MAKNA ZUHUD
Mukadimah
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar
mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan
pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah
kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh
dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan
yang sebenarnya.
Allah berfirman,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-
tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan
kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia
ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu,
batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang
tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah
perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai
perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang
ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga
lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan
hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu
kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah
kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa
mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa
dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang
dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat
itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan
dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia
dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat
untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.
Definisi Zuhud
Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada
makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.
Makna secara bahasa: Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut
dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan
“syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Makna secara istilah:
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim -
bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan
akhirat.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang
halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih
mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana
sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam
kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan
perbuatan hati:
1. Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai
daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya
yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah
ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku
tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah
mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya
lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus
takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang
berada di antara keduanya.”
2. Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang
lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan
kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena
keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
3. Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas
kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu
besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan
mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau
dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena
mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama
kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti
menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan
hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan
ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di
tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah
Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri.
Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-
Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara
mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat
zuhud yang sebenarnya.
Tingkatan zuhud
Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang
melakukannya, yaitu:
1. Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia
tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi
ia berusaha melawan dan mencegahnya.
2. Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia
itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia
meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang
meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham
(maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
3. Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak
melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini
bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing
yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut
sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat
masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan
darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan
pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke
dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti
diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya
akan memperoleh kedekatan dari Allah.
Hal-Hal Yang Mendorong Untuk Hidup Zuhud
1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada
hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun
yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya
peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap
dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya
dan merasa cukup dengan hidup sederhana.
2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan
Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat
kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh,
sebagaimana firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)
Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud. 3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan
tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul
dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika
menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati
merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan
menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu
akan memilih yang lebih baik dan kekal.
4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan
kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu
daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang
mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat,
sebagaimana dalam firman-Nya,
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)
Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan
akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)
Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang
beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat
yang lebih baik dan lebih kekal.
Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud
yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak
bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi
manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk
salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat
merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah
dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan
ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini
adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling
berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah.
Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan
rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang
diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan
minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu
menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad
di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka
dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.
Allah berfirman,
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah,
‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah
lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan
keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan
berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa.
Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan
yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau
menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap
hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati.
Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada
mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari
hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali
dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau
yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-
haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka
jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka
sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan
pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)
Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at
Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena
ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang
nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan
manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi
musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang
serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini
beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.
Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya
senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga
perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki,
menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak
membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab
karya Junaid). Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi
mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-
Futuhat Al-Makiyah, 1/37).
Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak
dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan
menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah
memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja
tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja
tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)
Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai
kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah.
Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga
kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa
itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117).
Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun
dunia, sebagaimana sabdanya,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist
Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)
Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada
seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu
kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin
terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan
kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam
menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka
ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang
besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada
kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.
Khatimah
Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama
dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi
dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri
berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah
mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara
dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih
hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun
dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas
perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk
mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-
wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan
bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia.
Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada
Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan
bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan
demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan
ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.”
Wallahu A’lam.
Referensi:
1. Qawaid wa Fawaid min Al-Arbaina An-Nawawiyah, karya Nazim Mohammad
Sulthan ; cet. Ke-2. 1410; Dar-Alhijrah, Riyadh, KSA.
2. Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar-
alkhair, Bairut, Libanon.
3. Tazkiyatun-Nufus, karya Doktor Ahmad Farid ; Dar- Alqalam, Bairut,
Libanon.
4. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy,
Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
(Diambil dari majalah Fatawa)
Mukadimah
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar
mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan
pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah
kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh
dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan
yang sebenarnya.
Allah berfirman,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-
tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan
kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia
ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu,
batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang
tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah
perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai
perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang
ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga
lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan
hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu
kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah
kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa
mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa
dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang
dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat
itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan
dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia
dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat
untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.
Definisi Zuhud
Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada
makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.
Makna secara bahasa: Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut
dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan
“syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Makna secara istilah:
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim -
bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan
akhirat.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang
halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih
mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana
sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam
kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan
perbuatan hati:
1. Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai
daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya
yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah
ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku
tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah
mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya
lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus
takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang
berada di antara keduanya.”
2. Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang
lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan
kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena
keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
3. Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas
kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu
besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan
mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau
dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena
mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama
kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti
menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan
hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan
ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di
tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah
Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri.
Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-
Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara
mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat
zuhud yang sebenarnya.
Tingkatan zuhud
Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang
melakukannya, yaitu:
1. Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia
tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi
ia berusaha melawan dan mencegahnya.
2. Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia
itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia
meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang
meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham
(maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
3. Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak
melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini
bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing
yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut
sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat
masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan
darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan
pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke
dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti
diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya
akan memperoleh kedekatan dari Allah.
Hal-Hal Yang Mendorong Untuk Hidup Zuhud
1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada
hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun
yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya
peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap
dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya
dan merasa cukup dengan hidup sederhana.
2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan
Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat
kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh,
sebagaimana firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)
Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud. 3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan
tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul
dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika
menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati
merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan
menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu
akan memilih yang lebih baik dan kekal.
4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan
kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu
daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang
mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat,
sebagaimana dalam firman-Nya,
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)
Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan
akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)
Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang
beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat
yang lebih baik dan lebih kekal.
Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud
yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak
bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi
manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk
salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat
merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah
dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan
ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini
adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling
berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah.
Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan
rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang
diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan
minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu
menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad
di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka
dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.
Allah berfirman,
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah,
‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah
lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan
keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan
berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa.
Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan
yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau
menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap
hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati.
Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada
mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari
hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali
dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau
yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-
haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka
jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka
sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan
pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)
Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at
Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena
ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang
nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan
manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi
musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang
serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini
beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.
Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya
senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga
perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki,
menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak
membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab
karya Junaid). Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi
mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-
Futuhat Al-Makiyah, 1/37).
Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak
dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan
menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah
memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja
tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja
tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)
Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai
kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah.
Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga
kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa
itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117).
Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun
dunia, sebagaimana sabdanya,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist
Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)
Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada
seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu
kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin
terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan
kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam
menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka
ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang
besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada
kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.
Khatimah
Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama
dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi
dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri
berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah
mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara
dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih
hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun
dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas
perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk
mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-
wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan
bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia.
Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada
Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan
bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan
demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan
ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.”
Wallahu A’lam.
Referensi:
1. Qawaid wa Fawaid min Al-Arbaina An-Nawawiyah, karya Nazim Mohammad
Sulthan ; cet. Ke-2. 1410; Dar-Alhijrah, Riyadh, KSA.
2. Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar-
alkhair, Bairut, Libanon.
3. Tazkiyatun-Nufus, karya Doktor Ahmad Farid ; Dar- Alqalam, Bairut,
Libanon.
4. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy,
Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
(Diambil dari majalah Fatawa)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as