortune,
must be in want of a wife.
However little known the
feelings or views of such a man
may be on his first entering a
neighbourhood, this truth
is so well fixed in the minds
of the surrounding families,
that he is considered as the
rightful property of some one
or other of their daughters.
Inilah kisah kedatangan seorang
bujangan kaya di suatu daerah, di mana tinggal beberapa perawan yang sudah
saatnya menikah. Bujangan ini pasti akan memerlukan isteri, dan para orang tua
perawan di daearah ini pasti akan berbahagia apabila salah seorang perawan
mereka dipilih. Berbeda dengan kalimat-kalimat argumentatif Francis Bacon, dan
karena itu tidak berhubungan dengan plot, dua kalimat Jane Austen ini
dimaksudkan untuk menampung plot.
Ingat, Jane Austen menyampaikan sebuah berita kebenaran
untuk konteks abad ke-19, yang memang tepat. Gaya laconic dikuasainya dengan baik, dan karena itu, ke-esai-an
kalimat-kalimatnya sebagai sarana pengucapan gagasannya juga memenuhi sasaran.
Gagasannya cemerlang, demikian pula cara penyampaian gagasannya.
Ernest Hemingway berbeda. Dia juga mempergunakan esai
dalam bagian-bagian tertentu novelnya, sebagaimana yang nampak dalam
adikaryanya, The Old Man and the Sea.
Sepintas dia nampak “tergelincir” ke penggunaan slogan, namun, sebetulnya
tidak:
“But man is not made of
defeat,” he said. “A man can be destroyed
but not be defeated.”
Inilah kisah mengenai seorang
nelayan tua yang dijauhi sesama nelayan, karena dia dianggap sebagai orang
sial, dan karena itu, barang siapa bergaul dengannya, pasti akan menjadi sial
pula. Telah berkali-kali dia berlayar untuk menangkap ikan, namun selalu gagal.
Dalam berlayar biasanya dia ditemani seorang anak kecil, namun sekarang anak
kecil ini sudah dilarang ayahnya untuk menemaninya lagi.
Demikianlah, dia berlayar sendirian, menghadapi kesepian,
masa lalu yang indah, dan kesialan yang sekarang menimpanya. Bahaya demi bahaya
dihadapinya sendiri, dengan mengandalkan tubuhnya yang sudah tua. Baginya,
manusia tidak diciptakan untuk dikalahkan, dan dia sendiri yakin bahwa dia bisa
saja dihancurkan, namun tidak mungkin bisa dikalahkan.
Jane Austen telah membuktikan bahwa
esai tidak tabu terhadap plot, demikian pula Ernest Hemingway, kendati dengan
cara berbeda. Esai tidak tabu terhadap kontemplasi (Fancis Bacon), tidak tabu
terhadap kontemplasi dan argumentasi (Francis Bacon dan Bertrand Russel), tidak
tabu terhadap plot (Jane Austen), tidak pula tabu terhadap plot yang berbaur
dengan pandangan hidup dan karena itu menyerempet sloganisme (Ernest
Hemingway). Dalam berhadapan dengan semua dunia pemikiran, sesuai dengan
hakikatnya sebagai sebuah karya seni, esai tidak melanggar kaedah mendasar
karya seni, yaitu dulce atau
kenikmatan, dan utile, yaitu
kegunaan.
=0=
Rujukan Utama
Budi Darma. “Esai adalah Sebuah
Jendela Terbuka.” Dalam Jendela Terbuka:
Antologi Esai Mastera. Eds. Dendy
Sugono dan Budi Darma. 2005. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional. Hlm. IX-XX
Budi Darma. “Mensonge.” Pengantar Cerpen Pilihan Kompas. 2005. Ed. Kompas.
Jakarta: Kompas, akan diluncurkan pada tanggal 28 Juni 2005 di Jakarta
=0=
Oleh Budi Darma
(pokok-pokok pikiran dalam Lokakarya Penulisan
Novel, Universitas Brawijaya, Malang, Minggu, 15 Mei 2005)
Cerita dan Plot
Dalam percakapan
sehari-hari cerita (story) identik
dengan plot (alur). Namun, dalam sastra, dua istilah itu mempunyai makna
berbeda. Cerita adalah rangkaian peristiwa, sedangkan alur adalah rangkaian
peristiwa yang diikat oleh hukum sebab-akibat.
“Tadi pagi saya bangun jam empat, lalu saya
bersembahyang, dan sesudah itu saya membaca buku, lalu saya mandi, dan sesudah
mandi saya makan pagi” adalah cerita, karena antara satu peristiwa dan
peristiwa lain merupakan kelanjutan.
Plot, sebaliknya, mempunyai kaitan
sebab-akibat, misalnya: “Sebetulnya tadi pagi saya ingin bangun pukul empat,
tapi karena tadi malam saya bekerja sampai larut malam, maka saya terlambat
bangun. Segera setelah bangun saya lanngsung ke kamar mandi, namun ternyata,
sebelum saya sampai di kamar mandi, tilpun berdering. Ada berita, ibu saya
sakit keras. Setelah mendengar berita ini saya batalkan niat saya untuk mandi.
Saya hanya gosok gigi sebentar, berpakaian, lalu dengan amat tergesa-gesa dan
tanpa mandi, saya meninggalkan rumah untuk menuju ke terminal bis. Tiga jam
kemudian, sampailah saya di rumah orang tua saya. Ternyata, ibu saya sama
sekali tidak sakit. Beliau menyuruh pembantunya untuk menilpun saya semata
karena beliau rindu.”
Plot dan karakterisasi
Tanpa karakter (tokoh), dengan sendirinya
plot tidak mungkin ada. Plot terjadi karena masing-masing karakter mempunyai
watak sendiri, dan karena itu, pada suatu saat mereka akan berbeda pemandangan.
Perbedaan pandangan dapat muncul dalam bentuk dialog, pikiran, dan juga
tindakan. Dialog, pikiran, dan tindakan inilah yang kemudian melahirkan plot.
Plot juga tidak akan terjadi manakala
karakter tidak didramatisasikan. Dengan “didramatisasikan” dimaksud,
masing-masing karakter tidak hanya diam semata-mata, namun “hidup,” sebagaimana
yang nampak dalam drama. Karakter harus, berbicara, berpikir, dan bertindak. Karena karakter berbicara,
berpikir, dan bertindak itulah, sekali lagi, plot dapat tercipta.
Ukuran apakah seorang karakter itu berhasil
atau tidak juga diambil dari sini: kata-katanya, pikirannya atau apa yang
bergejolak di otaknya, dan tindakan-tindakannya. Masih ada lagi satu butir yang
perlu dipikirkan dalam menciptakan seorang karakter yang baik, yaitu, apa
pendapat dan sikap karakter-karakter lain terhadap karakter tententu itu.
Eksposisi
Sebelum masuk ke plot, penulis drama
tradisional biasanya menuliskan sebuah eksposisi terlebih dahulu. Melalui
eksposisi pembaca akan tahu kira-kira drama ini nanti mengenai apa, siapa saja
karakter-karakternya yang penting, apa watak masing-masing karakter itu, dan
apa saja kira-kira yang akan terjadi dalam drama ini. Setelah eksposisi berakhir,
barulah drama masuk ke dalam plot.
Apakah eksposisi diperlukan atau tidak dalam
novel, tergantung pada pengarangnya sendiri. Dalam novel-novel sastra dunia
abad ke-19 sampai dengan sekitar tahun 1850-an, pada umumnya pengarang
memulainya dengan eksposisi terlebih dahulu. Eksposisi bisa panjang, bisa
pendek, bisa eksplisit, bisa pula implisit.
Kalau ada eskposisi, eskposisi ini dapat
diungkapkan dalam berbagai cara. Beberapa cara itu antara lain dikskripsi
mengenai setting tempat, termasuk nama, waktu, dan suasana tempat itu,
diskripsi ringkas mengenai beberapa karakter penting, dan lain-lain. Eksposisi
tidak perlu panjang, cukup ringkas dan padat, dan tidak perlu ditulis dalam
satu bab khusus, tapi merupakan awal dari bab satu.
Konflik
Karena masing-masing
karakter mempunyai watak masing-masing, kepentingan yang berbeda, suasana hati
yang tidak sama, maka terciptalah konflik. Watak berbeda, misalnya, yang satu
suka marah, yang lain tidak. Kepentingan yang berbeda, misalnya, yang satu
memerlukan berita dari channel berita TV karena pekerjaannya berhubungan dengan
berita, yang lain memilih channel musik karena dia dalam keadaan lelah dan
karena itu ingin menghibur diri. Suasana hati berbeda, misalnya, yang satu
sedih karena tidak lulus ujian, yang lain bahagia karena baru mendapat surat
dari pacarnya.
Konflik bisa keras bisa
pula tidak, bisa dengan kata-kata, bisa juga dengan tindakan. Biasanya, konflik
yang baik tidak dalam bentuk perkelahian fisik, namun dalam bentuk lain,
misalnya memilih untuk menghindar.
Sumber konflik juga
macam-macam, antara lain masalah moral, masalah sikap yang berbeda, masalah
dendam, dan sebagainya. Konflik masalah moral, misalnya, yang satu suka
minum-minum sedangkan yang lain amat alim. Konflik mengenai pendapat yang
berbeda, misalnya, yang satu ekstrovert, sedangkan yang lain introvert. Konflik
karena balas dendam, sementara itu, bisa dicari banyak contohnya dari film-film
silat Hongkong.
Krisis
Dengan adanya konflik,
akan terciptalah krisis. Misalnya,
sepasang pacar konflik karena cemburu. Mereka bertengkar, dan pertengkaran ini
menimbulkan ketegangan, bahkan, kadang-kadang sampai menjurus ke perpisahan.
Inilah krisis. Namun, krisis sering menurun dengan sendirinya, karena sepasang
pacar yang bertengkar hebat ini kemudian diam-diam berdamai lagi, dan kembali
mesra seperti sebelumnya. Krisis bisa kecil bisa besar, dan bisa terjadi
berulang-ulang.
Klimaks
Akhir krisis adalah klimaks. Karena krisis bisa terjadi
beberapa kali, maka klimaks pun bisa pula terjadi beberapa kali. Namun
akhirnya, krisis yang berulang-ulang itu akan mencapai satu krisis besar.
Krisis besar inilah yang menciptakan puncak klimaks. Baik krisis besar maupun puncak klimaks hanya
terjadi satu kali, tidak berkali-kali.
Puncak klimaks selalu
menentukan akhir/penutup novel. Kalau puncak klimaksnya begini, maka penutup
novelnya akan begini, dan kalau puncak klimaksnya tidak begini, maka penutup
novelnya juga tidak begini. Salah satu tolok ukur novel yang baik adalah
hubungan antara puncak klimaks dan penutup novel.
Contoh klimaks dalam
cerpen dapat dilihat dalam karya D.H. Lawrence, pengarang Inggris awal abad
ke-20, berjudul “The Rocking Horse Winner.” Dalam cerpen ini terceritalah ada
sebuah keluarga yang gaya hidupnya berada jauh di atas penghasilannya. Gajih
keluarga ini kecil, namun mereka ingin hidup di rumah mewah di daerah mewah
pula, lengkap dengan kolam renangnya, dan sebagainya.
Karena gaya hidup mereka
terlalu tinggi, mereka selalu kekurangan uang. Perasaan tertekan karena
kekurangan uang ini menyebabkan mereka dihantui oleh halusinasi, khususnya pada
saat-saat menjelang Natal, karena pada waktu Natal mereka memerlukan jumlah
uang yang jauh lebih besar. Mereka merasa, seolah semua benda di rumah
berteriak-teriak “kami perlu uang lagi, kami perlu uang lagi, kami perlu uang
lagi,” tanpa henti. Dinding berteriak, almari berteriak, sepatu berteriak, dan
semuanya tanpa kecuali berteriak minta uang.
Keluarga ini mempunyai
seorang anak laki-laki kecil, Paul namanya. Pada suatu hari dengan nada polos
Paul bertanya kepada ibunya: “Bu, mengapa kita tidak punya mobil sendiri?
Mengapa kita selalu tidak punya uang?” Ibunya menjawab: “Karena kita tidak
punya keberuntungan.” Paul bertanya: “Keberuntungan? Apa keberuntungan itu
berarti uang?” Ibunya tidak menjawab. Paul berdialog dengan dirinya sendiri:
“Kalau begitu, saya akan mencari keberuntungan.”
Sementara itu, ibunya
membelikan Paul kuda mainan dari kayu. Dengan senang hati Paul menerima kuda mainan itu, lalu dia naik dan
menjungkat-jungkitkan kudanya. Demikianlah, setiap hari dia bermain-main dengan
kuda mainannya.
Pada suatu hari, tukang
kebun keluarga ini melihat sesuatu yang aneh pada Paul. Setiap kali akan
mencapai puncaknya dalam bermain-main dengan kudanya, Paul selalu meneriakkan
satu nama. Tukang kebun ini berpikir keras untuk mengetahui apa makna nama itu
sebetulnya.
Akhirnya, sebuah jawaban
ditemukan oleh tukang kebun ini. Nama yang diteriakkan Paul tidak lain adalah
nama kuda yang akan menang dalam balap kuda. Maka, tukang kebun ini pun
memasang taruhan setiap kali ada balap kuda, dan selalu menang.
Demikianlah, tukang kebun
dan Paul akhirnya menjadi kaya. Baik Paul maupun tukang kebun itu tidak mau
mengatakan kepada orang tua Paul mengenai keajaiban ini. Maka melalui
pengacaranya, dengan tanpa menyebut nama, Paul secara berkala mengirim uang
yang banyak jumlahnya kepada ibunya. Namun, setiap kali menerima uang, ibunya
hanya mau menerima uang tanpa keinginan untuk mengetahui dari mana sebetulnya
uang itu datag.
Keluarga ini tetap hidup
boros, namun kaya raya. Pada suatu hari, orang tua Paul menghadiri pesta. Dalam
pesta itu sekonyong-konyong ibunya merawa was-was. Maka, dia pun pulang
sendirian. Ternyata, rumahnya gelap.
Ibunya merasa heran,
karena dari kamar Paul terdengar sayup-sayup suara ganjil. Maka, dengan
mengendap-endap dia mendekati kamar Paul. Makin dekat dengan kamar Paul, suara
ganjil itu terdengar semakin keras. Setelah sampai di depan kamar Paul, dengan
sangat cepat sekali ibunya membuka pintu, menyalakan lampu, dan langsung berteriak:
“Paul, apa yang kau lakukan?”
Paul sedang
menggoncang-goncang kuda mainannya. Ketika ibunya sekonyong masuk, menyalakan
lampu, dan berteriak, Paul sedang mencapai puncaknya. Paul sempat meneriakkan
sebuah nama. Namun, ibunya tidak tahu apa-apa. Ibunya justru mengira, Paul yang
sudah cukup besar ini sudah menjadi sinting karena masih suka main kuda mainan.
Karena amat terkejut,
setelah meneriakkan sebuah nama Paul terjatuh, tidak sadar, dan suhu badannya
mendadak melonjak menjadi tinggi sekali. Tiga hari kemudian, Paul meninggal.
Puncak klimaks terjadi,
ketika dengan mendadak ibu Paul membuka kamar, menyalakan lampu, dan berteriak.
Seandainya ibunya tidak berbuat itu, maka Paul tetap hidup. Demikianlah, puncak
klimaks menentukan penutup novel.
Klimaks eksplisit
Seperti halnya dalam
cerpen, tidak semua novel mempunyai klimaks yang jelas. Sebagai contoh,
ambillah sebuah cerpen karya mahasiswa UNESA di Jawa Pos beberapa tahun yang
lalu. Siapa pengarang dan apa judulnya, maaf, tidak dapat dilacak kembali.
Terceritalah, aku seorang
mahasiswa, pada saat-saat kegiatan akademis mencapai puncak. Aku harus
menyiapkan banyak makalah, mencari data, membaca, dan seterusnya, yang membuat
aku benar-benar lelah. Maka, meskipun tugas masih banyak sekali dan semuanya harus
cepat aku selesaikan, aku putuskan untuk tidur sebentar.
Tiba-tiba aku terjaga,
karena mendengar ibuku berteriak-teriak sambil terus-menerus menyebut namaku.
Aku pun membuka pintu kamar, dan tahulah aku, bahwa ibuku menangis keras-keras
karena melihat aku sudah mati. Itu, di tengah ruang tamu itu, mayatku
tergeletak di atas dipan. Lalu, kakak saya datang. Sambil meneriak-neriakkan
namaku, kakakku lari ke arah mayatku. Seperti ibu, dia pun
menggoncang-goncangkan mayatku, menyatakan keheranannya mengapa aku yang masih
semuda ini, meninggal.
Tidak lama kemudian, para
pelayat pun datang. Sebagian besar pelayat adalah orang-orang yang sudah aku
kenal dengan akrab. Mereka mengobrol, membicarakan tentang kematianku,
sebagaimana layaknya para pelayat pada umumnya.
Aku berjalan-jalan di
antara para pelayat, dan tidak satu pun di antara mereka yang tahu bahwa saya
berada di antara mereka. Upacara demi upacara dilakukan, termasuk pidato-pidato
teman-temanku dan tetangga-tetanggaku. Setelah acara pemberangkatan selesai,
mayatku pun diusung ke makam.
Di makam, setelah melalui
berbagai upacara lagi, mereka memasukkan mayatku ke dalam liang lahat. Aku pun
ikut berdesak-desakan di antara para pelayat untuk menyaksikan mayatku
diturunkan perlahan-lahan. Setelah upacara pemakaman selesai, pergilah semua
orang meninggalkan makam, termasuk aku pula.
Aku pun pulang, sampai
akhirnya, sampailah aku di rumah kembali. Aku terbangun, dan aku sangka, semua
yang aku saksikan tadi hanyalah mimpi, namun, tidak mungkin. Seandainya tadi
aku benar-benar bermimpi, tidak mungkin pakaianku kotor, penuh dengan lumpur
makam.
Dalam cerpen ini mungkin
puncak klimaksnya ada, mungkin pula tidak ada. Seandainya memang ada, di mana
letaknya, tidak jelas. Alasannuya, tidak lain, karena hakikat cerpen ini
berbeda dengan “The Rocking Horse Winner.”
Lalu, apakah novel yang
baik harus memiliki puncak klimaks yang jelas atau tidak, tergantung pada
pengarangnya sendiri. Namun dalam perkembangan penulisan sastra, baik dalam
cerpen maupun dalam novel, ada kecenderungan untuk membuat puncak klimaks
terselubung. Bahkan, nampaknya, akhir-akhir ini, para pengarang, sadar atau
tidak, meniadakan puncak klimaks.
Non-konflik
Sebagaimana yang sering
diungkapkan oleh bebagai pihak, baik cerpen maupun novel Indonesia kurang mampu
untuk menampilkan konflik yang signifikan. Ada gejala, kata bebagai pihak
tersebut, bahwa pengarang justru menghinadari konflik antar-karakternya.
Menurut Kuntowijoyo dalam esainya di majalah kebudayaan Basis awal tahun 1980-an, sadar atau tidak para pengarang Indonesia
masih terikat tradisi wayang, dan karena itu, cenderung untuk menghindari
konflik.
Dalam wayang hanya ada dua
macam karakter, yaitu karakter hitam dan karakter putih. Plot disusun untuk
memperkuat karakterisasi hitam putih itu. Akibatnya, konflik signifikan tidak
ada, karena bisa diselesaikan dengan pola hitam putih.
Ketiadaan konflik yang
signifikan ini mendorong berbagai fihak untuk menuduh sastra Indonesia sebagai
sastra yang lemah. Apa betul lemah atau tidak, biarlah khalayak menilainya
sendiri. Namun, kecenderungan untuk “meniadakan” konflik yang signifikan
merupakan gejala umum baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.
Gaya
bahasa emotif
Sebagai sarana ekspresi, dengan sendirinya bahasa
mencerminkan logika pengguna bahasa itu. Sementara itu, seorang skolar Perancis
abad ke-17, Buffon namanya, menyatakan, “le style, c’est l’homme.” Gaya bahasa
sebagai refleksi dari logika seseorang, menurut Buffon, tidak lain merupakan
pencerminan orang itu sendiri.
Karena novel bukan cerpen, maka bahasanya pun, pada
umumnya, tidak sama dengan bahasa koran atau bahasa percakapan sehari-hari.
Kendati sementara pihak menganggap bahwa novel adalah cerminan realita, realita
dalam novel sudah tidak murni lagi. Betapa kuat pun pengarang diikat oleh
realita, instink kepengarangan seorang pengarang pasti mendorong dia untuk
mempergunakan imajinasinya.
Disamping penggunaan imajinasi, pengarang pun terikat
oleh faktor lain, yaitu tuntutan estetika. Sebagimana halnya dalam seni lukis,
lukisan “dibuat lebih indah” daripada objeknya sendiri. Lukisan dan novel,
dengan demikian, dianggap sebagai “metaphora realita.” Untuk mencapai tahap
“metaphoris,” pengarang novel “mempermainkan” penggunaan bahasanya dengan
kemahiran seni yang tinggi. Karena itulah, kemudian tercipta bahasa emotif.
Bahasa emotif, sementara itu, adalah bahasa yang
dipergunakan oleh pengarang untuk menarik empati pembacanya. Pembaca dibuat
bersimpati, berantipati, ikut marah-marah, kecewa, bahagia, dan lai-lain,
itulah fungsi bahasa emotif. Dengan demikian, pembaca, tanpa sadar, merasa
terlibat dalam dunia novel itu sendiri.
Tentu saja, bahasa emotif bukan satu-satunya sarana untuk
menarik empati, sebab, bahasa yang deskriptif pun, yaitu menggambarkan realita
sebagaimana adanya, dapat juga mengajak pembaca untuk ikut sedih, marah,
kecewa, dan sebagainya.
Pengarang yang nampak gigih memperjuangkan bahasa emotif
adalah Nukila Amal, sebagaimana yang nampak dalam novel Cala Ibi. Sebelum diterbitkan dalam bentuk novel, beberapa bagian Cala Ibi pernah dimuat di jurnal Kalam, dan karena itu memberi kesan
sebagai cerpen. Nukila berjuang keras, agar bahasa benar-benar puitik, karena,
bahasa puitik adalah salah satu komponen penting dalam bahasa emotif:
"Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku
mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan.
Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan"
Untuk kepentingan menarik empati pembaca, oleh Nukila
Amal, logika dikorbankan, tentu saja dengan catatan, bahwa Cala Ibi bukan novel realis. Ingat, yang dikorbankan adalah logika,
bukan pengurangan atau penambahan realita. Sementara itu, dalam New Criticism
yang biasa ngurusi puisi namun akhirnya masuk pula ke prosa, bahasa emotif
dapat pula menciptakan fallacy alias
“pemalsuan” untuk menarik empati pembaca.
Dalam New Criticism, dengan demikian, ada berbagai fallacy, yang semuanya merupakan
“pemalsuan” realita guna menciptakan bahasa emotif. Intentional fallacy, misalnya, mengacu pada tujuan pengarang dalam
menulis. Dengan mengadakan “pemalsuan” realita, maka tujuan pengarang menjadi
samar, namun justru menjadi lebih efektif dalam menarik empati pembaca. Lalu,
ada pula affective fallacy, yaitu
mengacu pada “pemalsuan” realita agar pembaca, setelah menangkap tujuan
pengarang, akan jatuh cinta pada karya itu.
Realita orang yang sangat marah digambarkan menjadi “dia
amat sangat marah, dan karena itu seluruh wajahnya menjadi merah bagaikan
darah,” adalah “pemalsuan” atau fallacy,
namun bukan pelanggaran terhadap logika. Fallacy
semacam ini dapat pula dipergunakan untuk tekanan, sebagaimana yang pernah
dipakai oleh Djenar Maesa Ayu dalam “Waktu Nayla”:
“Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia
hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak dalam
keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya
buntu.”
Fallacy dengan bahasa puisi, yaitu dengan mempermainkan
bunyi akhir suku kata telah menjadi kebiasaan dalam penulisan cerpen,
sebagaimana yang nampak pula dalam cerpen Radhar Panca Dahana, “Sepi Pun Menari
Di Tepi Hari”:
“Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan
adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan
saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun
mengasingkan diri”.
Agus Noor dalam cerpen “Kupu-Kupu Seribu Peluru” (Kompas Minggu) juga mempergunakan bahasa
puisi untuk menarik empati pembaca, sebagaimana misalnya, “ia melihat gadis
kecil menggigil, bugil, seperti peri mungil yang usil” dengan catatan, bahwa
Agus Noor tidak memililih cerita realis.
Gaya
bahasa lakonik
Awalnya gaya bahasa lakonik hanya dipergunakan dalam
esai, dan bukan dalam fiksi. Namun ingat, kendati esai bukan fiksi, esai dapat
pula dikategorikan sebagai karya sastra. Mengepa demikian, tidak lain, karena
esai yang baik pasti ditulis dengan cita rasa seni yang tinggi pula.
Esai pertama kali dipraktekkan oleh seorang filsuf
Perancis abad ke-16, Michel Eyquem de Montaigne namanya. Kecuali dikenal
sebagai filsuf, Montaigne juga dikenal sebagai sastrawan. Dengan menggabungkan
kehebatannya sebagai filsof di satu pihak dan sastrawan di pihak lain itulah,
maka esai Montaigne dikenal sebagai karya sastra yang cemerlang.
Titik berat esai adalah penyampaian pikiran kepada
pembaca, sedangkan titik berat novel adalah penyampaian kisah tertentu kepada
pembaca. Gaya bahasa emotif dipergunakan untuk memancing empati pembaca yang
berada di kawasan emosi dan perasaan, sedangkan bahasa lakonik esai lebih
banyak dipergunakan untuk membangkitkan keterlibatan intelektual pembaca.
Mengapa demikian, tidak lain karena novel adalah dunia kisah, sedangkan esai
adalah dunia logika intelektual.
Dari Perancis esai masuk ke Inggris, dan di Inggris esai
kemudian dikembangkan oleh Francis Bacon. Sebagai halnya Montaigne, Francis
Bacon juga seorang filsul dan saintis. Francis Baconlah yang pertama kali
menganjurkan, agar segala sesuatu dalam sains tidak didasarkan pada
asumsi-asumsi semata, namun harus didasarkan pada eksperimen.
Untuk mengetahui contoh esai yang sebenarnya, tengoklah
misalnya satu petikan esai Francis Bacon mengenai ambisi, suatu topik yang
selamanya hangat baik dalam filsafat maupun psikologi:
Ambition is like
choler; which is an humour that makes men active, earnest, full of
alacitry, and stirring, if it be not stopped. But if it be stopped, and cannot
have his way, it becomes adust, and thereby malign and venomenous. So ambitious
men, if they find the way open for their rising, and still get forward, they
are rather busy than dangerous; but if they be check in their desires, they
become secretly discontent, and look upon men and matters with an evil eye, and
are best please when things go backward ….”
Inilah ambisi, dan ini pulalah
manusia ambisius. Dia punya semangat tinggi, penuh aktivitas, dan
berkobar-kobar selama ambisinya tidak dihambat. Dalam keadaan ambisinya tidak
dihambat dia akan benar-benar sibuk dan tidak berbahaya, namun ingat, begitu
ambisinya terhambat, dia akan berubah. Dia akan lebih senang melihat segala
sesuatunya mundur, sehingga dialah yang paling menonjol. Dalam tahap ini, tentu
saja seseorang yang ambisius bukan hanya sibuk, namun cenderung berbahaya. Dia
merupakan ancaman bagi sekelilingnya.
Gagasan esai ini kompleks, diam-diam
tapi pasti mengurai dengan cermat masalah ambisi dan manusia ambisius, serta
menelusurinya sampai mencapai titik kesimpulan yang sahih: “Inilah ambisi, dan
inilah manusia ambisius.” Bahasanya laconic,
yaitu patah-patah, seolah seperti kepak-kepak burung elang yang sedang
melayang-layang di angkasa, kadang naik, kadang turun, kadang mengambang di
udara.
Kendati gaya bahasa lakonik awalnya
dipergunakan dalam esai, gaya bahasa lakonik kemudian masuk pula ke dalam
novel, sebagaimana yang nampak dalam novel Jane Austen, Pride and Prejudice. Di sana-sini dia mempergunakan esai sebagai
senjata untuk menulis fiksi yang bagus. Nampaklah, bahwa esai bukan hanya
bermanfaat dalam non-fiksi, sebab dalam novel pun, ternyata esai dapat
dipergunakan dengan baik. Tengoklah, misalnya, bagian pertama Pride and Prejudice, suatu bagian dengan
gaya laconic, dan benar-benar esaistik:
It is a truth
universally acknowledged, that a single man in
possession of a good fortune,
must be in want of a wife.
However little known the
feelings or views of such a man
may be on his first entering a
neighbourhood, this truth
is so well fixed in the minds
of the surrounding families,
that he is considered as the
rightful property of some one
or other of their daughters.
Inilah kisah kedatangan seorang
bujangan kaya di suatu daerah, di mana tinggal beberapa perawan yang sudah
saatnya menikah. Bujangan ini pasti akan memerlukan isteri, dan para orang tua
perawan di daearah ini pasti akan berbahagia apabila salah seorang perawan
mereka dipilih. Berbeda dengan kalimat-kalimat argumentatif Francis Bacon, dan
karena itu tidak berhubungan dengan plot, dua kalimat Jane Austen ini
dimaksudkan untuk menampung plot.
Ingat, Jane Austen menyampaikan sebuah berita kebenaran
untuk konteks abad ke-19, yang memang tepat. Gaya laconic dikuasainya dengan baik, dan karena itu, ke-esai-an
kalimat-kalimatnya sebagai sarana pengucapan gagasannya juga memenuhi sasaran.
Gagasannya cemerlang, demikian pula cara penyampaian gagasannya.
Ernest Hemingway berbeda. Dia juga mempergunakan esai
dalam bagian-bagian tertentu novelnya, sebagaimana yang nampak dalam
adikaryanya, The Old Man and the Sea.
Sepintas dia nampak “tergelincir” ke penggunaan slogan, namun, sebetulnya
tidak:
“But man is not made of
defeat,” he said. “A man can be destroyed
but not be defeated.”
Inilah kisah mengenai seorang
nelayan tua yang dijauhi sesama nelayan, karena dia dianggap sebagai orang
sial, dan karena itu, barang siapa bergaul dengannya, pasti akan menjadi sial
pula. Telah berkali-kali dia berlayar untuk menangkap ikan, namun selalu gagal.
Dalam berlayar biasanya dia ditemani seorang anak kecil, namun sekarang anak
kecil ini sudah dilarang ayahnya untuk menemaninya lagi.
Demikianlah, dia berlayar sendirian, menghadapi kesepian,
masa lalu yang indah, dan kesialan yang sekarang menimpanya. Bahaya demi bahaya
dihadapinya sendiri, dengan mengandalkan tubuhnya yang sudah tua. Baginya,
manusia tidak diciptakan untuk dikalahkan, dan dia sendiri yakin bahwa dia bisa
saja dihancurkan, namun tidak mungkin bisa dikalahkan.
Jane Austen telah membuktikan bahwa
esai tidak tabu terhadap plot, demikian pula Ernest Hemingway, kendati dengan
cara berbeda. Esai tidak tabu terhadap kontemplasi (Fancis Bacon), tidak tabu
terhadap kontemplasi dan argumentasi (Francis Bacon dan Bertrand Russel), tidak
tabu terhadap plot (Jane Austen), tidak pula tabu terhadap plot yang berbaur
dengan pandangan hidup dan karena itu menyerempet sloganisme (Ernest
Hemingway). Dalam berhadapan dengan semua dunia pemikiran, sesuai dengan
hakikatnya sebagai sebuah karya seni, esai tidak melanggar kaedah mendasar
karya seni, yaitu dulce atau
kenikmatan, dan utile, yaitu
kegunaan.
=0=
Rujukan Utama
Budi Darma. “Esai adalah Sebuah
Jendela Terbuka.” Dalam Jendela Terbuka:
Antologi Esai Mastera. Eds. Dendy
Sugono dan Budi Darma. 2005. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional. Hlm. IX-XX
Budi Darma. “Mensonge.” Pengantar Cerpen Pilihan Kompas. 2005. Ed. Kompas.
Jakarta: Kompas, akan diluncurkan pada tanggal 28 Juni 2005 di Jakarta
=0=
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as